“Aku hanya punya satu kunci yang bisa membantu kalian menemukan orang itu. ‘R’ berdasar pengakuan Lyra yang terpotong waktu itu,” Cassie menyampaikan petunjuk itu pada Kei seraya mencoba menenangkan tubuhnya yang masih sedikit gemetaran, “Kalian belum menemukannya?”
“Belum, tinggal satu lagi. Ah, maafkan aku Cassie, kau harus melihat itu di saat seperti ini,” sahabatnya itu menunduk, meminta maaf telah membuat ketakutan Cassie yang baru saja tercipta tahun ini kembali dengan skenario yang buruk.
“Itu bukan kesalahanmu sama sekali dan cukup menjelaskan perasaanku yang mengganggu,” tidak, sebenarnya perasaan itu masih ada. Bukan Kak Yuna yang ia rasakan dalam bahaya besar, tetapi kakaknya sendiri. Kei kembali bekerja dengan laptopnya, setelah tayangan tadi membuat benda itu melakukan restart otomatis. Kali ini ia membuat list orang-orang yang masih hidup dalam permainan dengan nama panggilan berawalan ‘R’.
“Randi, Ratna, Reevan, Rhea, Ren, Rena, Roni ….”
“Rangga?” tambah Cassie.
Kei mendengus mendengar nama itu, “Tidak, dia sudah mati setelah berusaha membunuhmu. Hukum tuai tabur masih berlaku di dunia ini.”
“Kei … kau … dia? Sungguh? B-bagaimana bisa?” tanya perempuan itu dengan mata lebar yang menghias wajahnya.
“Dia menyimpan dendam pada angkatan kita, semua orang, kemungkinan lainnya… dia tahu kau Guardian yang tidak pernah mau melindungi diri sendiri dan akan menghalangi balas dendamnya,” pria itu kemudian menghela napas, “itulah kebenaran. Maafkan aku yang terlalu jujur, setidaknya aku bisa menyimpan ini nanti sampai kamu sembuh, tapi ….”
“Tidak usah minta maaf lagi, ini lebih baik daripada aku mendengarnya dari orang lain,” Cassie menghela napas, menenangkan diri. Ia memusatkan pikirannya, memikirkan celah agar Kak Yuna dan kakaknya selamat semuanya. Tetapi, ia bahkan tidak bisa memikirkan siapa sang Pemimpin Werewolf ini. Rasa nyeri dan perih yang bergantian datang menganggu pikirannya.
“Sial,” rutuknya dengan lirih.
“Ada apa? Kau merasakan sesuatu? Atau ada bagian tubuhmu yang sakit?” Kei mengalihkan matanya dari laptop pada Cassie, merelakan berhenti untuk mendengar keluhan sahabatnya.
“Tidak, tidak ada. Hanya … kembali pelajari video itu Kei. Kau sudah merekamnya ‘kan? Mungkin ada sesuatu yang menunjukkan jelas keberadaan mereka. Kak Han bisa langsung menyusun strategi sesampainya di sini. Aku tahu pasti ada batasan waktu dalam ancaman,” perempuan itu memberi saran.
“Semoga fitur save otomatisnya aktif. Aku akan mencobanya, terima kasih,” Kei tersenyum sambil mencari file rekaman video ancaman tadi.
“Syukurlah tersimpan,” seberkas senyuman kembali terkembang lalu kembali bekerja dengan rekaman ancaman tadi. Kesunyian tercipta di ruangan Cassie yang tiba-tiba menjadi ruang kerja dadakan Han dan Kei.
“Kei … tumpukan buket bunga di nakas itu untukku?” Cassie menyela pekerjaan sahabatnya untuk mempertanyakan bunga-bunga yang hampir kering itu.
“Ya, semuanya.”
“Termasuk satu buket lili kuning itu? Agak aneh.”
Pernyataan itu berhasil membuat Kei berhenti sebentar dan bertanya, “Apa yang aneh?”
“Helsa pernah bilang, bunga itu adalah simbol kebohongan. Ah, apakah ada orang yang berbohong padaku dan ingin meminta maaf?” tebak Cassie.
“Atau … itu hanya bunga yang dipilih orang itu karena keindahannya,” balas Kei sambil kembali menaruh perhatian pada satu frame video itu.
“Ah, benar juga. Mungkin aku berpikir terlalu jauh. Lalu tentang ancaman Werewolf kepadamu, apa sebenarnya yang terjadi?”
