Chapter II : Fate of Villagers (Part 2)

Mobil SUV hitam itu berhenti di halaman depan rumah bercat abu-abu muda. Sepasang sahabat keluar dari mobil itu lalu masuk ke rumah. Kemudian, Cassie dan Kei memasuki studio lukis Cassie bersamaan. Pria mengedarkan pandangannya dan menemukan 5 kanvas yang masih berisi sketsa.

“Cassie … kamu kuat mengerjakan ini semua?”

“Yah, menurutmu?” Cassie melepas cardigannya, lalu menggantungnya di balik pintu dan hanya memakai kaus tosca yang berpasangan dengan celana kain hitam.

“Aku tak akan meragukanmu, kamu bisa,” laki-laki itu terkekeh dan mengambil tempat di dekat pintu studio.

“Kamu akan mulai melakukan pekerjaanmu lagi ‘kan?” kata Cassie sambil menggelung rambut panjangnya yang tadi terurai dan menahannya dengan sebuah kuas yang tangkainya sudah patah.

“Bagaimana lagi?” Kei kembali sibuk mengeluarkan laptop dan memakai kacamatanya.

“Baiklah, bilang aku kalau menemukan sesuatu,” sahabatnya kembali menenggelamkan diri ke lukisannya.

 

“Hei! Kamu tidak punya hiasan rambut yang lebih bagus dari kuas patah itu kah?” Kei tiba-tiba berkata sambil menahan tawanya.

 

“Hanya ini yang aku punya, uangku hanya untuk makan, kuota internet, bayar listrik, beberapa skincare, hobi dan peralatan melukis. Lagi pula aku tidak telalu menyukai perhiasan,” jawab Cassie tanpa menoleh.

“Hobi, ya? Termasuk barang-barang berbau Iron Man, Star Wars, dan Spongebob di luar pintu kamarmu dan rak itu?” Kei menunjuk rak kecil berisi berbagai benda dengan tema Spongebob, Star Wars, dan Iron Man di dalam studio itu, “Hei, tunggu. Ini boneka Spongebob dariku?” Pria itu mengamati lekat-lekat boneka spons kuning yang tersenyum lebar berukuran sedang itu.

“Yah, begitulah,” jawab Cassie pendek.

 

“Ei, kamu masih menjaganya dengan baik.”

 

“Bukan hanya itu, aku menaruh gelas stromtrooper dan Blu-ray Iron Man pemberianmu di rak dekat kamarku. Aku baru membereskannya hari Minggu yang lalu,” perempuan itu berbicara tanpa menoleh.

“Baiklah, baiklah ... biar aku tebak … kamu tidak punya aksesoris lain selain anting-anting itu ‘kan?” lanjut Kei sambil mulai mengetikkan sesuatu di laptopnya.

“Hm, kamu mengetahui diriku dengan baik,” gumam Cassie sambil tersenyum.

 

“Nah! Aku menemukan sesuatu!” seru Kei tiba - tiba sambil menjentikkan jarinya.

 

“Apa yang kamu temukan?”

“Pesan Werewolf Moderator pada Helena dan Kak Hera tentang peran mereka,” jawabnya.

“Kei, orang biasa seperti diriku pun tahu peran mereka villager,” kata Cassie.

“Tetapi kamu tidak tahu ‘kan narasi peran mereka?” Kei tersenyum puas melihat Cassie yang mematung.

“Baiklah, kalau itu aku memang tidak tahu.”

“Jadi, narasi peran mereka adalah ‘Just accept your fate.’ Bukankah ini sesuai dengan sisa kertas yang terbakar itu?” jelas Kei.

“Jadi, intinya ….”

“Kertas itu adalah kartu peran mereka yang berusaha dilenyapkan,” pria itu menarik kesimpulan.

“Oh, ya, untuk memastikan. Kamu semalam mendapat antaran surat tidak?” Kei bertanya.

“Hm, iya, aku dan Kak Han mendapatkannya,” Cassie mengangguk.

“Aku juga mendapatkannya, aku tidak tahu kapan datangnya, yang jelas seusai aku makan di luar rumah, surat itu ada di sela pintu rumahku,” ia bercerita.

“Tunggu, bukannya kamu jarang memberitahu alamat rumahmu?” sela Cassie.

