“Aku berterima kasih padamu Eddy. Jika kau tidak membuka kartumu padaku waktu itu, keadaan bisa menjadi lebih buruk dari itu,” Han menghela napas dan menyandarkan dirinya pada kursi tunggu di sebelah ruang ICU. Keadaan Cassie yang terluka membuat pikirannya kacau. Memang, ia mengakuinya, ia mencintai adiknya sendiri lebih dari apapun di dunia ini.
“Sudah seharusnya aku membukanya padamu karena aku mempercayaimu, kak,” Eddy yang duduk disebelahnya menepuk punggung Han sebagai bentuk penguatan. Sesekali mata Han melirik Cassie yang tergeletak tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit dengan bermacam-macam alat dan selang yang mengelilinginya.
“Jangan menatapnya terlalu lama kalau sebenarnya kau tidak tahan melihatnya,” Sean tiba-tiba datang bersama Kei yang membawa serta tiang infus.
“Kei, kau tampak sangat berantakan dan … kau menangis?” tanya Han sambil mengamati penampilan Kei.
“Aku hanya kelilipan,” jawab Kei asal padahal sorot matanya jelas memancarkan kekacauan. Sean menatap Cassie nanar, ia mengerti mengapa kedua pria dihadapannya ini menangis. Melihat orang yang dekat dengan kita tersakiti, rasa seperti ketika Hera meninggalkannya untuk selamanya.
“Keadaannya kritis karena kehilangan banyak darah dan tingkat kesadarannya somnolen. Bisa bangun hanya untuk sekejap. Aku tahu keadaan bisa lebih buruk, tetapi kalau ….”
“Jangan katakan itu, jangan pikirkan itu, Han. Cassie akan pulih, hanya kita tidak tahu kapan pastinya,” sela Sean, ia tidak ingin kepala timnya berpikir negatif sekarang ini.
“Bagaimanapun dia harus sehat lagi.
Alasan pertama, karena dia sangat kuat, 4 tikaman dalam di perut dan masih hidup. Alasan kedua, dia harus menepati sumpahnya untuk menangkap Serial Killer,” kata Kei sambil menatap nanar keadaan sahabatnya sekarang ini.
“Sumpah? Bagaimana kau tahu?” tanya Han penasaran.
“Salah satu racauannya dalam tidur dua malam lalu. Oh, ya, bisakah kupinjam smartphone Cassie? Statusnya masih berada dalam permainan, bukan?” balas Kei sambil mengulurkan tangannya.
“Tetapi kau masih sakit, Kei,” cegah Han. Ia ingin rekannya yang satu ini fokus pada pemulihan kesehatannya.
“Tanganku ini gatal kalau sehari tidak mengerjakan sesuatu. Lagi pula aku baik-baik saja. Berikan saja, Kak,” Kei kembali membujuk Kak Han.
”Kau akan main etis dengan Cassie, ya?” Han mengulurkan ponsel di tangannya.
“Bukan itu, aku tidak dapat meretas akun para pemain yang masih bertahan. Kalau pun bisa pasti semuanya sudah selesai sejak pertama muncul,” kata Kei.
Belum sempat ia menerima ponsel Cassie, Kei menyadari Eddy ada bersama Han langsung menutup mulutnya, “Harusnya aku lebih hati-hati.”
“Aku tidak akan melaporkanmu, tenang saja,” Eddy terkekeh melihat tingkah teman lamanya itu, “Semangat, Kei.”
***
Sesekali aku menatap roomchat grup di smartphone-ku kemudian beralih pada Cassie. Tanpa sadar aku menyalurkan amarahku pada benda itu dengan meremasnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, berniat untuk menghempaskannya ke lantai. Namun, kuurungkan itu.
Aku tidak dapat menahannya lebih lama lagi, amarahku kini berada dipuncaknya. Mereka sudah berjanji tidak akan menyentuh relasiku jika aku hanya diam, tapi apa? Rasa bersalah memenuhi hatiku, aku tidak bisa lagi bertemu dengan Han dan relasinya. Melihat Cassie dari balik kaca saja sudah menyiksaku. Apa yang dapat aku lakukan untuk menebus semua ini? Rasanya hanya nyawakulah yang pantas menjadi tebusannya. Aku harus 'mati' di tangan Villager sebelum kejahatan mendapatkanku lebih dahulu.
