Suara goresan pensil adalah satu-satunya suara yang terdengar saat ini. Perempuan berambut panjang itu berusaha menahan tangisnya sekuat tenaga dan menyelesaikan sketsanya.
“Dengarkan aku Cas, kamu tidak harus menahan tangis. Kamu-“
“Tidak, Kei, aku harus menyelesaikan sketsa ini dengan akurat. Aku baik-baik saja,” balas perempuan itu sambil terus menggoreskan pensilnya. Cassie kini berada di rumah Helena, korban pembunuhan kedua dari ‘Werewolf Case’ dan teman sekelasnya dahulu.
“Bagaimana Sean?” tanya kakak Cassie, Han.
“Aku sudah bilang untuk ke TKP saat Cassie selesai,” sahut pria berkacamata di sebelahnya, Kei.
“Sedikit lagi selesai. Aku hanya perlu menebalkan garisnya,” kata Cassie setengah berteriak.
“Kita harus melebihi kecepatan polisi, apalagi di sini kita hanya punya satu tim. Untung Sean ke TKP Hera dahulu, tanpa keberatan,” ucap Han sambil menggulung lengan kemeja putihnya.
“Selesai!” perempuan itu segera berdiri dan beranjak dari ruang tamu di rumah itu, TKP pembunuhan Helena.
“Ayo, kita segera ke tempat Kak Hera,” ajak Kei pada Cassie.
***
Sepanjang perjalanan, ia hanya diam. Tidak mengatakan apapun, tidak memberikan ekspresi apapun. Hanya memeluk badannya yang dibalut kaus tosca dan cardigan hitam.
“Ei, kalau kamu ingin menangis lakukan saja. Jangan kamu tahan-tahan terus. Aku sahabatmu, bukan orang lain,” kataku sambil melihat ke cermin di langit-langit mobil.
“Kamu mungkin tidak merasakannya Kei, karena dia tidak terlalu dekat denganmu,” ia akhirnya berbicara dengan agak gemetar.
“Aku merasakannya. Aku juga terkejut mendengarnya karena seingatku dia tidak memiliki musuh,” balasku.
“Ah, benar. Kamu mengenal semua orang bahkan yang tersembunyi sepertiku,” katanya sambil menundukkan kepala.
“Apa maksudmu? Kamu cukup terkenal kok,” balasku sambil kembali memperhatikan jalanan.
“Tahun pertama terkenal karena prestasi, tahun kedua terkenal karena tuduhan palsu, tahun ketiga terlupakan.”
“Hey, bukan karena tidak ada fotomu di Years Book lalu kamu dilupakan, kamu tetap diingat se-“
“Tidak! Ah, ini juga salahku. Aku selalu tidak punya waktu untuk menghikangkan fobiaku,” ia memotong perkataanku dengan keras. Lalu, ia kembali menunduk.
“Itu bukan salahmu. Itu adalah salah mereka yang membuatmu mempunyai fobia itu. Jadi buang jauh-jauh kebiasaan menyalahkan dirimu itu,” ucapku lembut. Aku benci ketika orang menyalahkan diri mereka untuk kesalahan yang tidak pernah mereka buat, terutama Cassie.
“Kei …,” ia memanggilku pelan.
“Hm, apa?” sahutku.
“Sebenarnya, sejak kapan kamu tahu aku fobia kamera?” Cassie bertanya pelan.
“Sejak aku menolongmu keluar dari kerumunan wartawan di gerbang sekolah. Sebenarnya waktu itu aku kebetulan lewat,” jelasku dengan sedikit mengenang masa suram itu.
“Kak Yuna pernah bilang padaku untuk berdamai dengan masa lalu agar fobia itu setidaknya berkurang tetapi … sampai saat ini aku belum bisa. Soal kebetulan … ah, kamu berkali-kali menyelamatkan nyawaku. Saat kecelakaan itu, kejadian itu, kamu dan keluargamu selalu menolongku, anehnya,” matanya menerawang ke masa lalu dan tersenyum kecil, “aku tidak percaya yang namanya kebetulan. Kamu dan kedua orang tuamu pasti ada di sana untuk sebuah alasan atau … katakanlah … takdir mungkin?”
