Chapter V: The Past Unfold (Part 1)

“Orang-orang bodoh ini benar-benar saling menodongkan senjata dan menembakkannya tanpa berpikir panjang,” aku bergumam selagi mengawasi kedua sandera baruku, “Kalian berbaikhatilah pada mereka. Penyesalan mereka akan menjadi yang terbesar di antara kalian.” Mereka masih dibawah pengaruh obat bius untungnya.

“Orang-orang ini mengapa sulit sekali diperingatkan bahkan oleh kunci kita? Masa lalu benar-benar mengekang mereka, ya?” gumamku lagi sambil memperhatikan.

“Bella? Oh, pantas saja mereka menuduhnya habis-habisan,” sahut Freya setelah mengamati sandera baru yang kubawa, “lalu Zico?”

“Dia orang yang menyulut api untuk menuduh Bella,” sahutku.

“Cassie mempercayai Zico?” tanya Freya.

“Tidak, dia tidak terseret arus. Dia bahkan membela Bella,” kata-kata itu mengejutkan Freya.

“Bagaimana bisa? Kalau aku menjadi dia-“

“Tetapi kau bukan dia. Orang ini tipe berpikir dahulu sebelum bertindak. Lagipula tuduhan mereka salah.”

Aku duduk di sebelah Moderatot Bot, “Akan kutujukkan sesuatu padamu. Kau berhak melihatnya karena sudah keluar dari permainan.” Dengan perlahan aku mengangkat Freya ke kursiku dengan tangan dan kakinya yang masih terikat.

“Berhak melihat apa?” tanyanya.

“Ikut memantau bersama kami,” aku menepuk pundak Moderator Bot, “Putarkan kembali CCTV rumah Bella.”

***

2 jam sebelum eksekusi….

“Bella, ini tidak benar ‘kan?” Cassie menunjukkan foto di dalam layar ponselnya.

“Sayangnya, itu memang aku,” balas Bella sambil menunduk.

“Aku tidak percaya,” sanggah Cassie, “Kau memang pernah merundungku, tetapi sekarang kau berbeda.”

“Kau percaya padaku setelah semua yang aku lakukan padamu? Kau naif sekali,” Bella menghempaskan dirinya ke sandaran sofa.

“Masa lalu adalah masa lalu. Masalah ini tidak ada hubungannya dengan kenyataan kalau kau pernah merundungku. Katakan padaku yang sebenarnya terjadi saat itu. Karena aku tahu bukan kau Werewolf-nya,” Cassie menepuk punggung Bella dan tersenyum.

“Apalagi sekarang? Setelah kau bisa merasakan masa depan dan memiliki memori fotografik sekarang kau bisa melihat masa lalu? Kau psychometric?”

“Aku mengetahuinya karena pengamatan. Pelaku – Werewolf itu—masuk ke rumah Sera lewat pintu belakang dan kau ada di bagian depan rumah, jelas bukan kau karena selisih waktu kehadiran kalian hanya beberapa menit,” perempuan itu menghela napas lalu kembali menatap lawan bicaranya, “Apa yang sebenarnya terjadi saat itu? Mengapa kau ada di sana, begitu juga Zico?”

“Mendekatlah,” perempuan berambut pendek ikal itu meminta Cassie mendekatkan telinganya padanya.

Perempuan itu melakukannya dan Bella mulai membisikkan sesuatu padanya, “Aku … Hunter dan Sera adalah orang yang rumahnya paling dekat denganku sebelum hari ini pun aku selalu mengawasinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukan bagianku untuk melindungi dan sialnya, malam itu aku benar-benar tak tahu apapun. Semuanya dikerjakan dengan tenang. Itu alibiku Cassie, kau percaya?”

“Aku percaya, tenang saja. Kau akan bebas dari tuduhan jika aku muncul dan mengatakan ini semua dan jangan langsung menuduh Zico dia ada di sana dan memotretmu bukan berarti dia bersalah. Kei sedang memastikan alibinya.”

