Chapter IX: The Guardians Awaken (Part 2)

Siang itu juga, Kei yang ada dalam penyamaran masuk dengan penuh percaya diri ke Kantor Polisi Resor Anagapura. Aku mengamatinya sekilas dan menyunggingkan senyuman.

“Mang!” sebuah panggilan dari seorang ibu-ibu membuyarkanku.

“Ah, ya, ada apa?” sahutku dengan aksem Sunda buatan.

“Mau beli cilok, 5 ribu, ya!” ibu itu menggandeng anaknya yang masih mengenakan seragam sekolah. Aku tersenyum pada anak itu sambil tetap memasukkan beberapa butir cilok dalam satu plastik. Kemudian memberi bumbu.

“Pakai sambal tidak, Bu?” tanyaku.

 

“Tidak usah, Mang,” jawabnya sambil mencari uang di dompetnya.

 

“Ini,” aku menyerahkan pesanan, lalu menerima uang dari ibu itu.

“Terima kasih,” ucapku mengiringi kepergian pelanggan pertamaku. Setelah agak jauh dari pandangan, aku menghela napas. Bersyukur karena ibu itu tidak terlihat mengagumi wajahku. Ah, bukan bermaksud sombong. Namun, memang kenyataannya ibu-ibu suka menatapku lama-lama dan berbisik tentang bagaimana aku menjadi menantu idaman mereka.

Sekali lagi, aku melirik ke Kantor Polisi Resor Anagapura yang berada di samping tempatku berdiri. Kumainkan smartphone-ku yang menampilkan CCTV dalam gedung itu dan mengamati bagaimana Kei bekerja. Dia berbaur cukup baik sebagai seseorang yang tidak pernah mendapat pendidikan kepolisian. Kei tampak mengapit file itu dan berjalan ke arah ruangan Kapolres.

Di ruang penyidik sepertinya Haryo dan Dion sedang berseteru, ah, bukan urusanku. Kami benar-benar beruntung, sang Kapolres sedang bersiap keluar dari ruangannya dan membereskan filenya. Aku bisa melihat bukti yang sebelumnya berada di tangan Dion sudah disampaikan pada beliau. Bukti baru tentang permainan ini sedang menuju ke sana.

“Mang,” seorang anak kecil kali ini yang memanggiku, menginterupsi kegiatan pengamatanku

“Ah, ya? Mau beli, Dek?” aku memasang senyuman sambil berdoa dalam hati agar Kei tidak melakukan kesalahan.

***

Berada di sekitar orang asing dan mencoba menjadi bagian dari mereka sebenarnya bukanlah gayaku. Namun, apa boleh dibuat? Kak Sean sudah tidak ada di sini, jika ada dia pasti Kak Han lebih memilihnya. Yah, anak teater, lebih mudah memainkan peran dalam menyamar. Aku melirik sedikit pada CCTV yang terpasang di lorong, berharap Kak Han mengawasiku.

“Ah, ternyata banyak sekali bukti baru dari tim khusus. Harus bagaimana kedepannya?” suara keresahan dalam nada rendah dapat aku dengar. Kulangkahkan kembali kakiku dengan agak terburu-buru, selayaknya seorang anak baru yang ceroboh dan dengan sengaja menabrak Kapolres. Kertas file itu berjatuhan, tepat seperti yang kuharapkan.

“Maafkan saya,” kataku berusaha terdengar sangat merasa bersalah sambil menata kembali kertas-kertas itu, “Maafkan saya.”

“Tidak apa, Anak Muda,” beliau hanya tersenyum dan berdiri kembali setelah merasa semua file-nya tertata dengan lengkap, “Terima kasih sudah menatanya untukku.”

“Sama-sama,” jawabku dengan sedikit aksen, lalu tersenyum dan kembali mengapit map hijau yang tadinya tempat file bukti dari Han. Setelah sang Kapolres berlalu, aku segera melangkah pergi dengan tenang, tetapi tetap cepat. Tujuanku adalah mobilku, ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Tidak ada waktu untuk tertangkap.

***

“Ini, ya. Masih ada lagi?” Han, dibalik penyamarannya sebagai Mang Cilok, berusaha menahan senyum. Padahal ia gusar, apakah rekannya yang masih amatir dalam hal penyamaran itu dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

“Tidak ada, terima kasih, Mang! Ini uangnya,” anak kecil itu menyerahkan selembar uang dua ribuan pada Han dan pergi.

“Mang, cilok dong, sepuluh ribu,” seorang polisi muda berbicara seenaknya di depannya. Ia mengamati polisi itu lekat-lekat dan baru menyadari siapa dia sebenarnya setelah detik ketujuh.

”Ah, syukurlah, itu kau bukan orang lain,” sahutnya dengan nada rendah, memastikan agar hanya polisi di depannya yang dapat mendengar.

“Jika kau bertahan lebih lama, mungkin ada polisi sungguhan yang berpapasan denganmu. Nah, jadi berikan pesananku sekarang, aku harus segera menghilang sebelum mereka menyadari tayangan CCTV-nya sedang di-loop,” polisi muda itu masih berbicara dengan nada rendah pada Han, yang sekarang beralih menjadi pedagang cilok.

“Ya, ya, banyak bicara kau mentang-mentang berhasil jadi polisi,” kata Han pura-pura kesal sambil tetap memasukkan cilok ke dalam plastik.

“Ei, aku mengatakan hal yang serius,” tampik Kei.

“Lagipula, mengapa kau memesan sebanyak ini?” gerutu Han.

“Logika memerlukan logistik, Kak. Nah, aku juga harus segera kembali menjadi Kei dan pergi ke rumah sakit. Ada seseorang yang mau mengunjungi Cassie.” Pria itu hanya mengangguk-angguk dan menyerahkan pesanan Kei itu.

