Chapter V: The Past Unfold (Part 2)

Aku tidak pernah membayangkan akan melihat ini. Seorang Guardian menyerang Serial Killer? Hanya dia saja yang berani. Cari mati, sungguh, aku belum menginginkan kematian orang ini. Apalagi dia punya peran penting dalam mengungkap semua ini.

“Bagaimana? Haruskah kuhapus?” Moderator Bot bertanya padaku.

“Hapus. Jangan sampai dia kena tangkap karena ini,” kataku tegas.

“Tunggu, itu sungguh Cassie? Orang yang aku risak 10 tahun lalu? Wah, jika dia begitu 10 tahun lalu aku mungkin sudah habis,” Bella mengoceh sambil tertawa kecil.

“Bersyukurlah karena dia mau memaafkan dirimu, bahkan melindungimu,” Freya menyahut. Cara mereka berkomunikasi, seperti musuh dari masa lalu.

“Freya, kau bisa diam saja setelah mengetahui salah satu Werewolf itu?” Zico bergabung dalam percakapan.

“Aku hanya bisa diam dan menonton sekarang. Kau juga, ‘kan? Dunia luar kita sudah seperti Werewolf Game in Real Life. Kita akan dianggap arwah oleh mereka yang tersisa,” anak pintar, Freya memang pintar menentang pria pengoceh itu.

“Lalu, kau …,” pandangan Zico menuju ke arahku, “benar-benar gila. Apa motifmu membuat permainan ini? Dan, bagaimana bisa kau mengendalikan si owner startup unico … Eh, akan masuk ke tahapan unicorn?”

“Ada orang yang mengendalikan dia juga,” Rico masuk ke percakapan tersebut.

“Itu benar, aku dikendalikan juga,” balasku sedikit berbisik sambil mencuri pandang pada CCTV di pojok ruangan, “Kalau tidak, untuk apa CCTV itu?”

“Ia selalu menyebutkan akan ada orang yang dihukum lebih berat darinya. Kode namanya ‘The Watcher’,” Rico menambahkan masih dengan berbisik.

“Orang baru lagi?”

“Tidak, dia ada di permainan itu,” aku menunduk dan berharap The Watcher tidak memperhatikan percakapan kita.

***

Tim kecil Han kini telah duduk di ruang diskusi. Tidak hanya mereka, Yuna duduk di sebelah Han dan dua orang pria lain pun duduk di sebelah Sean.

“Malam itu sebenarnya aku mendengar suara dari halaman belakang. Kukira hanya orang lewat seperti biasa,” Yuna memberikan kesaksian. Cassie hanya menunduk.

“Aku baru mengetahui paginya bahwa adikku menjadi target Serial Killer. Tika mendapat SMS dari si Guardian C, begitu ia menyebut dirinya, aku sudah mengirimkan pesan itu padamu. Mungkin malam itu si pembunuh bertemu dengan Guardian. Aku sangat bersyukur untuk ini,” lanjut Yuna.

 

“Aku juga bersyukur untuk itu. Yang terpenting sekarang, semuanya baik-baik saja. Mari kita mulai diskusinya. Kasus ini, Werewolves dan Serial Killer, benar-benar menyedot perhatian publik. Sampai-sampai ada wartawan yang rela berlutut padaku 5 menit yang lalu hanya untuk meminta keterangan dariku,” mata sang ketua detektif yang sekarang mengenakan kaus hitam polos tertuju pada pria asing itu.

 

“Aku sangat memerlukannya, Kak. Lagi pula masyarakat luas lebih percaya padamu dibanding kepolisian. Agak aneh, sih, bagaimana kalian bisa mengungkap kasus rakyat lebih cepat dari kepolisian. Kalian tidak melakukan sesuatu di luar jalur ‘kan?” Han tertawa kecil ketika mendengar pernyataan si wartawan.