Drrt … drrt ... Drrt … drrrt …

Werewolf Moderator—Werewolf Game-- : Waktu diskusi 90 menit lagi

Kei Galen T. : Alibi Zico karena dia Hunter. Dia sedang memburu dan tidak sengaja melihat Bella dia pikir Bella pelakunya.

“Zico memakai alibi yang hampir serupa denganmu. Dia mengaku Hunter juga, sepertimu. Dua Hunter, apakah mungkin?”

Sekarang sudah lewat 2 jam setelah eksekusi berlangsung. Cassie berdiri mematung di ruang tamu rumah Bella. Bayangan percakapan terakhirnya dengan Bella terputar di kepala.

“Aku gagal lagi. Aku tahu mereka berdua bukan Werewolf karena sama-sama berada di bagian depan rumah Sera. Namun, rupanya kata-kataku tidak mengubah apapun,” matanya terarah pada ponsel hitam dengan bercak darah di layarnya.

“Fakta bahwa keduanya Hunter juga mengejutkanku. Biasanya Hunter hanya satu,” gumam Sean setelahnya.

“Ini permainan besar dengan banyak orang. Kau belum membaca rincian role yang ada di awal?” Han menimpali, “Sekarang aku tahu kuncinya. Werewolves itu ada tiga, dengan seorang Traitor yang mendukung mereka, seorang Serial Killer, Guardians ada 5, Seers ada 2. Namun, salah satunya adalah Fool, sisanya adalah Villager dan peran-peran tersembunyi. Aku saja baru membacanya tadi pagi.”

“Kalian juga mengecewakan,” Cassie tiba-tiba berkata dalam nada rendah, “Kak Han dan Kak Sean, bukankah sudah kubilang untuk tidak memilih di antara keduanya? Aku tahu mereka tidak membunuh Sera.”

“Cassie, pikirkanlah baik-baik, jika kita tidak memilih maka peluang Bella untuk diculik makin besar, kalau kita memilih di luar keduanya secara acak maka akan ada orang tidak bersalah yang tertuduh. Kau sadar Zico sudah menggali lubangnya sendiri?” Han memegang pundak Cassie, “Jika dia Hunter maka dia akan memancing agar orang-orang mengeksekusinya karena begitulah perannya bekerja. Kesalahannya, ia tidak tahu siapa yang sedang dia serang. Ironis, dia menyerang temannya sendiri.”

“Iya, dia memang tidak berhati-hati. Ah, pikiranku memang sedang kacau saat ini. Maafkan aku,” perempuan yang mengenakan asimethric off-shoulder berpadu dengan short jeans pants itu membenarkan letak tote bag hitam yang ia bawa dan menghela napas berat, “Maafkan aku lagi, Bella. Aku gagal melindungimu.”

 

Sementara itu di kantor polisi resor kota Anagapura, para penyidik sedang bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat.

 

“Sial, mereka berdua baru saja menjadi saksi bukan? Aku harap mereka hilang bukan karena pembungkaman,” cerocos sang Kepala Tim sebelum memasuki mobil.

“TKP masih bersih ‘kan?” tanyanya sesudah memasuki mobil.

“Sebenarnya…Tim Han….”

“Aish, Anak Sialan itu. Bagaimana bisa ia mendahului polisi dan bergerak sesuka hati seperti Kera Sakti bermodal izin khusus?” rutuk pria yang berusia setengah abad itu.

“Pasang sabuk pengaman, kita akan mempercepat langkah!” Satu per satu mobil polisi keluar dari persembunyiannya dengan sirine yang meraung-raung meminta jalan pada kendaraan lain. Tidak perlu waktu lama bagi Kei untuk mengetahui kompetitor utama mereka sudah muncul dan terlambat seperti biasanya.

“Cassie, polisi menuju kemari, kau mau ikut denganku?” tanya Kei pada Cassie yang masih mematung.

“Aku akan menyusulmu nanti,” jawabnya singkat sambil kembali mengeluarkan buku sketsanya dan mulau menggambar beberapa benda yang menarik perhatiannya.

“Hunter…,” perhatian Cassie tertuju pada laptop dan ponsel Bella, “Mungkinkah ia meninggalkan suatu di sana?” Dengan tangannya yang masih terbalut sarung tangan, ia mencoba membuka laptop Bella dan mencari catatannya.

“Bagus, dia tidak mengunci apapun dan bahkan menaruhnya di dekstop.” Cassie segera membuka file bernama ‘Pengamatanku’ itu. Ia membaca isinya secara pelan-pelan.

“Huft, dia hanya menjaga di sekitar rumahnya. Ia melewatkan kasus lainnya.”

“Cassie! Kamu di mana?” derap kaki mengejutkan Cassie yang masih berfokus pada laptop Bella.

“Kei….”

“Penemuan yang bagus, ini, ambil file itu secepatnya,” Kei menyodorkan flashdisk-nya pada Cassie dan perempuan itu segera menyambarnya. Di halaman rumah kecil itu, Han dan Sean menunggu Kei dan Cassie dengan cemas dan sesekali mengintip ujung jalan kecil itu.

“Semoga mereka tidak berpapasan nanti,” Han mengucapkan doa itu berkali-kali. Suara sirine sayup-sayup mulai terdengar.

“Kei, Cassie, apa lagi yang kalian lakukan?” karena sudah tidak sabar lagi Sean sedikit menggertak sepasang sahabat ini. Semakin lama, suara sirine itu terdengar semakin jelas, tetapi, mereka tak kunjung keluar juga.

“Aish, apa yang mereka lakukan sebenarnya? Pacaran?” gerutu Sean tak kala melihat wajah gelisah Han.

“Kami sedang mengambil data dan membersihkan jejak kami di sana. Pacaran apanya,” balas Kei yang berada di ambang pintu bersama Cassie.

“Hampir saja,” gumam Han sambil melihat jajaran mobil polisi di seberang rumah itu.

 

“Ayo kita pergi, Cas,” Kei menarik lengan Cassie yang mematung.

 

“Tidak, kalau benar katamu itu aku akan melaksanakannya. Aku tidak akan kabur meskipun menghadapi orang itu dan ingatanku lagi,” jawab Cassie.

“Mereka belum tahu dan belum menyelidiki apa-apa. Jadi untuk sekarang, pergilah dahulu,” kata Han.

“Cassie?” spontan Cassie memutarkan kepala untuk melihat siapa yang memanggilnya. Namun, belum ada setengah menit ia memalingkan wajahnya dari orang itu dan memegangi kepalanya yang terasa pusing. Runtutan kejadian yang melibatkan dia dan orang itu kembali menyusupi ingatannya.

“Cassie! Kau menolakku? Setelah semua yang telah kulakukan?”

“Cassie! Jangan lari!”

“Cassie aku menyukainu. Tidak bisakah kau menerima ini karena aku sudah menyelamatkanmu?”

“Cassie! Berhenti!”

Tiiiiiiiiiiiin! Brak!

“Cassie, kamu baik-baik saja?” ia kembali ke dunia nyata. Tangan Kei menahan lengannya. Ingatan itu membuat kesadarannya hilang untuk beberapa menit.

“Serangan masa lalu?” kata Kei setelah menyadari seseorang yang sangat mengganggu kehidupan perempuan itu di masa lalu berdiri di TKP setelah berani memanggil namanya. Cassie hanya mengangguk pasrah.

“Sudah kubilang kamu tidak seharusnya bertemu orang itu lagi. Ayo, pergi dari sini.”

“Masih berani kau menyebutkan nama adikku, Dion? Kau sudah lihat sendiri ‘kan akibatnya?” kata Han pada Dion, orang yang memanggil Cassie tadi, “Aku tidak akan membiarkanmu mendekati adikku lagi. Kecamkan itu!”

