Chapter VI: A Bloody Birthday (Part 1)

Di atap perpustakaan SMA, sore itu, Kei menepuk kepalaku lembut.

“Jangan tinggalkan aku seperti ini,” katanya sambil tersenyum.

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Maka dari itu bangunlah Kei, jangan biarkan aku sendirian,” balasku sambil menahan tangis.

“Ei, kau itu yang harus bangun. Aku sudah sadar, berhentilah menangis,” Kei tiba-tiba menepuk kepalaku agak keras dan entah mengapa itu terasa nyata.

Tiba-tiba semua mimpiku buyar dan memaksaku kembali ke realitas karena adegan konyol tadi. Aku masih berada di rumah sakit dan tepat di sebelah ranjang Kei.

“Kei … kau-“

“Hei, cantik, akhirnya kamu bangun,” kata Kei sambil tersenyum padaku serta memotong kalimat protesku.

“Kamu baru sadar? Perlu kupanggilkan dokter? Apa ada yang sakit?” rentetan kekhawatiran lolos dari bibirku dan sahabatku itu hanya tertawa kecil.

Aku menatapnya aneh, “Aku sungguh-sungguh khawatir, mengapa kamu tertawa?”

“Kamu imut,” jawabnya singkat tetapi cukup mengejutkanku. Tidak biasanya ia bertingkah seperti ini.

“Baiklah, apakah kamu mengingat namamu?” aku mencoba menguji ingatannya.

“Namaku Kei Galen Tarachandra dan kamu adalah Cassiopeia Putri Edeline, kita bersahabat dari SMA. Lihat, aku tidak amnesia. Berhentilah khawatir,” jawabnya secara lancar.

“Lalu, berapa sembilan akar dua tambah seratus empat puluh empat akar dua kali sembilan bagi dua?” aku lagi-lagi mengujinya.

“Limapuluh tujuh! Berhentilah, Cas. Aku juga tidak menjadi bodoh tiba-tiba hanya karena dua kali hantaman batu bata. Yah, mungkin IQ-ku akan turun beberapa poin, tetap saja Cas, aku masih cerdas seperti biasa. Lagi pula aku sudah sadar dari tadi dan dokter, yang ternyata mengenali kita berdua, sudah memeriksaku dua kali, seorang penyidik anak buah Pak Haryo, selain si Dimas itu, juga sudah kemari sebelum kamu bangun dari tidurmu,” dia masih bisa berbicara panjang lebar meskipun sakit, aku mengapresiasinya dengan senyuman.

Namun, setelah mencerna semua kalimatnya baik-baik, aku mempertanyakan satu hal, “Tunggu, dokter yang mengenali kita? Siapa?”

“Arian, dia tadi kemari. Bagaimana? Kamu percaya ‘kan aku tidak melupakan satupun hal? Lagipula ini bukan cedera kepala berat,” ia kembali mengoceh.

“Ah, aku percaya sekarang kalau Anagapura memang sempit. Baiklah, baiklah, ya, kamu memang baik-baik saja. Lalu, mengapa kamu tiba-tiba memujiku seperti ini? Aku menjadi curiga ‘kan,” kataku jujur.

 

"Aku rasa, aku sedang menuai hasil setelah melukai hatimu,” Kei menatap langit-langit rumah sakit, aku bisa melihat pandangannya mengawang.

 

“Jangan katakan itu! Tuaian macam apa yang tidak seimbang dengan sakit hatiku. Melihatmu memakai baju pasien dan balutan di luka kepalamu seperti ini lebih membuatku sakit. Berhentilah mengakatan hal-hal aneh atau aku format semua yang ada di laptopmu,” aku mengancamnya.

“Aku tahu kamu hanya bercanda. Kau bukan tipe orang yang setega itu,” Kei membalas dengan senyuman, ah, aku menjadi lega. Yah, tentu, aku hanya bercanda, “ Kau memang tahu bagaimana diriku.”

“Oh, ya, bagaimana laptopku? Tentu saja akan bahaya jika kepolisian tahu isinya.” Aish, benar-benar, ia bisa memainkan perasaanku.

“Aku bawa kesayanganmu dan aku tinggalkan yang satunya. Kacamatamu juga sudah aku amankan. Untung kau memang pandai dan memiliki uang, Kei,” kakakku tiba-tiba masuk dan menepuk-nepuk tas punggung Kei.

“Terima kasih kak,” Kei kembali tersenyum, “Cas, dwikkoji itu ... dari mana kamu mendapatkannya?” Ia menunjuk dwikkoji kupu-kupu biru – tusuk konde hias dari Korea—yang aku pakai untuk menata rambutku.

“Ini darimu, bukan? Kepolisian yang menyerahkannya padaku karena mereka sudah selesai memeriksanya, mereka bilang benda ini kemungkinan untukku karena ditemukan di kotak berisi suratmu untukku. Ah, iya terima kasih Kei,” aku menunduk dan mengucap terima kasih.

“Karena kamu sudah memakainya berarti-“

“Setuju untuk memaafkanmu? Tentu saja, tanpa dwikkoji ini pun aku sudah setuju untuk memaafkanmu,” aku melihat Kei menghela napas setelah aku memberikan jawaban. Ah, itu sebenarnya jawaban yang salah, aku tahu apa arti memberikan hiasan itu yang sebenarnya tetapi ..., “sudahlah, sekarang kamu istirahat saja. Aku akan bekerja.”

Belum juga aku beranjak, Kei menggenggam tanganku erat, “Jangan tinggalkan aku.”

“Aish, mengapa kamu jadi manja begini?” gerutuku, tetapi aku menghela napas dan mencoba menenangkan diri, “tidak akan lama, aku mengambil buku sketsaku sebentar dan kembali, okay?” Ia mengangguk seperti anak anjing toy poodle dengan rambut ikalnya.

“Anak pintar,” segera aku mengambil buku sketsa dari tote bag hitam di sebelah Kak Han yang dengan santainya memakan kudapan ringan.

“Tontonan drama lokal langsung yang bagus. Pasti kalian akan lebih baik dari Dao Ming Se dan Dong San Cai. Hei, kalian seharusnya melakukan itu dari dulu,” Kak Han tertawa dengan mulutnya yang penuh, “Sudahlah, pacaran saja sana. Aku mendukung kalian.”

“Berisik,” balasku ketus sambil kembali ke sisi ranjang Kei.

“Luka itu baru, ya?” Kei tiba-tiba menatap lengan bawahku lekat-lekat. Di sana ada hasil goresan aspal yang sudah tertutupi oleh perban.

“Benar, ia tiba-tiba mengendarai motorku seperti orang kesetanan demi menyelamatkanmu. Sialnya, ia terjatuh di aspal. Untungnya dia memakai helm dan itu kecelakaan tunggal, kalau tidak mungkin dia akan berakhir di ranjang seberang kananmu yang kosong itu,” balas Kak Han. Aku hanya menghela napas, memang itu kejadiannya. Aku nekat mengendarai motor dengan kencang karena firasatku tentang Kei yang begitu mengganggu.

“Sudah kubilang hati-hati ... tapi, terima kasih banyak, Cassie. Aku benar-benar berhutang nyawa padamu,” lagi-lagi Kei tersenyum.

“Jangan begitu, aku yang sebenarnya berhutang terlebih dahulu dan aku sudah membalasnya dengan baik ‘kan? Sekarang tutup mulut kalian, aku harus mengingat detail kejadian malam tadi.”

***

“Diskusi akan mulai sebentar lagi, Guardian utama kita memang tidak main-main,” bosku mengamati rekaman CCTV lalu lintas yang memperlihatkan detik-detik Cassie terjatuh dari motor hanya untuk melindungi Kei.

“Seandainya kemampuannya bisa dibagikan ke semua Guardian,” lagi-lagi ia berkomentar.

“Sayang sekali, salah satu Guardian malah menjadi korban,” aku membalas.

“Aku mulai kasihan pada semua pemain yang terjebak. Namun, posisi kita sama-sama tidak menguntungkan. Jika aku melanggar bisa-bisa keluargaku, karyawanku, juga bisnisku habis. Aku telah menyepakati tantangan yang salah,” kali ini sorot matanya benar-benar penuh penyesalan.

“Sampai saat ini bahkan kau belum memberitahukan siapa The Watcher yang dimaksud. Apakah itu … Han?” aku mulai menebak-nebak.