“Ya, mungkin takdir,” aku mengiyakan, “Takdir ….”
***
“Apa kau baik - baik saja? Seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegah ini terjadi,” aku bertanya pada Sean yang sedari tadi hanya diam.
“Bukan, ini bukan salahmu. Ini salahku yang tidak menjaga Hera. Jika seandainya … ah, percuma. Waktu tidak bisa diputarbalikkan,” ia menghela napas menyesal tidak dapat melakukan apa-apa.
“Ya … aku setuju … penyesalan itu selalu ada tetapi … yah, Sean, terima kasih telah melakukan tugasmu tadi meskipun berat. Kamu boleh tidak mengikuti penyelidikan hari ini, Cassie bisa menggantikanmu,” kataku sambil menepuk punggungnya.
“Aku tetap akan ikut, aku akan baik - baik saja,” dasar keras kepala. Padahal aku memberinya kesempatan untuk istirahat sehari lagi.
Drrrt ... Drrrt ....
“Hm? Grup ini lagi …,”gumamku.
“Kau … ada di grup itu juga?” Sean mengintip dari belakang.
“Ya, kali ini Moderator yang mengirimkan pesan,” kataku sambil membaca pesan di grup Werewolf Game.
Werewolf Moderator -Werewolf Game-: Siang hari, pemain dipersilakan berdiskusi siapa Werewolf atau Serial Killer-nya. Diskusi selesai pada pukul 3.55 sore dan eksekusi akan dilaksanakan setelah vote selesai. Kalian memiliki waktu 5 jam mulai dari sekarang.
“Sial! Bagaimana bisa mereka mengajak kita bermain-main untuk mencari Werewolf dan Serial Killer dalam 5 jam?” Sean merutuki pesan itu. Benar-benar bukan Werewolf Game biasa.
“Sebaiknya kita cepat pergi ke kantor, lalu hubungi Kei dan Cassie,” lanjutnya sambil menutup lensa kameranya dan membenarkan jaket kulit putihnya.
“Biarkan mereka menyelesaikan pekerjaannya, mungkin mereka juga sudah tahu,” kataku sambil berjalan menuju motorku.
“Mereka tahu? Bagaimana-“
“Mereka juga ada di grup itu.”
***
“Lihatlah, para pemain mulai menggunakan otak mereka,” kataku sambil mengisi revolver kesayanganku dengan amunisi.
“Tidakkah ini berlebihan? Maksudku, membiarkan pembunuhan terjadi ... ini sedikit ... kau paham?” lagi-lagi dia mengatakan hal itu.
Kutempelkan ujung revolverku ke pelipis pria muda itu, “Ini adalah peringatan terakhirku. Sekali lagi kau mengatakan hal semacam itu ...," aku berbisik tepat di lubang telinganya, “Kamu masih ingat perjanjian awal kita bukan?” Sekujur tubuhnya merinding, sungguh lucu.
"Kau memang pria yang mudah ya? Pancing saja dengan keluarga dan ... ah, kau tidak membutuhkan uangnya karena kau memang kaya,” kali ini aku tidak dapat menahan untuk tertawa.
“Tidak, aku bukan pria yang seperti itu. Baiklah ... apa rencanamu selanjutnya?” pria itu kembali menatap salah satu monitor yang menayangkan roomchat grup ‘Werewolf Game’.
”Mari kita menonton debat online ini, sepertinya akan seru.”
***
“Fate … apa maksud dari ini?” Han menunjuk hasil scan sketsa Cassie.
“Aku melihatnya, itu seperti kertas sisa terbakar,” jelas Cassie.
”Tetapi kertas ini tidak ada di foto ...,” kata Han.
“Ya, aku bahkan tidak melihatnya di sekitar. Aku sudah memotret semua area TKP. Kau bisa melihat semua hasilnya,” jelas Sean.
“Baiklah, Kei. Tayangkan semua foto yang diambil Sean hari ini,” pria yang biasa dipanggil Han itu memberikan perintah.
