Aku berkali-kali mengerjapkan mataku dan, yah, kali ini aku sudah sadar sepenuhnya. Kalau bukan karena cahaya matahari yang masuk tanpa izin itu bagaimana bisa aku bangun dan menyadari aku tidak berada di tempat yang seharusnya. Otakku benar-benar belum dapat mengingat apa yang terjadi semalam sehingga aku berakhir tertidur di kamarku. Seingatku, aku ada di studio melukis dan menyelesaikan potret wajah ke 12 dan aku menerima sebuah pesan. Baiklah, ini aneh biasanya aku bisa mengingat dengan baik, apalagi Kak Han tidak membangunkanku sama sekali.
Aku menatap jam yang terpasang di dinding, “Hah? Jam setengah tujuh?” Segera saja aku keluar dari kamar untuk kembali ke studio melukis.
Namun, mataku tak sengaja melihat sesosok perempuan berambut pendek di dapur yang memakai kaus putih bercetak bunga dan dipadukan dengan celana pendek, “Kak Yuna? Sejak kapan?”
“Kau sudah bangun Cassie? Aku kira kau akan tertidur lebih lama,” Kak Yuna menatapku dan tersenyum lembut, ketulusan terpancar di wajahnya. Yah, tentu saja, pria mana yang tidak akan jatuh pada Kak Yuna yang memiliki hati setulus itu? Kak Han memang beruntung.
“Malah seharusnya aku tidak tertidur. Hm, mana Kak Han? Aku tidak melihatnya sejak aku bangun,” aku mencoba mencari-cari Kak Han.
“Dia langsung pergi ketika aku sampai. Ia sangat terburu-buru sepertinya,” cerita Kak Yuna sambil melanjutkan masakannya. Aku hanya menggumam dan melangkahkan kaki ke studio melukis untuk mencari smartphone-ku. Namun, benda itu lenyap seperti keberadaan Kak Han.
“Bagaimana bisa ini terjadi?” Dengan gontai, aku kembali pada Kak Yuna.
“Apakah ada yang salah, Cas?” ia menghampiriku dan memasang wajah khawatir.
“Smartph-“
Drrt… drrt… drrt… drrt
“Sebentar,” Kak Yuna berlari untuk mengambil smartphone-nya, “grup aneh ini….”
“Werewolf Game, Kak Yuna juga masuk grup itu?” aku memastikan. Ia mengangguk pelan, selanjutnya aku mencoba mengintip pesan-pesan yang masuk di grup itu.
“I-ini tidak mungkin ‘kan?” ia menutup mulutnya dan matanya melebar.
“Korban baru?” tanyaku masih penasaran.
“Orang-orang di sini bilang korban di permainan ini meninggal sungguhan, termasuk rekanku,” Kak Yuna memelankan suaranya dan mencoba tenang, “inikah alasan Han tidak memberitahuku ke mana dia sebenarnya pergi?”
“Tetapi biasanya Kak Han memberitahuku tentang kasus terbaru, seandainya saja aku tidak tertidur semalam. Sekarang saja aku kehilangan smartphone-ku, sial,” rutukku dengan nada rendah lalu menghela napas. Aku kembali berpikir apa yang sebenarnya terjadi semalam, kalau aku hanya tertidur tidak mungkin Kak Han sampai meminta Kak Yuna menjagaku.
“Kak Yuna.”
“Hm, ada apa?”
“Apa Kak Han berkata sesuatu tentang keadaanku sebelum ia pergi?” tanyaku penasaran.
“Kau benar-benar lupa? Dia bilang semalam kamu tiba-tiba pingsan di studio lukis. Sebenarnya kau sudah terbangun beberapa detik, tapi kembali tidur mungkin karena kelelahan. Oh, ya, bagaimana sekrang? Kau merasa lebih baik ‘kan?”
“Aku baik-baik saja, kak,” aku menghela napas dan mencoba memanggil kembali memoriku semalam. Pingsan? Bagaimana bisa? Apa yang aku lakukan? Apa aku melihat kamera? Aish, tidak, itu mustahil, di rumah ini tidak ada kamera. Lalu apa? Apa mungkin karena pesan yang aku terima semalam? Bagaimana bisa aku tidak ingat kalau aku harus tetap bangun dan menyelesaikan lukisan?
