Chapter III: Irregular Game (Part 1)

Sial, bayang-bayang adegan itu tidak bisa lepas dari pikiranku. Itu terlalu sadis, seharusnya aku berpikir dua kali sebelum melakukan ini.

“Ini keterlaluan, tidak, tidak, siapa yang tega membunuh Hera,” gumamku, “aku benar-benar tidak bisa memahami ini semua.” Kepalaku kembali berputar dan aku merutuki diriku yang terlalu tergesa mengambil keputusan, seharusnya aku beristirahat saja di rumah. Di tengah segala kekacauan pikiranku, suara gaduh diluar rumah Hera mengganggu pikiranku. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Tidak mungkin pembunuhan lain bukan?

Drrt … drrrt ....

Smartphone-ku bergetar kesekian kalinya hari ini dan aku putuskan untuk mengambilnya.

Werewolf Moderator -Werewolf Game-: Warga desa memutuskan untuk mengeksekusi Rico Setya Budi.

Werewolf Moderator -Werewolf Game-: Daftar Pemain Mati:

- Hera (Villager)

-Helena (Villager)

-Rico (Gunner)

Jadi, ada korban baru lagi dari permainan ini? Aku harus segera menemui Han dan Kei.

***

“Suara tembakan terdengar 30 menit yang lalu,” aku mendengarkan dengan seksama keterangan dari warga sekitar lalu kembali menatap Glock 17 Gen 4 yang terdampar di lantai kayu halaman rumah itu, “terima kasih atas kesaksiannya. Kami akan segera menyelidiki ini.” Untuk kesekian kalinya hari ini aku menghela napas, lalu mengarahkan pandang pada kedua pemilik rumah yang tampak terguncang. Para warga kembali menenangkan mereka, benar-benar hari yang menyedihkan.

“Kaliber peluru diperkirakan 9 milimeter terlihat dari bekas lubang di tembok. Ini jelas cocok dengan pistol itu. Glock 17 Gen 4, sering digunakan oleh polisi dan militer,” kata Cassie sambil meletakkan pensil di atas buku sketsanya.

“ Di sini ada tanda R. Ini bisa menggiring kita ke pemiliknya, tersangka kita,” kata Kei sambil memperhatikan bagian bawah gagang pistol itu.

“Atau korban?”

“Cassie, tidak ada korban di sini. TKP ini bersih dari dari darah kalau memang korban ditembak dan penghuni rumah aman. Tidak kah ini hanya seperti kasus te-“

“Han!” fokusku teralih dari Kei yang sedang beragrumen ke orang yang memanggilku itu, Sean.

“Sean? Bukankah kamu tadi ....”

“Sebenarnya memang masih sedikit pusing tapi, ada sesuatu yang perlu kau ketahui,” ia menyodorkan smartphone-nya tepat didepan wajahku.

Aku membacanya dengan cermat, “ Rico Setya Budi?”

“Mereka menuduhnya sebagai Werewolf,” lanjut Sean.

“Kei, coba lacak keberadaan terakhirnya dari nomor aktif smartphone-nya,” kataku memberi perintah pada Kei.

“Siap, kak!” ia langsung bekerja dengan laptopnya, “Aku coba menghubungi smartphone Rico.”

Drrt … drrrt … drrttt ....

“Smartphone siapa itu?” tanyaku bingung. Cassie dan Kei menggelengkan kepala. Mereka meninggalkan ponsel di rumah, begitu juga diriku. Sean juga menggelengkan kepala, ponselnya tidak menyala.

“Oh, smartphone-nya terlacak di sini!” seru Kei tiba-tiba,

“Smartphone itu milik Rico sepertinya,” Aku mengedarkan pandang ke arah yang ditunjuk Kei, sebuah smartphone dengan bercak darah di layarnya yang bergetar terletak agak jauh dari tempat kami berdiri.

