Jarak Menuju Hati

Jarak Menuju Hati

Part 1

Sejak bangun tidur hingga di tempat kerja rasa kram dan nyeri di perutku belum juga mereda. Sering kali kontraksi pun kerap muncul tiba-tiba dan itu menggangguku beraktivitas. Kali ini kontraksi malah lebih sering. Sehingga aku pun merasakan ketakutan, Jangan-jangan ini tanda-tandanya aku akan segera melahirkan. Aku bergegas meminta izin pulang setengah hari dari pekerjaanku sebagai dokter umum di Puskesmas desa.

Aku memilih pulang lebih awal karena aku akan menyiapkan semuanya sampai bayi yang kukandung ini siap kulahirkan di rumah. Sudah tak terhitung rasa sakit yang mendera terasa di perutku ini. Namun, sekuat tenaga. Aku kerahkan untuk  bertahan. Agar,  jangan sampai bayi yang masih di dalam sana akan lahir di tengah jalan. Kutenangkan diri, sesering mungkin kuhirup dan kukeluarkan napas agar bisa meminimalisir rasa sakit ini.

Sementara itu aku juga harus berkonsentrasi di perjalanan, agar dapat mengendarai motor yang sedang kutunggangi sampai di rumah dinas dengan aman dan selamat. Mengapa aku harus pulang dan menyiapkan semuanya di rumah, mengapa tidak sekalian saja di Puskesmas. Tempat yang memang seharusnya kulahirkan bayi ini di sana. Makhluk yang selama sembilan bulan bersemayam di perutku. 

Tidak! Tentu tidak mungkin kulahirkan dia di sana, bayi ini kusembunyikan sejak tahu aku ternyata hamil, tidak ada orang yang tahu selain aku. Jika saat ini, aku sedang hamil. Bukan tanpa alasan aku menyembunyikan kehamilan ini. Tentu tidak dengan cara ekstrim. Tidak mungkin aku membahayakan diri sendiri dan bayi yang masih ada di perut ini, aku siksa. Meski aku tidak mengharapkan kehadirannya, mana mungkin aku tega menghambat pertumbuhan dan pergerakan tubuhnya dengan menutupi menggunakan korset atau semacamnya. Bisa mati dia di sana dan perbuatan itu bagiku itu amat SADIS.

Bayi ini memang anakku, darah daging yang telah bersemayam dalam rahimku sejak sembilan bulan lalu dan dalam beberapa jam lagi bayi ini akan kulahirkan ke dunia. Sebagai ibunya, aku kini sedang menikmati tahap demi tahap rasa sakit untuk menghadirkannya ke dunia. Rasa yang kian jam, kian menit bahkan kian detik makin meningkat sakitnya.

Sudah kutahan sejak tadi aku membuka mata.  Memang perjuangan untuk menghadirkan manusia baru ke dunia sangatlah tidak mudah. Harus melalui proses yang panjang, melelahkan, sakit dan bahkan hingga merenggang nyawa, semua itu melebur menjadi satu kesatuan rasa yang disebut melahirkan.

***

Aku telah menyiapkan segala perlengkapan dan kebutuhan yang akan digunakan selama proses persalinan ini berlangsung hingga bayi itu nantinya dapat lahir dengan selamat. Tak lupa aku menelepon perempuan bernama Nurbaiti. Perempuan yang memang sudah kuajak kerja sama dari jauh-jauh hari agar mau membantuku saat melahirkan nanti. Sekarang, perempuan itu sedang berjalan menuju rumahku. Sembari menunggunya.

Sensasi rasa panas pembukaan jalan lahir agar terbuka sempurna sedang aku rasakan. Dengan tenaga yang masih tersisa. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk segera mandi. Meski saat menuju ke sana aku selalu mendesis menahan rasa sakit yang sering kali menghujam perutku. Padahal untuk mencapai ke kamar mandi hanya dibutuhkan waktu lima menit.

Selain untuk menyegarkan tubuhku. Mandi sengaja aku lakukan, agar kontraksi pada perutku yang kian menit kian detik terasa sakit bisa kuredam. Sehingga saat Nurbaiti datang, ia dapat dengan cepat membantuku dalam proses persalinan ini. Meski harus berulang kali aku  meringis menahan kesakitan karena rasa mulas yang terus menghantam perut buncitku ini.