“Aku juga harus segera berpindah dari sini. Eksekutor tidak mungkin lewat pintu depan,” Han menerima uang 10 ribu dari rekannya itu dan melangkah pergi.

Sementara itu, Kei terus bergerak untuk masuk ke mobilnya yang diparkir di garasi kosong rumah perias yang kebetulan titik buta CCTV manapun, khususnya kepolisian.

“Hah, hanya make up sedikit benar-benar merubah wajahku. Kak Han saja hampir lupa,” ujarnya sambil melepas seragam polisinya dan kembali ke tampilannya yang santai, hanya mengenakan kaus biru dongker dan celana training longgar.

“Sekarang, ke rumah sakit,” Kei menghentikan monolognya dan menyalakan mesin mobil, “Membersihkan riasan bisa dilakukan nanti sambil jalan. Tidak bisa buang-buang waktu.” Han menggerakkan gerobak ciloknya sambil sesekali berteriak, menawarkan dagangan. Menurutnya akan sangat janggal jika ia berkeliling tetapi tidak menjajakan dagangan.

Ia merasa jiwa kewirausahaannya lebih rendah dari anak SMA sekarang yang setiap sore berjualan jus di perempatan untuk mencari dana untuk event sekolah. Sampai akhirnya ia sampai di daerah dekat pintu belakang gedung polisi, beruntung seorang anak SMP yang lewat daerah itu membeli dagangannya

“Lima ribu ya, Mang. Pakai sambal yang banyak,” Han hanya mengangguk, sambil sesekali mengamati pintu belakang. Ah, di sini pasti akan terlalu kelihatan bagi si Eksekutor, pikirnya. Tunggu, ia bukan Detektif Callahan sekarang, Eksekutor tidak akan menyadarinya, pikiran lain menentang yang sebelumnya. Tetapi menjadi tidak terlihat lebih penting, ia ingin buruannya merasa tidak ada saksi mata di sekitar situ.

“Ini, dek,” ia menyerahkan satu bungkus cilok dan mendapat selembar uang lima ribu.

“Terima kasih, Mang,” anak itu pergi dan Han mengatur posisi untuk bersembunyi. Ia kembali melihat ke ponselnya, menurut Kei, CCTV di sekitar akan mati. Pria itu kini berpura-pura tidur di pos ronda yang ia tepati sambil mengamati grup chat yang mulai ramai kembali karena orang-orang mulai memilih.

Orang-orang yang tidak ingin mempercayai Han memilih Reevan untuk dieksekusi, alasan sederhana dan dangkal, selama ini mereka mencurigai Fajar dan Reevan. Dion, sebagai Seer, telah menyatakan kalau Fajar bersih. Jadi, siapa lagi yang dapat bersalah? Namun, Han tidak akan menuduh dengan hipotesis sedangkal itu. Ia ingin bukti kuat. Sementara Han sudah menentukan pilihan dengan mantap. Kini grup itu terbagi menjadi dua kubu, mempercayai Polisi atau Han.

“Ah, bodoh jika dengan bukti yang sejelas itu masih memihak si Buaya,” gumamnya sambil memainkan ponsel, kembali ke tampilan CCTV.

***

Sekarang, Kapolres sedang mempertanyakan maksud dari bukti yang kusampaikan. Hanya Dion yang menyambut bukti itu dengan baik. Kapolres tampaknya sekarang lebih menyukai Dion dari pada Haryo ataupun Dimas. Beliau bahkan memanggil mereka ke ruangannya. Ah, semoga mereka cepat dicabut dari pangkat mereka sekarang.

Layar CCTV itu berkedip beberapa kali dan akhirnya mati. Sang Eksekutor telah tiba di sekitar sini pasti. Aku hanya bisa memperhatikan tangannya, akan agak mustahil melihat alisnya. Sekarang, hanya perlu pura-pura tidur, jangan sampai ia curiga. Beruntung saja, kamera ponselku sudah ditutup dengan kertas dan selotip. Tidak mungkin moderator dapat melihatku sekarang. Tetapi mungkin dia akan tahu posisiku dari GPS, biarkan.

Tak! Tak! Tak!

Suara sepatu pdh yang beradu dengan bata beton di jalan kecil itu sedikit menarik perhatianku. Aku membuka mata sedikit dan melirik, seorang polisi datang kemari. Wajahnya, terutama bagian mata, tertutup oleh topi pet. Ah, mungkin habis dari tugas lapangan, pikirku. Tetapi, bisa jadi itu adalah si Eksekutor dalam penyamaran.

Tidak perlu rias teater, topinya sudah cukup untuk menyamarkan identias tetapi cincin di tangan kirinya itu membuatku yakin. Ia mengedarkan pandang, aku segera menutup mata dan menyembunyikan wajah dengan topiku. Seorang Mang Cilok 40 tahun yang sedang tertidur, apa yang harus dia khawatirkan tentangnya?

Polisi itu berlalu di hadapanku tanpa suatu kecurigaan satupun. Mataku kembali mengekornya dan orang itu masuk lewat pintu belakang. Tepat seperti dugaan. Segera saja aku kembali bergerak, mencari kendaraan yang mungkin dipakai oleh si Eksekutor.

Pria itu tidak bodoh pastinya, dia akan mencari titik buta CCTV dan mungkin membaurkan kendaraannya. Jadi, aku mencari kemungkinan tempat parkir yang jauh dari pengawasan CCTV. Benar saja, ada 3 mobil minibus yang setipe berada di sana.

“Ah, benar-benar mobil semua umat,” gumamku kesal. Dengan hati-hati aku mengamati tiap plat nomor, mobil-mobil sekarang memasang kamera juga di bagian belakang. Untungnya hanya satu mobil yang memasang itu dan bisa diduga itu milik Eksekutor. Maka, aku menutup kamera itu dengan gerobak cilok dan mencoba merasakan panas mobil di knalpotnya dengan kulit di kakiku. Mobil yang baru datang pasti akan terasa panas. Benar! Ini mobilnya! Ah, sebentar lagi akan terkuak siapa dalang semua ini.