“Ancaman itu! Dia memasang virus untuk memformat flashdisk dalam kurun waktu tertentu. Tidak bisa dipendam saja, mungkin aku harus berbagi pada seseorang yang lebih berwenang secara diam-diam. Media sekarang tidak dapat diandalkan seperti dulu, aku takut infonya akan bias atau berbelok dari kebenaran,” pria itu mengepalkan tangan, “tetapi teman kita mungkin dapat menjadi wartawan yang bersih. Tetap saja, mengirimnya pada yang lebih berwajib adalah yang makhluk itu mau.”
“Kau akan menunjukkan diri di kantor polisi, begitu saja?” Cassie mengerutkan kening.
“Tidak, bukan skenario seperti itu. Aku akan mengirim bukti secara rahasia. Ei, kau tahu ‘kan cara mainku?”
Han sudah sampai kembali di rumah sakit. Langkah lebar di ambilnya agar dapat cepat bertemu dengan rekan dan adiknya.
“Han! Han! Ah, untung aku bertemu
denganmu di sini,” seorang wanita yang mengenakan dress pendek monochrome berlari menghampiri pria itu.
“ Tasha-“
“Hasil penguraian DNA, masih terdapat rambut manusia. Ah, ada apa dengan dunia ini? “ Tasha menyerahkan satu map berisi file pembacaan DNA pada Han.
“Terima kasih. Ah, dunia ini memang sudah rusak. Aku pergi sekarang,” pria itu berlalu ke arah yang berbeda dengan Tasha. Kini ia harus berpikir secara jernih untuk menyelamatkan Yuna dan menangkap The Watcher sekaligus Werewolf terakhir.
Angin berhembus membelai rambut pendek perempuan dress putih yang hanya bisa duduk terpaku sambil memandangi jalanan Anagapura yang berhias lampu.
“Putri Yuna yang lemah, hanya bisa menebak siapa yang datang lebih cepat. Pangerannya atau kematiannya,” seekor serigala besar berperawakan mirip manusia, berdiri di atas dua kaki. Sesekali geraman keluar dari moncongnya. Rambut putih bersihnya menari bersama hembusan angin. Yuna tak memberi balasan atas kalimat itu. Ia berpikir, apakah mungkin baginya lolos dari sana tanpa terjatuh. Satu gerakan yang salah bisa menjatuhkan dia dan kursinya ke tanah. Sekalipun dia sudah lepas, bagaimana dia akan kabur? Makhluk itu hanya punya dia untuk di awasi. Gedung ini pun belum beropreasi, tidak akan ada siapa-siapa selain mereka. Telapak tangan mungilnya mempelajari borgol besi dan rantai yang membuatnya senantiasa melekat bersama kursi. Tidak ada lubang kunci! Benar-benar jalan buntu baginya.
“Mencari celah pembuka, ya? Aku tidak akan membeberkan kuncinya semudah penjahat di film-film. Pangeran Han milikmu itu yang harus berusaha mencarinya. Kau tidak bisa lepas. Hm, sekarang pukul 6 sore. Sudah satu jam berlalu.” Werewolf itu mendorong sedikit Yuna dan kursinya. Sekarang, seperdelapan pijakan bagian belakang kursi itu berada di udara.
“Grrr … ha, ha, ini menyenangkan,” geraman memenuhi udara atas gedung itu, membuat Yuna kembali mengharap dalam hatinya. Semoga Han selamat waktu menghadapi makhluk aneh ini.
“T-traitor?” kata-kata keraguan yang lirih keluar dari mulut Cassie yang masih terbaring.
“Ya, Kak Sean adalah Traitor. Namun ia menguntungkan kita di saat terakhir,” Kei memastikan.
“Itulah mengapa dia memberiku pisau lipat untuk melindungi diri. Rupanya dia tahu … dan Kak Han …,” Han menoleh ke adiknya, memasang wajah ada-apa-lagi, “Apakah Kak Sean salah sepenuhnya?"
“Tidak, Cas. Dia tidak pernah mau membantu para Werewolf. Karena salah satu dari mereka menyerang dirimu, ia menyerahkan diri,” pria berhidung mancung itu melepas jaketnya dan membaca file yang ada di tangannya.