***
Jauh dari rumah sakit tempat Cassie dirawat, dua orang pria berlari menuju toko bunga ‘Little Garden’ yang baru saja dibuka.
“Oh, dua pelanggan pertama. Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” sapa pemilik toko itu.
“Buatkan saya-“
“Buatkan saya-“ dua pria itu berpandangan karena mereka berkata hal yang sama.
“Rangkaian bunga-“
“Buket untuk orang yang sakit.” Lagi-lagi mereka berpandangan karena mengatakan hal yang sama.
“Baiklah, baiklah, aku tahu kalian menginginkan hal yang sama. Masuklah,” ajak perempuan yang pemilik toko itu.
“Kalau bisa cepat, ya? Aku tidak ingin si Tua itu menangkap basah kita.”
Seorang polisi muda dan temannya melangkah masuk ke lobby RS Panti Sehat. Semua mata tertuju pada eksistensi mereka.
“Hei, memangnya kau tahu di mana ruangannya?” tanya yang seorang pada yang lain.
“Tidak, aku bahkan tidak tahu dia di mana,” sahut temannya itu.
“Bukanlah lebih baik kita bertanya dahulu?” Tak lama kemudian dua manusia ini sudah sampai di lantai ke dua. Kaki mereka melangkah menuju ruang ICU.
“Lihatlah siapa yang berani\-beraninya datang kemari,” seorang pria yang duduk di atas kursi tunggu tertawa getir melihat mereka menuju ke arahnya.
“Oh, kau pasti Kei Galen Tarachandra? Ahli IT tim Han,” salah satu pria itu berbicara.
“Dan kau adalah Ipda Dimas Mahesa, benar? Ada apa kau kemari dan membawa dia serta?” tunjuk Kei pada pria yang bermata sedikit lebar.
“Hanya berkunjung, mana Han dan temanmu yang lain?” Dimas mencari-cari Han dan Sean, tetapi, tidak menemukannya.
“Mereka tidak ada di sini jadi pergilah sebelum Han menghajar dia menjadi berkeping-keping,” Kei mengusir mereka.
“Sebegitu bencinya kau pada Dion? Anak tidak tahu sopan santun,” Dimas mendebat Kei.
“Kurang lebih seperti itu, karena dia menambah daftar panjang trauma Cassie. Aku mohon dengan sangat pergilah seka …,” kata-kata Kei terhenti melihat Dion berdiri mematung dengan mata cokelat gelapnya yang menatap menembus kaca ruang ICU menuju Cassie. Pikiran pria itu kembali menuju 10 tahun lalu, ia melihat Cassie dalam keadaan buruk. Tetapi baginya keadaan Cassie 10 tahun lalu jauh lebih buruk karena itu kesalahannya.
“Pergilah, kak. Aku mohon!” suara teriakan Cassie yang melengking memasuki gendang telinganya. Ia tahu perempuan itu sedang ketakutan. Sayang sekali, kalimat pertama yang ia dapatkan setelah Cassie siuman adalah kalimat pengusiran.
“Aku tidak bisa melihat wajahmu lagi, kak. Pergi!” kali ini teriakannya terdengar bergetar. Cassie tidak memandang wajahnya barang sekali, ia menyembunyikan matanya. Teriakan itu membuatnya mundur sekali lagi. Perempuan itu benar-benar takut pada Dion. Pria itu meremas kertas yang digenggamnya dan merutuki diri. Mengapa ia bisa menjadi gila hanya karena perasaan cinta? Bukan, itu bukan cinta yang sesungguhnya. Itu nafsu belaka.
“Sudah menatapnya? Pergilah,” dan sekarang ia kembali terusir, bukan oleh Cassie tetapi oleh sahabatnya.