“Tidak, jangan bahagia dahulu Han,” satu kalimat monolog menghentikan kegirangan sesaat dan kembali melancarkan rencana. Dari laci gerobak, kukeluarkan alat pelacak dan kutempelkan pada bagian belakang plat yang sedikit terbuka. Sedikit antisipasi, aku mencatat jenis mobil dan nomor plat.

“Bukan mobil asli Anagapura, mungkin second hand, AB … dari Yogyakarta,” gumamku sebelum beranjak pergi. Sekarang, yang aku perlukan adalah tempat untuk mengamati dan bersembunyi.

***

Pria berseragam polisi lapangan itu berlari kencang bagai Gundala, atau mungkin Flash di pikirannya, sambil menggendong polisi lain yang lebih muda di punggungnya. Ia menyusuri jalan kecil setelah keluar dari pintu belakang Kantor Polres.

Pria muda itu tampak tak sadarkan diri dengan telapak tangan yang berdarah sementara yang menggendong tampak sehat walafiat, tetapi tangan kanannya sudah mengacungkan Glock 17 Gen 4 ke sembarang arah dan menarik pelatuknya dua kali.

Dor! Dor!

Setelah itu, mereka sudah menghilang di dalam minibus hitam berplat AB yang melaju lebih kencang dari larinya si pria. Beberapa polisi yang sepertinya mengejar penembak itu kini kehilangan arah.

Apakah mereka sedang mengejar hantu tadi? Atau manusia yang bisa berlari cepat setelah tersambar kilat? Atau mutan lain? Mereka hanya bisa pasrah dan kembali pada atasan mereka dengan tangan kosong. Sementara Han yang bersembunyi di balik pagar semak milik warga tersenyum puas dan segera mengirimkan pesan satu angka pada rekannya.

1

“Kau tidak perlu memakai jalan putus asa, Kei.”

Di runah sakit, Kei dengan pakaian biasa yang sedang menyambut Reevan dan Airin yang ingin menjenguk Cassie membuka ponselnya setelah mendapat notifikasi.

Kak Han: 1

Ia menyimpulkan senyum dan menghela napas lega. Tak lama kemudian, tiga bumyi berbeda dari tiga ponsel berbeda saling bersahutan.

“Oh, sudah eksekusi?” Reevan yang pertama membuka mulut setelah membaca pesan itu.

Werewolf Moderator -Werewolf Game-: Warga desa memutuskan untuk mengeksekusi Dimas Mahesa.

Werewolf Moderator – Werewolf Game--: Daftar Pemain Mati:

- Hera (Villager)

- Helena (Villager)

- Rico (Gunner)

- Wisnu (Bodyguard)

- Arkana (Mason)

- Freya (Lycan)

- Sara (Witch)

- Gavin (Mason)

- Bella (Hunter)

- Zico (Hunter)

- Juno (Bodyguard)

- Liya (Mason)

- Gita (Guardian)

- Lyra (Werewolf)

- Ravika (Guardian)

- Sean (Traitor)

- Rangga (Werewolf)

- Atha (Cursed)

- Dimas (Serial Killer)

“Orang ini! Ah, Han benar lagi. Tidak sia-sia aku mengikuti pilihannya,” Airin menyambung percakapannya, “Jadi ada kemungkinan benar kalau Pak Haryo selama ini menutupi kebenaran, Kei?”

“Bisa jadi begitu, kalau bukan karena kebodohannya, dia juga tidak akan tertangkap,” balas Kei.

“Cassie bisa pindah ruangan jam 5 sore nanti ‘kan, Kei? Dia belum tahu kalau Kak Sean adalah Traitor, bagaimana kamu akan menjelaskan itu padanya?” pertanyaan sederhana dari si Kurator membuyarkan kebahagiaan Kei. Benar juga, jika ia memberitahu yang sesungguhnya apakah Cassie bisa menerima? Terlebih lagi, apakah ia siap untuk menjelaskan ini semua?

“Entahlah, ini semua kebenaran yang tidak dapat diubah lagi. Siap atau tidak... tidak bisa disembunyikan,” jawabnya pelan sambil memainkan salah satu batang lili kuning yang ada di tangannya.

“Terima kasih, Kei, sudah menyambut kami. Sekarang kami undur diri, ada hal yang harus kami kerjakan di galeri,” Reevan berdiri dan menjabat tangan Kei, diikuti oleh Airin. Mereka melangkah pergi bersamaan, meninggalkan Kei sendiri lagi.

“Aku harap itu bukanlah pertanyaan yang pertama keluar saat kamu pindah ke ruangan reguler,” gumamnya sambil membuka laptop, menampilkan titik merah berkedip yang berjalan di peta digital Anagapura.

“Aku menginginkan berita baik darimu, Eksekutor. Beruntung saja aku tidak jadi membuat diriku terlihat putus ada dengan mengirim link phising padamu,” dia kembali bermonolog sambil tetap memgamati titik merah itu.

“Kau senang kembali menjadi Kei yang bebas?” sebuah suara membuat konsentrasinya buyar.

“Kak Han? Bagaimana bisa secepat ini kemari?” tanya Kei terheran-heran.

“Kau tahu sendiri ‘kan tempat rias itu dekat Kantor Polres? Rahasia lainnya, aku ngebut dengan motor teman Yuna itu dan sekarang motornya sudah di bawa pulang,” jawab Han, yang sudah kembali memakai turtleneck abu-abu dan jeans hitam, sambil duduk di kursi sebelah Kei, “Titiknya masih berjalan?”

