Chapter IX: The Guardians Awaken (Part 1)

“Apa yang kau dapatkan?” tanyaku pada Kei yang kini duduk di hadapanku sambil memakan beberapa buah kudapan ringan yang tersedia di atas meja tamu rumahku.

“Kualitas gambar CCTV rendah dan tiba-tiba mati menjelang eksekusi, aku tidak mendapat banyak dari itu selain kemungkinan pergerakan si Eksekutor. Dari smartphone-mu, aku merekam semuanya, untuk amannya. Jadi seharusnya kita tidak kehilangan apapun.”

“Hm, baiklah. Kau mau tunjukkan padaku?” kataku membalas penjelasannya. Ia memutar laptopnya menunjukkan rekaman yang dia ambil dari smartphone-ku. Kalaupun ia bergerak sangat cepat, setidaknya ada satu frame yang menangkap si eksekutor. Aku mengamati video itu secara teliti sambil berharap kami tidak menyia-nyiakan sebuah momen penting.

“Nah! Ini Kei! Cincin naga safir ini,” aku berteriak setelah menemukan satu frame berharga yang mungkin dapat mengidentifikasi si eksekutor, “Bisakah kita melacak siapa saja pembeli cincin ini?”

“Aku dengar cincin itu limited edition, jadi tidak akan banyak yang punya di negara ini,” balas Kei sama bersemangatnya denganku, “Seharusnya ini menjadi pekerjaan mudah. Alis terbelah, cincin langka, dan pria. Ah, sudah lebih dari cukup.” Sekarang aku hanya bisa menyaksikan rekanku bermain-main dengan ‘kekasihnya’ dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sambil memakan kudapan ringan yang ada di meja tamuku.

“Dugaanku benar dan hanya ada dua orang yang memilikinya di kota ini. Reevan Hartono dan Mario Irawan.”

“Dan mereka belum menikah sampai saat ini ….”

“Ya, Kak. Padahal tidak ada di antara mereka yang akan menikah. Untuk apa mereka membeli ini?”

“Terlalu banyak uang, tentu saja. Mereka bisa beli apapun dengan uang, bahkan keadilan juga kalau perlu. Kau masih ingat ‘kan? Lyra dan Rangga dibayar untuk membunuh. Baiklah, cari foto-foto mereka. Adakah di antara mereka yang punya luka di alis,” perintahku pada akhirnya. Dengan tertangkapnya eksekutor berarti semuanya selesai ‘kan?

“Ah, ya, sebenarnya tadi kau mau menyampaikan apa?” aku kembali bertanya pada Kei.

“Itu terkait Dimas. Aku sempat akan menghubungimu lagi tetapi ternyata Ardian masuk ke ruanganku. Untungnya hanya dia dan bukan orang lain yang hampir menangkapku basah sedang mengorek database kepolisian resor kota Anagapura,” jelas Kei.

“Tetapi kau tidak tertangkap dia kan?” Kei menggleng sebagai jawaban dari pertanyaanku.

“Baguslah, pertahankan keberuntungan itu. Jadi, ada apa sebenarnya dengan Dimas sampai kau harus masuk ke database kepolisian?”

“Baiklah, kak. Kau benar-benar tidak tahu latar belakang keluarga Ipda Dimas Mahesa?” tanya Kei masuk ke mode serius.

“Ayahnya adalah penyidik. Sama seperti ayahku. Tetapi tiba-tiba beliau dikeluarkan saat kami masih di akademi,” balasku sambil mengorek kenangan.

“Kak Han benar-benar tidak tahu alasan dan penyebabnya?” lagi-lagi Kei bertanya.

“Tidak.”

“Beliau dikeluarkan karena tindakan indisipliner dan yang melaporkan adalah ayah Kak Han sendiri!” dia menekankan kata-kata terakhir yang bethasil membuatku terkejut.

“Ayahku? Ah, aku harap bukan itu alasannya,” aku menyampaikannya dengan nada rendah.

“Bagaimana kalau memang itu?”

***

Aku menghela napas lagi untuk kesekian kalinya hari ini, “Menunggu untuk dipancing? Terdengar bodoh, Eksekutor.”

“Dengan apa kita keluar? Nekat? Aku masih ingin hidup dan menyaksikan startupku menyamai punyamu,” kata Eksekutor sambil tertawa kecil. Kami memamg membicarakan semuanya bisik-bisik, itulah salah satu celah The Watcher, mic yang ia gunakan untuk menyadap kami tidaklah sesensitif itu.

“Yah, aku juga masih ingin hidup untuk melihat Yo! Jek menjadi salah satu unicorn,” jawabku sambil tersenyum.

“Kau setuju dengan kebodohan ini?”

“Ya, Kei yang putus asa hanya akan melihat phising sebagai pilihan terakhirnya untuk mengungkap kita,” aku mengangguk-angguk, “Yah, setidaknya aku bisa menang darinya sekali ini.” Eksekutor terdiam dan melirik tawanan baru kami yang bergabung dengan sisi penjahat.

“Aku tidah bisa mempercayai ini semua,” Rico menggumam, tetapi aku bisa mendengarnya.

“Semoga dugaanmu benar, Moderator Bot. Aku tidak sabar menunggu hari kebebasan datang. Oh, ya, aku juga sudah memancing mereka dengan cincinku,” si Eksekutor memainkan cincinnya, “Aku sudah mengikuti saranmu. Han kemungkian mengamati semuanya karena hampir semua warga Anagapura tahu pengamatannya sangat tajam.”

“Dia seharusnya sedang mencoba melacak kita,” kataku.

“Seharusnya. Nah, sebentar lagi tengah malam tiba. Bersiaplah untuk mengawasi para pemain. Pastikan semuanya berjalan baik.” Ia sekarang duduk di sebelahku dan ikut menatap monitor bersama-sama.

“Aku berharap Guardian lain mulai peka terhadap siapa yang akan jadi korban malan ini.”

