Part 3

“Habis lembur?” tanya Ursula dengan manis. “Atau ada keluhan yang tidak aku ketahui?”

Rick mengernyit. “Aku hanya minta dua pil—aku tidak minta kau membuat diagnosa terhadap penyakitku!”

Pikiran buruk melintas dalam benak Ursula, tapi dengan segera gadis itu mengenyahkannya. “Baiklah, Bos.” Katanya. “Kau duduk saja di sini, beristirahat dengan tenang, sementara aku berkeliaran dan melayanimu.”

“Terima kasih,” jawab Rick tak acuh, mempermainkan sebuah catatan dan tampaknya tak memperhatikan sarkasme dalam suara Ursula.

Dalam dapur kantor, Ursula menggiling sejumlah biji kopi kemudian memanaskan teko. Ia menatap ke luar jendela, ke arah langit London seraya menunggu air mendidih. Terpikir olehnya betapa ia beruntung karena bekerja di pusat kota London, dalam sebuah kantor yang demikian nyaman. Bagi seorang gadis yang hanya berbekal sertifikat mengetik, kehidupannya sekarang tidaklah terlalu jelek!

Seperti ruangan yang lain, dapur itu dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan selera tinggi sebuah perusahaan periklanan. Mengilap

dan nyaman. Seperti yang pernah dikatakan Rick pada hari pertama Ursula bekerja di Wickens, “Citra adalah segalanya dalam bisnis ini.” Ursula ingat laki-laki itu mengatakannya dengan sinis serta dingin dan ia sempat bertanya-tanya apakah

fakta itu membuat Rick senang atau sebaliknya.

Ursula terkenang saat ia mengetahui bahwa Rick sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan kecil. Perasaan kecewa yang mendalam seperti menikamnya. Jika dipikir-pikir lagi kemudian, itu benar-benar perasaan yang tidak masuk akal. Mana mungkin ia mengharapkan seorang laki-laki pujaan seperti Rick akan tertarik pada gadis yatim gemuk dari Irlandia seperti dirinya?

Tapi setelah mimpi tersebut kandas—meskipun itu memang mustahil terwujud—tetap saja Ursula harus melanjutkan hubungan kerja yang baik dengan atasannya, kali ini tanpa diiming-imingi harapan palsu bahwa suatu hari Rick akan menarik Ursula ke pelukannya! Namun bukan berarti Ursula berhenti

mengkhayalkan laki-laki itu. Kadang-kadang ia masih sedikit berfantasi tentang Rick—tapi ia tidak sendirian. Semua wanita lain di gedung itu juga melakukan hal yang sama!

“Bagaimana kopinya?” terdengar erangan rendah dari kantor. “Apakah kau naik pesawat dulu ke Kolombia untuk memanen biji kopinya sendiri?”

Ursula tersenyum sembari mengeluarkan dua buah aspirin dari pembungkus aluminium, menuangkan segelas air untuk Rick dan membawanya ke kantor.

Rick tampak pucat, pikir Ursula cermat, sambil menyerahkan minuman dan tablet padanya.

“Terima kasih.”

“Apakah kau sakit, Rick?”

Rick menggeleng. “Hanya kurang tidur.”

“Kalau begitu, jangan mengernyit,” kata Ursula dengan manis. “Kau bisa keriput nanti,” dan kembali ke dapur yang dipenuhi roma harum sebelum Rick sempat membalas perkataannya.

Terpampang dalam bingkai di dinding salah satu iklan Rick yang paling sukses, menampilkan seorang gadis pirang muda dengan bibir tebal tengah menghirup segelas es cokelat. Si pirang sedang duduk di pantai, mengenakan bikini yang sangat minim, dan tulisan Rick berbunyi, “Bukan Hanya

untuk Waktu Tidur…”

Iklan itu berhasil menghancurkan mitos bahwa minuman cokelat hanya diminum oleh anak-anak. Iklan itu juga memicu debat panas dalam kolom

wanita di surat-surat kabar mengenai perlunya menghapus citra diskriminatif terhadap perempuan dalam menjual produk.

Penjualan melangit dan Rick menjadi salah satu orang paling penting di kota—bukan hanya dalam bidang bisnis saja. Dengan kreativitasnya yang jenius, tubuh ramping dan keras, serta mata yang kadang kala menyerupai api neraka, semua orang ingin terlihat sedang bersama-sama Rick Sheridan.