“Bukan, The Watcher bagian dari penjahat juga. Itulah mengapa aku sangat takut padanya,” ia masih setia dengan kesedihan dan ketakutannya, benar-benar beda dari pandangan pertamaku padanya.

“Oh, oh, lihat ini,” aku menunjuk layar, berharap ketakutannya lenyap untuk sejenak.

“Pertemuan darat dengan orang sebanyak ini?” ia melebarkan matanya terkejut.

“Ia sudah berkali-kali meleset, mungkin bertemu langsung akan memudahkannya,” balasku menerka kemungkinan ajakan itu.

“Semoga dia bisa mengantar kita menuju penyelesaian permainan ini.”

Cassiopeia—Werewolf Game--: Mari kita semua bertemu satu sama lain dan melakukan diskusi. Tepat tengah hari di Moonglade Café depan Reevano’s Art Gallery.

***

Werewolf Moderator—Werewolf Game-- : Pagi ini, Ravika yang sedang berjalan menuju kantor kepolisian melihat Gita terbunuh karena dicakar Werewolf dan beruntung bagi Kei, ia terhindar dari Serial Killer karena dilindungi Guardian.

Werewolf Moderator – Werewolf Game--: Daftar Pemain Mati:

- Hera (Villager)

- Helena (Villager)

- Rico (Gunner)

- Wisnu (Bodyguard)

- Arkana (Mason)

- Freya (Lycan)

- Sara (Witch)

- Gavin (Mason)

- Bella (Hunter)

- Zico (Hunter)

- Juno (Bodyguard)

- Liya (Mason)

- Gita (Guardian)

Satu helaan napas panjang keluar dari mulutku. Lagi-lagi korban Werewolf luput dari aku dan Guardian yang lain.

“Maafkan aku, Gita,” perlahan kubelai sketsa hasil pengelihatan Kak Sean. Penyesalan menumpuk di dadaku. Seharusnya hari ini aku berbahagia. Namun, tak terhitung berapa milliliter air yang ingin keluar dari mataku.

“Selamat ulang tahun, adikku,” Kak Han tersenyum dan duduk di sebelahku tiba-tiba, lalu ia menggoyang-goyangkan foam di atas latte yang ia bawa, “Ini latte-mu. Lihat bahkan bentuk foam-nya lucu ‘kan?” Ia berusaha yang terbaik untuk menghiburku.

“Entahlah, kak, rasanya ulang tahunku kali ini hampa,” kataku berterus terang, “ dahulu hanya Freya, Gita, Helena, dan Kei yang mau berteman denganku. Sekarang, orang-orang yang aku kenal hilang satu-persatu dan sahabatku sendiri sekarang menjadi korbannya, terluka, bahkan temanku ada yang hilang dan meninggal, Kak! Masa aku harus bahagia di atas semua ini? Masa aku harus berbahagia setelah gagal melindungi mereka yang dahulu sudah melindungiku?”

“Tentang Kei, dia akan baik-baik saja, aku yakin. Kalau kau belum yakin nanti kau bisa lihat hasil CT-Scan-nya kalau sudah keluar sore ini dan tentang Gita dan Helena … kau memang tidak dapat melindungi semuanya secara bersamaan, Cas. Ini semua di luar jangkauanmu,” kakakku menepuk kepalaku lembut dan mengusapnya, “Sebentar lagi semuanya akan datang dan kau bisa mulai mengamatinya. Jadikan hari ini awal untuk mengakhiri permainan ini.”

“Sayang aku tidak mungkin membaca masa lalu mereka semua satu per satu,” aku melihat Kak Sean murung dan memainkan sisa kopi di dalam gelasnya.

“Ah, ya, aku baru ingat. Aku ingin membicarakan beberapa lukisan yang kubuat. Salah satunya adalah ini,” aku membuka buku sketsa lukisan dan menunjukkannya pada Kak Han serta Kak Sean, “Ini lukisan tentang Werewolf, sebenarnya diambil dari Little Red Riding Hood tetapi tetap saja itu serigala setengah manusia, yang dipesan saat kasus itu muncul pertama kali. Ingat Toni, pengusaha mebuel itu?”

“Korban pertama Werewolf. Bahkan aku tidak menyangka kelanjutannya akan serumit ini,” Kak Han menimpali perkataanku.

“Benar, Reevan bercerita padaku, sebenarnya mendiang Toni yang memesannya melalui dirinya. Namun, akhirnya ia menyimpan lukisan itu untuk dirinya. Anehnya, Atha juga menerima pesanan yang sama, dengan cerita yang berbeda tetapi dengan unsur Werewolf, dan temanku ini juga masuk grup Werewolf Game. Sejujurnya aku tidak mengerti bagaimana firasatku selalu menuduh si pemilik galeri itu,” aku mengeluarkan tabung kaca dengan jarum di ujungnya dan menunjukkannya pada mereka, “ Reevan bilang ini dapat mengembalikan Werewolf ke wujud manusia. Ia yang membuatnya sendiri. Menang ini menguntungkanku, tetapi, juga membuatku mencurigainya. Orang lain yang aku curigai adalah Fajar karena dia juga memiliki laboratorium sendiri, apalagi hubungannya dengan pemilik perusahaan meubel sekaligus peneliti itu tidak begitu bagus. Bukan tidak mungkin satu dari dua orang ini membuat tim Werewolf.”

“Kita butuh bukti lebih untuk memastikan semua dugaan itu,” kakakku mengangguk-angguk dan menepuk punggungku sekali lagi.

“Satu lagi,” aku mengeluarkan kertas yang sedari tadi aku simpan di sakuku, “Awalnya aku kira ini dari Kei. Namun, setelah kubaca ulang ini dari Serial Killer dan itu berdekatan dengan kertas kosong khasnya.” Kak Han dan Kak Sean bergiliran membaca isi kertas yang diketik dengan mesin tik.

Selamat bertambah usia, Cassiopeia. Ini hadiahmu.

-SK-

“Dia merencanakan semua ini,” seruku.

“Merencanakan apa?” seseorang menginterupsi percakapan kami. Aku lega, karena yang muncul adalah Dito, teman Kei, bukan Reevan atau Fajar.

“Selamat datang, Dito,” Sean langsung menjabat tangan pria itu.

“Mana Kei? Bukankah dia selamat?” tanya Dito sambil mencari-cari Kei.

“Eum … dia memang selamat. Namun, sebelumnya Serial Killer telah mencoba untuk membunuhnya dengan memukul kepala Kei dua kali. Jadi sekarang dia ada di rumah sakit,” aku mencoba menjelaskan keadaannya pada Dito.

“Baiklah, bagaimana denganmu, Cassie? Kau tidak terlihat baik-baik saja,” Dito malah balik menanyakan keadaanku.

“Aku cukup baik-baik saja untuk bertemu kalian, ah, lihat mulai banyak orang datang.”

“Untung saja biaya sewa tempat gratis dan mereka akan memesan konsumsi sendiri-sendiri,” Kak Sean menggumam dan mengamati orang yang datang satu per satu.

***

“Hei, pasti akan seru jika aku ada di sana,” Kei terkekeh dan mengamati kumpulan orang-orang yang duduk melingkar di lantai café itu.

“Kamu akan menimbulkan keributan yang tak perlu, lebih baik seperti ini,” balas Cassie dari sisi lain panggilan video itu.

“You underestimate me, Cas. Ck! Oh! Hebat! Semua pemain yang tersisa ada di sini, kecuali diriku. Ini baru Werewolf Game yang sesungguhnya. Lihat, apakah mereka masih berani tuduh menuduh setelah dihadapkan secara nyata,” Kei membenarkan posisinya tidur agar nyaman menonton debat langsung itu.

“Belum ada yang berani sampai-“

“Saya akan bicara, sebagai Seer,” Haryo mengangkat tangan dan menyatakan dirinya sebagai Seer, “semalam aku menerawang Ella dan hasilnya benar-benar mengejutkan ….” Semua mata tertuju pada penyidik tua itu, wajah mereka menunjukkan rasa penasaran kecuali Ella. Perempuan itu mengantisipasi apa kelanjutan dari kata-kata seniornya itu.

“Dia Werewolf!” ujung jari telujuk Haryo mengarah pada Ella.

“Izin menyela!” tiba-tiba Dion berseru, memotong keributan di café itu, “Saya juga Seer. Semalam aku menerawang Lyra dan dia adalah Werewolf!” Lyra tidak bisa menahan ekspresi terkejutnya.

“Izin menyanggah! Saya bukanlah Wererwolf seperti yang Anda tuduhkan, Pak Haryo. Ini fitnah!” Ella berseru membuat pembelaan.

“Lalu apa alibimu, Ella?” Han bertanya untuk memastikan alibi mantannya itu.

"Setiap malam aku ada di kantorku, bekerja bersama beberapa bawahan Pak Haryo. Suatu malam aku pernah berdiskusi dengan Dion,” Ella menjabarkan alibinya.

“Ya, benar. Sisa harinya digunakan Ella untuk beristirahat,” Dion menyetujui alibi Ella.

“Bagaimana dengan Anda, Lyra?” pandangan Han tertuju pada Lyra yang terdiam.

“Oh, pada malam hari saya berlatih dance bersama Freya. Selain itu, saya mengurus keluarga kecil saya. Seorang anak dan seorang suami.”

Lyra mengeluarkan alibinya. Han hanya menangguk-angguk mendengarkannya, “Tidak ada tuduhan lain?”

 

Sean mengangkat suara, “ ‘Lyra semakin jarang latihan sejak Freya menghilang’, itu kata rekan Anda. Bagaimana Anda mengkonfirmasi ini?” Semua mata tertuju pada perempuan itu, menunggu balasan selanjutnya.

 

“ Saya jarang latihan karena patner dance saya yang utama menghilang. Saya yang seperti ini ... mana mungkin tega membunuh orang? Percayalah pada saya.”

“Percayalah pada saya! Saya Seer yang sesungguhnya. Dion hanyalah Fool!” Haryo tiba-tiba berseru.

“Maafkan saya harus melawan Anda. Namun, saya yakin Bapak Haryo lah Fool-nya. Alibi Ella kuat, dia tidak bersalah,” Dion membalikkan tuduhan.

“Sudah mulai ramai sepertinya. Hei, Cassie, jangan percaya pada bapak itu,” Kei kembali berhubungan dengan Cassie.

“Lalu, aku harus percaya pada si Maniak itu? Orang yang mengisi kehidupanku dengan ketakutan?” tanya Cassie.

“Ei, kamu ini pemilih dalam memaafkan, ya? Dion itu posisinya sama saja dengan Liya atau Bella. Kalau kamu tidak bisa memaafkan dia, percaylah pada dia atas nama kebenaran. Itu akan lebih baik dari pada kamu mempercayai seorang Fool ‘kan? Ayolah Cassie, kali ini aku berpikir dengan sangat jernih. Pikirkan saja, alibi Ella mempunyai penguat. Sementara Lyra? Itu tidak cukup kuat,” Kei mencoba untuk meyakinkan Cassie tentang Seer yang sebenarnya.

“Apa, sih, sebenarnya peranmu itu sampai kamu sangat yakin dengan Dion? Ella dan Dion bisa saja bersekongkol 'kan?” Cassie penasaran.

“Itu akan menjadi rahasia sampai permainan ini selesai. Pokoknya Pak Haryo seratus persen Fool,” kata Kei masih meyakinkan Cassie, “Sampaikan pernyataanku ini.”

“Saya ingin menyampaikan pernyataan dari Kei!” Cassie berseru setelah mengumpulkan keberanian sebelumnya.

Tiba-tiba, orang-orang menjadi tenang dan mengarahkan pandangan pada Cassie, “Maaf AKP Haryo, Anda sebenarnya Fool.” Keributan kembali memenuhi Moonglade Café.

“Bagaimana bisa? Apakah dia punya bukti untuk menuduhku?” Haryo keberatan dengan tuduhan itu, “Anak itu mungkin hanya tidak dapat mempercayaiku karena masa lalu.”

“Bagaimana dengan siapa yang sebenarnya mengendalikan hidup kita beberapa hari belakangan ini? Sebelum-sebelumnya kita menuduh Kei ‘kan? Namun, dengan diserangnya Kei oleh Serial Killer, kemungkinan itu sudah gugur,” Tio tiba-tiba mengeluarkan pendapat.

 

“Lalu siapa? Dean?” seorang pria berambut sedikit panjang yang dikucir itu menyahut.

 

“Itu juga tidak mungkin, Lucas,” sanggah Tio.

“Lalu? Kemungkinannya selama ini hanya mereka,” Lucas mempertahankan pendapatnya.

“Tidak mungkin ia punya waktu untuk mengawasi kita 24 jam. Perusahaan dan keluarganya juga butuh perhatian Dean,” seorang perempuan bernama Greta membela Dean.

“Dipikir-pikir memang tidak mungkin kalau mereka menjadi Moderator,” perempuan yang duduk di samping Lucas bernama Kyra menyahut.

“Menurutmu siapa moderatornya, Ra?” tanya Lucas. Sementara Dean hanya bisa mengunci mulut karena bingung dengan semua perdebatan itu. Ia tidak punya kesempatan untuk membuka mulut.

“Ini semua benar-benar memusingkan,” komentar Yuna yang duduk di sebelah kanan Han bersama adiknya, Tika.

“Cukup! Masalah moderator bisa menanti. Kita mengutamakan Werewolves dan Serial Killer, pelaku yang bisa kita tangkap bersama,” Sean menengahi perdebatan itu, menggiring mereka menuju topik yang baru.

“Sejauh ini kami mengetahui ukuran sepatu dari Serial Killer adalah 43 dan jenis kelaminnya pria. Pertanyaan pertama, tolong jujurlah, siapa di antara kalian, pria, yang ukuran sepatunya 43?” setelah Han memberikan pertanyaan satu per satu tangan mulai terangkat.

 

Cassie mencatat nama-nama itu, “Haryo, Dimas, Hendry, Tio, Matteo, Dion lalu itu … Indra. Aish, banyak sekali. Baiklah aku mulai lagi, Erza, Randi, Dennis, Dyo, Dylan, dan terakhir Bayu.” Cassie menghembus napas kasar dan membaca ulang list itu. Mustahil mereka adalah pembunuh orang tuanya, kecuali ….

 

“Pak Haryo, bukankah dahulu Anda sering bekerja sama dengan mendiang ayahku?” kata-kata itu keluar dari mulut Cassie tanpa kegentaran sedikitpun.

“Ya, ayahmu adalah kepala tim penyidik yang hebat pada masanya,” ingatan Haryo mengawang menuju masa di mana dirinya adalah seorang penyidik junior, “Aku mengaguminya.”

“Tunggu, jika Anda mengaguminya, bagaimana bisa Anda menutup kasus mendiang orang tua kami begitu saja?” Han menyela.

“Tidak ada bukti yang mengarah ke seseorang, maka dari itu aku harus menutupnya sebagai kasus bunuh diri. Itu lebih baik dari pada nama Anda tercemar selamanya bukan?” Haryo tetap bersikap tenang seakan-akan tidak peduli kekecewaan Cassie dan Han kembali meluap.

“Menuduh orang lain yang ternyata tidak bersalah sudah merusak nama Detektif Callahan dan Kepolisian. Sekarang Anda tidak merasa bersalah sedikit pun?” Sean ikut membuka suara.

“Bukti yang ada semuanya mengarah kepadanya. Tentu saja aku sangat malu pada waktu itu. Harga diriku juga dipertaruhkan. Aku akhirnya melepaskannya karena kurangnya bukti dan berbagai pertimbangan,” Haryo tetap menjelaskan. Kei yang mendengarkannya dari balik layanan panggilan video menunjukkan ekspresi terkejut dengan semua pengakuan itu.

Han menatap mata Pak Haryo tajam, “Hanya ada dua kemungkinan, pertama, Anda yang melakukan pembunuhan itu. Kedua, Anda sedang melindungi pembunuhnya. Saya sangsi dengan pernyataan pertama karena saat kita bertemu karena kasus itu Anda tidak menunjukkan kebencian pada kami. Mungkin saya akan mengambil kemungkinan kedua. Jadi, bagaimana menurut Anda, Pak Haryo?”

Terpopuler

Comments

NakamotoYuta

NakamotoYuta

Gimana pak haryo? fu fu fu

2020-05-10

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!