“Ohoho, orang-orang yang berhubungan 10 tahun lalu kembali bertemu. Termasuk diriku,” pria 50 tahun itu datang dan menengahi mereka, “dahulu saling percaya dan bergantung kini saling memusuhi. Takdir memang suka sekali mempermaikan kita.”

Di dalam mobil SUV hitam di ujung jalan perumahan itu, Cassie tengah menenangkan diri di temani oleh Kei.

“Terima kasih, Kei. Aku sudah lebih baik sekarang,” Cassie menghela napas setelah meminum satu botol air mineral.

“Haruskah kau kuantar pulang sekarang?” tanya Kei.

“Nanti saja, kita habiskan waktu di sini. Sepertinya Kak Han sedang terlibat perbincangan sengit di sana,” sahut Cassie, “Oh, ya, mana kertas putih yang kamu ceritakan padaku?” Kei segera merogoh tasnya dan memperlihatkan kertas putih dengan tulisan tanggal di pojok.

“Tanggal 31 Agustus, 1 September, dan 2 September. Kamu bisa mencurigai ini karena muncul berkali-kali ‘kan?” tanya Cassie.

“Awalnya aku mengetahui kertas ini ada tetapi tidak menaruh curiga. Namun, karena aku kembali menemukannya hari ini, aku mengunjungi dua TKP sebelumnya dan itu ada di sana. Kertas ini milik Serial Killer,” jelas Kei.

“Serial Killer? Bukankah berarti ada pesan dibaliknya?” mereka hening sejenak dan berpikir.

Tiba-tiba Kei menjentikkan jari, “Cas, kau tahu tinta tak terlihat ‘kan?”

“Kei, itu permainan anak kecil.”

“Tetapi tetap saja itu bagus untuk menyembunyikan pesan. Mau aku buktikan?”

***

Malam menjelang, mengakhiri hari yang melelahkan ini. Aku sudah berganti pakaian ke kaus hitam bergambar X-Wing dan celana pendek kain warna hitam, lalu duduk di tengah studioku dan menatap kertas dengan tulisan berwarna cokelat bekas terbakar itu.

 

“ ‘Kembali’, ‘10’, ‘Dendam’. Kei benar, pesan yang disembunyikan dengan tinta tidak terlihat. Tetapi apa maksudnya?” otakku mencoba menemukan hubungan kata-kata yang tertulis di sini.

 

“Apakah mungkin?” aku berdiri dan berjalan menuju papan sketsa. Kuambil kertas kosong bertuliskan ‘untuk: Han’ yang berada di belakang sketsa pembunuhan kedua orang tuaku. Cepat-cepat aku keluar kamar untuk mencari api dan yah, kunyalakan saja kompor gas. Perlahan sebuah kata mulai terlihat tatkala kertas itu kudekatkan pada api. Setelah mematikan kompor aku membaca kata yang terbentuk.

“ ‘Balas’ ?” aku mengernyitkan dahi, “Jejak yang sama, apakah orangnya sama?”

Tok! tok! tok!

“Ya, sebentar,” belum sempat aku melangkahkan kaki, Kak Han keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu. Dari kejauhan aku mencoba mencuri dengar.

“Saya dari kepolisian resor kota Anagapura Juno Suryaputra, mohon kerja samanya,” seketika aku merasa déjà vu, polisi mengetuk pintu rumah kita? Tidak mungkin, tidak, atas dasar apa mereka menuduhku tersangka? Hm, apakah yang dikatakan Kei akan terjadi?

“Apakah benar di sini tinggal saudari Cassiopeia Putri Edeline?” tanya polisi itu.

“Ya, benar, Juno. Saya kakaknya,” sahut Kak Han.

“Saya kemari untuk menyerahkan surat pemanggilan saksi karena saudari Cassiopeia adalah orang terakhir yang berhubungan dengan Isabella Renata sebelum menghilang,” jelas polisi itu sambil menyerahkan surat, “Diharapkan saudari Cassie dapat malam ini pukul 8 atau selambat-lambatnya sampai jam 12 siang keesokan harinya, terima kasih.” Benar kata Kei, aku menjadi saksi karena jejak digital Bella.