***

“Yah, untuk sesaat kukira aku sudah mati,” pria malang yang baru saja siuman itu mengusap tengkuknya, bekas jarum bius menancap sebelumnya, “ apa yang sebenarnya kalian inginkan dengan menculikku … dan sedikit melukaiku?” Polisi itu menatapku yang hanya terdiam karena aku juga tidak paham dengan keinginan atasan kurang warasku setelah ia menyadari ada luka di telapak tangannya.

“Kau belum memeriksa smartphone-mu bukan?” tanya atasanku sambil menunjukkan senyum liciknya. Pria malang itu memeriksa semua kantong yang ada di dirinya dan ia tidak menemukan smartphone-nya.

“Oh, ya, aku lupa bilang padamu. Smartphone-mu sudah kami buang untuk mengaburkan jejak,” sambungnya tanpa tersirat rasa bersalah sedikitpun.

“Apa? Bagaimana bi-“

Ia menodongkan pistol dengan tangan kanan dan revolver dengan tangan kiri, “Tutup mulutmu, Gunner bodoh. Kau bisa aku eksekusi sungguhan jika terus protes.” Lawannya tampak mencari-cari sesuatu. Namun, tidak kunjung menemukannya.

 

“Kau mencari pistolmu? Ya, ini memang tipe yang sama tetapi ... tidak, bukan yang aku pegang. Ini miliku sendiri. Aku juga sudah membuang pistolmu.”

 

“Sialan kau.”

***

“Apa maksud semua ini?” aku memandangi robekan kartu Werewolf Game bertuliskan ‘gunner’ yang sudah kususun.

“Firasatku benar lagi jangan-jangan,” gumamku pelan lalu menghela napas, “Orang gila macam apa yang membuat permainan ini?”

“Ini punya Rico, tertulis di sini,” Kei menunjuk tulisan kecil di pojok kertas itu.

“Aku rasa ini terhubung dengan grup Werewolf Game itu ... terlalu banyak persamaan,” kataku akhirnya.

“Kalau benar Rico korbannya, kita tidak tahu statusnya sekarang. Jejak kita terkaburkan dan hanya berhenti di depan rumah ini,” kata Kak Han sambil berkacak pinggang dan mengerutkan dahinya. Tiba-tiba, suara sirene polisi memecah pikiran mereka.

“Lihatlah, pahlawan kesiangan datang,” Kak Han tertawa pelan dan keluar dari TKP, memakai kembali sepatunya.

“Baiklah, ini aneh, bagaimana bisa mereka baru sampai? Aku rasa mereka sudah ribut-ribut sebelum aku keluar dari rumah Hera atau ….”

“Kau salah dengar mungkin …,” Kak Han membalas kebingungan Kak Sean.

“Bisa jadi, oh, ya, Han, aku pinjam adikmu sebentar,” Kak Sean tiba-tiba menarikku keluar TKP dan berhenti berlari di sebelah rumah itu.

“Cassie, kau masih ingat aku memintamu menggambarkan sebuah kejadian hanya dengan deskripsiku?” ini pertama kalinya aku melihat Kak Sean tampak memelas.

“Iya, ada apa?” tanyaku bingung.

“Tolong, bantu aku lagi. Hanya kau yang dapat menggambarkan deskripsiku dengan tepat.”

***

Aku terkejut saat tiba-tiba Kak Sean menarik Cassie, sepertinya sangat serius. Aku menghela napas dan kembali ke pekerjaanku, mencoba mengabaikan suara sirine polisi.

“Kei,” Kak Han memanggilku.

“Ya?” sahutku.

“Cepat bersembunyilah, mereka datang,” ia langsung menunjuk ke tempat Kak Sean dan Cassie tadi. Aku menyadari posisiku dan apa yang sedang aku lakukan, baiklah aku memang tidak punya izin untuk melakukan ini.

“Aku akan lari ke mobilku saja,” putusku tiba-tiba.

“Kei, jangan lupa jemput Cassie. Tidak hanya polisi, ada media massa juga kemari,” Kak Han memperingatkanku.