“Ya, belum berhenti sejak tadi. Sepertinya destinasi Eksekutor cukup jauh,” pria itu mencoba menerka. Han melirik arlojinya, masih lama sebelum jam 5 datang.

“Bunga ini dari siapa lagi?” tanya Han sambil menunjuk buket lili kuning di tangan Kei.

“Oh, ini dari Reevan,” jawab Kei pendek.

“Reevan?” gumam pria itu.

“Ya, Reevan, ada apa?” ulang Kei.

“Kau ingat dua orang di Anagapura yang punya cincin naga safir itu?” Han memberikan jeda rekannya untuk berpikir.

“Ah, aku mengerti sekarang,” Kei mengangguk-angguk.

“Selama ini, berada di luar kota hanya kedoknya. Tetapi dia jelas tidak menuju ke kantor ataupun cafè. Rumahnya?” pria itu berusaha menebak.

“Coba aku cari data pribadinya,” pria berpotongan rambut cepak itu kembali bergerak. Ia mencari data seseorang lewat dunia maya.

“Ah,” dia mendesah kecewa, “dia sudah melewati Perumahan Mawar Perak, rumahnya.”

“Tentu saja, itu tidak akan mungkin terjadi. Mengapa susah-susah membuat alibi tetapi markasnya hanya di rumah? Dia bukan orang yang bodoh,” Han tersenyum, ia suka dengan lawannya kali ini.

“Oh, ya, Kak, bagaimana dengan administrasi Cassie? Sudah selesai, Kak?” tanya Kei tanpa menoleh.

“Sudah.”

“Sudah sampai! Ini benar-benar di perbatasan menuju luar kota,” Kei sedikit berteriak.

“Cukup jauh, aku akan berangkat setelah Cassie dipindahkan. Kau harus ikut, aku tahu melacak CCTV dari sini akan sulit,” sahut Han.

“Ya, sulit, tetapi rasanya Cassie tidak bisa ditinggal sendiri saat ini. Kalau si Eksekutor sekaligus Moderator itu bisa mengendalikannya dari perbatasan, mengapa aku tidak dapat membalasnya dari pusat kota?” mata pria muda itu berkilat kesal, tampak kemarahan di sana.

“Kei, jangan mempersulit diri. Aku yakin Cassie bisa paham,” Han mencoba mengajak Kei ikut, “kemampuan loop CCTV-mu sangat penting sekarang.”

“Aku akan mulai mencoba sekarang, tentu sulit karena tidak satu jaringan dengan yang ada di dekat sini. Kau tahu, kak? Selalu ada jalan.”

Brak!

“Bagaimana kalian bisa selalu kecolongan seperti ini?” Haryo menggebrak meja dengan marah. Hari ini ia benar-benar sial, semua usaha menyelamatkan wajahnya sudah hancur. Hanya menunggu waktu ia turun pangkat atau yang lebih parah, dikeluarkan.

“Dan kau ...,” ujung jari telunjuk pria tua itu berada satu sentimeter di depan ujung hidung Dion, “Kau juga akan kena indisipliner, tidakkah kau paham? Semua yang kamu lakukan ini juga akan merugikan dirimu.”

“Aku paham, sangat paham. Bahkan aku juga sadar kalau aku tidak layak berada di sini dengan reputasiku itu. Cinta irasional!” Dion hanya tersenyum tenang, berusaha tidak ikut terbawa emosi.

“Lalu, kau juga membiarkan orang itu membawa Dimas?” Haryo kembali menggetak.

“Secara teknis aku tidak membiarkan begitu saja, anak-anakmu yang lebih muda sudah mengejarnya dan kehilangan jejak. Untuk apa aku melakukan pekerjaan sia-sia? Waktu berharga. Aku juga tahu kalau mungkin itu akan menuntunku pada si Dalang. Sekali lagi, mereka menghilang begitu saja,” Dion memberikan pembelaan lengkap.

“Aku pastikan kau kena dua kasus, pertama, tindakan tidak seronok pada wanita pada masa akademi dan kedua tidak sopan,” Haryo kali ini berkata dengan nada rendah.

“Silakan Anda coba, Pak,” polisi muda itu hanya tersenyum.

“Lalu kalian yang sudah mengejar Dion. Bagaimana kalian bisa lengah?” si Ketua kembali menaikkan nada suara.

“Dia berlari sangat cepat dan menyamar dengan sangat baik. Harus saya akui, keamanan kita kurang ketat,” jawab seorang penyidik yang lebih muda dari Dion.

“Alasan, alasan,” Haryo menghempaskan diri dan menatap ponsel hitam Dimas yang baru diperiksa oleh tim cyber, “Bedebah kau, Dimas. Benar-benar seperti ayahmu.”

“ AKP Haryo dan Ipda Dimas Mahesa, kalian akan ditahan untuk sementara,” sebuah suara teguran yang menggelegar membuyarkan pikiran Haryo, ditambah kata-kata ‘ditahan’.

“Saya? Ditahan? Apa yang saya lakukan?” hardiknya balik.

“Menyembunyikan dan menghilangkan bukti kejahatan. Menyembunyikan penjahat tepat di belakamg punggungmu di wilayah kekuasaanku,” pria yang menegur Haryo benar-benar marah kali ini, bahkan surat penahanan dan penyelidikan sudah dikeluarkan.

“Ipda Dion Erlangga!” seorang polisi lain yang berkumis memanggil nama lengkap Dion.

“Siap, Pak!” Dion menyambut panggilan itu dengan hormat.

“Kau memimpin penyelidikan atas kasus pembunuhan dan pemusnahan bukti yang melibatkan AKP Haryo dan Ipda Dimas Mahesa, laksanakan!”

“Siap, laksanakan!” sebuah semyuman mengejek terkembamg tatkala tugas itu sekarang menjadi kewenangannya.

“Tetapi dia juga-“

“Ini keputusan kami sebagai Kapolres dan Kasat Reskrim. Anda tidak bisa membantahnya lagi. Untuk Dimas … dia sedang dalam pencarian.”

“Beberapa CCTV daerah perbatasan sudah kudapatkan, baru yang ada di rumah bagian depan dan sebagian dari tetangga. CCTV dalam rumah masih belum diketahui. Sialnya, di rumah itu tidak ada ponsel. Tetapi aku akan bertaruh untuk dekstop PC. Mereka pasti punya dan terhubung dengan satu jaringan. Ah, aku membutuhkan ruangan diskusi kita yang di kantor,” Kei menyampaikan laporan singkat pada Han dan sisanya adalah monolog. Ia menolak melihat hal selain pekerjaannya di monitor laptop.

“Kerja bagus, teruskan Kei,” balas Han sambil tersenyum. Kei tersenyum tipis, tetapi segera kembali bekerja untuk meretas CCTV serta perangkat di rumah Eksekutor. Han hanya bisa menonton kegiatan rekannya dengan takjub. Sudah berkali-kali ia menyaksikan kepandaian Kei, tetapi tidak pernah bosan mengaguminya.

“Ah, sulit untuk masuk ke jaringan PC-nya. Aku penasaran seberapa pandai orang ini,” ia bermonolog lagi. Semangat Kei untuk mengalahkan orang yang lebih pandai darinya membuatnya senang, Han yakin itulah yang akan membuat Kei benar-benar tak terkalahan suatu saat.

“Untuk saat ini aku hanya perlu CCTV-nya, Kei. Jangan memaksa dirimu terlalu keras,” pria 31 tahun itu berdiri dan menepuk punggung Kei.

“Tidak, Kak, ini masih ada di dalam kemampuanku. Aku khawatir mereka menghapus semua data log ketika tertangkap basah. Oh, ternyata banyak CCTV di sana, ck, tak heran mengapa dia sangat paranoid seperti ini dengan sekitarnya. Sepertinya aku perlu laptopku yang satunya, kak,” pria itu menghela napas lalu menatap Han, “Apakah polisi menyita yang itu?"

“Sepertinya tidak. Jika mereka tidak memberitahumu tentang itu, kemungkinan besar masih ada di rumah,” jawab rekan Kei itu.

“Ah, aku akan men-“

“Jangan, lebih baik aku yang mengambil itu. Ah, motor Sean masih ada ‘kan? Lagipula rumahmu tidak begitu jauh dari sini,” ia menawarkan diri.

“Sungguh, Kak?”

“Ya, aku saja bisa kemari dari rumah si perias dengan cepat, apa lagi hanya dari rumahmu.”

“Tetapi-“

“Saudara Callahan Evano Nandana, wali dari Saudari Cassiopeia Putri Edeline,” sebuah suara wanita lembut memanggil nama lengkap Han dan posisinya sebagai wali.

“Ya, itu saya,” sahutnya.

“Sekarang Saudari Cassiopeia akan dipindahkan ke ruang reguler,” wanita itu kembali berbicara.

“Ah, begitu.”

“Aku akan ambil laptopnya sendiri, Kak. Aku bisa mengendarai motornya Kak Sean, kok.”

***

“Hei, hei, hei, aku sudah tidak punya rasa hormat lagi pada senior satu ini,” kemarahan terpantul di mata kecokelatan Rico. Bahkan masih bisa terlihat di ruang gelap, hebat.

“Ah, nama kepolisian akan makin tercoreng. Sudah lambat, isi penyidiknya seperti dia,” polisi muda itu masih meneruskan kekesalanya, “Ah, nanti, kalau aku bisa kembali aku harus membernarkan semua ini.”

“Seorang bintara dengan kemauan besar, aku suka itu,” sahut si Moderator Bot yang menyandarkan diri ke kursi kayunya.

“Well, Rico, kau bisa menghajar wajahnya habis-habisan nanti. Permainan ini belum selesai,” sahutku berusaha tenang, tetapi sebenarnya tidak, skenario keputusasaan Kei belum terjadi sampai saat ini.

“Satu Werewolf lagi, ah bukan Werewolf biasa ‘kan?” Zico memastikan.

“Yah, begitulah,” jawabku seadanya sambil menatap interface ponsel para pemain dam CCTV secara bergantian, “Jika kita tidak menangkap dia, Bad Side-lah pemenangnya.”

“Ah, benar-benar permainan yang tidak biasa. Seharusnya kita sudah menang sekarang, kalau di permainan biasanya,” Freya menyahut.

“Masalahnya dia tidak mau mengalah ataupun kalah. That’s how The Watcher is,” nada statis yang muncul dari benturan kuku dan meja kayu di sana, aku harus memutar otak untuk tetap hidup.

***

“Aku senang bisa keluar dari tempat mengerikan itu. Hanya ada kesunyian, sesekali ramai kalau ada pasien yang kembali tak stabil, dingin, mendengar suara monitor pasien bersahutan untuk kedua kalinya benar-benar membuatku tidak nyaman,” sebuah desahan keluar dari mulut perempuan pucat berpakaian baju pasien biru muda itu setelah rentetan kalimat lirih.

“Maka setelah ini kau harus mau aku latih membela diri lebih jauh lagi, tanpa penolakan,” pria gondrong berhidung mancung di sampingnya membalas pernyataan si perempuan dengan teguran tegas.

“Makhluk terkutuk itu sangat kuat dan brutal. Tidak ada seni bela diri yang mampu menandinginya. Kukunya seperti punya Wolverine yang bisa memanjang dan memendek, mengerikan. Hati-hati jika bertemu dia, Kak.”