“Kamu punya fobia lain selain kamera?” tamya Kak Yuna perlahan. Aku menatap tunangan Kak Han bingung.
“Han bilang kamu pingsan bukan karena kelelahan. Apa mungkin kamu fobia pisau juga, Cas?” ia menatapku iba seakan-akan aku adalah anak kucing yang baru terjatuh dari lantai 100 Burj Khalifa.
“Tidak, kalau aku fobia pisau juga bagaimana kita akan makan?” balasku sambil terus berpikir.
Tiba-tiba aku mendapat suatu ide, “Kak Yuna, tolong hubungi Kak Han sekarang. Aku harus menyusulnya.”
“Cassie, kau serius?” Kak Yuna tampak ragu.
“Ya, tentu saja!” seruku sambil melanjutkan langkahku ke studio melukis dan mengambil buku sketsa.
***
Kriiing… krriiing
Yuna? Ada apa dia menghubungiku?
“Kak Han, angkat dulu teleponnya,” Sean berkata di sampingku.
“Baiklah, aku permisi dulu,” kataku sambil menjauhi TKP.
“Halo, Yun-“
“Kak Han, sambungkan panggilan ini pada Kei.”
Aku terbelalak ketika aku menyadari, suara siapa yang ada di ujung sana,“Cassie? Kam-“
“Kak, cepatlah, aku tidak punya waktu lagi,” ia mendesakku.
“Baiklah, baiklah!” aku langsung menyerahkan panggilan itu pada Kei dan lelaki muda itu tampak mengirimkan sesuatu pada Cassie.
“Ini, kak, kukembalikan. Dia sudah memutus sambungannya,” kata Kei sambil menyerahkan smartphone-ku. Tak lama setelah itu, iring-iringan mobil polisi datang kemari. Kei menepuk jidatnya, memasang wajah kesal, dan merutuk.
“Kei, kau tertangkap?” tanyaku karena melihat sikap anehnya.
“Ini lebih buruk,” ia tiba-tiba membawa laptopnya dan berlari menuju mobil. Aku masih berpikir tentang kata-kata Kei. Apa yang ia maksud dengan kejadian yang lebih buruk daripada ia tertangkap?
“Bagaimana ini, Cassie…,” Kei mengacak rambut ikalnya kesal karena Cassie sudah telanjur pergi dan lebih nekatnya lagi, dia memakai motor Kak Yuna padahal kemampuannya mengendarai motor sangat minim.
Ia merutuki diri, “Mengapa aku menjadi bodoh sesaat tadi?” Dari balik kaca mobil, ia bisa melihat iring-iringan pencari berita memasuki gang rumah korban.
“Baiklah, Kei, sekarang terima hukuman atas kebodohanmu,” monolognya, “sekarang lakukan seperti nama tengahmu, Kei, tenang… pikirkan solusi yang aman untuk kita semua.” Tiba-tiba suatu ide terbesit di pikirannya karena melihat helm di jok belakang.
“Bagus Kei, kau memang beruntung dan cerdas!”
***
Aku beruntung hari ini, jalanan lumayan sepi jadi aku merasa aman untuk saat ini.
“Cassie!” aku melihat seseorang berlari dan memanggilku.
Aku mengarahkan motorku untuk menghampiri dia, “Kei ada apa?”
“Aku pinjam motormu,” katanya cepat, “kita langsung ke TKP ke dua dan kamu harus ikut aku.”
“Mengapa aku harus ikut kamu?” tanyaku bingung.
“Di sana kamu bisa lebih tenang dari pada di sini dan kita akan menjadi yang pertama di sana,” jelas Kei sambil mengatur napasnya.
“Aku paham arah pembicaraanmu, baiklah, kamu saja yang mengemudi,” aku mematikan mesin dan turun dari motor Kak Yuna.