“Aku juga berharap hal yang sama.”

***

Aku sesekali meregangkan otot-ototku dan membolak-balik laporan yang dibuat tim penyidik yang sudah kucetak. Laporan itu memang ingin aku otak-atik lagi karena benar-benar penasaran sejauh mana mereka mendapatkan bukti dan apakah mereka jadi menyertakan bukti yang diserahkan Han padaku. Aku juga penasaran, apakah mereka masih menganggapku sebagai seorang penyidik.

Sekitarku benar-benar sunyi, tidak ada suara selain jam yang selalu berdetak. Sekarang jam 23.40, ada 20 menit lagi sebelum tengah malam dan peranku harus dijalankan. Aku harus bisa menerawang orang yang tepat, itulah alasan lainku untuk mencetak sendiri laporan itu.

“Ternyata masih banyak tersangka yang ada di sini. Mungkin karena belum direvisi lagi,” satu persatu nama yang ada di laporan itu dicoret. Betapa ironis, seorang yang muda lebih teliti dibandingkan seniornya. Tinggal tersisa 5 nama sekarang dan dua di antaranya adalah orang yang benar-benar aku curigai.

”Lihat nama-nama ini dan dari dua orang yang selalu bersaing ini, siapa yang harus aku terawang?” Benturan kecil antara bolpoin dan meja menghasilkan nada statis, beriringan dengan detak jam, mengusir keheningan di ruangan ini, anggota lain sedang makan di luar.

“Dia? Atau dia? Aku benar-benar penasaran dengan mereka.” Sesekali aku melempar lirikan pada arlojiku, sudah pukul 23.50. Masih ada 10 menit sebelum waktu habis.

“Bagaimana kalau ternyata itu hanya prasangkaku? Tidak ada satupun dari mereka yang terlibat? Berpikir cepat, Dion!” gumaman itu keluat begitu saja dari mulut. Sejurus kemudian aku sudah hendak meletakkan jari di atas satu nama. Namun, dengan cepat dan mantap berpindah ke nama lainnya.

“Semoga aku mendapat hasil yang baik dari ini.” Ketukan statis itu berlanjut, menanti respon dari Moderator. Apakah benar dia bersalah menjadi Werewolf? Suara ketukan jari kini berbaur dengan derap sepasang kaki yang memasuki telinga. Spontan aku menelan ludah, apakah dia Guardian lagi? Atau jangan-jangan Serial Killer?

Drrr … drrt ….

Pesan yang masuk membuyarkan pikiran. Segera saja aku membaca pesan itu.

Saya akan melindungimu.

H-Guardian

Ah, ternyata Guardian lain. Setidaknya aku bisa tenang sekarang.

***

“Malam ini… berhati-hatilahlah.”

Kata-kata itu terngiang di kepala Han semalaman. Tidak mungkin adiknya itu berkata tanpa tujuan. Terlebih lagi dengan kemampuan istimewanya, itu pasti berarti sesuatu. Entah Serial Killer atau Werewolf, salah satu dari mereka akan menyerangnya.

Ctak!

Satu ketukan keras di bagian enter keyboard berhasil merebut perhatian Han dari pemikiran itu pada rekannya, Kei.

“Masih memikirkan kalimat itu, kak?” Kei yang sedari tadi duduk di ruang tamu sambil mencari data lagi terkait proyek Werewolf Satria Corp.

“Masih mencari? Proyek rahasia seperti itu tidak mungkin ada di database mereka, menyerahlah,” komentar Han.

“Siapa tahu saja mereka agak ceroboh, oh, ya, aku juga sudah menyiapkan beberapa jebakan untuk moderator besok,” Kei berkata dengan tenang, lalu melirik ke ponsel Han yang diletakkan berdiri dengan kamera menghadap ke arah mereka, “jika apa kata Cassie itu benar tolong kalahkan siapapun itu. Waktu tinggal 5 menit lagi sebelum mereka menjalankan aksi.” Ia beranjak dari kursi dan pergi ke studio lukis Cassie, meninggalkan Han sendirian menanti tamu yang tak pernah ingin diundangnya.

Drrt … drrtt …

Yuna: Ini semua sudah bisa dipastikan Han. Dia memang pelakunya. Program scanku tidak bisa dikelabui. Tetapi memang motifnya belum kuat.

Han menghela napas, lalu mengetik balasan dan mengirimnya.

Aku mengetahui satu hal yang mungkin mendasari dia melakukan hal ini. Aku akan simpan untuk besok.

Jam berdetak, kini jarum panjang berada tepat di angka 12. Han merasakan udara malam Anagapura yang dingin menusuk kulitnya. Telinganya masih awas, kalau-kalau ada suara abnormal bergabung di lingkungannya.

Drrt... Drrtt...

Pesan lain masuk, kali ini hanya SMS dari nomor tak dikenal. Namun, isi pesan itu sangat penting.

Saya akan melindungimu.

A-Guardian

Ia tersenyum, kemudian melirik pada pisau dapur yang ada di dekat leher sebelah kanannya. Sesosok hitam berdiri di belakangnya. Jantungnya berdegup kencang, badannya terasa lemas dan gemetaran. Tetapi ia harus mengurangi ketakutannya dengan benda itu untuk menang.

“Rupanya kau belum bertemu dengan penjaga pintuku?” Han mengendalikan dirinya, berusaha untuk tenang.

“Mungkin dia berdiri di pintu yang salah,” orang itu mengayunkan pisau ke leher kakak Cassie, beruntung pria itu berhasil menghindar tanpa tergores sedikitpun.

“Kau gegabah,” dengan satu tarikan, Han berhasil merebut pisau itu lalu melemparnya sembarang.