“Selalu, Cas. Ah, kabar gembira katanya dapat membuat orang sakit cepat sembuh. Aku membawa kabar gembira untukmu,” pria itu, kakak Cassie, tersenyum, “Dendam kita, satu keluarga, telah terbalaskan.”

“Sungguh? Kau meng- aw,” teriakan semangat Casssie berhenti begitu ia merasakan sakit kembali di pertunya.

“Jangan berteriak dulu, kau ini. Ya, aku sudah menguak identitasnya dan … tentang identitas bukanlah berita baik. Kau mau mendengarkannya?”

Han ragu sesaat untuk menyampaikan sisi buruk berita ini. Perempuan itu menghela napas kemudian berkata dengan lirih, “Kebenaran akan selali jadi kebenaran. Tak apa.”

“Itu anak dari teman ayah kita sendiri, si Dimas Mahesa,” kabar itu disambut dengan mata Cassie yang melebar.

“Dia? Orang yang dahulu pernah iri pada kakak?”

“Tetapi masalahnya bukan karena iri. Dendam yang dibalaskan dengan cara tidak benar. Ia sangat ingin menghabisi kita berdua karena kasus indisipliner yang dilaporkan ayah kita, sesuai pernyataan Dion,” jelas Han.

“Dia akhirnya kembali membantu kakak? Mengapa?”

“Dia tidak pernah menyukai Haryo sebenarnya. AKP Haryo memang menyembunyikan dua kasus itu di belakang punggungnya. Ia juga ingin menebus kesalahan masa lalu, walau baginya kesalahan bodoh itu tidak termaafkan.”

“Ah, kebenaran memang selalu berhasil mengejutkanku walau tidak untuk beberapa bagian,” Cassie lagi-lagi menghela napas.

 

Matanya menerawang langit -langit kamar, “Melindungi kriminal yang telah membuat satu keluarga berantakan karena karier, manusia memang mengerikan.”

 

“Ah, kau sudah mengatakannya, Kak?” seorang pria menyibakkan tirai bagian depan yang tadinya tertutup.

 

“Kei,” Cassie menyambut sahabatnya itu dengan lirih, “Sialan, aku ingin bisa meneriakimu lagi.” Pria itu menaruh helm full face dan sarung tangan putihnya di lantai, dekat tirai bagian kiri.

 

“Yah, yah, untuk sementara waktu simpan suaramu. Aku sudah mengambil laptopku yang satunya, kita bisa mulai,” Kei masuk dan duduk di kursi di sisi kiri tempat tidur, lalu langsung mengoperasikan laptop satunya di atas nakas yang sudah berisi laptopnya yang lain.

Tangan lainnya mengulurkan jaket kulit putih dan sebuah HT yang tersambung earfone pada Han, ”Aku pikir akan lebih aman jika kita berkomunikasi lewat sini.”

“Ah, aku baru ingat. Di mana Kak Sean?” pertanyaan itu mampu membuat Kei sedikit terkejut.

Namun, Han menyikapinya dengan tenang bahkan sambil tersenyum, “Kita akan menjemputnya saat ini. Nah, Kei pastikan CCTV-nya sudah di-loop saat aku masuk ke base-nya. Siapkan nomor telepon si Doctor, Eddy. Cas, maafkan aku harus pergi secepat ini. Doakan semoga aku bisa menjemput Sean dengan selamat.”

Pria itu menyambar helm full face putih dan sepasang sarung tangan senada yang tadi diletakkan Kei begitu saja di lantai. Dua kalimat terakhir yang terlontar dari kakaknya sebelum melangkah pergi membuat Cassie tidak tenang, tetapi kali ini ia menyangkal, mungkin itu hanya karena ia sedang sakit.

 

Sementara itu, Han memasang earfone yang sudah tersambung pada HT ketelinganya lalu mencoba mencari frekuensi Kei, “Han Solo di sini. Ah, nama ejekan yang bagus. Aku akan segera menuju ke parkiran rumah sakit. Kau hapal di mana parkirnya tadi?”

 

Kei rupanya sudah satu frekuensi dengan pada Han. Earfone juga sudah bertengger di telinganya, “Ar-too”

“Han Solo? Sejak kapan kakakku jadi punya nama ‘Solo’ dibelakangnya? Dan tempat parkir Ar-too,” tanya Cassie sambil menahan tawa.

“Nama ejekan dari kau-tahu-lah-siapa dan tentang R2, itu tempat yang tersisa,” Kei menjawab, sambil tetap bekerja.

“Artoo, R2, jika Cassie baik-baik saja sekarang, aku bersumpah ia akan tertawa kencang,” pria berusia 31 tahun itu menghampiri motor sport putih dan memasang helm full face senada di kepalanya, “Kau bisa men-tracking ponselku, Kei. Tunjukkan jalan.”

Suara mesin yang baru saja menyala mengerang di parkiran bawah tanah itu. Han segera mengendarai motor itu keluar menuju bagian perbatasan kota. Perjalanan itu menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Tetapi, itu belum sampai tepat ke tujuan.

“Katakan Kei, rumah yang mana,” Han menuntun motornya melewati perkampungan itu. Ia tidak ingin buruannya tahu kehadirannya sekarang.

“Warna abu-abu muda dengan pintu garasi hitam. Oh, ya, PC-nya ada di dalam tanah sepertinya. Ada CCTV bernama ‘bwh-tnh1’. Semua bagian rumah di kunci, kau harus memancing mereka membuka pintu atau jebol saja dari luar. Kuncinya konvensional, kok. Satu jepit biting Cassie mungkin bisa menjebolnya,” Kei memberi pengarahan dari jarak jauh.

“Terima kasih,” Han segera bergerak menuju rumah yang dimaksud.

“Sudah dekat dengan rumah?” rekannya bertanya.

“One, Kei.”