“Tempat ini tidak dapat dilacak dari pengiriman. Hanya saja, apakah mungkin untuk mencari tempat dari arah angin?” Kei masih menatap kibaran rambut tunangan kepala timnya dan semburat senja yang terjadi saat video itu ditayangkan.
“Mungkin bisa, coba aku ingin mendengar hasil pengamatanmu, Kei.”
“Dari rambut Kak Yuna dan semburat cahaya matahari. Tampak angin membelokkan rambut Kak Yuna ke barat daya, asal anginnya dari timur laut. Cahaya matahari condong ke utara, mungkin itu bangunan di bagian selatan. Tempat Kak Yuna duduk kemungkinan ada di utara. Kalau berdasar suara, sepertinya tenang. Bukan pusat kota. Gedung tinggi, mungkin 4 lantai dan sepi. Secara logika kalau gedung itu ramai, pasti akan ada orang menangkap gerak-gerik aneh. Argh! Tetapi itu masih terlalu luas,” Kei mengetukkan kakinya pada lantai, ia belum puas dengan pekerjaanya.
“Tenanglah, itu cukup bagus sebenarnya. Kalau katamu itu gedung tinggi tidak berpenghuni di bagian selatan, mungkin kau bisa menggunakan kemampuanmu di internet,” Han mengunakan ketenangannya untuk membantu Kei mengusir kabut di otaknya.
“Ah, baiklah, Kak. Coba aku libat di peta street view dan peta satelit dan mencari status gedung,” ia tidak membuang waktu untuk berbicara lebih banyak lagi. Laptop kesayangannya sudah menampilkan peta satelit dan cursor yang ia kendalikan bergerak lincah menelusuri tiap gedung di Anagapura bagian selatan.
“Hanya sedikit gedung di selatan, tetapi kebanyakan masih beroperasi. Kalaupun itu gedung sepi pastilah yang sudah tua, sementara itu bukanlah gedung tua,” gumamnya sambil sibuk mengarahkan cursor ke semua bentuk gedung di bagian selatan.
“Bagaimana kalau itu adalah gedung yang benar-benar baru?” sahut Cassie masih dengan suara lirih.
“Ah, bisa. Biar aku cari proyek gedung yang baru-baru ini selesai,” jari Kei kembali menekan susunan huruf di keyboard laptop dan menelusuri tiap data yang muncul.
“Sebentar,” Han bangkit dari posisi duduknya lalu menghampiri Kei, dengan cepat membisikkan sesuatu. Rekannya membulatkan mata sipitnya untuk beberapa saat, lalu kembali bersikap normal setelahnya. Cassie hanya berusaha menebak apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
“Terima kasih, kak,” Kei berkata lirih dan melanjutkan pencarian. Mereka meninggalkan satu-satunya perempuan di ruangan itu dalam tanda tanya. Sudah cukup berita buruk untuk Cassie hari ini, pikir Han dan Kei. Maka mereka sepakat untuk menyembunyikan yang satu ini sampai saatnya tepat.
“Mungkin yang satu ini, kak. Gedung yang baru jadi September ini,” si pria berkaus biru dongker menunjuk satu lokasi di peta digitalnya, “Letaknya ada di Kelurahan Pradanggapati. Hanya lima menit dari rumah kalian di Kelurahan Manadukara dan sekitar 9 menit dari sini, ke arah selatan. Gedungnya ada di jalan sebelum rumah sakit ini.”
“Sebaiknya sekarang atau tidak akan pernah. Lalu, bagaimana dengan ancamanmu?” Han melempar tatapan pada rekannya, tepat ke matanya.
“Aku sudah memikirkannya untuk menyebarkan itu ke beberapa titik. Aku harap akan berjalan dengan-“ jawabannya terpotong karena TV yang terpasang di dinding menyiarkan berita tentang kasus yang sedang mereka hadapi kini.
“Polres Anagapura telah mengeluarkam surat perintah penahanan dan penyelidikan untuk dua oknum polisi resor kota yang bekerja di bagian satreskrim. Salah satu tersangka kini berada di rumah sakit bersama dengan empat tersangka lain karena keracunan saat ditawan oleh dalang pembunuhan beruntun di kota Anagapura. Barang bukti yang di dapatkan dari tersangka ‘Serial Killer’ ada kertas, mesin ketik, cairan cuka, serta pisau dapur milik korban yang digunakan untuk membunuh. Dari kota Anagapura, Jawa Tengah, Sherly Septiani melaporkan untuk RCTV.”