“Baiklah,” sahutku sambil berlari membawa semua barang-barangku menuju Cassie.

Di samping rumah itu aku bertemu Kak Sean dan Cassie, “Maaf memotong pembicaraan, Cassie, ayo, mereka datang.”

“Kamu tidak mau membantu Kak Sean dan Kak Han?” Cassie bertanya padaku yang masih sibuk dengan laptop sesaat setelah kami berhasil menyembunyikan diri di mobilku.

“Aku sedang mencari data pribadi Rico di sini dan ini ilegal, sebenarnya. Izin yang diberikan padaku hanya tracking dan CCTV milik pemerintah,” kataku.

“Yah, aku tahu itu …,” aku melihat Cassie membuka sketch book-nya dan melihat-lihat semua yang sudah berhasil ia sketsa.

“Petunjuk yang ditinggalkan benar-benar acak dan aku tidak tahu hubungannya,” gumamnya.

“Pengaburan jejak! Cassie, kamu tahu tidak kalau semua pemain yang sudah dihabisi akan keluar dari grup? Kartu yang dibakar dan disobek-sobek juga termasuk dalam pengaburan jejak. Kurasa dugaanmu tidak salah ….”

“Dua kasus itu berhubungan?”

“Aku khawatir itu memang sedang terjadi sekarang,” Ia tiba-tiba menutup laptop dan memasukkannya ke tasnya lalu menaruh kacamatanya di dashboard kemudian menyalakan mobil.

“Kamu mau membawa kita ke mana?” tanyaku bingung.

“Sebenarnya, kita punya tugas yang harus dikerjakan di luar TKP.”

***

Aku hanya tersenyum ketika bertemu lagi dengan sebagian kecil masa laluku. Sebenarnya dia masih cantik, sama seperti dulu. Tetapi apalah kecantikan dari luar jika dalamnya seperti jengkol. Ya, aku benci jengkol yang bau itu seperti aku membencinya sekarang.

“Lihatlah seorang pengkhianat yang berdiri di depan kita ini, masih ingin menantang kepolisian rupanya,” ia tertawa sinis padaku dan aku masih tersenyum.

“Tetapi warga sekarang lebih mempercayai kami, buktinya hari ini kami sampai ke tempat ini lebih da-”

“Sudahlah Sean, jangan habiskan energimu hanya untuk mendebat dia,” sergahku.

“Aish, baiklah, baiklah,” Sean menghela napas dan memijat-mijat kepalanya.

“Hei, Han Trio, kau tidak peduli sama sekali dengan rekanmu. Kau masih paksa pria pucat ini bekerja?” ia kembali menghujamku dengan hujatan kekanak-kanakannya. Sean tampak sangat geram padanya dan ingin melayangkan sumpah serapah.

“Kau kanak-kanaknan, Juni,” desisku sambil menarik Sean keluar dari perdebatan tidak penting ini. Mereka benar-benar pencari masalah.

“Sean, sekarang beristirahatlah, tidak ada penolakan, aku akan mengantarmu pulang. Jangan memikirkan apapun, kami akan mengurus semuanya,” kataku sambil menaiki motor Sean.

 

Sedetik kemudian aku menepuk jidat ketika aku sadar, “Aku tidak bawa helm kemari.”

 

***

Sementara itu, di laboratorium forensik, Kei dan Cassie sedang menanti hasil pengecekan sampel darah dari TKP.

“Kei, aku merasa kasihan melihat reaksi kedua orang tua Rico Setya Budi, tadi,” Cassie membuka pembicaraan dengan topik yang tiba-tiba keluar dari pikirannya.

 

Kei berhenti mengetik sesaat, “Ya, mereka sangat terkejut apalagi dengan pengakuan sang ibu yang mendengar suara anaknya tadi.” Sejenak mereka kembali terdiam, larut dalam pikiran masing - masing. Kei membenarkan kacamatanya lalu kembali ke pekerjaannya dan Cassie kembali ke buku sketsanya. Hanya suara detakan jam yang mengisi keheningan itu.