“Okay, aku akan menyalakan loop sekarang.” Kini langkah itu lebih mantap dari sebelumnya. Han meraih gagang gerbang dan itu terbuka dengan mudah.

“Markas penjahat macam apa ini?” gumam Han di dalam helmnya. Ia mencoba membuka pintu kayu cokelat itu dengan mendorong pintunya, menguji apakah benar sudah terkunci. Dorongan kuat Han masih membuat pintu itu tidak bergerak. Pria itu mencoba saran Kei, membuka pintu dengan jepit biting Cassie yang ada di sakunya. Setelah beberapa kali mencoba, ternyata gagal juga.

“Entahlah Kei, mungkin itu hanya berguna untuk brangkas dan bukan rumah seorang Eksekutor,” kata Han diiringi desahan.

“ Garasinya, kak. Itu tidak terkunci dan masih sedikit terbuka bukan?”

“Otakmu akan selalu lebih encer daripada milikku,” Han mengangkat pintu garasi itu dengan mudahnya dan melenggang masuk. Pintu dalam garasi menuju rumah saja masih terbuka.

“Apakah sudah masuk?”

“One. Katakan padanya kita butuh banyak. Kirim alamat ini,” balasnya dengan cepat sambil terus bergerak.

“Dimengerti,” pria itu menekan tombol panggil di ponselnya, “Halo … ya … panggil 112 saat ini. Kita butuh banyak, korban keracunan dan mungkin luka kecil. Jalan Krisna, kecamatan Prabancana, nomor 45. Cepat, aku serius.” Sementara itu, si Ketua Tim mencari jalan menuju ruang bawah tanah dengan melihat di tengah remangnya cahaya tempat itu. Ia mengetukkan kakinya di tiap langkah.

Ternyata, ruang itu ada di ujung rumah. Pintunya tertutup tidak seperti ruangan lain yang terbuka begitu saja. Helm itu dilepasnya, lalu membuka pintu itu dengan perlahan, tidak ingin menjadi pusat perhatian terlalu dini. Satu langkah di anak tangga kayu, lalu semakin turun, sampai ke satu ruangan bercahaya. Tidak seterang siang di luar tempat itu memang, tetapi itu indikasi cahaya monitor.

Han menapakkan kakinya di tanah sekarang, tampak 5 sandra yang masih sadar dan 4 sisanya tidak sadar, atau jangan-jangan sungguh sudah mati? Sean salah satu yang tidak sadar. Salah satu sandera yang memakai baju polisi menatap Han dengan terkejut dan berusaha memberi tahu teman-temannya tanpa berbicara.

“Kak! CCTV … bawah tanah itu … seseorang … lain ….” Han tidak dapat menerima pesan itu secara utuh karena gangguan sinyal, tetapi ia juga tidak dapat mengajukan pengulangan karena ruangan itu begitu sunyi. Satu desahan dari mulutnya mungkin dapat terdengar. Ia kembali melihat sandera itu, dia sedang memberi sinyal pada salah satu orang yang duduk di depan monitor.

Ah, ia baru sadar ada dua orang mengatur monitor-monitor itu. Salah satunya mempunyai alis yang terbelah karena luka baru. Sebenarnya, ada apa dengan sandera dan para moderator? Mengapa orang itu mau menghalangi kebebasan di depan matanya?

 

“Oh, Han akhirnya datang,” si moderator yang tadi diberi sinyal berbisik pada Han dengan nada rendah. Suara itu terasa dingin di telinganya.

 

“Aku, Eksekutor, akan sangat senang dengan bantuanmu ini.”

“Aku, Moderator, sepertinya ini semua perbuatan anakmu?” pria lain yang masih setia duduk di kursi kayu mengetukkan jari pada monitor yang menampilkan ketenangan setiap sudut rumah, tidak ada jejak Han di sana.

“Sekarang apa, kalian mau membunuhku?” tanya Han tanpa gentar, puluhan ancaman kematian sudah dialamatkan padanya. Tetapi, tak satupun bisa menjadi malaikat pencabut nyawanya.

 

“Tidak, tidak,” pria itu tertawa kecil kemudian kembali berbisik, “bebaskan kami semua.”

 

Sejenak pria berjaket putih itu mengerutkan dahi, mencoba mencerna perkataan si Eksekutor, “Ini bukan tipu muslihatmu ’kan, Mario Irawan?”

“Tidak, kau pasti tahu CCTV bernama ‘bwh_tnh1’, aku berasumsi rekanmu sedang melakukan loop pada yang satu itu. Benda itu tidak hanya terhubung dengan kami. Seorang Werewolf sekaligus pencipta permainan, The Watcher yang mengatur semua ini,” jelas Eksekutor masih dengan berbisik.

“Bagaimana aku bisa mempercayai kalian?” Pertanyaan itu terjawab dengan satu tunjukkan Eksekutor pada desk mic yang terletak di atas meja kecil, “Mereka melihat pergerakan kita, mendengarkan pembicaraan kita, tetapi jika terus berbisik di sini, mic itu tidak dapat menangkapnya dan dia tidak selalu berada di ruangannya.”

 

“Kak … sampai … cepat …,” Kei kembali mengubunginya dengan sambungan yang tidak lancar.

 

“Kalau begitu lepaskan tahananmu yang sadar lalu biar mereka menuntun yang tak sadar keluar,” Han mulai membuka satu persatu dari empat lemari kayu yang berada di sana. Mencari bukti yang mungkin bisa menjerat dua orang itu. Sementara, duo Moderator-Eksekutor melepaskan sanderanya yang sadar dan memerintahkan mereka membawa yang tak sadar.

“Katakan, apakah kalian yang bersekongkol untuk meneror adikku 10 tahun yang lalu? Atau salah satu dari kalian?” tanya Han sedikit mengeraskan suara.