“Maaf, tapi tenggat waktunya tidak masuk akal,” Kak Han mengangkat surat itu sambil melayangkan protes.

“Maafkan saya, Kak Han, itu sudah paling masuk akal, kami tidak menerima komplain selain salah ketik nama. Kalau begitu saya undur diri,” polisi itu mengundurkan diri dan meninggalkan kakakku dalam kekesalan.

“Juno, anak itu datang hanya untuk menyampaikan panggilan tidak masuk akal ini. Masih berani mereka mempermainkanku? Ck,” aku bisa mendengar langkah kakinya menuju ke arahku, “Cassie kau mendapat surat cinta dari kepolisian.”

“Sudah aku duga. Kei pasti juga mendapatkannya karena menemui Zico,” kataku sambil menerima surat itu.

“Tetapi tenggat waktunya tak masuk akal. Kau harus datang antara pukul 8 malam ini sampai pukul 12 siang besok,” Kak Han menatapku iba, “Dan ditambah kau pasti akan bertemu dengannya.”

“Mau atau tidak aku tetap akan menghadapinya. Aku masih bisa mengendalikan ingatanku kalau memang bertemu, tak apa Kak,” aku menepuk lengan kakakku dan berlalu menuju studio lukis.

“Tunggu! Kertas apa yang ada di tanganmu itu?” ia sepertinya sudah melihatnya.

“Ikut aku, kak,” aku menarik kakakku menuju studio lukis dan memperlihatkan padanya 4 kertas yang menyimpan pesan rahasia.

“Ada apa dengan semua kertas ini? ‘Kembali’ ‘10’ ‘Dendam’. Di mana kau mendapat kertas-kertas ini?” kakakku mengeryit heran.

“TKP pembunuhan milik Serial Killer dan kakak tahu apa yang aneh di sini?” ia diam, menunggu jawaban ,”Aku baru ingat, 10 tahun lalu aku juga menemukan kertas sejenis ini dan hari ini aku baru menyadari ada pesan rahasia dibaliknya.”

Aku menyerahkan kertas bertuliskan ‘balas’ itu, “Bahkan gaya tulisannya hampir mirip.”

“ Ini mirip dan caranya membunuh sama. Jelas mereka orang yang sama, bukannya sengaja meniru,” ia menaruh tangan di dagu. Sedetik kemudian ia menepuk tangan dan berseru, “Akhirnya! Terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukanku lagi dengan keparat ini!”

***

Jam menunjukkan pukul 23.40, seharusnya semua orang di rumah ini sudah terlelap. Namun, Cassie masih termenung di atas kasurnya sambil memegangi sebuah kalung perak dengan liontin rasi bintang cassiopeia merah yang rusak di bagian rantainya. Ingatanya melayang kembali ke masa lalu, saat di mana keluarganya masih lengkap dan bahagia.

“lni rasi bintang cassiopeia melambangkan kepemimpinan, kecantikan, tetapi jangan jadi sombong seperti di legendanya. Nah, lihat, ini cocok untukmu,” seorang pria berumur 48 tahun memasangkan kalung pada Cassie, 10 tahun yang lalu.

“Sayang sekali kakakmu tidak bisa datang. Ia baru bisa mengambil libur 2 minggu lagi,” ucap wanita berumur 45 tahun yang duduk di sampingnya.

“Dia akan menyesal tidak bisa melihatku secantik ini. Terima kasih hadiahnya, ayah, ibu.”

Ingatannya melayang, pergi ke hari di mana kalung itu terputus.

Ia sedang mengatur napas setelah menghindari kejaran seseorang yang menerornya demi cinta. Eh, cinta? Cinta macam apa yang membuat dirinya ketakutan seperti ini? Tiba-tiba sebuah motor lewat dan menyambar kalungnya. Ketidaksiapan Cassie membuatnya tersungkur, tetapi langsung bangkit mengejar motor itu.