“Logika wartawan, tidak mengejutkan. Kalau memang kami melakukan penyimpangan apakah kau akan melaporkan kami? Menghancurkan kami?” pria 31 tahun itu kembali membuka mulut.

“Kebenaran harus ditegakkan.”

 

Cassie tiba-tiba tertawa getir dan menangkat kepala, “Ah, kata-kata itu juga diucapkan para wartawan 10 tahun lalu. Tetapi apa yang mereka perbuat?” Matanya berkaca-kaca ketika mengingat kejadian yang melibatkan wartawan 10 tahun lalu.

 

“Tetapi aku bukan wartawan dari 10 tahun lalu,” wartawan itu menyanggah.

“Buktikanlah, Eddy. Buktikan kau tidak sama seperti mereka yang memojokkanku dan mencoba membunuh kepribadianku.”

“Cassie, tenanglah. Tenang ….” Tangan Kei menyentuh tangan perempuan yang mengenakan kaus putih itu lembut. Ia mencoba untuk menenangkan sahabatnya itu.

“Kei, Cassie, kalian belum pergi juga? Sebentar lagi jam 12, jangan sampai kalian dianggap kabur,” Han mencoba mengintrupsi ketengangan antara Cassie dan Eddy, si wartawan. Pria berhoodie merah marun berdiri dari kursinya lalu menghampiri Cassie dan mengulurkan tangan.

“Ayo, Cas,” Kei mengulurkan tangan dan ditetima oleh Cassie. Perempuan itu menyambar coat cokelat yang tadi disampirkan di sandaran kursi.

Setelah sepasang sahabat itu menghilang dari pandangan orang-orang di ruang itu, Han menghela napas dan kembali berkata-kata, “Maafkan adikku, Eddy, Allen. Belakangan ini ia dihadapkan dengan rentetan kasus yang terhubung dengan masa lalu kami.”

Eddy kembali membuka mulut, “Tak apa, aku tahu benar mengapa Cassie bersikap seperti itu. Kak Han, sebenarnya maksud kedatangan kami bukan hanya mencari berita. Kami juga ingin membahas grup chat mematikan itu. Aku, Allen, dan Allana, adik Allen ada di sana.”

“Kami tidak bisa keluar dari sana dan setelah kami cari dalam anggota, nama anggota timmu dan juga dirimu ada di situ,” lanjut wartawan lainnya, Allen.

“Setiap kesaksian dan kata-kata akan membantu kita semua. Ceritakan semuanya apa yang kalian tahu dan alami tentang grup ini.”

Tidak begitu jauh dari markas Han, tim penyidik kepolisian mulai mencari-cari data.

“Ravika juga pernah bilang dia ada di grup Werewolf. Bagaimana bisa jejak grup itu hilang tidak berbekas di smartphone-nya? Orang yang mengendalikan grup dan bot-nya pasti sangatlah cerdas,” gumam si Kepala Tim, Haryo.

.

“Hanya ada dua orang yang kita diketahui memiliki kepandaian tinggi dalam bidang komputer di Anagapura yang masuk ke grup itu. Kei Galen Tarachandra, pemburu bug website dan aplikasi serta anak si ‘Anjing Gila’ dan Dean Pratama, pemilik aplikasi ojek dan taksi online yang sedikit lagi menjadi start up unicorn,” kata seorang anak buah Haryo.

“Bukankah seharusnya 3? Ipda Wendysa Helvin, perempuan itu ada dipihak kita sebagai penyidik lapangan dan terkadang membantu tim IT,” balas Dimas.

Haryo hanya membuang napas kasar, “Ya, Dimas benar. Ah, lagi pula, keahlian ini bisa dipelajari orang-orang selain mereka.”

“Memang, tetapi diantara semua relasi tim Han, pemain di grup, hanya mereka berdua yang mungkin melakukan hal ini.”

“Ah, benar, ini semua bermuara pada Han dan adikknya....”

“Tim penyidik! Saksi datang!”