“Sebentar, aku punya sesuatu untuk kalian,” Kei merogoh tas ranselnya dan mengeluarkan dua plasik zip dengan kertas sisa terbakar di sisinya.
“Kei, aku tidak melihat kamu mengambil kertas itu ....”
“Tunggu! Coba ke foto TKP Hera,” kali ini Sean memerintah. Kei menayangkan foto yang dimaksud.
“Ah, aku benar-benar tidak berguna ...,” rutuk Sean sambil menaruh kepalanya di atas meja, “Terima kasih, Kei.”
“Kak Sean, ini bukan apa-apa. Tidak ada manusia yang tidak berguna di dunia ini,” kata Kei sambil membenarkan kacamatanya dan kembali fokus pada laptopnya.
“Kalian masih melakukan pertempuran ini?” tanya Cassie tiba - tiba.
“Tentu, sampai orang itu tidak memandang kami sebelah mata dan berhenti menghasut polisi lain membenci kami. Lagipula kami selalu membagi barang bukti TKP dengan mereka, tetapi tidak pernah mereka mau berbagi dengan kita,” jawab Kei.
“ Namun, kami juga tidak bodoh sampai memberi semua bukti yang kita miliki,” tambah Han.
“Sungguh ... ,” perempuan itu memutar bola matanya sebal.
“Baiklah, aku akan membawa ini ke lab forensik, siapa tahu mereka menemukan sesuatu di bukti ini,” putus Han, “Cassie dan kau sebaiknya mencari sarapan. Mengingat kita belum sarapan hari ini. Aku tidak bisa berpikir tanpa makanan.”Pria 31 tahun itu menunjuk Kei untuk menemani Cassie dengan hidung mancungnya.
“Hm, baiklah, kami akan mencari makanan,” balas Kei sambil membereskan barang-barangnya ke tas ransel dan mengenakan kembali hoodie maroonnya.
“Sean, ikut aku. Kita akan pergi sekarang.”
***
“Untuk apa kamu membawa barang-barang itu?” aku menatap tasnya yang sepertinya berat.
“Melanjutkan tugas di restoran, seperti masa kuliah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kuliah sambil mencari masalah,” kataku sambil tertawa bersandar di pintu mobil SUV hitam Kei.
“Sebelum bertemu kakakmu dan membentuk tim ini, orang-orang akan berpikir aku mencari masalah padahal hanya keadilan yang aku cari. Aku berterima kasih padamu untuk kesempatan ini benar-benar pekerjaan yang aku inginkan,” ia tersenyum padaku, “Minggir dulu, aku mau buka pintunya.”
“Tidak perlu, aku bisa membukanya sendiri,” kilahku.
“Kata siapa aku akan membukakan pintu untukmu? Buka pintumu sendiri! Ini bagian pengemudi. Minggir,” aku salah tangkap, astaga.
“Baiklah, maaf!” dengan wajah yang ditundukkan karena malu, aku berlari menuju pintu penumpang dan masuk mobilnya.
“Baiklah, sekarang apa? Memang kamu mau mencari makan di mana sampai harus naik mobil?” tanyaku tak sabaran. Biasanya kami akan makan di warung sekitar sini.
“Aku tebak kamu sudah berhari-hari berdiam diri di rumah. Aku akan mengajakmu keluar,” jawabnya sambil memasangkan sabuk pengamannya, “Pasang sabuk pengamanmu, jangan lupa.”
Aku juga memasng sabuk pengaman milikku, “Sudah.”
“Jangan banyak tanya dan nikmati saja perjalananmu,” ia mulai menyalakan mesin mobilnya.
“Apa maksudnya? Kamu menculikku?”
“Diam saja, kamu akan sangat bersyukur aku culik.”
“Dasar ....”
***
“Tahan di sana,” baru saja kami menginjakkan kaki di depan gedung laboratorium forensik, teman lamaku menghadang, “Detektif Han dan Detektif Sean ... um ... mana anggota kalian yang satu lagi?”
Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi, “Kau berada di depan kami sekarang ini untuk menghalangi kami atau melakukan reuni singkat bersamaku?”
“Menurutmu? Aku harus bagaimana setelah berbeda jalan denganmu?” ia mengangkat kedua alis tebalnya. Baiklah, jelas dia mempermainkanku sekarang.
“Pergilah dari sana sekarang. Jika kau mau berbicara padaku, lakukan itu nanti,” tegasku.
“Baiklah, silahkan lakukan apa yang ingin kau lakukan. Namun, setelah itu ... bagikan hasilnya pada kami karena kepolisian telah menemukan sesuatu di TKP dan mungkin saja benda yang kau bawa itu berguna untuk melengkapi barang bukti. Kau paham ‘kan? Saling melengkapi,” ia tersenyum simpul.
“Kami selalu membagikan hasil pada kalian dan apakah kalian pernah berbagi denganku? Memang jaminan apa yang akan kau berikan? Sulit untuk mempercayaimu sekarang setelah apa yang kau lakukan pada adikku,” aku membalasnya dengan tegas, lagi. Sungguh, bukan waktu yang tepat untuk bermain-main sekarang.
“Akan aku pastikan hal itu tidak terjadi lagi. Namun, jika itu terjadi, kau bisa melepaskan kepercayaanmu padaku dengan kata lain aku akan kehilangan kepercayaanmu,” jawabnya tanpa bergeser dari depan pintu laboratorium.
“Sungguh … bukan percakapan yang berguna … aku sudah tidak mempercayaimu sejak 10 tahun lalu, Dion,” aku melirik ke seragamnya, di sana ada pangkat satu garis lurus yang menunjukkan bahwa dia adalah inspektur dua, “Sebaiknya kau mengingat janjimu itu, Ipda Dion Erlangga. Ayo Sean, aku tidak bisa buang-buang waktu lagi.”
***
Kei dan Cassie melangkah masuk ke sebuah restoran masakan Jawa.
“Selamat siang, selamat datang di Pandawa,” para pelayan menyambut dengan ramah.
“Oh, Kei!” seorang pria dengan tinggi sekitar 173 cm menghampiri Kei dan Cassie, “Lihat siapa yang kau bawa kemari. Sepertinya rumor waktu SMA itu benar dan dia tidak berubah banyak.”
“Rangga, kata siapa? Cassie bukan pacarku dan jangan sekali-sekali menggoda dia,” kilah Kei sambil menunjuk hidung pria yang tingginya sama dengannya itu.
“Whoa! Kau protektif sekali, apakah dia sudah menjadi istrimu diam-diam?” pria itu juga tertawa.
“Apakah aku terlihat seperti pria yang akan melakukan pernikahan diam-diam?” Kei mengetuk-ketukkan kakinya.
“Sudahlah, aku hanya bercanda. Jadi apa yang kau perlukan, Tuan Kei dan Nona Cassie?” Kei membisikkan sesuatu ke telinga pria itu dan ia hanya menangguk.
“Ruangan untuk timmu selalu tersedia di sini. Cassie, kau baru pertama kali kemari ‘kan? Ikuti aku.” Mereka bejalan bersama menuju ke ruangan di belakang restoran.
“Baiklah, kau mau pesan makan sekarang atau nanti?” tawar Rangga.
“Nanti saja, aku akan menunggu Kak Han dan Kak Sean,” putus Kei.
“Oh, baiklah,” kata Rangga, “Tunggu sebentar, apakah kalian masih punya waktu?”
“Ada apa?” sahut Cassie.
“Mungkin ini akan mengganggu kalian, tetapi, kemarin aku masuk ke grup bernama Werewolf Game dan mengalami auto add dari Werewolf Moderator. Apakah kalian tahu mengapa itu bisa terjadi?” cerita Rangga.
Kei menjentikkan jarinya, “Itu dia yang sedang kita selidiki hari ini.”
“Sungguh? Apa ini ada hubungannya dengan Helena? Dia juga ada di grup itu dan … yah … kalian tahu ‘kan?” Rangga menghela napas.
“Kami masih belum tahu apakah dua kasus ini berhubungan atau tidak,” terang Kei, “tapi aku sedang mencari data semua anggota grup. Aku sudah dapat memastikan ada teman SMA kita di sini.”
“Kita tidak bisa langsung menghubungkan dua kasus yang sepertinya berhubungan, harus ada kepastian,” kata Cassie sambil menggoreskan sesuatu di ponsel pintarnya dengan stylus .
“Hmm, baiklah, kalian bisa melanjutkan pekerjaan kalian. Aku akan kembali mengawasi pegawai-pegawaiku,” Rangga beranjak dari hadapan mereka. Kei segera mengeluarkan laptopnya dari tas dan menyalakannya lalu memakai kacamata. Ruangan itu menjadi hening karena mereka larut dalam pekerjaan masing-masing.
Kring! Kring!
“Kei, smartphone-mu,” Cassie berhenti sejenak dari pekerjaannya dan memanggil Kei.
“Oh, sebentar,” Kei memasang hadsfree-nya dan menerima panggilan, “Ada apa, kak?”
“Bukti baru? Apa?”
“Kejadian langka mereka mau bertukar info seperti ini.”
“Kami? Rekaman CCTV, beberapa data anggota grup dan tempat makan.”
“Tidak usah? Kak Han, semua kemungkinan ini pasti ada.”
“Hanya permainan? Baiklah.”
“Cassie?” pria itu menatap Cassie yang masih sibuk dengan pekerjaannya, “Dia akan baik-baik saja.”
“Oh? Tidak! Tidak mungkin terjadi. Kami masih hanya sahabat.”
“Akan aku putus sambungannya jika Kak Han membicarakan hal seperti itu lagi.”
Cassie menatap Kei bingung karena perkataan pria itu barusan, “Membicarakan hal apa?”
”K-kamu dengar?” Kei memasang wajah terkejut.
“Kamu berbicara sangat keras tahu! Aku sudah selesai meyeketsa ulang bayangan pria ini,” Cassie memperlihatkan hasil kerjanya pada Kei.
“Ini di luar dugaan! Bagaimana bisa kamu melakukannya?” Kei terpukau.
“Entah, tanganku serasa bergerak sendiri. Selalu begitu,” kata Cassie sambil tersenyum.
“Iya, dia mengandalkan perasaannya. Lagipula perasaannya selalu tepat,” Kei membalas Han.
“Itu satu-satunya petunjuk yang kita punya. Tidak ada orang lain yang melewati daerah itu pada jam tersebut,” pria itu melanjutkan pembelaannya.
Cassie menepuk punggung Kei, “Biarkan aku berbicara padanya.”
“Baiklah,” Kei melepas dan menyerahkan hadsfree-nya padaa Cassie.
“Kak, aku tahu dirimu sangat ingin mengalahkan keakuratan penyelidikan kepolisian. Tetapi semuanya yang mencurigakan harus diselidiki,” bujuk Cassie.
“Tidak, aku bisa jamin tidak akan ada lagi orang yang berakhir seperti dirimu,” perempuan itu terus-terusan meyakinkan Han.
“Setelah semua ini kau masih meragukanku?”
“Entahlah, kadang aku juga masih meragukan tentang ini. Tetapi ini sudah terlalu sering terjadi,” Cassie menunduk.
“Terlalu tepat untuk dikatakan kebetulan. Lagipula aku tidak percaya adanya kebetulan.”
Han menghela napas, lagi-lagi adiknya mendebatkan firasatnya yang selalu tepat itu. Dia bukanlah orang yang hanya percaya firasat, ia butuh bukti. Namun, sudah berkali-kali dia mengalami firasat Cassie yang tak pernah sekalipun melenceng.
“Baiklah, kita akan selidiki itu. Kau yakin tidak ada orang lain selain itu?” Han memastikan.
“Mati? Bagaimana bisa CCTV di tempat-tempat itu mati bersamaan?” matanya membelalak dan suaranya meninggi.
“Baiklah, aku akan ke sana. Kirimkan hasil rekaman CCTV yang asli,” Han memutus sambungan telepon.
“Kita masih punya banyak pekerjaan sebelum sarapan sekaligus makan siang.” Mereka beranjak dari laboratorium itu menuju tempat yang ditunjukkan rekaman CCTV yang dikirim Kei.
“Kerja bagus semua. Kalian berhasil menyelesaikan ini semua sebelum aku mengambil cuti,” seorang pria muda berkata sambil memberi tepuk tangan penghargaan kepada karyawan-karyawannya.
“Orang tua Anda pasti akan sangat bangga mengetahui ini,” salah satu karyawan itu berceletuk.
“Hm, sepertinya,” pria berusia sekitar 26 tahun itu tersenyum, “Pertahankan prestasi ini sampai aku kembali. Aku mempercayakan semuanya padamu An.”
“Saya pegang kepercayaan ini. Jangan khawatir,” perempuan yang dipanggil An itu tersenyum.
“Baiklah waktunya makan siang. Apakah kalian tidak keberatan aku traktir hari ini?”
***
Menjaga restoran kadang kala juga membosankan. Yah, hanya menanti pesanan. Melihat orang masuk, keluar, dan makan. Mengawasi bagaimana kerja para koki. Aku butuh sesuatu yang mengejutkan seperti ….
“Halo Rangga!”
“Arkana?” yap, itu mengejutkan. Kemunculan teman lama dengan para karyawannya.
“Bagaimana restoranmu?” ia memulai pembicaraan.
“Seperti yang kau lihat, ramai lancar,” aku tersenyum, “Bagaimana dengan usaha snack-mu?”
“Beruntunglah aku beralih menjadi kripik buah-buahan. Tidak menjual semangka goreng,” Arka tertawa.
“Itu ide paling aneh yang pernah kau lontarkan, bahkan satu angkatan termasuk orang sepertiku mengetahui itu,” aku juga ikut tertawa, mengenang masa lampau.
“Ah, masa lampau ... bukankah tidak seharusnya kita membicarakan ini?” raut wajahnya berubah.
“Hei! Hei! Jangan jadi sok bersedih atas masa laluku,” aku mengacungkan jari telunjuk di depan hidungnya dan tertawa kecil, “Aku sedang membalaskan dendamku jadi jangan mengkasihaniku.”
“Dengan restoran ini? Namanya kau telah selesai membalaskan dendam. Aku tak sabar untuk merasakan masakan restoranmu,” Arka berkata sambil menelusuri interior restoranku.
“Baiklah, kau bisa mengambil tempat di manapun sesuai yang kalian suka,” sambungku.
“Termasuk dapur?” Arkana dan pertanyaan bodohnya, kebiasaan itu ternyata tidak hilang.
“Tidak, Ar. Kau bisa ambil ruangan meeting, misalnya,” balasku.
“Hm, baiklah. Aku akan mengambil ruangan biasa, lesehan,” Arkana mengeluarkan cengiran andalannya.
“Bisa, ayo ikut aku.” Aku menjadi pemandu jalan mereka. Aku tidak menyangka bisa bertukar cerita dengan teman lamaku.
***
Aku menatap CCTV yang terpasang di tiang lampu itu, “Benar di sini tempatnya, Kei?”
“Ya benar, itu adalah CCTV yang menangkap gambar tersangka pertama kita,” balasnya dari sambungan telepon.
“Baiklah, di sini ada banyak jejak sepatu dan sandal. Sepertinya kita terlambat menyadari. Para warga melewati jalan ini sebelum kita sempat melihat jejak sepatu pembunuh itu,” aku menghela napas kesal. Kenyataan bahwa aku lagi-lagi melewatkan sesuatu membuatku marah pada diriku sendiri.
“Werewolves, mereka ‘kan yang membunuh Helena?” kata Sean.
“Ya, dugaan sementara kasus ini memiliki hubungan dengan pelaku Werewolf Case ,” kataku menyampaikan dugaan sementara.
“Bukankah itu artinya mereka melakukan pembunuhan ini bersama-sama? Seperti serigala memburu mangsanya?” Sean menduga-duga.
“Tidak juga, terkadang serigala hanya berburu sendiri. Sampai sekarang tidak ada tanda yang menunjukkan pelaku Werewolf Case ini maju sendiri atau berkelompok. Hanya satu petunjuk kita selama ini, gigitan yang menyerupai taring serigala,” aku membantah Sean.
“Kita benar-benar terombang-ambing. Tidak ada petunjuk jelas kecuali ukuran kaki dan sehelai rambut. Setidaknya lebih baik ketimbang pelaku pembunuhan Hera … hanya ukuran sepatu dan dugaan sang pembunuh adalah pria …,” Sean menunduk dan menghela napas. Aku tahu hari ini benar-benar berat untuknya.
“Sudahlah, aku yakin waktu akan mengungkapnya. Tak lama lagi.”
***
Drrrt ....
Cassie hanya melirik pop-up pesan yang masuk itu.
“Satu jam telah berlalu? Moderator ini benar-benar menginginkan kita mencari Werewolf dan Serial Killer atau bagaimana?” perempuan itu melanjutkan menyuruput teh serehnya.
“Bagaimana menurutmu? Menurutku iya,” kata Kei sambil kembali menatap layar laptopnya.
“Mengapa kamu berpikir seperti itu?”
“Aku sepertimu, tidak percaya dengan kebetulan, pasti ada sesuatu dibalik ini semua,” jawab Kei, “itulah mengapa aku melanjutkan menyelidiki semua orang yang ada di grup ‘Werewolf Game’, aku ingin tahu apa motif grup mencurigakan ini muncul.”
“Kamu berpikir kasus ini saling terhubung?” tanya Cassie.
“Ada kemungkinan itu terjadi,” Kei mengangguk-angguk.
“Perasaanku mengatakan hal yang sama. Kamu tahu sendiri ‘kan bagaimana firasatku itu,” perempuan itu menghela napas.
“Aku sebenarnya sudah lama ingin menanyakan in-“
“Apakah kami mengganggu pernyataan cintamu, Kei?” Han dan Sean berdiri di depan pintu ruangan rahasia dan tertawa kecil.
“Tidak, aku sedang tidak menyatakan cinta,” bantah Kei, “Cepat masuk dan pesan makanan.”
“Aku sampai kelaparan menunggu kalian datang,” keluh Cassie.
“Jadi kalian belum pesan makanan?” tanya Sean. Kei dan Cassie menggeleng bersama.
“Astaga, cepatlah pesan sesuatu. Pembahasannya bisa dilanjutkan nanti.”
***
Memang benar kata orang-orang, penyesalan itu datang di akhir. Yah, kalau penyesalan datang di awal namanya bukan penyesalan lagi. Duduk di sini membuatku merasa seperti pembunuh. Mengangkat pantatku dari sini justru akan membuat keluargaku terbunuh. Sungguh, sudah seperti mendapat buah simalakama.
“Jam makan siang, intensitas percakapan menurun. Nah, kau mau makan apa hari ini?” pria itu melembut. Huh, dia ini punya gangguan jiwa atau bagaimana?
“Memangnya kau mau pesan makanan kemari? Bukannya sama saja membuka persembunyianmu?” tanyaku sambil terus menatap monitor - monitor itu bergantian.
“Aku tidak sebodoh itu, sekarang cepat katakan kau ingin pesan apa,” katanya sambil bersiap keluar dari liang tanah ini.
“Baiklah, aku pesan rendang. Sudah sana pergi,” aku menghela napas lega. Akhirnya orang itu pergi juga dari hadapanku.
“Oh, ya mengingatkan. Jangan kau pikir setelah aku pergi kau akan bebas melakukan apa saja. Aku selalu mengawasimu,” ia menyeringai lalu keluar dan menutup pintu. Aku mengedarkan pandang, di sudut atas ruangan aku menemukan CCTV.
“Sial.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
ok...😊👍
2020-07-15
2
Asih Triani
seru ceritanya....
2020-06-29
1
Mr Crabb
Thor aku sudah Like dan rate Bintang 5 loh🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
Jika berkenan silahkan mampir di karyaku ya😇😇😇😇😇😇😇😇😇
>>Legenda 7 Bintang<<
Jangan lupa tinggal kan jejak juga di sana. Terimakasih author kesayangan.
🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2020-05-06
1