“Kembalikan! Tunggu!” ia berseru. Pencopet itu hanya tertawa dan melesat. Bahkan saat motor itu menyebrang, Cassie ikut mengejarnya. Sampai akhirnya sebuah cahaya putih menyilaukan diiringi teriakan yang menyuruhnya berhenti mengakhiri pengejaranya ….

"Cassie! Kembali! Hei!"

Tiiiiiiiiiiiin! Brak!

Matanya kembali terbuka dan kembali ke waktu sekarang dengan kesadaran penuh.

 

“Sial, semuanya gelap setelah itu. Bahkan sebelumnya pun gelap,” rutuk Cassie, “Ini aneh. Apa jangan-jangan … tidak, peneror itu meneriakkiku, aku ingat. Siapa yang mencuri kalung ini dan mengembalikannya secara tiba-tiba tanpa ada catatan?” Di tengah kerisauannya, lagi-lagi ia merasakan sesuatu yang mengganggu. Werewolf dan Serial Killer sudah menentukan pilihannya dan firasatnya menuju pada orang tertentu.

 

Drrt … drrt …

Werewolf Moderator –Werewolf Game--: Giliranmu tiba para Guardian, pilih seseorang dan lindungilah orang itu tepat di pintu rumahnya.

“Waktu yang sangat tepat! Aku harus mengejar Serial Killer!” Jarinya menuju ke satu nama dan ia segera berjingkat meninggalkan kamar menuju garasi untuk mengambil sepeda.

Jauh dari tempat Cassie berdiri sekarang, seorang pria sedang sibuk menutupi seluruh badannya dengan pakaian hitam sebelum mengendap-endap keluar dari kantornya. Ia menjalankan semuanya tanpa suara, bahkan ketika motornya melesat menuju rumah korbannya yang berikutnya.

Di tempat lain, seekor serigala separuh manusia melangkahkan keempat anggota geraknya menuju rumah mangsanya. Ia menggeram sesekali dan melanjutkan perjalanan di bawah sinar bulan yang terang. Sebelum pagi menjelang, semuanya harus sudah selesai dengan bersih, tidak meninggalkan jejak identitas asli mereka.

Maka, malam itu Cassie menaruh sepedanya agak jauh dari halaman belakang rumah orang yang akan ia lindungi dan sisanya ditempuh dengan cara berjalan. Perempuan itu mencoba meminimalisir suara agar tidak ada orang yang terbangun karenanya dan duduk di depan pintu halaman belakang sambil menanti kedatangan Serial Killer. Beruntung baginya, tak lama setelah itu Serial Killer datang dan belum menyadari kehadiran Cassie. Segera saja, perempuan 26 tahun itu menghampiri pria dalam hitam itu.

“Oh, jangan lari!” pria itu lari setelah menyadari Cassie mengetahui kehadirannya. Ia mengucap sumpah serapah selama pelariannya sementara Cassie mencoba meraih tangan Serial Killer itu.

“Kau pengecut, ya?” kata Cassie ditengah pengejaranya. Kata-kata itu berhasil menghentikan pria itu sesaat. Ia bahkan bisa melihat matanya berkilat marah.

“Aku mendapatkanmu!” seru Cassie setelah menangkap pria itu. Lalu mencoba membongkar penyamaran sang Serial Killer dengan merebut topi serta slayer hitamnya. Namun, gagal. Pria itu mencengkram tangan Cassie dengan kuat. Perempuan itu malah di buat kewalahan dengan serangan tangan kosong si pria. Setelah beberapa kali menghindari serangan, sang Serial Killer berhasil menahan tubuh Cassie kemudian menghempasnya ke tanah. Perempuan itu kini tersungkur di atas tanah.