“Atau dirimu yang gegabah,” lawannya tersenyum di balik maskernya dan bersiap untuk melayangkan pukul dengan batu tergenggam. Namun, Han berhasil menahan tangan yang terkepal itu, merebut batu, dan memuntirnya dengan tangan kanan. Kemudian menjatuhkan topi si Serial Killer dan menarik maskernya dengan telapak tangan kiri yang terluka.

 

Pria itu tertawa pahit selama beberapa detik sebelum ia kembali menguasai diri, “Ternyata kau selama ini ….”

 

Brak!

Pintu utama tiba-tiba terbuka, seorang perempuan sudah masuk tanpa izin membuat lawan Han terdiam dan segera melarikan diri.

“Haruskah kita telepon polisi?” orang itu memberi saran.

“Tidak, polisi tidak akan menerima laporan yang menurut mereka konyol. Aku berasumsi kau sudah melihatnya, Guardian, jadi kau tahu maksudku.” Han melirik pada pisau dapurnya yang berlumur darah di sisi tajamnya.

Lalu, menarik napas dalam dan menghembuskannya untuk mengendalikan gemetar di tubuhnya, kemudian langsung membuang muka, “Kau bisa pulang, Guardian, terima kasih. Aku hanya harus mengurus luka di tangan dan ketakutanku.” Perempuan itu melangkahkan kaki menuju pintu keluar.

“Tunggu, satu saran sebelum pergi!” si pemilik rumah menghentikan langkahnya, “Berjagalah di pintu belakang dan jangan ragu untuk masuk jika ada yang tidak beres. Jadilah Guardian seperti adikku.”

Tik! Tik!

Jarum merah tipis bergerak dua kali, membuat polisi itu menghela napas lega. Ia meyakini tidak ada serangan terjadi. Padahal di bagian belakang kantornya, Werewolf kembali melolong untuk mengubah wujudnya menjadi manusia. Sesosok pria tinggi di balik bentuk setengah serigala itu merutuki para Guardian. Tiba-tiba mereka semua memiliki kepekaan tinggi seperti seorang Guardian Utama yang sekarang sedang berhenti bermain.

“Argh, sialan kau. Lain kali aku harus memastikan dia mati!”

Pagi menjelang di Anagapura. Pukul setengah tujuh, semuanya tampak tenang dari luar, tidak ada lagi berita tentang pembunuhan dengan jejak ganjil ataupun penikaman. Namun, semua ini belum selesai bagi tim penyidik kepolisian dan tim kecil Callahan. Han duduk di ruang tamu dan mengganti balutan perban di tangannya yang sudah penuh dengan darah.

“Ini menjadi bukti yang kuat serta jelas bukan ilegal karena aku punya persetujuanmu, kak.” Kei memutar laptopnya agar Han bisa melihat dengan jelas rekaman kejadian malam itu. Dari awal penyerangan sampai tersangka kabur semuanya terekam jelas oleh ponsel Han yang dikendalikan Kei dari jarak jauh.

“Aku benar-benar puas dengan kerjamu. Ah, memang benar, mempercayai manusia hanya akan mendapat kekecewaan.”

“Orang ini berbahaya, kita harus cepat menjegal langkahnya. Masih ada 2 pekerjaan lagi, satu Werewolf dan Moderator. Aku sedang menyiapkan jerat untuk Moderator. Semoga dia tidak sepintar yang kita bayangkan,” Kei menghela napas lalu menghempaskan diri ke sofa.

“Semoga kita berhasil.”

Keributan kecil terjadi antara para penyidik khusus kasus Werewolf Game yang semalaman terjaga karena pekerjaan.

“Aku mendegar lolongan itu, padahal kita berada di tengah kota,” salah satu penyidik muda menyahut.

“Ya! Ya! Itu terdengar sangat jelas. Apakah ada dari kita yang diincar?” pria lain membalas.

“Kita aman, Ipda Dion, Pak Ketua, Iptu Ella dan Ipda Dimas yang mungkin. Kita yang di luar grup itu tidak akan diincar,” penyidik muda tadi membalas.

“Ya, kalian benar. Selagi nyawa kalian tidak terancam seperti kami, bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Jadi, apa yang kalian temukan hari ini?” Haryo masuk bersama Dimas dan menginterupsi keributan mereka.

“Selamat pagi, Pak!” para penyidik muda langsung berdiri dan memberi hormat.

“Hari ini kami mendengar suara lolongan dari luar kantor.”

“Lolongan? Ada bukti?”

“Kami semua saksinya, belum cukup, Pak?”

“Kalau begitu, kita menyisir sekitar sini. Siapa tahu dia meninggalkan jejak,” Haryo membuat keputusan yang disambut dengan anggukan pengikutnya.

Drrt … drrtt … drrrt …

Werewolf Moderator—Werewolf Game-- : Pagi ini, para warga desa dapat bernapas lega. Dion yang hendak diserang Werewolf semalam mendapat perlindungan dari Guardian. Begitu juga Callahan, ia dilindungi Guardian dari Serial Killer. Namun, permainan belum selesai ….

Haryo dan Dimas mendapat pesan yang sama dan saling bertukar pandang sejenak.

“Tidak ada korban hari ini, tetap bekerja. Kita harus menemukan otak permainan ini segera!”

“Segera! Posisi Serial Killer sudah sangat berbahaya. Hapus itu dari ponselnya … perintah The Watcher,” pria dalam remang hitam di bawah naungan topi memelankan suara saat menyebut frasa ‘perintah The Watcher’ pada rekannya yang duduk dan menatap monitor-monitor yang terpajang di dinding ruangan itu.

“Itu kesalahan si Serial Killer. Dendam itu membutakan,” sahut rekannya itu dengan berbisik.

“Siapa yang sangka kunci kita yang satu ini dengan beraninya menghadapi traumanya dan melawan balik. Tidak ada yang menyangka … bahkan untuk orang yang sudah membaca riwayat hidupnya,” pria dalam gelap itu kembali membalas dengan bisikan.

“Haruskah kita melakukannya?” semuanya menjadi hening, tidak ada bisikan. Para sandera yang masih hidup mendengarkan percakapan mereka dalam diam, berharap akan membela para Villager.

“Jika masih ingin hidup … turuti dia, mari berharap Han cukup pintar untuk menyimpan file ini di tempat yang aman di luar smartphone-nya. Nyawa kita berharga untuk menjerat The Watcher.” Perkataan itu diiringi seulas senyuman puas yang tersamarkan oleh pekatnya ruangan yang hanya di sinari 7 monitor.

Waktu terus berjalan, Han memutuskan untuk melihat-lihat sekitar Kantor Kepolisian Resort Anagapura dan Kei menyusuri jalan berukuran sedang di sekitar rumah rekannya itu, mencari jejak dengan kejeliannya. Tidak ada sesuatu yang membuat matanya melebar, kecuali satu, lampu led hijau kecil yang berkedip lemah tergeletak di sela susunan blok jalan.

“Sial, dia sudah tahu. Dia memang cerdas.”

Sementara itu, Han, dengan kaca pembesarnya, menyusuri tembok belakang kantor polisi Anagapura. Mencari jejak-jejak Werewolf yang mungkin tersisa selain dari kesaksian lisan beberapa orang yang tinggal di sekitar. Lolongan serigala terdengar di pusat kota semalam, begitu kata para saksi. Tiba-tiba ponsel Han bergetar, mennjukkan ada panggilan yang masuk.

“Ah, Kei,” ia menjawab panggilan itu, “Ada apa?”

“Tracker-nya sudah dicabut dan sepatunya tidak meninggalkan jejak. Sialan,” rekannya itu menutup laporan dengan makian.

“Bakiklah, tenang, jangan memaki lagi. Sudah perhatikan jejak debu?”

“Ya, hanya sebuah sepatu tanpa jejak sol, seperti penemuan pertama kita tentang ukuran sepatu dan itu pasti sangat licin.”

”Sekarang ukur jejak itu sebelum ada warga lain melintas lagi.”

“Ya, ini sudah sedikit rusak karena jejak ban motor. Sebaiknya aku segera melakukannya.”

“Bagus.” Han memutus panggilan itu dan tersenyum pada sekumpulan polisi yang sedang menelusuri gang kecil itu.

“Pasti ada dari mereka yang mendengar lolongan itu,” gumamnya dan kembali menelusuri gang ke arah yang berlawanan. Ia melihat satu rambut putih yang agak panjang, lalu mengambilnya dengan pinset, “Aku berharap ini bukan sekadar rambut anjing lepas yang berkeliaran malam hari.”

Kaki ramping itu melangkah terarah, sambil sesekali berhenti saat mata pemiliknya melihat satu lukisan menarik. Tidak lama kemudian, ia melangkah lagi menaiki anak tangga menuju lantai dua. Tangannya yang mungil memutar kunci perak dan mendorong pintu kayu itu lembut.

Ia melangkah sekali lagi menuju meja dengan plat nama ‘Airin Oktaviani – Kurator’, lalu menaruh tas kecilnya. Setelah itu, ia menatap keluar gedung melalui kaca besar yang ada di ruangan itu. Tugu peringatan Anagapura berupa tiga bambu runcing yang dililit naga berwarna keperakan berdiri tegak di tengah perempatan pusat kota tampak jelas dari sana karena galeri Reevan merupakan bangunan tertinggi di jalan itu.

“Aku harus bersyukur untuk pagi yang tenang ini. Semoga semuanya selesai dengan cepat dan mungkin aku harus mengunjungi Cassie. Ah, nanti setelah diskusi. Sekarang bekerja! Aku harus menjual banyak lukisan!” dengan semangat, Airin keluar dari kantornya dan menuju ruang kerja atasannya, Reevan.

“Permisi, selamat pagi,” perempuan itu masuk dan tersenyum.

“Selmat pagi, Airin. Sudah datang rupanya,” Reevan menyahut dengan senyuman juga.

“Ya, oh, lili kuning lagi?” mata Airin langsung tertuju pada bunga lili kuning yang tertata rapi di vas meja atasannya itu.

“Ya, ini cocok untuk ruanganku yang berwarna kuning terang,” Reevan membelai bunga itu perlahan dan mendekati Airin, “Baiklah, mari bersiap membuka galeri sekarang.”

Sementara itu, di laboratorium forensik, Han kembali menemui Tasha.

“Rambut lain?”

“Ya! Ini satu-satunya Werewolf yang tersisa. Kalau dia setengah serigala pasti ada sisa DNA manusianya.”

“Apakah rambut ini belum pernah kita uji?”

“Ini putih bersih, sebelumnya warnanya abu-abu dan cokelat abu. Sean dulu pernah bilang bahwa warna rambut ketiga Werewolf itu berbeda.” Kalimat itu disambut anggukan oleh si dokter forensik.

“Entahlah, mungkin kepolisian pernah menemukan yang putih dan masih tahap uji … tetap saja, kami akan mengujinya. Terima kasih, Kak Han.”

“Aku bisa menjamin ini yang terakhir dari kasus ini dan mengungkap dua kasus sekaligus. Jadi, semangatlah,” Han memberi semangat dan tersenyum.

“Senang mendengarnya. Pasti kau sudah mendapat bukti baru untuk menjerat penjahat lain, ‘kan?” pernyataan Tasha disambut anggukan dari Han.

“Senua buktinya sudah terkumpul, tinggal aku susun untuk nanti siang.”

“Bagaimana keadaan Cassie sekarang?” tanya Tasha lagi.

“Dia semakin membaik. Kemungkinan nanti sore dia bisa keluar dari ICU dan permainan ini bisa selesai tanpa ada korban,” balas detektif itu.

“Bagaimana keadaanmu, kak? Aku bahkan belum sempat bertanya karena kau sangat semangat menjelaskan penemuanmu,” dokter itu kembali bertanya.