“Aku malah tidak pernah memakai alamat rumahku untuk apapun itu, yah, kecuali kartu kependudukanku sih,” jawab Kei.

 

“Kei, apakah kamu pernah berpikir akan melawan orang yang sepandai dirimu dalam hal ini?”

 

“Penah satu, dua kali.”

“Kalau begitu, si pengirim kartu ini kemungkinan adalah orang seperti dirimu.” Cassie mengubah nada bicaranya.

“Mencari alamat orang itu mudah, Cas. Kamu juga bisa melakukannya. Tidak mungkin ada orang yang sepadan denganku melawan diriku karena aku hanya tahu ada satu orang yang benar-benar sepadan dengan diriku ....”

Sementara itu, di Restoran Pandawa yang agak jauh dari rumah Cassie, seorang driver ojek online berseragam hijau turun dari motornya dan masuk ke dalam restoran.

“Selamat siang, selamat datang di Restoran Pandawa,” penyambut tamu itu menundukkan kepala dan tersenyum pada seorang driver ojek online yang baru saja masuk. Si driver kagum, karena mereka masih sopan walaupun pada seorang kurir barang sepertinya.

“Selamat siang, Anda mau pesan apa?” tanya pelayan kasir. Pria itu langsung melepas masker dan helmnya.

“Bakmi Jawa satu porsi untuk dibawa pulang,” jawabnya. Pelayan kasir itu mematung.

“Apakah ada yang salah?” tanya si driver pelan.

“Ti … tidak ada, maafkan saya Kak Dean,” pelayan kasir itu membalas dengan terbata-bata.

“Jangan seperti itu, aku hanya manusia biasa,” ia tersenyum.

“Hei! Dean, berhenti menggoda karyawanku,” seseorang berteriak di belakangnya. Ia berbalik dan melihat teman lamanya di sana.

“Rangga, kau tahu ini aku?” tanyanya bingung.

“Tentu saja, bagaimana aplikasi transportasimu?” tanya Rangga setelah ia menyalami pria itu.

“Semua berjalan lancar,” pria itu, Dean, tersenyum kemudan menghela napas.

“Ada apa? Tiba-tiba memasang wajah seperti itu,” secara tidak sadar Dean memasang wajah lelah. Baiklah ini tidak boleh terjadi, pikirnya.

“Tidak ada, aku hanya terpikir mitra kerja di perusahaanku yang tiap hari harus ke sana kemari demi pelanggan,” jawabnya.

“Oh, jadi kau sedang menyamar?” tanya Rangga dengan nada polos.

“Yah, tentu saja. Jadi, lebih baik berikan aku pesanan pelangganku sebelum aku terkena amukan,” katanya sambil tertawa.

 

“Nah, berikan dia pesanannya. Usahakan cepat ya,” pesan Rangga pada karyawannya, “Hari ini aku bertemu banyak teman lama, lucu sekali, pertama, aku bertemu Kei yang membawa serta Cassie, yah, Kei memang sering kemari. Namun, ini pertama kalinya aku bertemu Cassie lagi. Kedua, aku bertemu Arkana yang membawa serta karyawannya, lalu sekarang bertemu kau yang menyamar menjadi seperti karyawanmu.”

“Kei dan Cassie? Ei? Aku melewatkan apa setelah lulus SMA?” ia tertawa kecil.

“Mereka masih bersahabat,” jawab Rangga pendek.

“Hanya itu? Aku tahu benar sifat Kei yang cuek, bicara seperlunya tetapi menusuk, dan dingin tetapi bisa mengetahui semua anak di angkatan kita itu disukai banyak perempuan, mereka menganggap dia misterius, sementara itu Cassie, dia perempuan dengan masalah berat yang beruntung bisa menedekati Kei yang punya sifat aneh itu,” lanjut Dean.

“Yah, sebagai orang yang senantiasa berebut medali olimpiade sains nasional cabang teknologi informasi dengannya tentu saja kau hafal dengan segala sifatnya. Sepertinya ia sudah sedikit berubah karena Cassie sekarang. Sifat cueknya menguap entah ke mana,” balas Rangga, “dulu mungkin seluruh sekolah mungkin bosan mendengar nama kalian sebagai penyabet medali emas dan perak tiap tahunnya.”