“Baiklah aku akan pergi, sampaikan pada Han bahwa aku dan Dimas sudah mampir kemari. Tunjukkan buket itu,” Dion beranjak dari tempatnya bersama Dimas.
“Akhirnya mereka pergi juga,” gumam Kei sambil menghampiri dua buket bunga yang diletakkan begitu saja di kursi tunggu.
“Terima kasih sudah menjaga, Kei, sekarang kau bisa pergi,” suara seorang perempuan menyapanya.
“Oh, Kak Yuna, Tika. Aku akan di sini saja, tak apa. Aku baik-baik saja dan cukup sehat, kok,” elak Kei, ia tidak mau beranjak dari ruang tunggu, “Lagipula ada yang mau aku kerjakan di sini.”
***
Aku menghela napas, Werewolf itu memang benar-benar tidak tertebak. Tetapi, untung saja Han bisa mendapat kontak Doctor dengan benar, setidaknya masih terselamatkan.
“Hei, apa kau yang menulis ini?” Moderator Bot menarik tanganku dan menunjuk satu pesan di sana.
Aku membacanya dan langsung mengelak, “Tidak. Jangan-jangan kau.”
“Tidak, kalau itu aku mengapa ada tanda ‘WW’ di sini?” dia mengelak juga.
“Ah, benar juga. Inikah bagian dari perjanjian? Dia bisa melakukan semuanya sesuka dia?” balasku sambil menaruh pantat di kursi dekat Moderator Bot.
“Perjanjian, perjanjian, perjanjian, aku lelah mendengarnya. Sebenarnya kalian punya perjanjian dengan siapa, sih?” cerocos Zico tiba-tiba.
“Bukankah kubilang perjanjian kita dengan The Watcher?” balasku.
“Itu dia, siapa sebenarnya The Watcher? Mengapa kalian sangat takut padanya?” Zico berbicara lagi.
“Dia adalah orang yang tidak waras. Ya, memang uangnya banyak, tetapi, dia tidak punya hati. Aku yang mengetahui dia membunuh si owner perusahaan meubel yang juga peneliti itu. Karenanya aku mengancamnya terlebih dahulu. Ah, benar-benar bodoh diriku, aku tidak tahu kejadiannya akan sefatal ini. Dia menantangku dalam sebuah permainan gila dan membuatku sebagai Moderator eksekutor. Untuk melihat siapakah yang lebih kuat, apakah aku dan Villager atau dia dan tim jahatnya. Ada perjanjian juga antara dia denganku, salah satunya tetap diam dan menyeret paksa si Moderator Bot ini, kalau tidak, usahaku akan dibabat habis juga orang tuaku akan dia bunuh bersama diriku tentunya. Dia juga yang mengundang Serial Killer yang tak aku sangka masih ada garis merahnya dengan Cassie dan Han,” aku berhenti lalu menatap Lyra yang masih tak sadarkan diri, “Dia juga yang membuat bius juga racun itu. Sekarang aku terjebak dalam permainan si Werewolf, bukan sebagai Moderator, tapi Villager. Aku ditarik ke neraka bersamanya, sial.”
“Tunggu, Cassie dan Han? Jadi pusat semua ini adalah kakak beradik itu?” Bella menyahut.
“Sepertinya begitu.”
“Jika kalian bahkan tidak tahu Serial Killer ada sangkutpautnya dengan Cassie dan Han, itu artinya bukan salah satu dari kalian yang meneror Cassie waktu itu,” balas Freya.
“Aku tidak tahu tentang itu. Mungkin itu perbuatan The Watcher juga,” balasku balik.
“Pertanyaanku belum terjawab, siapa The Watcher?” Zico kembali bertanya.
“Kau bisa menyimpulkan sendiri dari semua ceritaku.”
***
“Kau akan gagal lagi, Reevan. Berhentilah,” pria dengan jas putih dan rambut yang tidak tertata dengan baik itu memandang lawan bicaranya malas.
“Kita tidak tahu, apakah itu berhasil atau belum. Dari semua orang yang aku beri belum ada yang melapor, apalagi Cassiopeia. Dia diserang semalam,” balas Reevan.
“Jadi, sebenarnya, apa maumu?” tanya lawan bicara pria berambut cokelat itu.
“Aku tahu kau juga membuat penawar itu, beritahu caramu membuat itu dan aku akan memberitahukan caraku,” Reevan menyahut.
“Kau ingin mengalahkanku, Reevan?”
“Tidak, untuk sekali ini saja, mari kita bekerja sama lagi, Fajar, seperti dahulu. Tidak akan ada ruginya, lagipula kompetitor utamamu sudah tiada bukan?”
Fajar tertawa getir, “Bekerja sama tidaklah menyenangkan, terutama bersamamu. Mari kita bersaing, Reevan. Itu akan menyenangkan. Kau tahu? Anagapura tidak cukup besar untuk dua pemikir.”
Jauh dari laboratorium percobaan milik Fajar, Han dan Sean sedang duduk di kursi tunggu laboratorium forensik. Han mencoba untuk beristirahat, sesekali memejamkan mata, sesekali menghela napas sementara Sean tertunduk dengan kepala yang disandarkan pada tangannya, ia tertidur.
“Saudara Callahan,” suara petugas lab memanggil. Baik Han maupun Sean kembali fokus.
“Ya?” sahut Han.
“Hasilnya akan keluar lebih lama lagi, ada jejak DNA manusia di sana, Namun, kami belum terlalu yakin. DNA Serigala mendominasi,” dokter yang berdiri di sebelah petugas lab itu memberikan sebuah pernyataan, “Hasilnya masih menanti paling cepat satu hari lagi, kak. Aku tahu kau sangat terburu-buru.”
“Tak apa, terima kasih, Tasha,” balas Han dengan ramah.
“Aku yang harus berterima kasih padamu dan Cassie. Jika dia tidak menyerang Werewolf-nya dan kau tidak membawa bukti itu kemari mungkin kita tidak akan pernah menemukan petunjuk baru. Jika ada waktu nanti setelah diskusi darat, aku akan menjenguk Cassie.”
Kei, yang masih berada di ruang tunggu ICU, memicingkan matanya ketika melihat pesan yang terselip di buket bunga itu, “ini berada di tumpukan buket bunga, bagaimana kita tahu pasti pelakunya?”
“Sudah berapa orang yang kemari?” tanya Tika.
“Sudah lima, termasuk kalian dan semuanya membawa buket bunga. Semua bisa jadi tersangka,” gumam Kei, “Kalian juga.”
“Kei, aku dan Kak Yuna tidak mungkin menyakiti Cassie,” bantah Tika.
“Werewolf dan Serial Killer pun bisa mengatakan hal itu,” pria itu kembali menatap kertas dengan huruf-huruf yang tercetak oleh mesin ketik dan membacanya.
It has to be me who killed you. So stay alive ‘till that day comes
-SK-
“Ini milik Serial Killer, kalian jelas bukan pelakunya. Tersisa Eddy, Dion, dan Dimas,” Kei mengerucutkan kemungkinan.
“Eddy tidak mungkin juga, Han bilang justru Eddy yang memanggilkan ambulance karena aksesnya untuk menghubungi rumah sakit terblokir,” Yuna membantah kemungkinan itu.
“Benar-benar tersisa Dion dan Dimas. Ah, dahulu Dion sahabat Kak Han. Namun, tebakannya sebagai juga Seer benar. Mungkin saja dia Seer sungguhan, tetapi jika waktu itu dia berani meneror Cassie, bukankah mungkin dia sedang berbohong. Ada banyak kemungkinan. Lalu, Dimas ini … aku penasaran dengannya ….”
“Oh, Tuhan. Mengapa aku harus melindungi semuanya?” Haryo berjalan mondar-mandir di hadapan dua juniornya di dalam kantornya. Ia berhasil menangkap basah mereka kabur dari pengawasan untuk menemui Cassie.
“Ini bahkan bukan tugas kalian untuk menemui korban. Aku benar-benar lelah melindungi kalian.”
“Saya tidak pernah meminta Anda melindungiku selama ini,” kata Dimas santai.
“Saya juga, jangan bersikap seolah-olah beban seluruh dunia berada dipunggung Anda. Bapak Haryo bukanlah Atlas,” sahut Dion.
“Benar-benar tak tahu diuntung kalian berdua ini. Hidup kalian akan hancur begitu aku ungkap apa yang sudah kalian lakukan 10 tahun yang lalu, juga tahun ini.” Haryo mengertak Dion dan Dimas bersamaan.
“Kalian jangan pergi ke mana-mana. Aku harus menugaskan seseorang untuk menemui saksi utama kita, Callahan.”
Kei menghela napas dan menatap laptopnya dengan pandangan lelah.
“Tidak menemukan banyak jejak digital tentangnya. Hanya akun Facebook, Instagram, dan beberapa data tentang sekolah, pekerjaan, dan keluarga. Ayahnya juga seorang penyidik kepolisisan. Sedikit yang berhubungan dengan Han. Hanya dia memang bersekolah di akademi yang sama, Dimas adalah temannya satu angkatan,” Kei menutup laptopnya, “tidak ada yang mencurigakan.”
“Tetapi jika pilihannya hanya dua maka Dimas lah yang paling mungkin, kita harus mengeksekusinya sebelum dia bertingkah lebih jauh,” ucap Tika.
“Tidak secepat itu, sekarang aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Sebaiknya kita hubungi Kak Han sekarang, siapa tahu diskusinya sudah mulai. Ini pukul 13.00 lebih,” Kei menyambungkan layanan panggilan video dengan ponselnya. Tidak butuh waktu lama, Han menjawab panggilannya.
“Halo, Kei,” wajah Han yang kelelahan tampak di layar kaca.
“Kau tidak benar-benar harus datang kalau seperti ini, Han,” sahut Yuna dengan nada sedih.
“Ada seseorang yang harus dieksekusi hari ini, ah, aku tidak yakin apakah ini benar,” Han mengacak-acak rambutnya, bisa terbaca ia sangat frustrasi hari ini. Gejolak muncul di pikiran Kei. Jangan-jangan, kepala timnya ini sudah tahu tentang Dion dan Dimas, lalu ia berniat untuk mengeksekusi salah satu dari mereka.
“Semoga itu memang jalan yang benar, semua kegilaan ini harus diakhiri. Kita tidak bisa melihat korban jatuh lagi hanya karena dendam,” balas Kei. Tiba-tiba lonceng café berbunyi, seseorang masuk.
“Han tangkap ini,” meski dari layar kaca, Kei dapat mengenali suara itu dengan baik.
“Dimas?” Han menangkap buntalan kertas yang dilempar Dimas dan segera membukanya. Kedua matanya membaca kata demi kata yang diketik dengan mesin ketik dan mencernanya secara perlahan apa maksudnya.
Sayang sekali, aku tidak dapat membunuhmu. Ini aku kembalikan saja kalungmu. Namun, suatu saat, jika waktunya tepat, aku akan menumpaskan yang tersisa.
-SK-
“Menarik, huh? Akan menjadi lebih menarik jika kau tahu di mana aku menemukan kertas tua itu,” Dimas mendekat pada Han yang menunjukkan wajah kebingungan itu.
“Aku menemukannya di laci mantan sahabatmu itu.” Tak berselang lama, Dion datang dengan peluh yang menetes dari beberapa helai rambutnya. Bahkan ia masih mengatur napas ketika sampai di hadapan Han, Dimas, dan Sean. Dion hanya mengerlingkan matanya dan berlalu, ia kesal dengan apa yang telah Dimas perbuat, tetapi, mulutnya terlalu malas untuk membela diri.
“Duduklah, lagi pula aku tahu pasti siapa yang akan aku eksekusi hari ini. Catatan ini akan aku simpan, terima kasih bukti tambahannya.”
Diskusi dimulai pada pukul 13.58, ketika semua orang kecuali Cassie, Tika, Yuna, dan Kei sudah hadir. Han langsung memimpin jalannya diskusi.
“Selamat siang dan terima kasih sudah datang. Kita akan cepat saja dan aku akan mulai dengan tuduhanku. Malam kemarin adikku diserang oleh Werewolf dan sekarang aku mendapatkan suatu bukti yang mengecewakan. Orang yang selama ini berada di dekatku, terpaksa mengkhianatiku,” sorot mata Han tidak menunjukkan kemarahan sedikitpun, padahal itu pasti mengecewakan baginya, “dengan berat hati, aku ingin mengeksekusi Fransiscus Sean Purnama Adi.” Seluruh ruangan riuh karena pernyataan itu dan Sean hanya bisa menunduk, tidak memberikan reaksi apapun.
“Kak Han! Kau gila? Bukankah kau sendiri bilang kita harus mempercayai satu sama lain?” Kei langsung melayangkan protes.
“Pandanganku berubah sekarang,” sahut Han pendek. Yuna dan Tika hanya bisa memberikan ekspresi terkejut, tidak memberikan komentar apapun.
“Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua? Kak Sean juga, jawab aku! Lakukan sesuatu untuk membantah itu! Keluarkan alibimu.” Kei benar-benar kebingungan sekarang ini.
“Semalam aku menjaga Kei. Tidak mungkin aku menyerang Cassie,” Sean akhirnya membuka mulut.
“Itu benar! Ia terjaga semalaman bersamaku. Kak Han, kau kehilangan akalmu?” Kei membenarkan alibi Sean itu.
“Namun, aku tidak akan membantah tuduhan Han. Aku memang berada di antara lingkaran Bad Side dan Good Side,” pria itu tetap tenang, ia sepertinya sudah menerima konsekuensi dari membocorkan perannya sendiri.
“Kau Traitor?” tanya Fia.
“Bisa jadi dia hanya Tanner yang ingin menang,” tuduh Ren .
“Tidak ada Tanner di sini. Bahkan kalau ada pun akan lebih baik dari pada semua tumpahan darah ini,” kata Haryo sambil mengusap wajahnya, “Lagi-lagi kami kehilangan salah satu polisi wanita kami. Ini semua gila dan perlu dihentikan.”
“Eksekusi diriku nanti, aku mohon. Jika tidak, sekalipun semua penjahat sudah habis … ah, aku sudah membuka peranku bukan?” Sean tertawa getir, “Ini benar-benar bukanlah hidup yang aku inginkan. Terjebak dalam kejahatan tanpa daya.” Suasana kembali riuh, belum ada yang berani menyanggah maupun menanggapi.
“Apa arti semua ini? Kak Sean benar-benar bagian dari Werewolf juga? Traitor?" Kei hanya menggumamkan semua kalimat itu.
“Ini menarik, tim Han akhirnya goyah juga,” Haryo menggumam dengan diikuti seutas senyuman tipis. Ia merasakan hawa kemenangan untuk sesaat.
“Ini bisa jadi hanya akal-akalan Han karena orang yang lebih dekat dengannya adalah Serial Killer atau Werewolf,” Reevan angkat bicara.
“Aku tidak sedang berusaha melindungi siapapun kecuali kalian semua. Seseorang yang tidak seharusnya mati seperti ini. Jika aku mengetahui salah satu rekanku terlibat, jelas aku akan mengungkapnya,” Han mengelak dengan tegas.
"Bagaimana jika ternyata kau lah pelakunya?" seseorang menuduh Han dengan keras, itu Dimas.
"Jangan membuat tuduhan yang tidak masuk akal," Dion langsung menyanggah, "dia sangat menyayangi adiknya. Apakah itu masuk akal dia ingin membunuh adikknya sendiri?"
"Berhenti menuduh Kak Han dan rekanku yang lain sebagai Werewolf atau Serial Killer!" seru Sean meluapkan emosinya, "Aku yang seharusnya kalian eksekusi! Kalian tahu betapa sulitnya aku memberanikan diri untuk jujur? Ini untuk kebaikan kalian semua."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
shattingstar
WHY
2020-04-01
4