“Aku baik-baik saja,” Han berhenti sejenak dan menangkap Tasha menatap telapak tangan kirinya yang dibalut perban,

“Ya, kecuali yang itu, tetapi tidak mengganggu banyak. Baiklah, aku akan melanjutkan kegiatan hari ini, semoga bisa selesai dengan cepat ….”

“Paling cepat nanti malam, karena kemungkinan kami sudah punya bukti ini, akan kami usahakan.”

“Baiklah, terima kasih. Aku akan pergi menemui Kei,” Han berbalik badan.

“Bukankah dia sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit? Lalu, kemana dia sekarang?”

“Luka hantaman batu itu membuatnya harus sedikit mengubah gaya rambutnya,” jawab Kak Han sambil berlalu.

Drrt … drrt …

Ponsel mereka bergetar bersamaan dan menampilkan pesan yang sama.

Werewolf Moderator -Werewolf Game-: Siang hari, pemain dipersilakan berdiskusi siapa Werewolf atau Serial Killer-nya. Diskusi selesai pada pukul 3.55 sore dan eksekusi akan dilaksanakan setelah vote selesai. Kalian memiliki waktu 5 jam mulai dari sekarang.

“Diskusi akan segera di mulai. Aku harus segera menjemput Kei. Sampai ketemu lagi di Moonglade nanti.” Han menuju mobil Kei yang ia bawa untuk sementara dan langsung mengendarainya menjauh dari laboratorium itu.

Waktu berlalu, matahari kini berada tepat di kepala para makhluk bumi. Beberapa pekerja Moonglade Cafè menyingkirkan meja kusrsi serta menggelar karpet di lantai. Tanda 'Open' ditutupi dengan tulisan ‘Reserved’. Beberapa pelanggan setia cafè itu berdecak ketika melihat itu. Tetapi itulah perintah dari owner Moonglade. Tengah hari, cafè hanya boleh diisi oleh para pemain Werewolf Game sampai kasus itu selesai sepenuhnya.

Klinting!

“Selamat siang,” sebuah suara menyapa para pekerja itu. Dua pria sudah berdiri di depan pintu. Seorang berambut sedikit gondrong, yang lain menutupi kepalanya dengan topi.

“Selamat siang, Anda bisa langsung duduk dan memesan sesuatu jika berkenan,” seorang pelayan pria menyambut mereka.

“Terima kasih,” sahut pria itu lagi, “Ah, owner Moonglade, Mario Irawan, belum kembali juga?”

“Belum.”

“Baiklah kalau begitu.” Pria dan temanya itu duduk di seberang jendela kaca cafè.

“Tidak ingin melepas topimu, Kei?”

“Lukaku akan terlihat. Itu buruk, Kak,” sahut Kei sambil mengeluarkan laptopnya dari tas.

“Baiklah, terserah kau. Aku akan menghubungi Yuna agar membawa bukti itu,” Han menghubungi Yuna dengan ponselnya.

Klinting!

“Oh, itu Kak Yuna!” Kei menepuk lengan Han.

Pria itu segera mengurungkan panggilan dan menyambut tunangannya itu, “Sudah yakin dengan data itu?”

Yuna menangguk dan duduk di sebelah kanan Han,“Aku merasa sedih dengan kenyataan ini. Dia dahulu satu akademi denganmu ‘kan?”

“Ya, kami sempat belajar bersama. Tidak kusangka dia akan berbuat sejauh itu,” tangan Han mengepal, menyalurkan seluruh kemarahannya.

“Pertama, aku harus membuat bedebah itu berbicara tentang bagaimana dia menyembunyikan ini semua selama 10 tahun. Bagaimanapun caranya.”

“Jika dia bersikeras untuk tidak?” Kei bertanya.

“Keluarkan semua bukti yang kita miliki. Semua kertas-kertas ini, video yang kita dapatkan tadi malam, ah, sudah lebih dari cukup untuk menjeratnya dan mempermalukan Haryo habis-habisan,” Han mengeluarkan seulas senyum licik.

 

“Para warga yang lain? Apakah mereka mau percaya kebenaran ini? Dia dipandang sebagai polisi yang baik selama ini,” giliran Yuna berkomentar.

 

“Jika tidak pun, mereka akhirnya harus mau mengakui itu. Oh, ya, kalian mau pesan sesuatu?”

***

CCTV yang terpasang di cafè itu menunjukkan baru Han, Kei, dan Yuna yang datang. Padahal sekarang sudah pukul 12 siang lebih 5 menit.

“Kemana yang lain?”

 

“Kau tahu benar ‘kan tidak semua orang bisa pergi tengah hari di hari kerja? Apalagi mereka terserak di seluruh penjuru Anagapura,” Rico lagi-lagi berkomentar.

 

“Yah, kau benar, tetapi kemarin banyak yang datang. Bahkan hampir semua. Sekarang waktunya istirahat atau berganti shift, kalau di cafè dan kantorku,” kataku membela diri.

“Serius, mengapa juga kau memil-“

 

“Itu bukan permainan pilihanku. The Watcher sudah merancang semuanya. Harus berapa kali aku bilang?” Rico terdiam dan mendengus.

 

“Patnermu pergi lagi?” tanya Freya.

“Ya, dia harus pergi di jam-jam tertentu agar tidak mencurigakan. Tengah hari sampai nanti jam 3 sore dia akan ada di kantornya, tetapi tidak dapat bertemu keluarganya. Sudah biasa, memang The Watcher yang merancang ini semua. Ah, kekuatan uang ….” Aku menunduk dan rasa penyesalan kembali menyusupi hatiku. Zico hanya menggeleng-geleng mendengar semua ceritaku.

“Tetapi kabar baiknya, sepertinya Han mendapatkan bukti kuat untuk menangkap si Serial Killer yang tiba-tiba jadi bodoh itu.”