“Masa itu … huh, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Kabar tentangnya masih sering aku dengar dari berita karena kejeliannya melihat jejak di TKP. Senang sifatnya bisa berubah menjadi peduli karena Cassie,” kenangku sambil tersenyum.

“Kalian berdua sama-sama menjadi idaman kaum hawa, kau tampan rasa lokal sementara Kei sering disandingkan dengan salah satu member boyband SHINee itu, bahkan aku sampai hapal, aku merasa seperti remahan kerupuk di sini, benar-benar bukan apa-apa dibanding teman seangkatanku yang lain,” Rangga melontarkan tawa getir pada dirinya.

 

“Jangan berlebihan! Seharusnya masa -masa itu sudah berhenti karena aku sudah menikah,” sahut Dean sambil memainkan cincin emas putih di jari manisnya.

 

“Ya, dan kau sudah memiliki anak. Seandainya saja aku secepat kau dalam menemukan pasangan,” Rangga mulai berandai-andai.

“Bakmi Jawa dibungkus, satu!” pelayan kasir itu berteriak.

“Itu pesanan pelangganmu, sebaiknya cepat kau antarkan,” Rangga beranjak dan menepuk punggung Dean. Ia menangguk dan segera mengambil pesanan.

“Melewati jatah waktu, semoga pelangganku itu mengerti.”

***

“Percayalah padaku, waktu itu aku tidak ada di sana. Aku sedang demam.” Sungguh, selama aku hidup aku tak ingin sekalipun berurusan dengan polisi. Namun kasus itu memaksaku untuk berhadapan dengan penyidik tua ini. Penyidik yang sering Han ceritakan.

“Ya, wajah pucatmu yang memberitahuku. Kita sudahi saja, kau boleh pulang, Saudara Sean.”

“Dan Anda belum mendapatkan apapun tentang pembunuhnya, benar ‘kan?” aku menatap mata penyidik itu dengan tajam.

“Kau mau apa lagi? Tim kecil kalian juga tidak menemukan apa-apa bukan? Lagi pula kau hanya seorang fotografer yang tak berguna,” kata-kata itu tidak mengendurkan tatapanku.

“Aku tahu bagaimana cara Anda menangani kasus. Jika tak ada jalan atau bukti lagi Anda akan menutupnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan orang terdekat korban dan aku akan meluruskan, aku bukan fotografer biasa seperti yang Anda katakan itu.”

“Kau masih muda, jalanmu masih panjang, sebaiknya kau jangan mudah terpengaruh oleh Anjing Gila itu,” ia merendahkan suaranya dan menatapku balik.

“Detektif Han mungkin memang Anjing Gila. Namun, ia jauh lebih baik daripada Anda,” balasku juga dengan nada rendah.

“Huh, baiklah kalau begitu menurutmu ….”

“Aku tidak percaya kau menghabiskan waktu 5 menit hanya untuk mendebat dia. Itu tidak perlu, Sean,” Han menghela napas dan mengusap rambutnya yang gondrong.

“Entahlah, ia terasa seperti menyepelekan kasus ini. Itulah mengapa aku marah,” kataku berterus terang.

“Kau harus terbiasa dengannya sekarang. Aku menduga tidak hanya satu kali, kalian akan bertemu berkali-kali.”

***

“Aku masih tidak tahu harus mulai mencari dari mana. Bukti ini masih terlalu umum dan kita tidak punya orang yang dicurigai,” aku diam-diam melirik Kei yang menggumam sendiri. Setelah itu aku kembali menyelesaikan mengecat lukisan potret itu.

“Cas, kamu tidak akan istirahat dahulu?”

“Tidak, lagipula kamu juga tidak berhenti menatap layar laptopmu,” balasku sambil terus mengecat kanvas kedua untuk hari ini.

“Baiklah aku berhenti!” teriakan Kei membuatku terkejut dan membuatku langsung memalingkan kepala untuk melihatnya. Aku langsung tertawa ketika melihat dia melepas kacamata, mengangkat tangan, dan membuat ekspresi pasrah.

“Kalau kamu ingin beristirahat, lakukanlah sendiri. Aku harus cepat menjadikan lukisan ini sebelum tanggal 2 September datang,” kataku pelan.

“Tetapi memaksakan dirimu bekerja di luar kemampuanmu itu dilarang karena kamu manusia, Cassie. Lagi pula processor komputer yang di-overclock saja bisa-bisa mengalami blue screen of d-“

“Baiklah aku akan istirahat sebentar dari pada mendengarmu ceramah tentang komputer,” aku membereskan alatku dan keluar dari studio.

***

Yah, Kak Han memang benar. Ia akan menurut jika aku menyisipkan hal yang tidak ia minati di ceramahku. Sepertinya aku akan memakai senjata ini jika ia terus-terusan keras kepala.

“Kau mudah sekali di kalahkan,” kataku padanya.

“Maksudmu?” tanyanya kebingungan.

“Kau menurutiku hanya karena tak ingin mendengarkan ceritaku tentang overclock,” aku tertawa kecil.

“Bukan karena itu sebenarnya,” ia tertawa.

“Lalu?”

“Ya, karena dirimu yang sangat ingin beristirahat,” katanya sambil tetap tersenyum. Ah, sial, Kak Han salah tentang ini. Aku tertawa canggung, aish, kau terlalu percaya diri Kei.

“Kei, apakah kau tidak merasa menjadi seperti babysitter-ku?”

“Ei, jangan bilang seperti itu. Aku menjagamu karena …, entahlah, mungkin … karena aku merasa harus,” aku tertunduk dan pura-pura menggaruk tengkuk, “Kau sudah seperti saudaraku sendiri, errr ... seorang adik yang tak pernah aku miliki.”

Ia mengangguk-angguk, kupikir dia paham. “Kau tahu-“

Ting! Tong!

“Sebentar!” Cassie segera pergi membukakan pintu. Aku menggerutu dalam hati, mengapa aku selalu gagal menyampaikan sesuatu yang penting padanya?

“Sedang mengerjakan lukisan, huh? Istirahatlah.”

“Kak Han, aku sedang istirahat. Sok tahu,” ia tertawa, aku selalu menyukai tawanya. Maksudku, hanya orang yang bermasalah saja yang tidak senang melihat orang bahagia.

“Apa yang kau dapatkan sekarang Kei?” Kak Han sekarang berdiri didepanku.

“Errr … aku mendapatkan beberapa orang yang berhubungan dengan Hera dan Helena. Cassie menyeketsa ulang beberapa adegan rekaman CCTV, yah, semuanya berjalan lambat sebenarnya,” aku kembali menunduk.

“Sekecil apapun hasilnya itu tetap sebuah kemajuan, kerja bagus,” Kak Han menepuk pundakku.

“Kak Sean mana? Aku tidak melihatnya,” tanya Cassie sambil mencoba untuk mencari keberadaan Kak Sean.

“Dia akhirnya mau pulang setelah aku bujuk. Dia butuh menenangkan diri juga,” ia menghela napas, “Jadi, bolehkah aku melihat hasil kerjamu, Kei?”

***

Sudah jam 14.00 sekarang dan semuanya masih terasa tidak nyata bagi Sean. Ia belum bisa menerimanya dan masih menyesali mengapa ia tidak bisa melakukan apapun untuk menemukan pembunuhnya. Ia hanya bisa berandai-andai dan merutuki diri.

Namun, di saat yang sama Sean tahu itu semua tidak akan mengembalikan Hera, bahkan jika ia memohon kepada Tuhan sekarang pun juga percuma. Sean bertekad untuk melakukan sesuatu yang dapat memberikan pencerahan pada kasus ini.

Tiba-tiba ia mendapat ide. Sean segera melangkahkan kakinya keluar rumah. Tidak ada waktu yang boleh terbuang untuknya, pembunuh Hera pasti bisa ditemukan. Ia yakin kemampuan istimewanya dapat mengungkapkan sesuatu.

***

“Arkana? Yang benar saja? Mereka menuduh berdasarkan apa?” aku menatap layar smartphone heran.

“ Kau tahu ‘kan bagaimana kisah percintaan Helena dan Arkana dulu? Yah … tetapi, bodoh juga kalau Arkana memang melakukan itu,” sahut Kei.

“Aku rasa Arkana tidak sebodoh itu. Bahkan kalau salah satu dari mereka melakukan pembunuhnya seharusnya Helena yang membunuh Arka-“

“Itu tidak penting dan tidak berhubungan. Hentikan,” Kak Han tiba-tiba menyela.

“Lalu, kasus hari ini? Itu tidak berhubungan dengan grup aneh itu?” tanyaku nyaris menantang kakakku sendiri.

“Tidak ada cukup bukti untuk menyimpulkan ini semua berhubungan atau tidak.”

“Mau sampai berapa korban lagi, Kak? Kartu peran yang dibakar itu belum cukup?” tantangku lagi.

“Cassie, kau tahu apa soal memecahkan kasus seperti ini? Kau hanya mengandalkan perasaan tanpa logika.”

“Ya, kau benar! Aku memang tidak tahu apa-apa soal dunia detektif. Seorang Detektif Callahan dengan logikanya yang hebat bisa memecahkan segalannya, pertimbanganku selama ini tidak diperlukan lagi. Lebih baik aku menyelesaikan lukisan ini daripada membuang-buang waktu,” aku masuk kembali ke studio melukis dan mengunci pintunnya. Mungkin juga kakakku benar, tidak seharusnya aku ikut campur begitu jauh selama ini.

***

“Sial! Siapa yang memulai ini semua,” aku mengacak-acak rambutku kesal.

“Ada apa Ar?” Anna bertanya dengan suaranya yang lembut.

“Ah, tidak ada apa-apa. Aku akan cepat membereskan barang-barangku di sini,” aku cepat-cepat menata mejaku dan mengambil beberapa barang penting.

“Baiklah kalau begitu, aku akan kembali menjaga mereka,” ia berbalik arah dan melangkahkan kakinya keluar. Aku kembali mengarahkan mataku pada smartphone di tanganku. Semua tuduhan di grup Werewolf Game ini, apa maksudnya? Banyak dari mereka menuduhku sebagai komplotan Werewolf, huh, apa mereka ini tidak memiliki pekerjaan sehingga bermain permainan lama ini? Ck … aku tidak punya waktu untuk ini.

Segera saja aku menekan pilihan keluar grup. Namun, setelah berkali-kali mencoba, akunku tetap berada di grup itu.

Maaf, tetapi aku tidak ada kaitannya dengan semua ini.

Itulah pesan yang aku kirim di grup. Berbagai sahutan pun muncul, aku tak tahu

bagaimana harus membendung semua ini.

“Aku benar-benar tidak mengerti mereka masih mengaitkan drama perselingkuhan cinta monyet sepuluh tahun lalu dengan kematian Helena,” aku menghela napas dan kembali menelusuri beberapa chat yang menumpuk.

Seketika tanganku berhenti karena menemukan roomchat aneh, “Werewolf Moderator?”

***

“Cassie,” ini sudah kesepuluh kalinya Kei mengetuk pintu studio melukis Cassie dan masih gagal pula.

“Sudahlah, biarkan dia sendirian dahulu,” kata Han pada rekannya. Pria muda itu menyandarkan dirinya di depan pintu studio melukis sahabatnya dan melanjutkan pekerjaannya.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya pada Kei.

“Mengkerucutkan kemungkinan tersangka dengan jejak digital,” jawabnya, “Aku setuju pada Cassie. Aku juga memeriksa data akun orang-orang yang ada di grup misterius itu. Kau tahu, kak. Orang-orang dalam lingkaran tersangka ini juga ada di grup itu. Bukankah kau bilang untuk selalu mencurigai semuanya?” Han menghela napas. Ia masih mengeraskan diri. Permainan bodoh dan kasus serius ini tidak akan bisa menyatu.

Sementara itu di TKP pembunuhan Hera, sirine mobil polisi masih meraung-raung dan garis polisi masih terpasang. Warga berkerumun untuk melihat TKP, wartawan mewawancara warga sekitar, dan para reporter melakukan liputan langsung. Seorang pria mengawasi semua itu dalam diam. Ia mengakui kerja Werewolf memang bersih. Namun, ia yakin mereka semua akan tertangkap lebih dahulu. Para aparat bahkan tidak bisa melacaknya dari 10 tahun yang lalu. Tentu saja ia akan memenangkan permainan ini, terlebih lagi sebuah skenario telah disiapkannya.

***

“Sekarang sudah pukul 3 dan mereka bertahan pada tuduhan yang sama? Whoa,” kataku sambil menyantap seporsi bakmi jawa.

“Kau mau?” aku menawarkan makanan ini pada si Moderator Bot.

“Tidak, terima kasih,” matanya masih setia menatap area permainan di monitor.

“Bodoh, padahal 3 Werewolf dan satu Serial Killer dan mereka hanya menuduh Arkana ini?” aku berdecak, “kasihan sekali.”

“Pemain kunci yang kita harapkan memberi petunjuk juga tidak muncul,” ia melaporkan.

“Itu karena mereka berpikir lebih dalam dari orang-orang ini,” balasku sambil kembali memasukkan satu suap bakmi jawa.

“Namun, aku ragu mereka mempercayai permainan ini bukan sekadar permainan.”

***

“Berhenti di sana,” dua polisi yang berjaga tiba-tiba menghalangiku di depan pintu rumah Hera.

“Ada apa? Apakah ada yang salah?” tanyaku heran.

“Tidak sembarang orang bisa masuk ke TKP, Anda tidak tahu peraturan itu?” seorang polisi berkata.

“Saya bukan sembarang orang, saya Sean Sanjaya Adi, fotografer lapangan dari tim detektif swasta Callahan. Saya punya izin tersendiri dari negara.“

“Orang dengan izin istimewa, orang-orang seperti itu selalu banyak pamer, benar ‘kan Sean?” seorang polisi lain muncul entah dari mana dan langsung mengulurkan tangan, “Perkenalkan, saya Ipda Dimas Mahesa, penyidik dari kepolisian."

 

Aku menjabat tangan orang itu dengan canggung, bahkan aku setengah mati berusaha menghindari kontak dengan orang lain, “ Saya Detektif Fransiscus Sean Purnama Adi." Hanya dalam hitungan detik aku melepas jabatan tangan itu.

 

“Ada apa? Kau begitu terburu-buru?” tanyanya.

“Tentu saja, saya harus memastikan kembali beberapa hal di TKP, bukankah hari ini kita sudah berkomitmen untuk tidak saling menghalangi bukan?” kataku berterus terang.

“Saya juga sudah mendengarnya, Detektif Han dan Ipda Dion yang memulainya. Kalau begitu, kalian jangan menghalangi dia. Biarkan dia mencari apa yang dia perlukan. Tetapi, kerja yang bagus, Rico, Juno, kalian bisa segera berganti shift untuk hari ini. Kau bisa menenangkan diri dulu, Rico,” dua polisi yang tadi berjaga memberi hormat dan meninggalkan TKP.

Aku tersenyum, dia tidak semenyebalkan seniornya ternyata, “Terima kasih.”

***

Haus ini benar-benar menyiksaku. Aku bisa tahan tidak tidur tiga hari. Namun, tahan haus berjam-jam tanpa minum apapun? Tidak bisa. Perlahan aku membuka kunci pintu studioku dan melihat sekitar.

“Waktu yang sangat tepat, aku butuh membicarakan bukti ini padamu,” Kak Han berdiri didepan pintu. Baiklah, ini aneh, tiba-tiba saja dia ingin mebicarakan bukti kasus padaku setelah sebelumnya ia mengataiku. Aku hanya berdiri menunggu apalagi yang akan ia katakan.

“Maaf,” kata-kata yang aku tunggu akhirnya keluar juga, “bukannya aku sudah setuju padamu tetapi, aku tahu yang tadi terlalu kasar, kekanak-kanakan, dan aku masih membutuhkanmu.”

Aku tersenyum, “Aku memaafkanmu, Kak. Aku akan mengurangi perasaanku pada suatu kasus, kalau aku diiizinkan membantu lagi. Sekarang biarkan aku minum ….“

 

Tiba - tiba saja Kak Han berlari ke dapur dansudah kembali dengan segelas air, “Ini, maafkan aku. Tidak seharusnya aku membuatmu mengunci diri.”

Cepat -cepat aku meminum air mineral itu dan tertawa kecil, “Kak, jangan terlalu merasa bersalah. Aku bisa menyelesaikan satu setengah kanvas karena kekonyolan kita tadi. Nah, sekarang bukti apa yang mau kau bahas?”

 

“Gigitan serigala, ukuran kaki Serial Killer, cara membunuh, kartu role yang dibakar, dan rekaman CCTV, yah, kita minim petunjuk memang. Semua TKP bersih dari sidik jari. Jadi, kita akan mulai dengan gigitan serigala. Tanda gigitan yang ada di tubuh korban Werewolf yang membuat leher korban patah ternyata bukan gigi manusia dari bentuk rangkaiannya,” kata Kak Han.

“Gigi serigala sungguhan?” tanya Kei yang menunjukkan wajah tidak percaya.

 

“Berdasar hasil yang aku dapatkan dari lab forensik memang begini adanya. Memang tidak masuk akal, sih,” kata Kak Han sambil mendengus, “Bagaimana dengan rekaman CCTV yang kalian dapatkan?”

 

“Rekaman yang samar-samar, tetapi Cassie bisa menyeketsa ulang rekaman itu,” kata Kei sambil membuka beberapa file di laptopnya.

“Menurut sketsa, tinggi makhluk ini tidak jauh berbeda denganmu,” jelasku. Kei memperlihatkan screenshoot CCTV kejadian, scan sketsaku dan screenshoot CCTV saat Kak Han berdiri di lokasi yang sama.

“Lihat? Bahkan mungkin tingginya sama denganmu,” sambung Kei.

“Dan … dia sebenarnya bukan manusia biasa?” Han meragukan sketsaku.

“Itu sesuai apa yang aku lihat di CCTV, mungkin mereka manusia serigala sungguhan,” jawabku.

“Bukti ini makin membuatnya tidak masuk akal. Kita har-“

Drrrt... Drrrt... Drrrt...

Aku mengambil smartphone-ku dari saku dan melihat bar notifikasinya.

“Moderator?” kataku setengah berteriak.

“Kita menerima pesan yang sama, lagi,” gumam Kak Han sambil mengetukkan jari ke dagunya.

“Setengah jam lagi menuju final vote. Baiklah, apa ini artinya kita harus memilih siapa penjahatnya 15 menit lagi?” kata Kei kesal, “ini gila.”

“Kalau hanya permainan sih, siapa saja bisa jadi Werewolf atau Serial Killer. Entahlah, aku masih merasa rasa ini bukan sekedar permainan biasa.”

***

“Sebentar lagi waktunya tiba dan satu hari ini akan menjadi lengkap,” ia menyeringai sambil mengemas pistol di balik jaketnya. Aku bergidik ngeri, 27 tahun aku hidup tidak pernah sekalipun aku berpikir akan bekerja sebagai bawahan orang kurang waras.

“Kau serius melakukan ini?” tanyaku dengan napas yang tertahan.

“Apakah aku terlihat seperti bercanda? Tentu saja, bodoh, aku akan melakukannya,” katanya sambil beranjak dari tempatnya berdiri sekarang menuju pintu utama ruangan ini, “untukmu, pantau terus arena kita, jangan pernah lepas pandanganmu dan kabari aku kalau Kunci kita muncul. Kau akan tahu akibatnya jika itu semua tidak kau jalankan.”

***

Akhirnya, setelah hari yang panjang dan melelahkan aku bisa beristirahat dan kembali ke rumah orang tuaku. Aku bisa membayangkan wajah bahagia mereka ketika bertemu denganku.

 

Segera saja kuketuk pintu rumah, “Permisi.”

 

Dor! Dor!

Suara peluru itu memasuki telingaku bersama dengan sebuah teriakan. Selanjutnya semuanya gelap dan aku tidak bisa merasakan apapun lagi.

Apa aku telah mati?

Terpopuler

Comments

Asih Triani

Asih Triani

ini 2000 kata kah.... panjang benget. ini saran dari aku ajah.... mending minimal satu chapter itu 1000 kata lebih jangan 2000. soalnnya kadang klo terlalu panjang jadi agak bosen... hehehe

2020-06-29

1

炎EijiYuki(ノ゚0゚)ノ→( ˶ ❛ ꁞ ❛ ˶ )

炎EijiYuki(ノ゚0゚)ノ→( ˶ ❛ ꁞ ❛ ˶ )

Aku penasaran ini berapa kata sebenarnya

2020-04-17

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!