“Kak Sean pasti berada di sana … bersama keparat itu …,” Cassie menatap Kei dan Han bergantian, meminta penjelasan.
“Ya, Cas. Dia di sana sekarang. Semoga saja bukan racun yang mematikan. Menurut peraturan moderator yang dibuat The Watcher, mereka harusnya mati,” kakaknya akhirnya buka suara dan bertekad menjadikam penjelasannya itu jadi kabar buruk terakhir bagi Cassie hari ini.
“Ah, benar-benar kejam The Watcher sekaligus Werewolf terakhir itu …. Akhiri ini dengan adil dan jangan sampai kalian terluka, Kak,” perempuan itu tersenyum, melempar harap pada Han.
“Aku akan selalu berhati-hati.”
“Kakak terakhir kali bilang begitu tetapi masih tergores pisau. Ini peringatan serius. Aku benar-benar tidak tenang sekarang,” tangan kakaknya yang tidak di perban mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut. Ia ingin Cassie tenang.
“Tenanglah, aku juga tidak bisa berjanji untuk tidak tergores satu sentimeterpun. Tetapi,” Han menarik tangannya dan membuat tanda janji dengan jari telunjuk dan tengah, “aku berjanji akan membawa Yuna dan diriku hidup-hidup. Istirahatlah, jangan berpikir terlalu banyak.”
Pria berambut gondrong itu memakai kembali helm full face milik Sean beserta sarung tangannya, “Kei, tunjukkan arahnya. HT-ku masih berada di frekuensi yang sama.” Cassie melihat kepergian kakaknya yanh kedua kalinya hari ini dalam diam. Hatinya selalu memanjatkan doa agar firasat yang tidak pernah ingin ia percayai meleset. Setidaknya sekali ini saja.
“Tik, tok, tik, tok, mana pangeranmu, Putri Yuna?” makhluk itu menunjukkan gigi-giginya yang tajam, berharap sanderanya takut.
“Dia akan datang, dia juga tidak akan terjebak,” balas Yuna dingin.
“Tidak ada jebakan di sini, Tuan Putri. Hanya pertarungan fisik dan pikiran,” kata Werewolf.
“Bohong,” hardik Yuna.
“Ah, ya kau bisa membedakan perkataan benar dan bohong. Tetapi, apakah aku sepenuhnya bohong?” Leader Werewolf menggeram sekali lagi dan kembali berkeliling di rooftop gedung kosong itu, menikmati semilir angin yang membelai bulu-bulu putih yang menutupi tubuh serigala berperawakan manusia itu.
***
Aku mendengus ketika lampu merah menyala, menggantikan lampu hijau. Hitungan mundurnya di mulai dari angka 123.
“Waktuku bertambah dua menit,” rutukku dibalik helm. Angka di papan LED itu mulai bergerak per-detik. Mataku mengamati sekitar, mengawasi kemungkinan adanya jebakan di jalan.
“Kak, aku akan mengarahkanmu ke jalan tikus. Sepertinya semua traffic light yang ada di jalanmu menunjukkan perhitungan abnormal,” Kei memberi tahuku fakta baru.
“Memang ada yang tidak beres sejak tadi, hijaunya hanya 10 detik. Terima kasih atas pemberitahuanmu,” helaan napas keluar untuk kesekian kalinya dari mulutku karena melihat lampu merah baru menunjukkan perhitungan limapuluh.
“Kak, kau bisa masuk ke Gang Parkit di kananmu,” rekanku itu memberi arahan lagi, “Hati-hati menyeberang.” Aku ancang-ancang sebelum menyeberang ke gang yang ditunjuk Kei. Saat jalanan sepi, aku segera melarikan diri dari hitungan abnormal itu.
“Tunjukkan jalan Kei, aku tidak tahu seluk beluk gang ini,” pintaku.
“Bukankah Kak Han tinggal di sekitar sini? Bukankah seharusnya kau lebih tahu?” tanya Kei agak bingung, sudah jelas dari nadanya. Aku hanya tersenyum, tidak membuang waktu untuk pertanyaan yang bisa dijawab nanti. Sebenarnya, aku pernah lewat sini, tetapi hanya tidak ingin tersesat. Itu akan lebih pasti dari pada menggunakan ingatanku yang agak kabur tentang jalan ini. Beberapa frasa ‘belok kiri’ dan ‘belok kanan’ diucapkan Kei berulang kali saat motor sport yang aku pinjam dari Sean melintasi gang-gang kecil menuju satu gedung besar.