“Bagaimana kau tahu?” tanya Zico penasaran.

“Aku meretas semua smartphone pemain,” aku mengetukkan kuku jari telunjukku pada satu monitor yang menampilkan beberapa interface smartphone beberapa pemain, “kau ingat ‘kan?” Dia menangguk dan mengeluarkan ‘oh’.

“Kembal ke monitor CCTV Moonglade, ah, beberapa orang mulai berdatangan. Aku kira aku harus mengotori tanganku hanya karena ada seseorang yang golput untuk ketiga kalinya karena tidak tahu apa-apa. Baguslah, mereka masih mengganggap ini serius.”

***

“Baiklah, apakah masih ada yang akan datang lagi? Selain orang-orang yang izin di grup,” Haryo memulai diskusi hari itu. Semua orang mengabsen kelompok relasinya, siapa yang belum datang, siapa yang memang tidak datang.

“Sudah dipastikan?” tanya penyidik berpangkat AKP itu. Para pemain tersisa mengangguk, sudah dipastikan semua orang datang.

“Baiklah, saya mulai saja. Selamat siang semua, dengan ini, saya AKP Haryo Kurniawan. Akan membuka sesi diskusi hari ini,” diiringi dua kali tepukan, keriuhan yang tadinya seakan terkunci, terbuka kembali.

“Saya akan mulai dari pihak kepolisian yang menemukan beberapa rambut hewan mamalia. Diduga itu milik Werewolf, karena salah satu dari anggota penyidik, Ipda Dion Erlangga, akan diserang. Tetapi, gagal karena dilindungi Guardian,” lanjut Haryo.

 

“Ya, siapapun itu Guardian-nya. Saya berterima kasih. Sekarang, beberapa dari kalian mungkin sudah menebak peran saya dengan benar. Jadi, semalam aku menerawang Fajar,” kalimat itu terpenggal. Para pemain mulai menebak-nebak apa hasil terawangan itu.

 

“Dia bersih. Hanya warga. Bukan Werewolf, ataupun Serial Killer,” lanjut Dion. Pernyataan itu membuat pemain lain mulai menyebutkan nama lain yang mungkin bersalah.

“Kalau begitu izinkan saya melemparkan sebuah tuduhan ke salah satu penyidik. Saya akan menjabarkan bukti yang kami dapat tentang Serial Killer,” Han kembali membelah keramaian, seperti biasa. Para pemain menanti siapa yang akan dituduh Han.

“Sepuluh tahun yang lalu, kejadian seperti ini pernah terjadi dengan pola pembunuhan sama namun bukan berantai. Hanya dua korban, tetapi terornya berlanjut sampai beberapa minggu kemudian. Ini kertas yang ditemukan adik saya,” Han mengangkat tinggi-tinggi kertas bertuliskan kata ‘balas’,”Kalian sudah melihat ini semua kemarin ‘kan? Bahkan ada seseorang yang sangat yakin kalau tulisan ini bukan miliknya sampai melakukan reka ulang.” Tidak perlu gestur tubuh berarti dari Han, para pemain langsung melempar tatapan mempertanyakan pada satu orang, Ipda Dimas Mahesa.

“Sekarang, aku akan menyusun ketujuh kertas ini dengan urutan tanggal yang ada di belakangnya,” ucap Han sambil menyusun lembaran kertas kecil-kecil itu menjadi sebuah kalimat tak sambung.

“Tidak bisa dianggap sebagai sebuah kalimat,” komentar Greta.

“Memang, memang,” Kei menangguk menanggapi komentar itu,”tetapi setiap kata-kata adalah kunci.” Ketujuh kertas itu disusun menjadi ‘Balas’, ‘Kembali’, ‘10’, ‘Dendam’, ‘Tenar’, ‘Mantan’, ‘Akademi’.

“Lalu, bagaimana kau yakin itu adalah ulahku? Ada kata ‘Mantan’ bisa saja itu Juni atau ‘10’ bisa jadi itu Dion, dia menguntit adikmu sampai dia ketakutan berujung sebuah kecelakaan yang mengakibakan cedera yang lumayan berat.”Kini semua mata berpindah menatap Dion dan mulut para pemain mulai menggunjingnya karena kata-kata Dimas. Han tidak membantah semua yang dikatakan Dimas, itu semua ada benarnya.

Ia malah tersenyum kemudian, “Aku belum bilang aku menuduhmu, para pemain lain yang bilang. Kau sudah membela diri tadi, respon dari rasa takut. Apa itu memang dirimu?”

“Kemarin kau menuduh-“

“Cukup Dimas, teruskan penemuanmu, Han,” Haryo menegahi.

“Baiklah, terima kasih, AKP Haryo Kurniawan. Kemarin sudah diadakan reka ulang. Yuna memegang hasil yang tak terbantahkan lagi. Silakan, Yuna,” kini Han mempersilakan tunangannya berbicara.

 

“Saya akan mulai. Selamat siang, saya akan menunjukkan bukti identifikasi tulisan tangan. Saya sudah mengirim file berbentuk pdf ke grup. Silakan dilihat,” ponsel para pemain berbunyi dan bergetar.

 

“Mau sekeras apapun dia berusaha menyangkal bentuk tulisannya, hasilnya tidak akan berubah. Itu memang tulisan Ipda Dimas Mahesa, tanpa keraguan,” lanjut Yuna.

“Selama ini, orang yang saya cari ternyata ada tepat di bawah hidung saya. Anda mau bukti lain lagi yang lebih akurat? Kei, kirimkan,” Han tidak memberi jeda seorangpun untuk menyela walau sekadar berkomentar. Ia sangat marah dan semuanya harus ia lampiaskan saat ini.

“Video yang ada di sini direkam menggunakan smartphone Kak Han yang aku kendalikan dari satu ruangan. Sudah ada persetujuan, jadi ini legal. Namun, paginya, video itu terhapus dari smartphone Kak Han secara tiba-tiba. Saya sudah lama mencurigai si moderator meretas smartphone kalian semua. Beruntung saya mem-backup-nya. Ah, sudah terkirim, silakan dilihat baik-baik,” Kei membuat ponsel para pemain bersuara sekali lagi. Semua yang ada di sana menyaksikan video perkelahian Han dengan Serial Killer yang berakhir dengan terkuaknya identitas pembunuh berantai itu.

 

“Aku tidak perlu mengorbankan diriku untuk menyeretmu. Hah, kau bodoh sekali,” Dion menertawakan Dimas yang sudah tertangkap basah sekarang, “dan AKP Haryo Kurniawan, bagaimana lagi Anda akan menyelamatkan wajah Anda?”

 

“Dion, selama ini kau tahu?” Han berseru.

“Sebenarnya iya, Pak Haryo ini benar-benar totalitas menutupi kesalahan kami semua. Bahkan untuk kasus separah Dimas,” balas Dion.

“Kau harusnya memberitahukannya padaku. Mengapa kau tidak?”

“Apa kau pernah mendengarkanku sebelum kasus ini, Han? Ah, harusnya kita bekerja sama seperti semula.” Dion berdecak kesal. Tetapi ia puas bisa mengungkapkan apa yang ia pendam selama ini.

“Kita bicarakan ini nanti. Sekarang, masih ada bukti lagi,” Han mengeluarkan sebelas sketsa TKP yang dibuat Cassie, gambaran Serial Killer masing-masing milik Cassie dan Atha, serta foto cetak TKP.

 

Ia mengambil sebuah sketsa TKP dan menunjukkannya pada para pemain, “Ini adalah sketsa yang dibuat Cassie 10 tahun yang lalu. Saat orang tua kami dibunuh oleh seseorang.

 

Ia mengambil salah satu sketsa TKP kasus yang sekarang dan membandingkannya dengan 10 tahun lalu.

“Pola tusukan yang sama, tetapi beberapa dipukul dengan batu bata karena adanya potensi menyerang kembali,” Kei menyahut, “Seperti saya.”

“Katakanlah aku seorang Serial Killer-nya dan memakai pola yang sama. Apakah itu jaminan kalau aku juga yang melakukan pembunuhan 10 tahun lalu?” tanya Dimas menantang.

“Heh, ternyata benar. Orang menjadi bodoh kalau sudah panik. Semuanya sudah jelas, Ipda Dimas,” Kei membalas dengan penekanan, “dan kau juga yang mencoba untuk membunuh Cassie 10 tahun lalu dengan mencuri kalungnya. Surat yang kau bawa sendiri ke Kak Han dan kartu yang terselip di buket bunga untuk Cassie yang kau bawa bersama Dion. Semuanya ditulis dengan mesin ketik, seperti tanggal yang ada dibelakang pesan rahasia itu.”

“Kalian punya alasan apa yang membuatku menjadi tersangka? Aku tidak ada alasan juga untuk membantai orang tuamu,“ balas Dimas membela diri lagi.

“Ayahmu alasannya. Dahulu beritanya ada di mana-mana, terutama koran lokal. Indisipliner, pembelokan kebenaran sebuah kasus pemerkosaan karena suap. Lucunya, saat itu ayahku yang melaporkan itu. Bukankah mungkin kau melakukan ini, mengingat kau dulu agak menentangku?” Han menjabarkan penemuannya.

 

“Dari mana kau tahu? Kalian melanggar perjanjian? Menggali informasi pribadi?” Dimas menyerang.

 

“Tidak juga,” detektif swasta itu menunjukkan lembaran screenshot portal berita dan potongan koran lama yang ia dapat dari gudang. Ternyata ayahnya menyimpan semua berita ini.

“Mau bukti yang lebih akurat? Saya bisa mengajukan seorang saksi lagi, selain Kei tentunya. Allana,” Han melemparkan kesempatan berbicara pada seorang wanita yang malam kemarin berhasil mengusir Serial Killer.

“Ya, saya melihat Anda malam itu,” wanita itu mengangkat tangannya yang mengacungkan dua jari, tanda sumpah dengan tinggi, “ aku tidak berbohong. Saya sempat ingin melaporkanmu ke polisi, tetapi Kak Han mencegahnya. Ia tahu itu tidak akan berguna. Saya ada di video itu, bisa dilihat. ”

“Nah, Semuanya sudah jelas mengarah ke dirimu. Mau kabur ke mana lagi, Dimas?”

“Kau memaafkanku? Aku kira tidak akan. Itu kesalahan yang besar,” Dion kini duduk di sebelah Han setelah diskusi selesai.

“Aku memaafkan atau tidak sebenarnya tidak berpengaruh apapun pada Cassie. Selama dia belum bisa memaafkanmu dan melepaskan masa lalunya, tubuhnya akan bereaksi seakan kau monster,” balas Han, sambil menatap satu persatu pemain yang pergi. Diskusi berakhir dan Han telah menggenapi ancamannya pada Haryo 10 tahun yang lalu. Sekarang kepolisian menjadi pembicaraan besar diantara pemain karenanya.

“Aku memang monster, 10 tahun lalu. Aku menyadarinya. Sekarang, ada apa? Mengapa kau menahanku?” tanya Dion balik.

“Aku akan menginterogasimu sekarang. Terkait Dimas dan Haryo. Sejak kapan kau tahu?” Han bertanya sekarang.