Di ruang interogasi, Kei dan Cassie duduk bersebelahan. Dua-duanya mengunci mulut, tidak mengatakan apapun. Tangan Kei senantiasa menepuk punggung tangan perlahan Cassie untuk menenangkan perempuan itu. Matanya sesekali melihat beberapa CCTV yang terpasang di sudut ruangan.

Kriet….

“Ah, selamat siang,” secara bersamaan mata mereka tertuju pada pintu yang terbuka. Seorang pnyidik berumur 30 tahun memasuki ruangan.

“Saya Ipda Dimas Mahesa, penyidik dari kepolisian yang akan menginterogasi kalian, jadi mohon bantuannya,” pria bermata agak lebar itu duduk di seberang sepasang sahabat. Cassie mengangkat kepalanya sebentar, lalu kembali menunduk.

“Ada apa?” tanya penyidik itu setelah melihat gelagat aneh perempuan di hadapannya.

“Dia sebenarnya ta-“

“Aku sedikit sakit, tak apa. Kau bisa pergi Kei,” Cassie menatap pria ber-hoodie maroon di sampingnya dan tersenyum.

“Anda bisa menanti di ruangan pantau itu,” kata Dimas sebelum Kei keluar. Kekhawatiran terpancar dari kedua bola mata pria itu saat melepas Cassie.

“Hei, tak apa. Aku baik-baik saja. Aku akan menganggap benda-benda itu tidak ada di ruangan ini,” Cassie berbisik pada Kei untuk meyakinkannya pergi.

“Baiklah,” pasrah, ia pun pergi menuju ruang pantau. Di ruang itu, matanya tidak pernah lepas dari Cassie. Kei tidak pernah bisa tenang melihat sahabatnya yang takut pada kamera menghadapi banyak CCTV di sana.

“Saudara Cassiopeia, bisakah Anda ulangi pernyataan tadi?” Dimas mengamati saksinya lekat-lekat. Cassie gemetaran, keringat dingin mengalir dari pelipisnya bagai air terjun, wajahnya memucat. Ia mengeratkan cengkeraman ke coat cokelatnya yang ia pakai sedari tadi. Sial, ia tidak bisa menghindari CCTV itu bagaimanapun ia mencoba.

“Apa kita sudahi saja? Anda bisa beristirahat setelah ini,” pria itu menutup berkasnya dan menunggu jawaban.

“J-jangan ….”

“Lalu bagaimana? Dengan keadaan seperti ini Anda tidak dapat memberikan keterangan yang saya minta.” Keheningan terjadi di ruangan itu. Cassie merasa ia tidak dapat lagi berbicara dengan benar di ruangan yang mencekam itu, tetapi di sisi lain, ia hanya ingin ini semua cepat berakhir.

“Apa yang terjadi pada kekasihmu itu, huh?” seorang petugas di ruang pantau berbicara pada Kei.

“Dia keras kepala,” sahut Kei sambil melangkahkan kakinya keluar, “oh, ya, koreksi, dia bukan kekasihku. Masih hanya sahabat.”

“Saudara Cassiopeia?” sekali lagi Dimas menanggil nama saksinya itu.

“Cassie,” Kei yang memasuki ruang interogasi langsung memanggil nama sahabatnya itu, “Sudahi saja.”

“T-tidak ….” Kei segera duduk di samping Cassie dan seketika kepala perempuan itu jatuh di pundaknya, “Cassie!”

“Ada apa dengannya sebenarnya?” tanya Dimas yang keheranan dengan semua kejadian itu.

“Dia fobia kamera dan ...,” Kei menunjuk CCTV di ruangan itu, “CCTV yang ada di ruangan ini memicu fobianya kembali.”

Sementara Kei mengurus Cassie dan Tim Han mencari bukti-bukti tambahan tentang Werewolf Game. Airin dan bosnya, Reevan sedang menata ulang galeri karena kedatangan lukisan Cassie yang baru yang menceritakan serigala bersama gadis menggunakan tudung merah dan lukisan wajah si pemilik galeri.

“Anda tidak akan menjual lukisan ini?” seru Airin sambil menunjuk lukisan beraliran impresionisme tentang gambaran berbagai kejahatan di suatu kota, “Sudah satu tahun lebih dan banyak orang menawar mahal untuk ini.”

“Sepertinya tidak akan, ah, aku pikir obsesiku pada kasus Werewolf membuatku melupakan uang,” sahut Reevan sambil tersenyum.

“Dengan bereksperimen membuat penawar Werewolf?” tanya kurator itu.

“Benar sekali dan aku sudah mendapat sampel rambut salah satu dari makhluk itu,” mata Revaan berkilat semangat.

“Bagaimana jika kau gagal seperti waktu itu?” Airin menampakkan wajah khawatirnya.

“Kali ini aku tidak akan gagal dari si Fajar itu,” sahut pria berkulit pucat itu sambil membuka pintu jalan pintas yang terhubung menuju labnya, “Oh, ya, jangan lupa hubungi Cassiopeia untuk datang ke galeri sore ini.”

“Baiklah, akan aku hubungi dan jangan lupa sebentar lagi Atha akan datang mengantarkan lukisan.”

Kembali ke ruang diskusi tim Han, mereka mendiskusikan tuduhan yang muncul di grup Werewolf Game.

"Haryo, Dion, Ella, dan Liya. Mereka yang diduga memiliki dendam pada Han maupun Cassie dari rekam jejaknya,” Sean membacakan data yang didapat dari penelusuran Han dan Cassie.

“Sebenarnya masih ada satu lagi, yaitu Dimas. Sebenarnya bukan dendam, dia agak iri padaku dulu. Mungkin sekarang sudah tidak, apalagi aku sudah mengajarinya beberapa cara menyidik. Waktu berlalu, dia menjadi lebih dewasa seharusnya,” Han menambahkan.

“Bukankah sekarang dia baik? Bahkan perlakuannya padaku ternyata lebih baik dari kepala timnya,” Sean menimpali.

“Kau berinteraksi dengannya? Kapan?” tanya Han penasaran.

“Beberapa hari yang lalu, saat aku memeriksa ulang rumah Hera,” jawab pria itu.

“Baiklah, kita punya 5 nama di sini. Ella dan Liya sudah pasti bukan Serial Killer. Seperti yang kita tahu, ukuran sepatu sang Serial Killer tidak cocok untuk mereka berdua. Namun, masih ada kemungkinan mereka Werewolf betina.”

“Betina?” tanya Yuna bingung.

“Iya, salah satu bukti rambut serigala yang aku bawa ke lab forensik menuntun adanya serigala betina di permainan ini, sisanya jantan. Baiklah, Haryo, Dion, dan Dimas … tidak akan ada yang berani menuduh mereka karena pekerjaan mereka sebagai polisi. Sebenarnya, Pak Haryo ini, dendamnya dimulai ketika aku menyebarkan kebusukannya dalam memecahkan kasusku. Dion dan Dimas… tidak mungkin mereka membunuh orang tuaku. Tidak … tidak … tidak mungkin, ini mustahil. Tidak ada seorangpun yang menaruh dendam kepadaku saat itu,” Han mengacak-acak rambutnya, lalu terdiam untuk beberapa saat. Setelah mengkerucutkan kemungkinan, mengapa arahnya sekarang menjadi kabur?

“Lalu apa, Han? Pusat permainan ini adalah kalian berdua, tidak mungkin juga di antara orang-orang ini ada yang memiliki dendam kepada mendiang kedua orang tuamu,” Yuna membuka mulut lalu menepuk punggung Han.