Setelah berpakaian daster tanpa menggunakan pakaian dalam, terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!" teriakku parau.

Mungkin, di luar sana Nurbaiti tak mendengarnya, tetapi karena pintu yang sengaja tak kukunci. Ia masuk dengan  melangkah pelan menuju kamar, perempuan itu lalu melihatku yang mondar-mandir sembari mengelus perut, menghirup, dan menghembuskan napas, sesekali aku pun meringis kesakitan.

"Maaf Bu dokter saya telat, masalahnya saya jalan kaki, suami saya sedang kerja," ucapnya dengan napas kembang kempis.

Aku mengangguk pelan, karena memang aku tahu jarak rumahnya dengan rumah ini lumayan jauh. Butuh waktu hingga setengah jam lebih untuk sampai ke rumah ini. Tanpa kuperintah Nurbaiti langsung beranjak ke dapur lalu menyalakan kompor, entah apa yang ia akan masak. Karena bunyi tombol kompor yang dinyalakan dapat  terdengar suaranya hingga dalam kamar.

Selang beberapa menit, Nurbaiti kembali ke kamar sementara aku hanya mengerang kesakitan sembari menunggu pembukaan benar-benar terbuka sempurna. Wajahku sudah merah padam, bermandikan keringat dan bercampur dengan air mata. Karena rasa sakit yang terus menerus menghujam.

Untuk itu aku merubah posisiku dengan berjongkok sembari meletakkan kepalaku di tepian ranjang. Agar, rasa sakit ini sedikit reda. Mungkin karena  iba. Nurbaiti sonntak berinisiatif membangunkan aku berdiri di belakang lalu memijat punggungku seperti apa yang pernah aku ajarkan padanya. Rasa nyeri ini benar-benar aku nikmati. Nurbaiti seraya meringis seperti ia dapat merasakan apa yang sedang kurasakan saat ini. Ia pasti tahu bagaimana rasa sakitnya meski usia Nurbaiti lebih muda dua tahun dariku, tetapi telah dua kali ia merasakan rasa sakitnya melahirkan.

Seperti pada umumnya masyarakat desa yang menikah muda. Nurbaiti pernah bercerita padaku. Jika ia dan suaminya pun melakukan pernikahan di usia muda. Pada saat itu, Nurbaiti berusia enam belas tahun dan suaminya berusia sembilan belas tahun. Dalam kurun waktu dua bulan usai pernikahannya. Nurbaiti dinyatakan hamil.

Namun, sayang saat tujuh bulan usai kehamilannya ia mengalami pendarahan dan bayinya harus terlahir dalam keadaan prematur. Begitu juga pada saat Nurbaiti hamil untuk yang kedua kalinya di usia delapan belas tahun. Perempuan itu pun harus kehilangan bayinya bahkan sebelum bayi itu di lahirkan ke dunia.

Iba mendengar ceritanya, aku berencana untuk memberikan bayi ini pada Nurbaiti dan suaminya. Awalnya, aku kira ia dan suaminya menolak dengan rencana yang aku utarakan itu karena usai mereka yang masih berusia muda dan masih banyak kesempatan untuk memperoleh lagi seorang anak. Namun ternyata, perkiraanku itu salah. Keduanya malah menyambut dengan senang rencanaku itu.

***

Kembali ke rasa nyeri, panas, dan sakit pada tubuhku. Terutama perutku yang menjadi titik tumpu rasa sakit itu. Berjalan-jalan mengelilingi kamar agar pembukaan maksimal jalan lahir segera sempurna. Sudah tak terhitung air baik keringat dan air mata yang membasahi area wajahku.

Nurbaiti masih dengan setia menemaniku ia memijat-mijat kembali area punggungku sembari sesekali ia ke dapur untuk melihat sesuatu yang ia masak. Sedangkan mulutku tak henti-hentinya menghirup serta membuang napas seraya meringis karena rasa sakit yang menghujam perutku dengan area bawah yang terasa semakin panas dan melebar sepertinya waktu bayi ini akan mencapai panggul dan siap menuju gerbang kelahiran.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Soraya

Soraya

hadiah pertama dri ku untuk mu kak

2023-11-14

0

Soraya

Soraya

permisi numpang duduk dl ya kak

2023-11-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!