Hanya saja laki-laki itu tak pernah terlihat bersama-sama siapa pun karena ia memiliki seorang istri dan putri di rumah! Dan Ursula

mengagumi Rick untuk hal itu. Selama bertahun-tahun, laki-laki itu sudah mengalami godaan yang cukup ampuh untuk menjerat seorang santo paling suci sekalipun. Ursula telah melihat para model dan aktris mendekati Rick setiap saat. Tapi Rick menolak mereka. Ia tampaknya sama sekali tidak tertarik.

Dan itu semakin menambah daya tariknya. Laki-laki impian yang tahan godaan. Berubah-ubah, tajam, cemerlang, dan tak dapat ditebak.

Ursula membawa baki kopinya, menambahkan sepiring biskuit kesukaan Rick. Gadis itu telah menuangkan secangkir kopi untuk mereka

masing-masing dan kembali duduk di balik meja kerjanya ketika suara Rick yang dalam memecah keheningan.

“Ursula?”

“Ya, Rick?”

“Mmm, berapa umurmu sebenarnya?”

Ursula berkedip. Lagi-lagi pemakaian kata “mmm” yang di luar kebiasaannya. “Kau tahu berapa umurku!”

Rick menggerakan mulutnya seperti anak kecil yang keras kepala. “Tapi aku tidak tahu berapa persisnya,” sanggahnya bersikeras.

“Seberapa persis yang ingin kauketahui? Sampai hitungan menit? Apakah kau akan meramal horoskopku?”

“Lucu sekali.”

“Tidakkah kau tahu bahwa menanyakan umur seorang wanita adalah perbuatan tidak sopan?”

“Tapi aku tidak bertanya pada seorang wanita,” sindir Rick. “Hanya seorang gadis.”

Sensualitas halus yang mewarnai suara Rick mau tak mau membuat pipi Ursula memerah.

“Ursula,” goda laki-laki itu, “pipimu merona.”

“Kaulah penyebabnya!” sela Ursula.

“Hanya karena kau begitu malu mengakui umurmu.”

“Itu bukan rasa malu!” balas Ursula. “Sudah sewajarnya jika ada hal pribadi yang ingin kusimpan sendiri!”

“Oh, aku tidak peduli soal itu. Ada banyak hal pribadi yang kausimpan sendiri,” ucapnya lancang. Kemudian ia mengirup kopi sebelum menatap Ursula dengan kecemerlangan mata pekatnya. “Jadi apakah aku boleh tahu?”

Sejenak Ursula bertanya-tanya apakah ada usia tertentu yang membuat wanita merasa senang mengakuinya! “Umurku dua puluh tujuh—dua puluh

delapan—sebentar lagi.” Gadis itu menatap Rick di seberang ruangan. “Mengapa kau ingin tahu?”

Rick membalasnya dengan tatapan polos. “Apakah perlu ada alasannya?”

Ursula mengangkat bahu dan gerakan tersebut menyebabkan rambut hitamnya yang panjang memantulkan cahaya hitam kebiruan. Ursula

membiarkan rambutnya tergerai di bahu. Itu memang bukan gaya yang praktis untuk bekerja, tapi paling tidak model rambut tersebut bisa menyamarkan wajah bulatnya. Atau begitulah pendapat Ursula. “Aku sudah bekerja denganmu selama enam tahun dan kau tak pernah menanyakan hal itu sebelumnya!”

“Mungkin aku punya rencana untuk mengejutkanmu…”

“Maksudmu kau akan datang tepat waktu besok pagi?”

Rick tertawa, tapi tawanya terdengar gugup. “Kau benar,” ia mendesah. “Akhir-akhir ini aku sering terlambat.”

Dengan cepat Ursula merapikan kertas-kertas di mejanya menjadi satu tumpukan. Ia tak akan menanyakan penyebabnya. Tak perlu. Laki-laki

berkeluarga yang terus-menerus terlambat setiap pagi psatilah memiliki alasan bagus, yaitu kemungkinan besar karena mereka terhanyut oleh rayuan manja sang istri.

Dan Ursula sudah memutuskan tak akan mencampuri bidang kehidupan Rick yang satu itu. Ia senang Rick bahagia dengan istrinya, tapi ia tak ingin fakta tersebut disodorkan di depan hidungnya setiap lima menit.

Bersambung…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!