Rambut Katy masih basah dan anak itu tampak kebingungan ketika duduk di meja dekat jendela di seberang ayahnya.
“Makanlah dulu rotinya,” ujar Ursula dengan lembut sambil menyodorkan roti hangat ke arah Katy.
“Aku tidak lapar,” gumam Katy.
“Tapi kau pasti lapar, Sayang,” bantah Rick. “Es krim
saja tak mungkin membuatmu kenyang.”
“Dan kau harus tampil malam ini,” Ursula mengingatkan. “Makanlah sedikit, pasti kau akan merasa lebih enak.”
“Kau harus makan lebih banyak—“ Rick mulai mengomel tapi Ursula melontarkan tatapan peringatan agar Rick diam. Isyarat itu langsung
dipahami Rick karena laki-laki itu lantas mengangkat alisnya dengan mimik menyindir dan mulai menyendok salad banyak-banyak ke dalam piringnya.
Tanpa paksaan, Katy menghabis setengah porsi makanannya, lebih banyak dari perkiraan awal Ursula. Kemudian ia berpamitan untuk
mempersiapkan diri menjelang pertunjukan.
“Kita harus pergi pukul tujuh, Daddy.”
Rick merobek sepotong roti. “Baiklah.”
Katy ragu-ragu di pintu. “Dan bisakah… bisakah Ursula juga ikut?”
“Tentu saja ia akan ikut.” Rick menatap dalam mata
safir Ursula. “Tapi barangkali ia sibuk,” jawab Rick datar. Mimik wajahnya mengatakan bahwa inilah saatnya Ursula pergi jika gadis itu memang ingin pergi.
“Tidak, aku tidak sedang sibuk,” jawab Ursula
seketika, tanpa peduli apakah jawaban tersebut akan membuatnya tampak kesepian serta putus asa.
Anak itu sedang sedih karena kehilangan ibunya, dan
tampaknya ia menginginkan dukungan Ursula. Dan sekarang bukan saat yang tepat bagi Ursula untuk berpura-pura di hadapan Rick bahwa ia memiliki kehidupan sosial yang gemerlapan! “Terima kasih telah mengundangku, Katy. Aku senang sekali bisa datang ke pertunjukanmu!”
“Bagus!” Katy menyunggingkan senyumnya. “Kalau begitu, aku akan naik dan bersiap-siap!”
Keheningan menyelimuti ruangan itu setelah Katy pergi. Rick mengelap mulutnya dengan serbet kemudian bersandar di kursi dan mengamati
Ursula di seberang meja.
“Rupanya kau cukup ahli membujuk gadis kecil yang
tidak mau makan,” ungkap Rick.
Ursula mendorong piringnya. “Tak perlu kaget. Dulu
adikku juga perlu banyak dibujuk supaya mau makan. Wajar saja jika kita tidak ingin makan saat sedang sedih. Atau tidur. Atau sedang mengerjalan sesuatu, sebetulnya. Kehidupan normal adalah hal yang paling sulit diwujudkan jika hati kita sedang terluka.”
Perlahan Rick mengangguk dan tampaknya ia akan
mengatakan sesuatu mengenai kesedihan. Namun ia malah bertanya, “Bagaimana jika kita minum kopi?”
“Baiklah.” Ursula menghormati kebutuhan Rick akan
hal-hal duniawi. Memang, pada saat dilanda krisis bisa jadi hanya itulah yang bisa menjaganya tetap waras. Secangkir kopi lebih mudah dipikirkan ketimbang ke mana istrinya pergi. Rick tampak pucat karena rasa cemas dan lelah. “Akan
kubuatkan,” sahut Ursula, siap beranjak dari kursinya, tapi Rick menghentikannya dengan gelengan kepala.
“Tidak, duduklah. Aku yang akan membuat kopi, Ursula,” katanya tegas. “Kau sudah memasak makanan dan kita tidak sedang bekerja sekarang. Benar, kan?” Rick melemparkan pandangan menantang seraya bangkit berdiri, menjulang demikian tinggi di depan Ursula sehingga gadis itu nyaris merasa rapuh. Mulut Rick mengeras. “Atau mungkin kau telah memasukkan aku ke dalam kategori chauvinis—jenis pria yang tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan di dapur, atau tidak bersedia bekerja di dapur selama didekatknya ada seorang wanita?”
Ursula tertawa, ia terkesan melihat reaksi Rick yang
berlebihan. “Hentikann kuliahmu mengenai kesetaraan, Rick!” goda Ursula dengan halus. “Aku suka kopi dan aku sama sekali tidak keberatan jika kau yang membuatnya! Bagaimana jika aku menaruh piring-piring ke dalam mesin pencuci
piring sementara kau menyeduh kopi, atau kau lebih suka melakukannya sendiri?”
“Silakan.” Rick tersenyum tipis.
Rick baru akan mengambil teko ketika Ursula mendengar Rick berseru tertahan. Ursula berpaling dari mesin pencuci piring dan melihat Rick menarik secarik amplop putih yang terselip di balik toples kopi.
“Pasti dari Jane,” pikir Ursula sementara denyut
nadinya mulai meroket. Tapi Ursula tidak bicara sepatah kata pun saat mengamati Rick merobek amplop itu kemudian mengeluarkan secarik kertas dengan tulisan komputer dari dalamnya. Mata Rick menelusuri kertas itu dengan cepat, seperti seorang pembaca kilat.
Dengan cermat Ursula meneruskan menumpuk piring-piring kemudian membersihkan remah-remah di atas meja dan berdoa semoga Katy tidak
turun dalam satu atau dua menit ini, paling tidak, sampai Rick berhasil mengendalikan dirinya lagi. Ursula tak berani memandang Rick. Ia tidak tahu
apakah ia akan tahan melihat kesedihan Rick—sementara detik-detik keheningan terus berlalu.
“Ia sudah pergi,” kata Rick dengan tabah seraya
meremas surat itu dengan tangannya yang besar dan melemparkannya ke bawah dengan mimik menghina.
Akhirnya Ursula berani menatap mata Rick, dan ia
mendapati kepahitan dan amarah di sana. Tapi tak ada penyesalan. Barang kali penyesalan akan datang kemudian, pikir Ursula, setelah guncangan awal terlewati.
“Dari Jane?” tanya Ursula bodoh, karena dalam situasi semacam ini hal-hal yang sudah diketahui terus-menerus diucapkan, barangkali sebagai cara menghadapi fakta yang menyakitkan.
Rick mengangguk. “Ya,” jawabnya lambat dengan jijik, seolah-olah kata tersebut sudah terpolusi. “Dari Jane.”
Agar raut wajahnya tampak biasa saja, Ursula hanya
mengangguk. “Apakah ia bilang ke mana ia pergi?”
“Tidak secara persis. Ini… bacalah!” Rick memungut
gumpalan kertas itu dan melemparkannya pada Ursula.
Ursula menangkapnya sambil melontarkan protes. “Aku tidak dapat membaca surat ini, Rick!”
“Tapi aku ingin kau membacanya,” ujar Rick bersikeras. “Ayolah, baca surat itu!”
Rasa penasaran Ursula membuatnya tak mampu menolak lagi. Dirapikannya gumpalan kertas itu di atas. Surat itu ditujukan hanya pada Rick, pikir Ursula, bukan Katy. Ia membaca:
Rick,
Saat kau membaca surat ini, aku pasti sudah pergi. (Oh, Tuhan, betulkah aku yang menulis hal ini? Mengapa peristiwa-peristiwa terpenting dalam kehidupan selalu tampak sangat picisan dan mudah ditebak?!)
Ursula meringis dan sekilas mencuri pandang ke arah Rick, tapi laki-laki itu sedang berdiri di depan jendela dapur sambil menatap keindahan senja musim panas yang keemasan di luar sana. Rick benar-benar diam. Demikian terpaku sehingga tampaknya ia dipahat dari batu, seluruh tubuhnya
seolah membeku. Hanya gerakan otot pipinya yang menandakan bahwa ia sedang menghadapi masalah.
Ursula meneruskan membaca.
Aku yakin kepergianku tak akan membuatmu terkejut (kecuali, barangkali, bahwa aku pergi begitu tiba-tiba), karena kita berdua sama-sama menyadari hubungan kita selama ini berjalan kurang baik. Atau apakah hal itu dapat dikategorikan sebagai pernyataan tak tertulis? Ya, kurasa demikian!
Jantung Ursula berdebar semakin cepat. Ia ketakutan karena menyadari bahwa kata-kata kurang ajar dalam surat itu menimbulkan
perasaan senang yang mengerikan dalam dirinya.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments