Sepuluh tahun kemudian…
Mungkin saat ini aku perlu memikirkan kembali kehidupanku. Aku memang senang melukis. Namun, menerima pesanan yang banyaknya melampaui batas kemampuanku bukanlah keinginanku. Persediaan cat warna hitam dan putihku habis dan aku belum tidur selama kurang lebih tiga hari. Setelah ini semua selesai aku berjanji akan tidur seharian, tetapi bukan hari ini, sekarang aku harus keluar dan membeli cat yang habis itu.
“Baiklah, mari pergi!” teriakku pada diriku sendiri, ya, aku hanya sendirian di studio lukis ini.
Drrrt...
You’re Invited to Grup Angkatan ‘10
Smartphone-ku berbunyi pada saat aku akan mengambilnya.
“Baru mengundangku ke grup sekarang? Kukira kalian melupakanku,” aku tersenyum miris. Baiklah sekarang bukan waktunya meratapi nasib, aku harus mencari cat segera.
***
Para pemain sudah memasuki arena. Bagus. Sekarang tinggal memasukkan moderator dan menentukan peran. Permainan Werewolf tidak akan berjalan tanpa seorang moderator dan peran-peran itu. Werewolves, cenayang, warga biasa, pembunuh berantai, pemburu, pelindung, anak malang, seorang yang terkutuk, dan penyihir. Buat semua pemain meng-add bot-ku, masuk ke grup, langsung daftarkan semua anggota pada permainan, bagikan peran, dan sebuah permainan seru akan terjadi mulai malam ini. Wah, aku benar-benar puas akan kerjaku kali ini.
“Moderator Bot! Lakukan tugasmu sekarang!” teriakku pada seorang pria yang duduk di pojok ruangan ini.
“Apa ini tidak terlalu berlebihan? Lagi pula akulah moderatornya. Bagaimana bisa kamu memerintahku?” lagi-lagi pria itu mengeluh.
“Apa kamu tidak ingat perjanjian kita? Kamu adalah moderator bot dan aku adalah moderator yang akan melakukan tugas nyata sebagai eksekutor. Apakah kamu mau bertukar peran denganku? Kau mau mengotori tanganmu?” ia menggeleng pelan.
“Nah, jadi jalankan moderator bot itu, kamu lebih baik bekerja dengan komputer dibandingkan diriku. Oh, ya, ini tidak berlebihan, kok. Jika mereka cukup pintar maka mereka dapat mengungkap kebenaran sebuah kasus lama dan kasus yang saat ini sedang panas-panasnya, kalau tidak? Yah, itu mereka yang menanggung. Aku hanya membantu mereka.”
***
“Aish, berisik sekali, sih? Apakah memang grup angkatan seberisik ini?” gerutu seorang perempuan yang mengenakan kaus hitam, sambil membuka aplikasi chatting yang terus berbunyi.
“Masih memainkan permainan itu? Tidak ada salahnya aku ikut,” ia mengarahkan jarinya ke roomchat 'Grup Angkatan ’10'. “Permisi, ini cat yang Anda cari tadi,” perkataan penjaga toko mengagetkan Cassie.
“Oh, ya, terima kasih,” kata perempuan berusia 26 tahun itu.
“Er… itu kamera smartphone-nya pecah, ya?” penjaga toko itu menunjuk kamera belakang smartphone milik Cassie yang ditutupi pita perekat putih.
“Iya,” jawab Cassie singkat.
“Mengapa tidak ganti yang baru?”
“Sayang kalau diganti hanya karena kameranya, lagipula saya tidak terlalu membutuhkannya. Oh, ya, harga catnya berapa?”
Setelah mendapat barang yang diinginkan, Cassie segera keluar dari toko.
“Huh, semua orang memang selalu ingin tahu tentang ini, mengesalkan. Eh, tunggu, kapan aku mendaftarkan diri untuk bermain Werewolf? Ah, pasti tadi terpencet. Sudahlah, aku memang ingin memainkan ini,” kata perempuan itu sambil berjalan menjauh dari toko dengan smartphone di tangan kirinya yang selalu ia tatap. Saat ia akan memasukkan smartphone-nya ke saku, seseorang menelponnya.
“Ya, halo?”
“Oh, aku sedang menuju ke rumah.”
“Ayolah, umurku sudah tua begini. Aku bisa menjaga diri.”
“Tentu, sampai jumpa di rumah nanti, ya?”
“Bye.” Setelah mendapat panggilan itu Cassie mempercepat langkahnya.
***
Sekali lagi aku melirik jam di dinding, pukul 17.50 dan ia belum kembali. Padahal aku sudah membeli makanan ini 30 menit yang lalu. Pintu rumah terbuka ketika aku akan beranjak dari ruang makan.
“Kak Han!” ia langsung berlari ke arahku.
"Hm, kamu belum mandi ‘kan? Cepat mandi lalu makan. Ini makanan kesukaanmu, sayang ‘kan kalau aku habiskan semuanya?” aku tersenyum sambil menggulung lengan kemeja hitamku.
“Baiklah aku akan mandi cepat, tolong taruh ini di studioku. Terima kasih, Kak!” ia menaruh smartphone dan plastik hitam di meja makan lalu berlari menuju ke kamarnya. Seperti perintahnya tadi, aku membawa plastik hitam dan smartphone-nya ke studio melukisnya yang ada di bagian belakang rumah. Ketika aku membuka pintu studio aku di sambut oleh lima kanvas yang baru disketsa dan 8 kanvas yang sudah selesai dilukis. Tidak heran mengapa ia memilih untuk begadang beberapa hari ini, yah, setidaknya bayaranya pantas. Aku segera menaruh kedua benda itu di meja dan meninggalkannya.
Drrrt...drrt... drrt...
Aku tidak menyangka teman-teman akademiku dahulu seramai ini. Tetapi, bukannya sekarang mereka sudah menjadi polisi, ya? Hanya aku yang keluar dari akademi itu. Aku penasaran apakah mereka sedang membicarakan kasus terbaru atau hanya pembicaraan tak penting.
“Eh, mengapa namanya berubah seperti ini?” kata-kata itu meluncur begitu saja keika aku mengetahui bahwa grup yang tadi aku masuki bukanlah grup angkatan akademi kepolisian, namanya sudah berubah menjadi Werewolf Game dengan anggota 100 orang. Siapa yang jahil mengganti namanya? Seratus orang ini ... bermain Werewolf bersama ...
tunggu, apa?
***
Setelah selesai mandi, Cassie yang sudah berganti pakaian menjadi kaus biru langit dan celana pendek biru tua bercorak batik putih itu langsung menuju meja makan.
“Kak, ada apa? Apakah ada kasus baru?” ia langsung menyapa kakaknya yang sibuk mengamati smartphone-nya.
“Tidak ada, ini punyamu,” Han, kakak Cassie, menaruh bungkusan makanan di depan adiknya itu.
“Terima kasih, Kak,” Cassie segera duduk dan membuka bungkusan itu.
“Nasi padang dengan rendang! Kak Han memang tahu apa yang aku inginkan saat ini.”
“Kamu tidak membutuhkan itu, kamu memerlukannya,” Han tersenyum dan mengambil bungkusan makanan lain.
“Kak Han benar, baiklah, aku memang membutuhkannya,” sahut Cassie. Keheningan mulai terbentuk di antara mereka ketika sudah berhadapan dengan makanan masing-masing. Cassie yang tidak menyukai keheningan di antara mereka memulai percakapan, “Hari ini tidak ada kasus serius, bukan?”
“Tentu saja, hanya ada beberapa kasus kehilangan kecil karena kecerobohan. Tidak ada lagi kasus sebesar pencurian patung naga,” jawab pria berambut gondrong itu setelah menelan makanannya.
“Baguslah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kei, dia masih membantu kakak banyak ‘kan? Sudah seminggu aku tidak bertemu dengannya.” lanjut Cassie.
“Ya, anak itu memang berjodoh dengan dunia digital. Bagaimana denganmu, hm? Mengerjakan 13 lukisan dalam seminggu, tidakkah itu melelahkan?” balas pria yang kini berusia 31 tahun itu.
“Yah, memang melelahkan. Tapi aku juga butuh uang untuk hidup. Kalau aku hanya melukis sesukaku, belum tentu ada yang mau membeli. Terkadang aku berpikir, apakah sebaiknya aku belajar komputer seperti Kei agar bisa menemanimu menjadi detektif swasta? Tetapi setiap membuka web tentang coding, cracking, hacking atau apalah itu otakku serasa mogok berpikir. Aku mengingatnya tapi tidak dapat memahaminya,” jawab Cassie sambil memainkan rambut hitam panjangnya dengan tangan kiri.
“Mungkin itu memang bukan bakatmu. Lakukan sesuai bakat dan hatimu,” balas Han.
“Tentu saja. Oh, ya, bagaimana dengan ‘Werewolf Case’ itu? Kalian sudah mendapatkan sesuatu ‘kan?” perempuan itu menatap kakaknya dengan tatapan penasaran.
“Sayangnya belum, tapi aku yakin tidak akan pernah ada kejahatan yang terlalu bersih untuk diungkap.”
“Hm, lalu … bagaimana dengan persiapan pernikahan kakak? Berapa persen lagi?”
“Yah, baru selesai 30% Jika kasus ‘Werewolf’ yang membunuh pengusaha meubel sekaligus peneliti itu selesai cepat, tentu saja tujuhpuluh persennya dapat terselesaikan dengan cepat. Aku harap setelah ini tidak ada kasus berat lagi atau lebih baik tidak ada sama sekali.”
***
Setelah mengisi tenaga, aku kembali ke studio melukisku tempat di mana aku akan menghabiskan malam ini. Sebelum memulai pekerjaan lagi, aku menggulung rambut dan menahannya dengan kuas yang patah lalu mengambil cat putih yang tadi dibeli.
Saat melihat smartphone, aku teringat sesuatu, “Oh, ya, Werewolf Game! Bagaimana aku bisa lupa?” Seruan itu terlontar begitu saja karena aku benar-benar lupa kalau diriku sudah terdaftar sebagai pemain. Aku langsung memeriksa aplikasi chatting di smartphone-ku untuk memastikan apakah permainan sudah dimulai atau belum. Namun, aku mendapati suatu perubahan pada nama grup yang menjadi Werewolf Game. Sepertinya kebiasaan iseng teman-temanku masih berlanjut. Baiklah, karena belum mulai dan peran juga belum dibagikan, aku akan meneruskan pekerjaanku ini.
“Cass-“
“Astaga! Aish, untung catnya tidak tumpah ke mana-mana.” Aku terkejut karena Kak Han tiba-tiba saja memanggilku.
“Reaksimu berlebihan, padahal aku hanya memanggilmu pelan. Apakah aku akan mengganggumu di sini?” ia melangkah mendekatiku.
“Yah, tergantung apa kamu akan mengajakku bicara terus-terusan atau hanya diam menonton,” jawabku sambil mulai memberi warna cokelat muda pada sketsa potret di kanvas.
“Aku memerlukan sketsamu tentang ‘Werewolf Case’ itu,” ia berjalan menuju tirai hitam di kananku.
“Sketsa? Bukankah kalian memiliki foto yang lebih akurat? Hubungi saja Kei,” kataku.
“Ia sedang makan malam di luar sambil mencari udara segar dan ia tidak membawa file foto-foto itu,” balas Han.
“Bagaimana dengan Kak Sean? Dia yang biasa memotret ‘kan?” tanyaku sambil meneruskan pekerjaanku.
“Dia hari ini sedang sakit dan aku tidak bertemu dengannya, sudahlah aku akan membukanya.”
“Hm, ya, terserah. “
***
Setelah mendapat izin dari adikknya, Han segera membuka tirai hitam dihadapannya. “Kamu menyusunnya dengan baik,” gumamnya saat melihat peta kota Anagapura tempat mereka tinggal yang penuh dengan sketsa pembunuhan yang ditempelkan di sana.
“Ini… aku baru melihatnya. Kapan kamu membuat sketsa ini?” tanya Han sambil menunjuk salah satu sketsa.
Cassie berhenti sebentar dari pekerjaannya dan menengok ke kanan, tempat sketsa itu berada, “Sepuluh tahun lalu.”