“Korban hari ini adalah Juno yang ternyata adalah mantan dari Liya. Salah satu nama yang kita sebut menjurus pada dugaan dia sebagai Werewolf,” salah satu wartawan, Allen membuka mulut setelah mengamati grup chat, “Riwayat Liya tadi juga sudah tercantum ‘kan? Juno menyelingkuhinya.”

“Kekanak-kanakan kalau sampai membunuh dengan kedok cinta,” komentar Han.

“Kak, rasanya diselingkuhi itu sakit. Namun, tetap, sih, membunuh karena kedok cinta itu tidak patut,” komentar Cassie yang muncul tiba-tiba itu.

“Kau mengejutkanku. Hei, kau berbicara seakan pernah diselingkuhi saja,” kata Han saat melihat adiknya muncul tiba-tiba bersama Kei, “Ada apa dengan wajahmu? Kau agak pucat.”

“Dia keras kepala, sudah kubilang untuk meminta tempat lain-“

“Sudah Kei, jangan bahas yang itu,” tegur Cassie sambil mengeratkan coat cokelatnya.

“Lihat, Kepala Batu,” Kei mendengus dan duduk di sebelah Sean, “Nanti akan kuceritakan lewat chat, Kak Han. Silakan melanjutkan diskusi “

“Jadi karena kebanyakan orang di sini menuduh Liya sebagai Werewolf dengan latar belakang seperti itu, bagaimana kita bisa mengelaknya?” lanjut Han sambil menyandarkan diri ke kursinya.

Drrt … drrt …

Werewolf Moderator -Werewolf Game--: Waktu diskusi 2 jam lagi.

“Bagaimana dengan nama lainnya?” tanya Kei kemudian.

“Semuanya terdengar tidak mungkin. Serial Killer di permainan ini adalah orang yang sama dengan pembunuh mendiang orang tua kami dan aku tidak melihat kemungkinan semuanya sebagai pembunuh,” bantah Cassie.

“Hanya saja, Liya ini … dia agak mengerikan,” Kei memelankan suaranya di kata-kata terakhir.

“Ada apa dengannya?”

“Dia pernah mengancam untuk menghabisi Cassie hanya karena aku dekat dengannya. Kak Yuna adalah saksinya, aku tahu kau pernah menceritakan itu.” pria itu berterus terang. Yuna mengangguk, mengkonfirmasi pernyataan Kei.

"Ya, Cassie memang pernah menceritakan itu pada saat konseling, sebelum Han kembali," perempuan itu menghela napas berat.

“Tetapi itu hanya masa lalu, Kei! Sudah sepuluh tahun yang lalu! Lagi pula sekarang aku hidup baik,” lagi-lagi Cassie membantah.

“Dia lebih jahat dari Bella! Isabella itu hanya bawahannya. Kamu tidak ingat waktu di mana kamu ingin mengakhiri hidupmu karena berulang kali dirundung oleh mereka? Saat itu kau ... ah! Bagaimana bisa kau bilang itu baik-baik saja?” tiba-tiba sebuah ingatan melintas di kepala Cassie karena kata-kata Kei yang teramat jujur itu.

Sore itu sepulang sekolah, gedung itu benar-benar sepi. Tidak lagi ada siswa maupun guru yang terlihat. Hanya Cassie lah yang berada di sana seorang diri berdiri di atap gedung perpustakaan.

“Untuk apa aku hidup? Liya benar, aku lebih baik mati,” isakan keluar dari bibirnya bersama sebuah kalimat.

“Tidak ada yang peduli padaku. Tidak ada yang boleh peduli padaku,” kini giliran air mata jatuh dari matanya.

“Aku pergi.” Cassie berdiri di ujung gedung itu, bersiap-siap menjemput maut yang ada di bawah sana.

 

Namun, belum sempat melangkah, sebuah suara memanggilnya, “Cassie!” Itu Kei, ia menyusul Cassie begitu tahu perempuan itu ada di atap perpustakaan.

 

“Jangan mendekat! Tidak kah kau dengar?” kaki perempuan itu mundur perlahan. Tetapi, Kei tetap mendekatinya. Cassie mundur selangkah lagi, langkah itu membuatnya hampir terjatuh.

“Aaaa!”

Hap!

Beruntung, Kei dapat menangkap tangan Cassie dan mengangkatnya agar bisa berpijak kembali ke atap kemudian menyelimuti tubuh perempuan yang gemetaran itu dengan korsa hitam yang tadi ia pakai lalu menepuk punggungnya lembut.

“Ei, aku tidak akan meninggalkanmu seperti kata Liya dan gengnya. Jangan lakukan itu lagi, Cassie, kumohon, kakakmu pasti akan sedih kalau melihatmu sekarang. Tenanglah, aku di sini.”

Ingatan tersebut berhenti dan Cassie kembali pada kenyataan. Ia membuka mulut untuk kembali mendebat sahabatnya, “Yah, kamu benar, tetapi ….”

“Maka dari itu, biarkan saja mereka menuduh Liya! Aku juga akan memilihnya untuk dieksekusi!”

“Kei!”

***

“Ho, ho, ho, lagi-lagi cerita masa lalu? Ini menarik,” aku tertawa sambil menyiapkan senjataku untuk mengeksekusi nanti.

“Aku tidak kaget jika Liya dituduh habis-habisan,” sahut Bella.

“Aku tidak kaget bahkan kalau dia berani membunuh mantannya. Dia memang pantas mendapat karma,” Freya menyahut juga.

“Menurut kalian begitu, ya?” aku tersenyum dan tidak berpaling sedikitpun, “Masuk akal juga kalian menuduh dia. Kalian belum mengawasi semua penjahatnya.”

“Untuk apa? Semuanya sudah jelas,” sanggah Freya yakin, “Dia pernah mengancam Cassie habis-habisan sampai gadis malang itu memutuskan untuk melakukan percobaan bunuh diri.”

“Sungguh?” para sandera lain dan si Moderator Bot menyahut bersamaan. Aku membulatkan mata karena, baru saja mengetahui fakta ini.

“Kau bahkan baru tahu. Kukira kau tahu segalanya tentang kami,” Freya menatapku bingung.

“Tidak semuanya. Ini pasti sebenarnya sesuatu yang rahasia,” tebakku.

“Benar, hanya aku dan Kei yang tahu, seharusnya. Karena dia menjadi tertuduh seperti ini, ada baiknya aku membukanya,” balas Freya santai.

“Aku tidak suka orang yang mengingkari janjinya,” balasku.

“Tak masalah, aku juga tidak suka dirimu,” Freya membalasku. Aku hanya diam, tidak berkata-kata lagi dan melanjutkan kegiatanku untuk mempersiapkan eksekusi hari ini.

***

Hari Senin benar-benar terasa panjang, terlebih lagi semua tuduhan yang datang kepadaku. Mau mengelak bagaimana lagi, memang aku seburuk itu di masa lalu dan akan terkenang seperti itu selamanya.

Dor! Dor!

Suara pistol yang memekakkan menyapa gendang telingaku.

Aku hanya bisa tertawa getir, “Sepertinya karma datang menjemputku.” Tak lama setelah itu, aku merasakan sesuatu yang menancap di leherku membuatku melemas dan mengambil kesadaranku. Tuailah apa yang sudah kau tabur, Liya.

***

Jam menunjukkan pukul 17.30. Kei terjebak dalam rasa bersalah karena telah menuduh orang yang salah.

“Maafkan aku, Cas.”

“Jangan kamu minta maaf padaku. Katakan itu pada Liya. Sudahlah, aku harus pergi sekarang,” Cassie berlalu, meninggalkan Kei begitu saja menuju mobil SUV perak yang menunggu di seberang TKP rumah Liya.

Kei mengacak-acak rambutnya frustrasi dan duduk di ujung teras rumah itu sambil menatap ujung coat cokelat sahabatnya, “Dia akan membenciku ‘kan?” Han dan Sean secara bersamaan menepuk punggung Kei untuk menenangkan pria muda itu.

“Ia akan kesal sesaat dan kemudian kembali lagi padamu,” Han membuka mulut untuk menghibur rekannya itu.

“Tidak, tetap saja, aku sudah membuat kesalahan besar!”

Di dalam mobil yang mengantarkannya menuju galeri Reevan, Cassie selalu menutup mulutnya. Namun, hatinya masih dipenuhi kekesalan pada Kei yang menuduh orang secara sembarangan. Ia tidak percaya, sahabatnya bisa melakukan tindakan yang irasional seperti itu.

“Nona Cassiopeia, sebentar lagi kita sampai,” supir itu mengingatkan Cassie, membangunkannya dari lamunannya.

“Ah, iya, terima kasih telah mengingatkan saya.” Setidaknya untuk beberapa jam ke depan, ia akan melupakan masalahnya dengan Kei sejenak.

“Nona Cassiopeia, silakan turun,” supir itu membukakan pintu bagi Cassie.

“Oh, terima kasih,” perempuan itu tersenyum dan turun dari mobil.

Reevan rupanya audah menanti di depan galeri, “Cassie!”

“Oh, hai, Reevan,” Cassie langsung menjabat tangan pria itu.

“Ayo, segera masuk. Aku akan menunjukkan bagaimana tatanan lukisanmu di sini yang akan mulai dipamerkan besok.”

Sementara itu, Dion sedang beristirahat di bilik kerjanya. Ia membuka lacinya dan mengeluarkan sebuah kertas kusut dari sana.

“Maaf, Han. Maaf, Cassie. Aku harus menyembunyikan ini demi kelangsungan hidup Cassie,” perlahan ia membaca kembali pesan itu.

Sayang sekali, aku tidak dapat membunuhmu. Ini aku kembalikan saja kalungmu. Namun, suatu saat, jika waktunya tepat, aku akan menumpaskan yang tersisa.

-SK-

“Bahkan 10 tahun lalu ia menamakan dirinya Serial Killer padahal tidak melakukan pembunuhan berantai atau sebenarnya ia berniat begitu,” tiba-tiba Dion merinding memikirkannya.

“Sudahlah, aku akan beristirahat untuk sekarang. Semoga tidak terjadi apa-apa tengah malam ini.”

***

Waktu memang berjalan sangat cepat, malam pun tiba di kota ini. Aku yang sendirian di rumah, menuju ruang tengah untuk membungkus hadiah di dalam kotak kayu.

“Bagaimana aku harus mengatakan itu padanya?” mulutku senantiasa bergumam.

“ ‘Selamat ulang tahun, maafkan aku.’ ‘Maafkan aku untuk tindakanku kemarin. Terima ini.’ ‘Aku sangat menyesal.’ Ah, mengapa tidak ada yang tepat?” aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal, “Sayang sekali kalau hiasan kepala ini tidak sampai di- aw!” Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menghantam kepalaku dan tak lama kemudian aku merasakan ada cairan mengalir di pelipisku Segera saja aku merabanya untuk memastikan cairan apa itu.

 

“Darah?” aku melirik ke jam yang ada di dinding.

 

Jam tersebut menunjukkan pukul 00.00, “Sial.”

Buk!

Lagi-lagi seseorang menghantam kepalaku. Kali ini pukulan itu berhasil membuat pandanganku memburam dan membuat kepalaku pusing.

“Kei! Kei! Bangun! Aish, sial!” suara itu adalah suara yang aku rindukan dan menjadi suara terakhir yang dapat aku dengar sebelum semuanya menjadi gelap. Maafkan aku sekali lagi Cassie, aku tidak dapat membalasmu.

Terpopuler

Comments

NakamotoYuta

NakamotoYuta

gak. gak bakal mati segampang ini to

2020-05-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!