 

“Cassie, Kei,” Cassie langsung menghadap ke orang yang memanggilnya, “hasilnya sudah keluar.”

 

Rembulan kembali bersinar bersama bintang - bintang di angkasa. Han termenung di teras rumah Sean karena ia tidak bisa pulang. Ia ke TKP bersama Kei tadi dan motor rekannya sudah berada di rumah. Pikiran detektif itu melayang jauh, mungkin lebih jauh dari jarak bumi ke bulan. Sesekali ia mengetuk-ketuk kepalanya dengan jari.

 

Tin! Tin!

“Kak Han! Ayo masuk!” Pikirannya kembali ke dunia nyata ketika seruan itu masuk ke gendang telinganya. Han mengangguk dan segera memasuki mobil yang berhenti di hadapannya.

“Untung kau datang, Kei. Kukira kau tidak akan menjemputku,” kata Han pada rekannya itu, “mana Cassie?”

 

Pria itu menunjuk seorang perempuan yang tampak terlelap di jok baris kedua mobil itu berselimut hoodie merah marunnya, “Kurasa dia benar-benar lelah, bicaranya melantur tadi makanya aku suruh dia tidur. Dia terlalu memaksakan dirinya belakangan ini. Tiga belas lukisan dalam seminggu? Benar-benar ….”

 

“Kau peduli padanya,” Han terseyum.

“Aku hanya tidak tahan dengan topik pembicaraannya yang sangat random,” Kei tertawa. Namun, tetap fokus pada jalanan.

“Dia takut untuk menolak, itulah masalahnya,” balas Han, “jadi dia menerima semua pesanan yang ia dapatkan. Aku sudah bilang padanya untuk jangan bekerja terlalu keras, tapi memang dasar kepala batu.”

“Dia tidak mau menyusahkanmu, kak. Dia yang mengatakannya sendiri padaku,” kata Kei sambil tersenyum, “perempuan yang menarik.” Mobil itu sekali lagi berhenti tepat di depan halaman rumah Cassie dan Han.

“Perlukah aku bangunkan dia?” tanya Kei.

“Tidak perlu, biarkan dia-“

“Oh? Sudah sampai? Hei, kapan, Kak Han masuk?” Cassie menguap dan mengucek matanya.

“Pastinya saat kamu tidur,” balas Kei.

“Kei, kau akan pulang ke rumahmu malam ini?” tanya Cassie lagi.

“Tentu saja, memangnya aku mau tidur di mana di rumahmu?”

“Oh, ya. Sudahlah aku akan turun. Terima kasih tumpangan dan selimutnya,” perempuan itu mengambil tote bag-nya dan beranjak keluar dari mobil.

“Kei, terima kasih telah menjaga adikku hari ini. Maaf juga untuk ketidakjelasan anak itu,” Han menepuk bahu Kei dan tersenyum.

“Sama-sama kak, aku memang sudah mulai kebal dengan segala keanehannya,” pria itu tertawa kecil, begitu juga Han sebelum ia keluar dari mobil itu. Setelah pria 31 tahun itu melangkahkan kaki masuk ke rumahnya, Kei segera memacu laju mobilnya. Cassie langsung masuk ke studio melukisnya dan membuka sketch book-nya.

“Cassie! Di mana kau?” Han berdiri di tengah ruang tamu.

“Berisik! Aku di studio lukis,” Cassie berteriak dari dalam studio.

Tanpa basa-basi, Han segera masuk ke studio lukis adiknya itu, “Kembali bekerja, huh?”

“Yah, bagaimana lagi? September semakin dekat,” perempuan itu menjawab tanpa memalingkan pandangan dari pekerjaannya.

“Tidurlah sebentar, kau tidak bisa memaksakan dirimu bekerja terus-menerus,” Han duduk di sebelah Cassie dan menatap adiknya itu.