“Bagaimana kamu bisa?”
“Aku mencoba mengingatnya lagi. Itu tidak terlalu akurat,” kata Cassie.
“Ya, memang dan kamu menangis saat menggambarnya,” kata kakak Cassie.
“Huh, pengamatanmu terlalu tajam. Ya, memang. Saat itu sebenarnya aku sangat ingin melupakan kejadian tersebut. Tetapi, untuk membantumu mau tidak mau aku harus mengingatnya lagi. Aku hanya ingin Kak Han kembali menemaniku,” cerita perempuan itu.
“Aku akan pastikan kita berhasil menemukan pembunuh sebenarnya,” Han terseyum dan mengusap lembut sketsa saat kedua orang tua mereka meninggal.
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ... Drrrt ...
“Aku lupa mematikan notifikasi! Wah, ternyata sudah mulai,” gumam Cassie sambil memandangi smartphone-nya.
“Apanya yang sudah mulai?” kakak perempuan itu berhenti mengamati sketsa dan memandang adiknya.
“Oh! Ini … hehe … Werewolf Game,” jawab Cassie sambil tersenyum.
“Berapa anggota grup itu?”
“Seratus orang,” jawab Cassie lagi.
“Tunggu … apa?” Tanpa aba-aba, Han merebut smartphone adiknya itu.
“Hei! Apa yang-“
“Ada Kei, Sean juga … bagaimana mungkin … ada aku di sini … kamu yang membuat grup ini?” Pria 31 tahun menatap Cassie, meminta penjelasan.
“Aku kira ini grup angkatanku, aku bahkan tidak tahu kalau kalian juga ada di sini,” kata Cassie.
“Tunggu sebentar di sini!” Han berlari keluar studio untuk mengambil smartphone-nya kemudian kembali lagi, “Ini! Aku juga masuk di grup itu. Total anggota 100 sudah termasuk bot-nya.”
“Eh? Bagaimana bisa? Aku tidak mengerti,” Cassie bertanya.
“Awalnya aku mengira ini adalah grup angkatanku, tapi aku mulai curiga ketika jumlah anggota dan nama grupnya berubah dan tidak ada notifikasi siapa yang mengganti nama grup ini,” jelas Han.
“Aneh, seharusnya tidak begitu.”
Ting! Tong!
“Surat!” teriakan terdengar dari luar rumah mereka.
“Baiklah, apa lagi ini? Apakah kamu yang mendapat surat?” Han menghela napas.
“Tidak, tidak ada yang berkata akan mengirimkan surat padaku,” kata Cassie.
“Ambil surat itu,” pinta pria itu.
“Baiklah!” perempuan 26 tahun itu keluar dari studio melukisnya dan mengambil surat tadi.
“Oh, ‘jangan dibuka atau dilihat kecuali orang yang tertera di surat’ sepertinya serius,” gumam Cassie sambil berjalan kembali.
“Surat apa itu?” tanya Han langsung.
“Ada dua surat, ini milikmu,” perempuan itu menyodorkan amplop cokelat dengan nama ‘Callahan Evano Nandana’. Kakak Cassie itu segera menerima surat itu dan membukanya. Cassie sangat penasaran dengan isi surat itu, mencoba mengintip milik kakaknya.
“Cas, kalau kamu penasaran, buka saja milikmu. Sepertinya ini rahasia,” kata Han.
“Eh, iya, benar,” Cassie segera membuka surat miliknya. Isinya ternyata selembar kertas dengan sebuah gambar dan tulisan.
“Ini seperti kartu Werewolf Game … apakah …,” perempuan itu segera membuka aplikasi chatting dan membuka personal chat dengan bot Werewolf Game, “ini sama … tidak mungkin … ini peranku … apa yang terjadi?”
“Ada apa Cassie?” Han kebingungan dengan adiknya yang tiba-tiba gemetaran.
“Werewolf Game … bot … ini sama,” ucap Cassie sambil gemetar. Pria itu segera mencocokkan perannya yang dikirim oleh bot dan yang ada di surat.
“Kamu benar … baiklah, Werewolf Game hanya permainan peran bukan? Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa. Cassie, semua akan baik-baik saja. Apakah mungkin permainan peran bisa menjadi nyata?”
Sementara itu jauh dari kediaman kakak beradik itu, seorang pria muda yang memakai hoodie merah marun berjalan dengan santainya menuju ke rumah. Ia bersenandung kecil sepanjang perjalanan. Langkahnya terhenti setelah melihat amplop cokelat besar tergeletak di depan pintu rumahnya bertuliskan ‘Kei Galen Tarachandra’. Mata kecilnya melihat sekitar. Pria itu hanya mengangkat bahu dan membawa surat itu masuk besertanya.
“Sudah lama tidak ada yang mengirim surat fisik padaku.”
Di sebuah rumah sederhana bercat cokelat muda, seorang pria berwajah pucat dan berambut lurus pendek, membuka pintu setelah seseorang mengetuknya. Di matanya yang sayu, terpancar kekesalan dan di mulutnya tertahan umpatan yang tidak sempat keluar. Ia melihat ke bawah dan menemukan amplop cokelat besar bertuliskan nama ‘Fransiscus Sean Purnama Adi’. Pria itu memutar bola mata kesal.
“Mengapa juga harus mengetuk pintu kalau hanya surat seperti ini?” Ia memungut surat itu, membawanya masuk, lalu melemparnya ke sembarang arah sebelum ia kembali ke kamarnya.
“Akan aku buka besok kalau kepalaku sudah berhenti berputar.”
Jauh dari jangkauan mereka, sekelebat bayangan serigala hitam menyelinap masuk ke rumah seorang perempuan muda saat jarum panjang dan pendek menuju angka 12. Tidak sampai semenit, bayangan serigala itu keluar dari rumah dan kembali menghilang dalam kegelapan. Ia telah berhasil mencuri nyawa seorang anak manusia malam itu. Di tempat lain, seorang anak manusia yang bersembunyi dalam bayang kegelapan malam juga berhasil merenggut nyawa makhluk satu spesiesnya dengan sebilah pisau dapur yang ia ambil dari dapur korban.
“Aku kembali,” bisiknya sebelum kembali menghilang ditelan gelapnya malam tanpa sang rembulan.
***
Pagi hari, setelah malam yang benar-benar mengejutkan, aku tertidur di studio lukis.
“Baiklah, satu jam tak masalah. Aku harus bersiap melanjutkan semua lukisan ini. Semuanya akan baik-baik saja, yang terjadi tadi malam tidak akan berbengaruh apa-apa. Ya, mari melanjutkan hidup,” gumamku sambil meraih smartphone dan keluar studio.
“Cassie! Ada kasus pembunuhan hari ini,” Kak Han menyambutku di depan pintu dengan kabar yang tidak baik.
“Di mana? Siapa korbannya?” tanyaku.
“Ada dua kasus, yang pertama kelanjutan ‘Werewolf Case’ dan yang kedua penikaman dengan pisau dapur,” jawab Kak Han.
“Hei! Itu bukan jawaban dari pertanyaanku. Siapa korbannya?” tanyaku kembali.
“Helena dan Hera,” balas Kak Han. Aku terkejut karena kedua nama yang disebut terasa familier. Diam-diam aku berdoa dalam hati, semoga bukan mereka korbannya.
Drrrt ... Drrrt ...
Aku dan Kak Han menerima pesan secara bersamaan. Kami saling pandang beberapa detik, lalu membuka pesan itu.
Werewolf Moderator -Werewolf Game- : Pagi ini, Sean yang sedang berjalan-jalan sekitar kota melihat Helena A. terbunuh karena dimakan Werewolf dan Hera Z. ditemukan oleh Eddy tewas ditikam di rumahnya.
Werewolf Moderator -Werewolf Game- : Daftar Pemain Mati:
- Hera (Villager)
-Helena (Villager)
“Ini … bukan hanya kebetulan ‘kan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
lanjut...
2020-07-15
1
Asih Triani
cerita keren... aku suka. tetep semangat buat berkarya yah...
2020-06-29
1
Qie_batubara
udh AQ favorite kn ya kak.
bakal AQ baca Ampe selesai😁
2020-06-28
1