“Giliranmu bukan hari ini, Nona. Namun, kalau kau begini terus akan kupertimbangkan percepatan kematianmu. Sudah, ya? Aku pergi.” Setelah berkata begitu, pria itu menghilang seakan-akan ditelan kegelapan. Cassie mengerang kesakitan dan berusaha kembali berdiri. Dalam erangannya, ia tiba-tiba teringat suara pencopet yang membuatnya sekarat malam itu. Cassie yakin, suara mereka sama atau sebenarnya mereka orang yang sama. Suara ketika mulutnya ditutupi benar-benar sama.

“Kau melakukan segala cara untuk menghabisiku, ya?” perempuan itu tersenyum miris. Malam ini ia bersumpah dalam hatinya akan menangkap pria itu dengan tangannya sendiri.

Matahari perlahan muncul dari balik gedung-gedung perkotaan. Membuat warga terbangun dari tidurnya tak terkecuali Kei yang meringkuk di atas kasur bersama dengan laptop dan ponsel kesayangannya. Cahaya matahari mengusik tidurnya dan membuatnya terpaksa bangun. Ia mengerang, kemudian membuka mata. Tangannya terulur ke ponselnya.

“Eung… jam 7.... chat masuk… orang ini… Cassie....”

Kringg!

Dengan malas, ia mengangkat telepon.

“Halo?”

“Hm? Tidak, aku hanya masih mengantuk!”

“Baiklah aku akan kesana....”

“Iya, aku mandi dulu. Secara cepat.” Pria itu segera bangkit dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Baru juga ia menyikat giginya, ponselnya bergetar.

Drrt … drrrt …

“Apa lagi sekarang?” gumamnya sambil membuka notifikasi itu.

Werewolf Moderator—Werewolf Game-- : Pagi ini, Dito yang sedang berjalan menuju kantornya melihat Juno terbunuh karena dicakar Werewolf dan beruntung bagi Tika, ia terhindar dari Serial Killer karena dilindungi Guardian.

Werewolf Moderator – Werewolf Game--: Daftar Pemain Mati:

- Hera (Villager)

- Helena (Villager)

- Rico (Gunner)

- Wisnu (Bodyguard)

- Arkana (Mason)

- Freya (Lycan)

- Sara (Witch)

- Gavin (Mason)

- Bella (Hunter)

- Zico (Hunter)

- Juno (Bodyguard)

“Hanya satu? Hm, Guardian berhasil kali ini. Tapi, tetap saja itu relasi Kak Han. Keadaan bisa lebih buruk dari ini. Jika tidak, pasti Kak Han dan Cassie akan sangat sedih sekarang.”

***

“Mengapa kakak tidak bilang saja tadi?” Cassie menatapku memelas.

“Ini tidak seburuk saat aku tahu Tika akan dibunuh” aku memberikan alasan.

“Tapi, bukankah ini juga menyedihkan? Dua adik tingkat yang selalu mencoba membela kakak …,” adikku itu menatap mataku dalam dengan mata kecokelatannya, entah apa yang ia temukan di sana. Kesedihan? Penyesalan? Rasa sakit hati? Ah, kematian Juno dan percobaan pembunuhan Tika, adik tunanganku memang menyakitkan bagiku dan Cassie. Namun, kematian Juno ... bukankah itu ketetlaluan?

“Kak, kau menangis?” Kata-kata yang keluar dari mulut Cassie menyadarkanku. Segera aku menghapus air mataku, “Aku tidak menangis, hanya kelilipan. Sudahlah, ayo bekerja.”

“Tunggu! Kak Han, Cassie!” segera saja kami berbalik arah tatkala Kei berseru.

“Aku prihatin dengan ini, Kak,” ia membungkuk di hadapanku.

“Aku datang, dan turut prihatin,” Sean datang dengan jaket putih yang masih ia kenakan.

“Terima kasih, semua. Mari kita bekerja.”

Terpopuler

Comments

Asih Triani

Asih Triani

jejak dulu... bacanya sampe sini...

2020-06-29

2

NakamotoYuta

NakamotoYuta

gila aja si Cassie

2020-05-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!