“Sejak aku bekerja dibawah Haryo. Dia tahu masa laluku dan bagaimana kecelakaan itu terjadi. Dia tahu aku meneror Cassie, tetapi ia memilih untuk menutup kasus itu karena tahu aku akan bekerja bersamanya. Dia sering kali mengomel betapa besar kesalahan Dimas serta mengatainya pembunuh ketika anak itu berlaku seenaknya. Dia memang menyembunyikan kesalahan kami. Ia mengorbankan dirimu yang akan ditempatkan di tim penyidik kasus kekerasan kedua. Yah, sejak aku menyadari ketidakberesan ini, keputusanku untuk menjauh dari Pak Haryo menjadi kuat. Aku sekarang menjadi penyidik yang tidak pernah diakui keberadaannya karena itu. Sebenarnya juga, aku mencoba memberitahumu beberapa kali saat kita bertemu. Sayang sekali, kita selalu bertengkar,” Dion bercerita secara runtut. “Kau tidak bersama mereka ‘kan?” kakak Cassie itu bertanya dalam nada rendah.

“Tidak, aku kemari dengan mengendarai motor sendiri. Kau mau menyerahkan salinan bukti?” tebak penyidik itu.

“Ya, serahkan ini langsung pada Kapolres. Katakan pada beliau ‘Divisi Reserse Kriminal sudah tidak bisa diselamatkan lagi.’ Aku harap beliau tidak buta dengan hal ini seperti para bawahannya.”

Tidak begitu jauh dari cafè Moonglade, Airin dan Reevan masuk ke toko bunga Little Garden bersama dengan Helsa.

“Rasanya baru tadi pagi Anda kemari,” kata Helsa menyambut mereka.

“Ya, memang, aku mengantar Airin membeli buket bunga,” jawab Reevan.

“Ah, tidak, tepatnya dia yang ingin membeli buket bunga,” Airin tersenyum, mencoba mengkonfirmasi jawaban yang benar.

“Baiklah, kali ini Anda ingin apa?” tanya Helsa sambil brrsiap merangkai bunga.

 

“Lili kuning, orang ini akan sangat senang menerima bunga itu. Dia tahu itu dariku.”

 

“Tidak bisa, aku harus melakukan itu lagi. Mereka semua sangat mengenaliku jika seperti ini, kau juga Kei. Aku harus bertemu temanmu itu,” Han kali ini berbicara pada Yuna di jok belakang mobil Kei.

“Waktunya Han, dan bahaya … Han …,” Yuna mencoba mencegah tunangannya itu bertindak lebih jauh.

“Aku harus menghentikan permainan gila ini secara langsung, whatever it takes, whatever it cost. Even it means to sacrifice my own life.”

“Han, pikiranmu benar-benar kalut. Pasti karena ternyata rekanmu dahulu pelakunya. Hentikan pikiran-pikiran itu,” Yuna mencoba menenangkan Han.

“Aku serius, itu akan lebih baik daripada membiarkan semua kekacauan ini berjalan tanpa ada hentinya. Lagipula, Yuna, ini bukan pertama kalinya. Tenanglah, aku tidak akan melakukan hal ceroboh,” Han berhasil memenangkan Yuna dan membuat psikolog itu setuju.

“Baiklah, Kei, bersiap. Aku akan memberikan petunjuk jalannya padamu,” perempuan itu menyerah dan menunjukkan jalan ke suatu tempat. Setelah berjalan selama sekitar 13 menit, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah hijau muda berpagar hijau tua.

“Nah, sudah sampai. Nanti aku akan berbagi tugas dengannya, agar cepat. Sebentar lagi aku harus kembali ke klinik,” Han mengangguk dan membukakan pintu agar Yuna keluar lebih dahulu. Perempuan itu mengetuk pintu dan menyampaikan maksud kedatangannya secara singkat.

Perempuan lain yang diajak bicara oleh Yuna tampak mengangguk paham dan mempersilakan tamu-tamu itu masuk. Rupanya dia adalah perias teater dan sudah pernah diminta Han membuatkan riasan penyamarannya.

“Seseorang berusia sekitar 40 tahunan dan pedagang cilok, ah, kau pasti pernah melihat seseorang seperti itu. Lalu luka tanganku bisa disembunyikan dengan sarung tangan dan mungkin aku harus memakai topi,” Han memberikan deskripsi peran apa yang akan dimainkannya. Ia bahkan sudah berganti pakaian dari turtleneck abu-abu dan jeans hitam menjadi kaus putih yang dipasangkan dengan celana kain agak lusuh, totalitas.

“Ah, aku akan meminta tetanggaku meminjamkan gerobaknya padamu. Sekarang ia sedang istirahat,” sahut si perias, “Bagaimana dengan anak muda itu? Ah, tampangnya sudah cukup ceroboh untuk menjalani perannya.”

“Aku ceroboh?” Kei langsung menengok ke arah si perias dengan tatapan tidak terima.

“Buat dia jauh lebih muda dari umurnya, seorang polisi baru yang amat sangat ceroboh sampai berani menabrak Kapolresnya. Kau bisa ‘kan Yuna? Lukamu akan tertutup topi cap polisi, tenang saja,” kata Han, “dan terlebih, tidak semua orang tahu kau habis potong rambut sangat pendek. Baiklah, tidak ada waktu banyak. Mulai bekerja. ”Ajaibnya, hanya dibutuhkan waktu tiga puluh menit untuk mengubah total karakter mereka.

“Setelah pekerjaanmu selesai langsung lanjutkan perangkap putus asamu itu, berjaga jika aku tidak dapat mendeteksi Eksekutor itu. Ah, sebelumnya, aku mau bertanya apa kau pernah bermain teater secara profesional, setidaknya ekstrakulikuler teater?”

Kei menggeleng untuk pernyataan Han, “Aku hanyalah seorang budak medali, dahulu. Tetapi aku bisa mengendalikan gesturku untuk menjadi orang lain.”

“Baik, satu peraturan untukmu. Jangan berbicara pada tim penyidik, mereka mengenali suaramu. Kau harus menjadi belut di dunia nyata juga.”

Terpopuler

Comments

Ayunina Sharlyn

Ayunina Sharlyn

panjang yaaa

2020-07-03

3

KimJiyeong

KimJiyeong

dah lah gausah berkelit lg

2020-05-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!