“Satu kali belok kiri dan di seberangmu adalah destinasinya,” ia memberi satu arahan lagi. Ancang-ancang untuk menyeberang kuambil. Ketika jalan mulai sepi, kugas motor itu dan segera mengerem saat bannya sudah mencapai pintu gedung besar itu. Mataku menelusuri gedung itu secara otomatis. Benar juga pengamatan Kei, memang ada 4 lantai. Ah, dia memang cerdas. Di bagian atas ada nama gedung yang masih tertutup kain, jelas ini belum diresmikan.
“Selamat datang di teritoriku, Detektif Callahan Evano Nandana,” suara yang berat dan liar berpadu dengan geraman kembali memasuki telingaku. Satu senyuman terulas di bibirku sekarang, benar! Memang dia orangnya. Mengkesampingkan segala perasaan marah, aku menjawab panggilan itu lewat HT.
“Detektif Callahan Evano Nandana di sini, The Watcher. Sendirian, tanpa teman.”
“Masuk ke ruang parkir bawah tanah. Part akhir dari game ini akan segera dimulai.” Suara itu memberiku perintah yang sebaiknya kuturuti dengan tetap hati-hati. Aku kembali mengendarai motor itu ke parkiran bawah tanah, perintah lain dikeluarkan oleh The Watcher.
“Masuk ke pintu menuju anak tangga dan dalam perjalanan ke rooftop, cari kunci sandi untuk membuka gembok rantai Sang Putri. Petunjuk tempatnya, ‘aku bisa mengamati semuanya’. Mempermudah dirimu, aku tidak mengunci satupun ruangan di gedung ini dan memberimu sumber penerangan di lantai pertama. Oh, betapa baiknya diriku!” geraman mengikuti perintah itu dan ditutup dengan tawa, “May the miracle be with you, Han Solo.” HT-ku sudah mati sepenuhnya. Ketika aku mencoba menyalakan kembali, aku tidak bisa mendapatkan sinyal yang sama. Aku benar-benar menghadapi ini sendirian. Langkah pertamaku adalah mencari sumber penerangan dan mencoba menerka tempat yang dimaksud.
“Aku bisa mengamati semuanya? Bukankah itu jendela di lantai atas atau rooftop?” gumamku sambil mulai naik ke bagian atas. Lantai pertama adalah lobi, setidaknya begitu menurutku. Gedung itu benar-benar gelap dan penerangan belum berfungsi. Mencoba menajamkan kembali pengamatanku untuk mencari alat penerangan. Mataku menyusuri tiap sudut lobi, kemudian bergerak menuju ruang selanjutnya, sebuah lorong dengan beberapa pintu.
“Ruang pengamatan siber, ruang teknologi mesin, ruang software … menarik,” gumamku. Seperti masuk ke video game berlevel, diriku kini mencoba masuk ke salah satu ruang. Ruang teknologi mesin menjadi pilihanku. Di antara ketiga ruangan yang ada di lantai ini, inilah yang paling mungkin berkaitan dengan pencahayaan. Benar seperti perkataanya, tidak ada ruangan yang dikunci.
Masih dalam kecurigaan, aku melihat sekeliling ruangan. Ada cahaya emas di atas meja yang masih ditutupi plastik. Tampak begitu mudah, tetapi tetap saja, rasanya tidak bisa dipercaya. Sejurus pikiran menepis kecemasanku, ini adalah sebuah lab! Mana mungkin ada pengaman selain di pintu? Sekali lagi lirikan, memastikan semuanya aman dan aku kembali melangkah mengambil lentera yang bercahaya emas.
“Cahaya sudah ditanganku, sekarang, mencari kunci.”
***
“Apakah sudah terlambat untuk memperingatinya, Kei?” mata Cassie menyorotkan pertanyaan ‘apakah ada harapan?’ padaku.
“Apa lagi yang harus kau peringatkan?” tanyaku, sebelum mengambil langkah memutuskan harapannya.
“Werewolf itu … tidak bisa mati kalau belum jadi manusia. Lukanya akan sembuh sendiri. Aku belum bilang pada Kak Han … ah, sudah terlambat ‘kan Kei?” ia menurunkan pandangannya dan mulai memasang muka muram. Cassie bersiap menyalahkan diri lagi.