Kei mengambil alih kemudi motor itu dan menyalakan mesinnya, “Ayo naik.” Aku segera naik dan mengeratkan pegangan pada jaket Kei. Pikiranku menjadi tenang sejenak karena semilir angin yang menerpa wajahku. Sudah lama aku tidak merasakan angin menerpa saat naik motor karena aku dan Kak Han sama-sama sibuk.
“Kamu suka?” tanya Kei.
“Hm, iya,” jawabku senang.
“Nikmati perjalanan sebelum kita sampai di sana….”
“Arkana? B-bagaimana bisa dia?” aku duduk bersimpuh di ambang pintu kamar korban kedua hari ini, temanku sendiri Arkana. Perlahan kugoreskan pensil di atas buku sketsa dan mengamati tiap detail ruangan itu. Aku mencoba untuk menata kembali lembaran memori buruk yang tayang tanpa di minta.
“Posisi pisau sama… aish, sudah Cassie, kembalikan pikiranmu!” aku mengetuk-ketuk pensil ke kepalaku agar pikiranku tidak melayang ke mana-mana. Aku harus mengendalikannya.
“Cassie… kamu….”
“Aku baik-baik saja, Kei,” balasku tanpa menoleh.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi, waktu kita tinggal sebentar lagi. Mereka mulai menuju kemari,” Kei memperingatkanku. Aku hanya mengangguk dan mempercepat kerjaku.
“Aku mohon temukan pelakunya, berapapun bayaran yang kalian inginkan akan kami penuhi. Kami tahu kalian lebih terpercaya dibandingkan polisi,” aku melihat ibu Arkana memohon-mohon pada Kei. Ia tersenyum tipis dan mencoba untuk menenangkan ibu Arkana. Kasus ini benar-benar menghancurkan hari banyak orang.
“Cassie, apa kamu sudah selesai? Mereka akan sampai ke sini 15 menit lagi,” Kei lagi-lagi memperingatkanku.
“Sedikit lagi,” sahutku sambil menyelesaikan beberapa detail. Mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang menarik, “Kei, potongan kertas itu ada lagi. Ini berhubungan dengan Werewolf Game lagi?”
“Ya, memang kasus ini berhubungan, kamu tidak tahu?” tanya Kei heran.
“Smartphone-ku dibawa Kak Han. Aku tahu ada korban baru dan salah satunya adalah rekan Kak Yuna, tetapi aku tidak tahu Arkana juga menjadi korban,” jawabku sambil berdiri dan menerima plastik zip dari Kei. Perlahan aku mencoba menuju ke sisa kertas itu tanpa meninggalkan jejak baru dan mengambil bukti baru itu.
Aku berhasil mengambil potongan kertas itu, “Ayo kita pergi.”
***
“Anak itu kadang-kadang memang tidak terduga,” Han menghela napas dan mencoba menghubungi Kei.
“Mungkin karena IQ-nya terlalu tinggi jadi kita tidak dapat menebak tingkahnya,” celoteh Sean sambil mengedarkan pandang, siapa tahu Kei masih berada di sekitar sana.
“Jangan-jangan dia tertangkap?” pria 31 tahun itu melontarkan lagi kemungkinan terburuk dari hilangnya Kei, “Oh, tunggu, dia menjawab panggilanku.”
“Halo, Kei,” Han memulai percakapan.
“Oh, halo kak. Kau mencariku, bukan? Aku sebentar lagi akan kembali ke sana, maaf aku pergi tanpa izin,” balas Kei di ujung sambungan telepon itu.
“Baguslah, aku kira kamu tertangkap atau semacamnya, hati-hati, Kei.” Han menutup percakapan singkat mereka.
“Syukurlah dia hanya pergi sebentar, kalau aku tidak memintanya melakukan lebih mungkin dia tidak tiba-tiba kabur begini,” ia menata kembali rambutnya yang berantakkan.
“Pasti sulit untukmu menjadi ketua di tim seperti ini,” sahut Sean.
“Aku tidak pernah menganggap kalian sebagai anggota,” Han berkata sambil mengawasi kerja polisi-polisi di sana.
Sean menunjukkan wajah terkejut karena pernyataan Han, “Lalu… siapa kita sebenarnya di matamu?”
“Keluarga,”tukas Han. Sementara itu, Kei dan Cassie masih di perjalanan menuju TKP pertama.
“Kamu benar-benar tidak apa-apa ‘kan jika bertemu kamera para awak media di sana,” tanya Kei pada Cassie.
“Apa?” rupanya Cassie tidak dapat mendengar dengan baik pertanyaan Kei.
“Di sana akan ada banyak kamera, Cassie,” ulang Kei, “apa kamu akan baik-baik saja dengan semua itu?”
“Yah, bagaimana lagi, Kei. Aku harus mendapatkan sketsa Kak Wisnu,” kata Cassie.
Kei mencuri pandang pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, “ Jam setengah delapan. Akan banyak warga juga di sana. Hm …." Pria itu berpikir cara membawa Cassie melewati para awak media sepanjang perjalanan.
Lagi-lagi ide muncul secara tiba-tiba di otak Kei, “Cas, apa kamu membawa kain?”
“Tunggu, apa? Kain? Untuk apa?” tanya Cassie bingung.
“Aku punya ide.”
Sementara itu, jauh dari kedua TKP pembunuhan itu, tepatnya sebuah persembunyian di pinggir kota Anagapura, yang hampir berdekatan dengan kota lain di Jawa Tengah, dua pria tampak asyik menatap monitor yang menampilkan kamera CCTV dari berbagai sudut kota.
“Sudah kau umumkan perintah selanjutnya?” tanya pria yang lebih tua.
“Jam delapan tepat aku akan umumkan. Namun, sepertinya para pemain kita mendahului perintah,” jawab pria satunya.
“Diskusi dunia maya tidak mengubah banyak kecuali mereka benar-benar mencari dan mendapat petunjuk. Sayang sekali, para kunci kita ini terlalu pelit informasi,” balas pria yang lebih tua itu.
“Apa kita harus mengancam sekali lagi?” tanya pria yang lebih muda.
“Jangan, biarkan saja mereka sadar dengan sendirinya kalau mereka yang memegang kunci untuk mengakhiri semua ini.”
Kini Cassie dan Kei telah sampai di TKP pertama, rumah korban kedua dari Werewolf, Wisnu.
Han yang melihat kedatangan mereka segera menghampiri, “Kei….”
Pria itu mengamati perempuan bercardigan hitam yang sedang dituntun Kei karena matanya ditutupi dengan kain hitam, “Tunggu, Cassie?”
“Apa kak?” sahut Cassie, beruntung ia dapat mengenali suara dengan baik.
“Jadi kamu menjemput Cassie, Kei?” tanya Han memastikan.
“Tidak, aku yang mengantarkannya ke TKP ke dua lalu membawanya kemari. Dia datang sendiri,” jelas Kei.
“Lalu apa yang kamu perbuat dengan adikku, Kei?” tanya Han lagi, ia bingung melihat mata adiknya ditutupi kain hitam.
“Ini buah kekeraskepalaannya,” jawab Kei pendek.
“Ia sepertinya mulai menyadari kelebihan dari gambarnya,” bisik Kei pada Han.
“Baiklah aku paham, lalu bagaimana caranya?” Han kembali bertanya pada Kei.
“Seluruh skenarionya ada di pikiranku, kak. Kau hanya harus bilang pada penjaga itu untuk para pemburu berita itu jangan merekam Cassie,” jelas Kei.
“Itu tak akan mudah, Kei,” Han menentang ide Kei.
“Kak, kumohon, bukankah kakak juga bilang bahwa sketsaku berguna bagi kalian?” bujuk Cassie pada kakaknya itu.
“Baiklah, akan aku coba,” putus kakak Cassie itu sambil berlalu. Kei mengawasi gerak-gerik Han dan dua polisi yang sedang berjaga itu.
“Kamu serius melakukan ini, Kei?” Sean yang dari tadi hanya berdiam kini membuka mulutnya. Pria 27 tahun itu menganggukkan kepalanya mantap untuk menjawab pertanyaan Sean.
“Kalau begitu, hanya negosiasi bukan cara yang tepat,” pria itu menyusul Han dan kemudian mengatakan sesuatu pada kumpulan wartawan dan cameraman di sana yang tak dapat ditangkap dengan jelas oleh Kei. Kerumunan itu bersorak bahagia tepat ketika Sean mengatupkan mulutnya dan langsung berjalan menuju ke gerobak angkringan dekat sana. Keberuntungan berpihak pada tim Han hari ini, tidak banyak warga dan jurnalis yang mendatangi TKP. Sean dan Han mengikuti kerumunan itu.
“Apakah kau akan baik-baik saja?” tanya Han pada Sean.
“Ya, tentu saja. Makanan di angkringan sangat murah, kok,” kata Sean sambil tertawa kecil.
“Terima kasih,” kata Han sambil tersenyum dan mencuri pandang pada Kei dan Cassie.
“Biarkan saja mereka berdua, Han. Adikmu sudah dewasa dan Kei pasti tahu cara menjaga Cassie,” kata Sean setelah menangkap tingkah Han, “Ayo sekarang kita menuju ke angkringan, kau juga kutraktir, Han.” Ia merangkul Han dan memberikan kode berupa kedipan pada Kei.
Kei menangkap kode dari Sean segera beraksi dengan menggendong Cassie lalu membawanya lari menuju TKP. Cassie tidak punya kesempatan untuk sekedar membuka mulut karena terkejut. Sesampainya di halaman rumah sederhana tersebut, Kei langsung menurunkan Cassie.
“Kei! Apa yang-“
“Sttttt … aku hanya ingin mempercepat kerjamu di sini, perhatian mereka teralih untuk sekarang, jadi …,” Kei melepas penutup mata Cassie perlahan, “bekerjalah dengan cepat dan tenang.” Perempuan setinggi 1.52 meter itu mengangguk pasrah dan segera mengeluarkan pensil dan sketch book-nya. Kei tersenyum memperhatikan Cassie bekerja. Namun, ia tetap waspada dengan sekitarnya.
“Jadi bisakah aku bayar dengan kartu kredit?” Sean masih tawar menawar dengan pedagang angkringan itu.
“Saya tidak punya alatnya, Mas,” balas pedagang itu. Ia menghela napas, uang di dompetnya terlalu miris untuk membayar semua ini.
“Begini, Mas. Bagaimana kalau transfer ke rekening saya saja?” pedagang itu tiba-tiba memberi solusi.
“Baiklah, saya setuju,” putus Sean seketika.
Drrrrt … drrrt ....
Ia mengambil ponselnya dan membaca pesan itu.
Kei: Ke mobilku, sekarang.
***
Aku memperhatikan Kak Han dan Kak Sean yang masuk ke jok belakang hampir bersamaan dan Cassie yang masih sibuk mengamati hasil sketsanya tadi.
“Apa yang kau ingin bicarakan, Kei?” Kak Han membuka percakapan, seperti biasa.
“Ini tentang hasil lab darah di TKP menghilangnya Rico. Setelah dicocokkan dengan data yang dimiliki pemerintah, itu memang darahnya,” jelasku sambil menyerahkan hasil itu pada Kak Han.
“Beruntung negara kita sudah menerapkan penyimpanan data DNA seperti ini,” kata Kak Han sambil membaca hasil lab tersebut, “berarti korban terluka.”
“Dengan waktu secepat itu, satu-satunya yang bisa menyebabkan luka hanyalah peluru pistol itu,” kata Kak Sean kemudian.
“TKP-nya benar-benar bersih dari jejak pelaku. Semua jejak baik itu sidik jari, jejak kaki, dan darah semuanya milik Rico. Ini akan terdengar seperti dia meneror orang tuanya sendiri,” balasku.
“Benar-benar tidak ada jejak pelaku? Bagaimana dengan pelurunya? Bukankah itu bisa merepresentasikan jarak penembak pada saat itu?” Kak Sean sepertinya sangat penasaran saat ini.
“Iya, Kak Sean benar. Anehnya setelah aku hitung … tempat penembak berdiri sama dengan tempat Rico berdiri saat itu. Jejak kaki korban masih jelas saat aku melihat,” lanjut Cassie.
“Oh, ya, aku menemukan bukti baru. Dua serpihan kertas lagi dari dua TKP berbeda dan sehelai rambut,” kataku sambil menunjukkan tiga plastik zip.
“Baiklah, setelah ini kita bisa memasukkan bukti itu ke lab forensik dan mencoba menanyakan bukti baru apa yang mereka dapat,” Kak Han berkata lagi.
“Kalau begitu aku akan pulang, Kak Yuna pasti menungguku,” Cassie pamit dan akan membuka pintu. Namun, tiba-tiba Kak Han menyodorkan sebuah ponsel putih padanya.
“Ini, kamu pasti membutuhkan ini nanti.”
“Terima kasih.”
“Hati-hati di jalan, Cas!”
***
“Jadi begini pekerjaan kalian? Hanya mengawasi semua kejadian ini lewat monitor,” polisi muda itu kembali mengoceh, aku kira akan berhenti selamanya setelah ia tahu bahwa kini posisinya sangat tidak menguntungkan.
“Kalian tak menjawabku? Apa kalian sebenarnya ingin membuatku mati kebosanan?” ia kembali melanjutkan ocehannya. Aku hanya menghela napas dan memberi kode pada si Moderator Bot untuk diam saja.
“Oh, aku mengerti sekarang, jangan-jangan kalian berdua ini tahu soal pembunuhan Helena, kalian melihat semuanya dari monitor-monitor itu ‘kan? Kalian menculikku karena aku berusaha memecahkan kasus ini dan salah satu dari kalian adalah pembunuhnya!” rentetan kata-kata itu membuatku terkejut, tak habis pikir, bagaimana bisa ia berpikir sejauh ini.
“Analisis yang bagus Rico,” aku akhirnya membuka mulut dan itu membuatnya tersenyum puas, “Namun semua yang kau katakan salah.” Kini giliran aku yang tersenyum puas saat melihat matanya melebar.
“Bukalah matamu pada malam hari maka kau bisa melihatnya. Tapi… ah… sayang sekali, kau tidak punya kuasa untuk memberitahu orang-orang yang masih ada dalam permainan.”
***
Perlahan tetapi pasti, kakiku menapaki halaman rumah yang dipenuhi kerumunan orang. Tampak banyak karangan bunga berdiri di kanan kiri jalan. Aku menghela napas dan meremas tanngkai buket bunga mawar putih di tanganku. Nada ratapan semakin terdengar kuat tatkala aku berdiri di ambang pintu rumah temanku, Arkana. Aku hanya bisa berdiri mematung melihat keluarganya meratap, miris memang nasibmu Arka.
“Rangga?” seseorang mengenaliku rupanya.
Aku berpaling ke arah suara itu, “Freya? Kau juga kemari….”
“Aku bertemu banyak teman lama di sini. Sayang sekali, kita bertemu lagi karena peristiwa seperti ini,” perempuan di hadapanku menatap langit, terlihat mencoba menahan tangis.
“Yah, sayang sekali…,” balasku sambil kembali menatap keluarga Arkana yang masih meratap.
***
Aku mengeraskan rahangku dan memberikan sorotan tajam pada para juniorku yang tidak becus itu. Ini sudah kesekian kalinya mereka lalai dalam menjalankan tugas.
“Kalian ini benar-benar tidak becus! Sepertinya kalian harus mengulang pendidikan setahun lagi. Bagaimana bisa kalian kalah tanggap dengan tim yang beranggotakan tiga orang dan dua di antara mereka tidak pernah tersentuh pendidikan kepolisian? Ada yang bisa menjelaskan?” tegasku pada mereka. Suasana menjadi hening, tidak ada satupun yang berani menjawab.
“Bagaimana bisa dari sekian orang di angkatan kalian hanya Dimaslah yang kerjanya bagus! Tak habis pikir bagaimana lagi aku harus mendidik kalian,” lanjutku, mereka hanya menunduk dan mengunci mulut.