“Huh, kau sama saja dengan Kei. Kalian pikir aku lemah, begitu?” Cassie mengerlingkan matanya sebal.

“Hei, kau bodoh,” pria itu menjitak adiknya sendiri karena kesal, “Kau tahu Kei dengan terpaksa mendengarkan ocehanmu sebelum kau tertidur di mobilnya?”

Cassie terdiam sejenak, mencoba mengingat kejadian tadi, “Dia … tunggu, aku mengoceh?”

“Kau selalu seperti itu saat kelelahan. Sadari kelemahanmu,” Han menghela napas, “kau tidak harus pura-pura menjadi kuat untuk segala hal.”

Ditepuknya punggung Cassie sambil tersenyum. “Bagaimanapun dirimu, kau tetap adikku yang hebat.”

***

Drrrt...

“Hm?” aku melirik smartphone-ku yang berada di dashboard begitu suara itu muncul.

Werewolf Moderator – Werewolf Game-: Malam tiba, semua warga terlelap ….

Langsung saja kusambar smartphone, hoodie, dan tasku lalu turun dari mobil yang sudah aku parkirkan di dalam garasi.

“Aku harus tahu bagaimana cara peranku ini bekerja.” Aku segera masuk ke dalam rumah dan membaca pesan peran itu baik-baik.

“ ‘Peran pemain hanya bisa bekerja pada waktu malam hari. Semua pemain yang memiliki peran harus sungguh-sungguh menjalankannya tanpa ketahuan siapapun. Jangan tertidur dahulu sebelum kau mendapat giliran menjalankan aksimu.’ Hm … sepertinya aku harus berjaga lagi.”

***

Pria itu sesekali melirik jam dindingnya. Masih ada 10 menit lagi sebelum tengah malam, batas waktu pengumpulan pekerjaannya.

“Sebentar lagi selesai,” ia menghembuskan napas kasar, “ini laporan klien terakhir. Semangat diriku!" Keheningan terjadi di ruangan itu, hanya terdengar suara detakan jam yang berpadu dengan suara ketikan yang timbul dari keyboard laptop pria itu. Tiba-tiba, keheningan itu terusik karena makhluk aneh masuk dan menyerang pria itu dengan cakarnya yang tajam.

 

Di tempat lain, seorang pria muda sedang bersantai di kamarnya ketika seseorang berpakaian serba hitam menyelinap masuk ke kamar dan mencoba menyerangnya dengan sebilah pisau yang telah ia curi dari dapur korban. Beruntung, dia telah mempelajari teknik bela diri dan dapat mempertahankan nyawanya. Orang asing itu hanya dapat menusuk angin karena kegesitan pria tersebut. Namun, satu kelengahan si pria itu adalah kemenangan telak bagi si penyerang. Detik selanjutnya sang pria muda terkapar di lantai kamarnya dengan pisau dapur berlumur darah yang kini berpindah ke genggamannya.

 

***

“Ini gila, aku tidak mungkin pergi sekarang,” spontan aku menaruh smartphone-ku asal dan merebahkan diri. Ini semua gila, bagaimana bisa moderator itu menyuruhku melakukan peran itu sungguhan? Sudahlah, dia tak akan tahu kalau aku melanggar keinginan gilanya. Aku mengabaikan semua balasan yang masuk dengan berfokus pada lukisanku. Ini semua bukan apa-apa Cassie, jadi fokuslah pada pekerjaanmu dan anggap saja itu tidak pernah terjadi.

***

“Hanya Werewolf dan Serial Killer? Wah, orang-orang ini benar-benar tidak bisa membaca dengan baik. Oh! Lihat? Bahkan ada yang membalas broadcast kita di akun bot. Ini sebuah hiburan tersendiri.” Ia tertawa seakan-akan baru saja memenangkan sebuah penghargaan. Aku hanya meliriknya dan tidak memberikan komentar.

“Hei! Tidakkah kau akan melakukan sesuatu untuk membuat orang-orang ini melakukan perannya? Ini akan jadi permainan timpang apabila hanya peran jahat yang berjalan,” ia memalingkan wajahnya padaku.

Aku membuang napas kasar dan balik menatapnya, “Apa yang kau inginkan sekarang?”

“Ancam mereka atau apalah, buat mereka melakukan peran mereka,” kegilaannya kembali dan aku tidak bisa membantahnya lagi karena konsekuensi perbuatan itu akan membuat kepalaku dan keluargaku berlubang.

“Baiklah, akan aku lakukan seperti yang kau inginkan.”

***

“Hanya seperti ini? Baiklah, aku harus bersyukur ini bukan peran yang rumit dan berbahaya. Mungkin sekarang aku bisa tidur setidaknya satu jam sebelum hari esok datang,” Kei melepas kacamatanya lalu menutup laptop dan merayap ke atas kasurnya. Ia mengirim pesan pada Han lewat ponselnya.

Aku sudah menemukan relasi Rico, dia adalah kekasih Helena.

Kei berpindah roomchat dengan nama Cassiopeia dan mengirim pesan di sana.

Cas, apa kamu masih terjaga?

Tepat setelah ia mengirimkan pesan, sebuah pesan dari roomchat lain masuk ke ponselnya. Kei langsung terbangun ketika membaca pesan itu, “Tidak ... tidak ... jangan sampai Cassie menerima pesan seperti ini.”

 

Kekhawatiran Kei telah terjadi, Cassie juga menerima pesan serupa. Badannya gemetaran, tangannya menjadi dingin, napasnya memburu, wajahnya memucat, bibirnya mengucapkan kata ‘tidak’ berkali-kali. Ponselnya tergeletak begitu saja di pojok ruangan, ia mengabaikan semua pesan yang masuk.

 

“Cassie, kau baik-baik saja di sana?” Han mengetuk pintu luar studio lukis itu setelah mendengar teriakan Cassie dan suara benda yang dilempar. Tidak ada jawaban, perempuan itu mengerjapkan matanya dan menggelengkan kepala. Ia melawan rasa pusing yang menyerangnya. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, kakak Cassie itu segera masuk ke studio lukis dan mendapati adiknya yang sudah tidak sadarkan diri.

“Cassie, bangunlah ....” bisiknya perlahan sambil menepuk punggung adiknya itu. Ia menghela napas dan mengangkat tubuh Cassie, memindahkan adiknya itu ke kamarnya.

Han menyelimuti adiknya dan berbisik pelan, “Istirahatlah.” Pria itu mencoba mengecek suhu tubuh Cassie, hasilnya normal. Lalu apa yang salah dengannya sampai ia pingsan seperti itu? Apa yang sudah ia lewatkan tentang Cassie? Han bertanya-tanya dalam hatinya. Ia mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari Werewolf Moderator.

Werewolf Moderator : Lakukan peranmu, Callahan Evano Nandana. Aku tahu di mana kau saat ini.Mendekam di dalam rumah seperti seekor siput penakut.

“Jangan-jangan Cassie menerima pesan ini juga ....” pria itu mengangkat kaki perlahan dari kamar adiknya dan kembali ke studio lukis.

Ia mengambil ponsel Cassie perlahan dan menyalakannya sambil menggumam, “Tidak salah aku memberikannya smartphone tahan banting.” Mata kecokelatan Han langsung menangkap sebuah pesan di bar notifikasi yang berasal dari Werewolf Moderator.

Werewolf Moderator : Lakukan peranmu, Cassiopeia Putri Edeline. Jangan kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan sekarang. Kau sedang mendekam di dalam rumahmu ‘kan?

“Benar-benar pencari masalah!”

Terpopuler

Comments

Reanza

Reanza

Baca sampai sini dulu

2020-07-03

1

Asih Triani

Asih Triani

semangat semangat....

2020-06-29

1

Yora yoshua(Hiatus)

Yora yoshua(Hiatus)

semangat

2020-05-08

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!