“Tidak, walau sekarang aku tidak bisa mendapatkan frekuensi HT-nya sepertinya dia sudah tahu tentang ini. Tenanglah, jangan membebani pikiranmu untuk sekarang. Cukup aku dan Kak Han, Cas,” sekarang tanganku berada di puncak kepalanya dan berusaha untuk menenangkannya dengan beberapa elusan.
Kemudian kutarik tanganku dan kembali ke atas keyboard, “Permainan ini hampir selesai sedikit lagi. Jangan khawatir.” Hanya butuh hitungan detik bagiku untuk bergerak mengirimkan file-file itu ke kepolisian dan Eddy dengan email anonim.
“Seharusnya file-file ini segera diperiksa. Jika polisi tidak bisa bergerak cepat, setidaknya Eddy dan kawannya mau.” Setelah memastikan file-file itu terkirim aku membuka tracker map. Mataku menuju titik merah di peta yang menunjukkan Kak Han masih berada di dalam gedung. Apapun yang terjadi di sana, aku tidak tahu dan masih mencoba mencari tahu.
“Oh, ya, kau tidak kedinginan, Cas?” tanyaku lagi setelah melihatnya mengeratkan selimut rumah sakit.
“Tidak, tak apa. Tempat sebelumnya lebih dingin dari ini dan aku baik-baik saja … secara suhu dan suasana …,” ia menatapku lagi, berusaha meyakinkan kalau dirinya akan baik-baik saja seperti ini.
“Baiklah, istirahat saja. Ini mungkin akan berlangsung lama,” pintaku sambil melempar senyum.
“Ya, aku akan melakukannya. Tetapi nanti bangunkan aku kalau Kak Han sampai atau ada dokter dan perawat kemari,” ia memberi sedikit syarat.
“Tentu, kau bisa mengandalkan aku,” balasku sambil kembali menatap laptop kesayanganku. Kini kucoba mencari celah agar dapat mengamati pergerakan Kak Han. Mungkin di sana ada CCTV tetapi belum aktif.
“Kei …,” suara lemah Cassie membuat pekerjaanku berhenti.
“Ya? Ada apa?”
“Mungkin kau benar … selimut ini terlalu tipis. Ah, mungkin aku tidak merasa kedinginan karena waktu itu ada di ambang kesadaran atau … entahlah …. Ah, aku meracau lagi, tapi … kau pahan ‘kan?”
Sekali lagi aku tersenyum padanya, “Aku mengerti, Cas.”
Kusambar kunci mobilku yang ada di atas nakas dan memberi pesan, “Tunggu sebentar. Aku akan mengambil hoodieku. Kau jaga pacar-pacarku, jangan sampai ada yang menyentuhnya.”
***
Cahaya emas dari api yang ada di dalam lentera berpendar, menyinari lorong gedung laboratorium baru itu. Mata Han selalu awas akan kemungkinan jebakan atau kode yang sedang ia cari. Awan-awan gelap mulai menggantung di langit yang menuju malam. Kegelapan menjadi lebih pekat dari beberapa menit yang lalu. Han tak menyiakan waktu sedikitpun untuk berhenti. Ia harus membawa keluar tunangannya secepat mungkin.
“Mengamati akan sangat berbeda dari sekadar melihat … itu pasti ruang CCTV,” gumamnya sambil bergerak, mencari peta gedung.
“Harus ada peta di sini. Sebuah laboratorium pasti memiliki peta di tiap lantai,” tangannya mengangkat lentera untuk menerangi dinding gedung itu. Hanya dalam beberapa langkah, dugaannya telah terbukti. Ada peta di sana. Dengan saksama, pria itu menelusuri peta gedung dan mencari ruangan itu.
“Lantai ke empat ternyata … baiklah,” kini kakinya yang bergerak cepat, berlari kecil menuju tangga yang akan membawanya ke lantai ke empat. Lift belum berfungsi dan jika sudah pun ia tetap akan memilih tangga karena lebih cepat. Setelah sekitar 100 lebih anak tangga, ia sampai di lantai ke empat. Han mengatur napas dan kembali menfokuskan diri mencari ruang pantau CCTV.