“Baiklah, yang sudah berlalu biarkan. Untuk kedepannya kita tidak boleh kalah dari mereka. Perbaiki kerja kalian, bubarkan!” begitu aku melontarkan kata ajaib itu mereka semua menghela napas lega dan membubarkan diri, kembali ke meja kerja mereka masing-masing. Aku tidak terlalu yakin ocehanku masuk ke otak mereka.
“Jangan terlalu paksakan ambisi Anda pada angkatanku,” anak tengil itu lagi-lagi berani mendatangiku.
“Belum puaskah kau sudah kupuji di depan angkatanmu? Apalagi kali ini?” tanyaku tanpa mengenendurkan tatapan tajamku.
“Aku tidak membutukan pujian Anda, Pak Haryo,” anak itu rupanya juga tidak mau kalah, “Setidaknya Anda bisa apresiasi kami karena angkatan kami lebih baik dari angkatan Anda.”
“Apa?” anak ini memang pandai membakar amarahku, “Kembalilah ke mejamu, Dimas. Cukup!”
“Oh, jadi Anda takut untuk mengakui kesalahan terbesar Anda?” ia mulai mengeluarkan kalimat yang sangat aku benci. Aku tidak menghiraukan kata-katanya dan terus melangkah keluar kantor. Waktuku akan terbuang sia-sia kalau aku meladeni anak tengil itu.
***
“Kak Yuna, harus berapa kali aku bilang kalau aku baik-baik saja tanpa sarapan? Aku benar-benar tidak punya waktu lagi!” Cassie berseru dari kamarnya. Aku hanya bisa menghela napas dan bersabar menghadapi sikap batunya.
“Cas, tapi kamu juga belum mandi!” seruku membalasnya, “Memang batas pengerjaannya sampai kapan, sih?”
“Besok aku harus sudah mengirimkan ini semua. Aku harus berdoa tidak ada kasus yang menghalangiku,” ia melunak, aku bisa mendengarnya menghela napas, “kalau adapun semoga bukan yang sebesar tiga hari ini.”
“Sebanyak apa pekerjaanmu? Aku dengar kamu belum tidur seminggu ini,” aku juga menurunkan volumeku, berharap frekuensiku dan Cassie sama.
“Tigabelas lukisan dalam dua minggu, besok aku harus mengirimnya,” jawabnya masih dari dalam studio lukis.
“Itu pasti berat… oh, ya, bolehkah aku masuk?” aku kembali membujuk Cassie agar aku diperbolehkan masuk.
“Hm, ya, boleh, kak.” Begitu diperbolehkan, aku masuk ke sana. Seketika napasku tertahan karena kagum, ada 13 karya baru di dalam studio itu sejak terakhir kali aku masuk, “Kamu membuat 13 lukisan dalam dua minggu? Cassie….”
“Masalahku masih sama, aku tidak berani menolak, aku masih takut,” ia menghembus napas kasar.
“Cassie… aku yakin mereka bisa memahamimu. Para pemesan ini juga tidak mungkin menerormu habis-habisan,” aku menyejajarkan duduk dan menepuk punggungnya.
“Aku tahu kak. Aku tahu. Tetapi pikiran ini tidak bisa berhenti. Masa lalu itu… aku masih belum bisa memaafkannya,” ia berhenti menyapukan kuas, “aku takut dibenci juga, aku takut tidak ada lagi yang memesan lukisanku, aku juga butuh uang, aku tidak bisa selalu menggantungkan diri pada Kak Han. Seandainya aku mengambil jurusan yang lebih menjamin. Tapi… apa yang sudah terjadi….”
“Tidak bisa kamu batalkan. Cas, kamu tahu Kak Han sangat bersyukur kamu lebih memilih jalan ini? Aku kira kau sudah tahu karena tadi begitu terburu-buru menyusul Han,” aku mendekatinya lagi.
“Aku hanya berusaha menunjukkan pada Kak Han kalau ada sesuatu yang aku ketahui. Mereka juga membutuhkan sketsaku, tetapi sangat bersyukur? Apa yang perlu disyukuri dari ini? Ketepatan sketsaku? Imajinasiku yang mendekati nyata?” Cassie menunjukkan wajah penasarannya padaku. Aku hanya memberikan anggukan dan seulas senyum, ia akhirnya menemukan kelebihannya yang lain.
“Ah, itu sebabnya selama ini mereka menyebutku Hidden Card,” ia mengangguk-anggu. Namun, sedetik kemudian tersentak, “Oh, Kak Yuna, aku sudah kembali ingat apa alasan aku pingsan. “
***
Pria itu menata rambutnya setelah turun dari motor dan melepas helm full face hitam dari kepalanya. Setelah itu, ia masuk ke mobil SUV hitam yang terparkir tak jauh dari tempatnya memarkirkan motor.
“Berapa lama lagi hasilnya akan keluar, Kak Han?” tanya pria yang duduk di kursi kemudi, itu adalah Kei.
“Sekitar lima jam lagi,” balas pria itu.
Drttt... drrrt... drrrtt
Segera saja semua pria di dalam mobil itu mengambil ponsel mereka masing-masing secara bersamaan karena notifikasi yang muncul dalam waktu bersamaan itu.
Werewolf Moderator -Werewolf Game-: Siang hari, pemain dipersilakan berdiskusi siapa Werewolf atau Serial Killer-nya. Diskusi selesai pada pukul 3.55 sore dan eksekusi akan dilaksanakan setelah vote selesai. Kalian memiliki waktu 5 jam mulai dari sekarang.
Han langsung melirik pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya setelah membaca pesan itu, “Jam 11 siang.”
“Han,” Sean memanggilnya dengan nada rendah.
“Ada apa, Sean?” balas Han.
“Aku akan menggunakan kemampuan psychometry -ku lagi,” lanjut pria muda itu masih dengan nada yang rendah.
“Kau sudah menggunakannya, bukan?” Han menimpali. Sean membulatkan matanya, terkejut mendengar pernyataan rekannya itu.
“Aku melihat sketsa reka ulang pembunuhan Hera dan hilangnya Rico di buku sketsa Cassie. Karena tidak ada CCTV dari angle itu, bisa dipastikan itu permintaanmu,” seakan bisa membaca pikiran pria muda itu, Han langsung menjelaskan maksud pernyataannya, “Kau sudah memakainya di dua TKP terbaru kita dan TKP Helena ‘kan?”
“TKP Arkana juga… tetapi, aku rasa akan sulit meminta Cassie untuk menyeketsa itu.”
“Sekarang, Kei, bisakah kau cocokan sketsa ini dengan data yang telah kamu kumpulkan tentang orang terdekat para korban?” Kei yang sudah siap sedia dengan laptopnya segera melakukan tugasnya. Ia membuka semua foto dan data relasi korban lalu mencocokkannya dengan sketsa kejadian milik Cassie. Ia mengernyitkan dahi sesekali kemudiam membelalakkan mata. Han dan Sean hanya bisa menonton perubahan mimik muka dan jari Kei yang menari di atas papan keyboard.
“Aku rasa kali ini Cassie benar lagi,” itu kalimat pertama yang dilontarkannya setelah ia selesai bekerja, “Permainan dan kasus-kasus ini berhubungan, semua tersangka kita ada di grup Werewolf Game itu dan bagian terburuknya ….” Kei menahan kalimatnya dan mengembus napas kasar lalu menghempaskan diri ke sandaran kursi mobil. Semuanya akan menjadi lebih rumit ketika ia menyampaikan ini tetapi, ia bekerja untuk kebenaran. Suka atau tidak, inilah realitas.
Sementara Kei masih berkenala dalam pikirannya, Han dan Sean menunggu kelanjutan kalimatnya, “Apa bagian terburuknya, Kei?”
“Mereka punya benang merah dengan kita.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Adella Zara K.
Sudah Aku baca dan Kasih Like Tak lupa Rate 5. Semangat Kak!
2020-06-16
1
Linn
Mampir thor
2020-05-30
2