“Bukan, kami bahkan tidak tahu tentang itu,” jawab si Moderator bot menghentikan sebentar kegiatan melepas ikatan sandera.

“Itu The Watcher! Aku yang menemukan koneksi ini karena dia yang membunuh Toni Sutawijaya dan dia mengaku dengan mulutnya sendiri. Aku masih punya rekamannya,” kali ini Eksekutor berkata dengan agak keras.

“Dan kau mengikuti permainannya?”

“Ancamannya, Detektif Callahan, melihatnya membunuh sebrutal itu membuatku tidak dapat berpikir rasional lagi. Dia mengancam menghabisi semua relasiku dan keluargaku, bahkan kekasihku.”

Penjelasan itu membuat kepala Han bergeleng, “Sekarang kau membiarkan ini semua terjadi. Hakim akan lebih berwenang menghukummu, aku hanya mengumpulkan bukti. Kirim rekaman itu pada akun Kei, cepat!”

Ia kemudian beralih memanggil Kei, “Apakah kau bisa menangkapnya? File suara akan dikirmkan padamu. Gandakan data itu, jangan sampai hilang. Kemungkinan ada orang yang kedudukannya lebih tinggi dari Moderator dan Eksekutor.”

“Lalu kau, Dean Pratama, apa yang terjadi?” tanya Han cepat. Dean, dengan wajah yang sedikit tertutup topi menampilkan wajah agak terkejut karena si detektif dapat mengenalinya.

 

Ekspresi itu hanya melintas sebentar sebelum, ia menjawab, “Dia, Eksekutor itu, mengancamku dan menyeretku kemari. Benar-benar secara harafiah. Namun, itu terjadi karena keinginan The Watcher. Aku percaya setelah melihat ketakutan yang nyata di matanya dan tetunya beberapa bukti screenshoot cetak. Lemari ke dua, laci terakhir. Ambillah.”

 

Han bergerak cepat, mengambil file di laci terakhir. Setelah membolak-balik lembaran itu, ia menaruhnya kembali, “Laporan sebesar keracunan dengan korban banyak pasti akan diikuti juga dengan kepolisian. Mereka harus menemukan ini di TKP, aku akan menjaganya dan juga rekaman pernyatan kalian semua sudah ada di smartwatch-ku. Keluarlah bersama mereka.” Kedua pengawas permainan itu ikut menaiki tangga ke atas sambil membawa Dimas, tahanan terakhir yang tidak sadarkan diri.

“Sean dan teman-temannya aman sekarang,” Han memberi laporan pada Kei. Ia kemudian mendatangi monitor yang menampilkan CCTV bagian depan rumah. Itu sudah tidak di-loop. Sejumlah ambulan dan satu mobil polisi sektor Prabancana berada di luar pagar rumah.

 

“Grrr… I see you now, Han. Aku sudah melihat rencanamu dan aku melangkah lebih cepat dari dirimu,” HT-nya menerima panggilan dari suara lain, masih satu frekuensi. Suara tidak ramah bercampur geraman binatang buas memasuki gendang telinganya. Segera ia mengalihkan ke frekuensi lain, tetapi itu tidak berhasil.

 

“Grrrr… now you see me and her,” semua monitor di ruang bawah tanah itu menapilkan gambar Werewolf yang sedang berada di atas gedung bersama seorang wanita yang sangat ia kenal.

“Yuna! Ah, kau mau menjebakku? Atau mungkin dia hanya mirip dan itu semua hanya layar hijau,” Han mencoba tetap tenang meski hatinya tidak.

“Dengarkan,” suara itu lagi-lagi kembali, selaras dengan kamera yang mendekat pada Yuna yang berada di ujung gendung. Tangan berambut sedang memegang HT yang diarahkan pada Yuna tampil di monitor.

 

“Han … ini aku … ini memang diriku … berhati-hatilah dengannya,” suara lemah wanita itu diiringi suara angin.

 

“Grrrr… Kau punya waktu sampai tengah malam. Masih lama memang, ada waktu lima jam mulai dari sekarang. Aku tahu kau suka berstrategi. Hanya dirimu, jangan bawa temanmu! Lalu, untuk Kei, kau juga punya waktu tengah malam sebelum apa yang ada di tanganmu lenyap. Buat keputusan! Adios, amigo. Grrr…,” semua monitor mati dan ruangan menjadi gelap.

“Han,” Dion, yang ternyata juga pergi ke kecamatan di perbatasan karena laporan anomali ke 112, kini berdiri di belakangnya sambil memegang senter yang baru saja menyala.

“Lemari kedua, laci terakhir. Ada bukti cetak di sana. Lemari pertama, semua lacinya berisi senjata api laras pendek. Glock 17 Gen 4 yang sering dipakai tersangka ada di laci teratas bersama sebuah revolver. Lemari ketiga ada beberapa suntikan cairan, aku belum tahu pasti itu apa. Aku akan menghadapi ini sendiri, seperti biasa. Kalian urus saja yang sudah pasti dan jangan bocorkan hal ini ke siapapun,” Han memberi penjelasan singkat pada Dion, lalu segera naik ke atas. Helm full face yang tadinya ada di dekat pintu ia pakai kembali. Setelah itu, ia segera menembus kumpulan warga dan wartawan yang ternyata sudah datang di depan rumah. Beberapa mencoba mendapatkan bahan berita dari Han, tetapi kali ini ia menolak dengan keras.

Suara mesin motor meraung kencang, meninggalkan TKP dengan cepat. Hanya ada 5 jam dan sekarang sudah berkurang 5 menit. Ia tak mau waktunya terbuang percuma. Ia juga tidak mau bertindak tanpa rencana. Nyawa tunangannya berada di tangannya.

Terpopuler

Comments

shattingstar

shattingstar

kebangetan nih mutan satu

2020-05-01

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!