Pria itu mengangkat lenteranya sekali lagi, menerangi papan tulisan di tiap pintu di lantai itu. Ia terus berjalan ke arah utara dan menemukan satu pintu tak bernama yang menurut peta itu adalah ruang pantaunya. Pintu itu Han buka dengan perlahan dan ia kembali memastikan keamanan ruangan itu. Setelah merasa aman, barulah ia benar-benar masuk. Kini lentera itu ia pakai untuk menelusuri tiap sudut ruangan, mencari keberadaan kunci kode untuk melepaskan Yuna atau sesuai kode nama dari The Watcher, Sang Putri. Tidak ada coretan maupun kertas di sana. Ruangan itu seakan-akan masih bersih.
Tempat terakhir yang mungkin dijadikan tempat penyembunyian kode itu adalah susunan komputer yang ada di sini. Senuanya sudah tersambung dengan rapi dan juga kabel powernya sudah berada di dalam stop kontak. Gedung ini sudah teraliri listrik namun, tidak ada benda berenergi listrik yang sudah dioperasikan kecuali komputer di sini. Han menekan tombol power pada dua CPU yang ada di sana dan menunggu bootingnya selesai.
“Sudah kuduga, kau memang orang cerdas yang dikelilingi orang cerdas,” suara si Werewolf memasuki telinga Han, “perhatikan monitor tengah.” Sesuai interuksi, pria itu memusatkan matanya ke monitor bagian tengah. Di sana tampak gambar kunci yang tersusun dari beberapa karakter di keyboard dan tulisan INA serta sebuah kalimat yang berwarna biru neon.
O---II (INA) adalah koentji
Lagu selamat ulang tahun yang dinyanyikan oleh seorang wanita, yang kemudian terdengar seperti ketika Cassie bernyanyi untuknya tahun lalu, terputar di speaker ruangan itu.
🎵 S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun
S’lamat ulang tahun kakakku
S’lamat ulang tahun🎵
“Kau pastinya sangat familiar dengan itu,” suara Werewolf kembali menyapanya bersamaan dengan bertambahnya karakter di layar.
1 5 1 0 1 9 8 7
“Akan ada 10 angka yang mengisi kunci Sang Putri. Berpikirlah hati-hati. Tetapi ingat,” sebuah hitungan mundur kini berada di layar, “waktumu terbatas sebelum kodenya berganti lebih sulit.”
01:00
Han mendesah, hanya ada 8 angka yang tampil, tetapi kuncinya 10 angka? Sekarang kecerdasannya benar-benar diuji. Ia punya kata dan angka sekarang. Waktunya hanya 1 menit sebelum kunci berubah. Mungkin makhluk itu ingin bermain dengan ilmu enkripsi. Beruntung Kei pernah memberitahunya beberapa saat kasus pertama mereka. Mungkin ia akan mencoba satu yang paling mudah menurutnya.
“Susunannya berbeda dari yang pernah aku pelajari tetapi, chiper amsco mungkin akan bekerja,” gumannya sambil mencoba menyusun kata dan angka itu dalam angannya. Hanya saja, aturan 10 angka itu masih mengganggunya. Pria itu mengeluarkan ponselnya. Bar sinyalnya tampak kosong, tetapi tujuannya bukan untuk searching, apalagi memanggil bantuan. Tujuannya adalah mencoba menyusun apa yang ada di awangannya.
K U N C I
1 5 1 0 1
9 8 7
Lalu ia meninggalkan kursor garis itu berkedip-kedip. Angka apa yang harus ia isi pada ruang kosong? Apakah ia akan mengisinya dengan ‘kosong’ alias nol?
“Tentu saja, tanggal lahir ‘kan hanya 8 digit. Sisanya harus kosong,” gumannya sambil tersenyum puas dan menambahkan dua nol di ruang kosong.
K U N C I
1 5 1 0 1
9 8 7 0 0
Sebuah senyuman lebar menghias wajahnya. “Aku menemukannya!” pria itu menyambar lentera yang tadinya ada di atas meja dan berlari menuju rooftoop. Hitung mundur di layar berhenti dan menambah waktu Han untuk naik selama 1 menit lagi.
00:25 --> 01:00
Kakinya bekerja cepat, menginjak tiap anak tangga menuju rooftoop. Sementara itu, karena waktu sudah menunjukkan pukul 7 sore, The Watcher mendorong kursi Yuna lagi. Sekarang seperempat kursi wanita itu tidak berpijak pada benda padat. Yuna mematung, ia tahu, satu gerakan bisa membunuh dirinya.
Brak!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments