Sungguh malam ini tak akan aku lupakan seumur hidupku. Malam yang bersejarah dan membahagiakan. Lantaran untuk pertama kalinya, aku berinteraksi dengan Andra dan Razka. Kami bertiga terlibat obrolan ringan. Namun, penuh keceriaan sehingga mengundang gelak tawa. Di antara kami sehingga mengalir begitu saja. Sampai-sampai aku lupa jika sebenarnya rasa kantuk pada mataku yang tadinya sangat terasa, malah menghilang tersapu oleh tawa yang sedari tadi menggema.
"Mama kapan mau ke rumah sakit lagi ketemu Razka?" ucap bocah berusia lima tahun itu menirukan ucapan ayahnya.
Sontak aku terperangah, hatiku terenyuh karena ucapan yang baru dilontarkan anak kecil itu. Rasanya ingin sekali air mata ini mencelos begitu saja dari kedua bola mataku Saat mendengar kata "Mama" terucap dari mulut kecilnya, meski ucapannya itu hanya sekadar meniru kata demi kata yang keluar dari mulut ayahnya. Namun hal itu mampu membuat mataku berkaca-kaca. Aku senang, aku bahagia. Saat bayi yang dulu kulahirkan dengan pertaruhan nyawa. Kini tumbuh menjadi anak yang baik, pintar, dan penurut kepada orang tua..
"Mama" kata yang terucap dari bibir kecilnya. Mampu membuat hatiku bergetar hingga aliran darah mengalir begitu derasnya. Aku kembali bertanya pada diri sendiri. Masih pantaskah aku dipanggil dengan sebutan itu olehnya? Apa pantas aku masih ditunggu kedatangan olehnya?
Sementara apa yang pernah aku lakukan padanya dulu bisa saja melukai hatinya di kemudian hari. Ya, memang benar aku ini ibu kandungnya. Wanita yang memperjuangkan hidupnya untuk menghadirkan dia ke dunia. Namun, aku ibu yang dengan tega memberikan dia pada orang lain. Untuk dirawat, dilindungi, dan diberikan penghidupan selayaknya orang tua berikan pada anaknya. Sontak kembali batinku meronta, terasa begitu nyeri, bahkan rasanya sesak sekali untuk bernapas..
"Mama, kenapa bengong?" ucapnya lagi.
"Bengong mikirin apa sih, kamu?" timpal Andra.
"Oh nggak, nggak bengong sayang. Cuma Tante lagi senang karena Razka bilang ke Tante. Eh maksudnya Mama," ucapku seraya menyeka setitik bulir bening yang akhirnya lolos juga dari kedua bola mataku.
"Mama, nangis?" ucapnya lagi.
"Nggak sayang, Mama sangat bahagia. Mama bahagia, karena Razka udah sehat. Mungkin juga besok Razka udah bisa pulang dari rumah sakit,"
"Mama besok jemput aku pulang, ya?"
"Iya sayang, nanti Mama jemput," jawabku yang tentu aku tak bisa menolak keinginan Razka.
Setelah mengakhiri obrolan, aku mulai merasakan kantuk kembali, karena mulutku terus menerus menguap. Kini tiba saatnya aku memejamkan mata seraya tersenyum senang karena obrolan dengan Razka tadi membuatku bahagia. Apalagi bocah itu kini menyebutku dengan sebutan Mama. Sebutan yang ingin sekali aku dengar dari mulutnya. Berbeda dengan tadi siang. Ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Ia sempat memanggilku dengan sebutan Tante. Jujur ketika kata itu terucap dari mulut kecilnya. Hatiku terasa terkoyak, perih sekaligus tak berdarah. Saat Razka berucap seperti itu.
***
Hari ini aku izin tidak praktik di rumah sakit, karena akan menjemput Razka pulang dari rumah sakit, aku hanya pergi seorang diri. Tidak ada Andra yang menemani. Karena pria itu tengah sibuk dengan pekerjaannya. Sehingga pagi-pagi sekali ia sudah memberikan kabar padaku, tidak bisa menemaniku untuk menjemput Razka.
Pukul enam pagi, aku sudah mengemudi mobil seorang diri, aku berangkat lebih pagi agar tidak terjebak kemacetan panjang sehingga aku dapat tepat waktu sampai tujuan. Tapi bersyukurnya, hanya sekali aku merasakan kemacetan, sehingga aku bisa sampai tujuan meski sedikit mengalami keterlambatan
Setibanya di rumah sakit, aku melihat Razka sudah berpakaian rapi, ia sedang duduk di sofa sembari menonton acara televisi. Sementara Nurbaiti sibuk mengurus keperluan agar Razka bisa pulang. Perempuan itu tidak perlu pusing dengan biaya pengobatan karena semuanya telah ditanggung sepenuhnya oleh Andra. Ia hanya datang mengambil obat setelah dokter memberikan sedikit konsultasi dan resep obat yang harus diambil di apotek.
Aku mengobrol dengan Razka sembari sedikit becanda dengannya. Sebelum Nurbaiti datang setelah kembali dari apotek. Melihat senyum manis di wajahnya tentu saja membuatku berkali-kali lipat bahagia. Aku tak menyangka bila aku bisa bertemu dan bercengkrama sedekat ini dengan anakku sendiri. Tak ada rasa dendam, ia hanya memberikanku senyuman yang membuatku bisa mabuk kepayang. Aku sangat sayang padanya. Meski Anak itu dulu pernah aku tolak kehadirannya.
Dua puluh menit berlalu, Nurbaiti datang dengan membawa plastik berwarna putih berisi obat-obatan. Perempuan itu tersenyum tatkala aku menyapanya. Ia tahu jika aku, yang akan menjemputnya pulang. Karena sejak pagi Andra sudah mengabarkan padanya, jika aku yang akan membawa Razka dan wanita itu pulang ke rumahnya.
Jarak antara rumah sakit dengan rumah Nurbaiti hanya memakan waktu tiga puluh menit, kami bertiga sampai di sana sebelum waktu Zuhur tiba. Ini pertama kalinya aku berkunjung ke rumah Nurbaiti yang baru. Selain tinggal dengan Razka, wanita itu. Rupanya juga tinggal bersama Siti anak kandungnya dan Nurhayati adiknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
Meski kini Nurbaiti sudah menjadi janda di usianya yang masih tergolong muda, karena ditinggal suaminya meninggal dunia. Namun, sudah tak kulihat lagi raut kesedihan di wajahnya. Ia bercerita banyak saat di mobil tadi. Jika anak-anak dan adiknya lah yang membuat wanita itu tetap bersemangat, menjalankan hidupnya. Andai jika mereka tidak ada, mungkin hanya kesedihan yang terus meratapi hidup wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu.
Selama dalam masa perjalanan, Andra pun memantau posisi kami. Pria itu mengadakan video panggilan melalui handphone milik Nurbaiti. Berinteraksi dengan Razka. Sehingga membuat anak kecil itu tak bosan selama dalam perjalanan pulang. Kami pun harus menjumpai kemacetan selama dalam perjalanan pulang. Sementara Razka tengah asik becanda dengan Andra melalui video panggilan ditemani Nurbaiti di kursi penumpang. Aku pun tengah asik mengemudi kendaraan.
"Gimana jalan mobilnya Mama. Cepat apa lambat?" tanya Andra di obrolan itu.
"Biasa aja. Nggak cepat juga nggak lambat, Pa,"jawabnya.
"Kayak kancil apa kura-kura ya, Mas Razka?"
"Kancil sih, tapi jadi kura-kura, Pa"
"Aduh, Bu Dokter. Gimana sih, Bu. Denger nggak tuh, dikomplain sama Mas Razka," ucap Andra berseloroh.
"Diam kau, Pak Andra. Jangan sampai aku naik pitam!" ucapku yang pura-pura kesal seraya terus mengemudi.
"Pa, naik pitam itu apa, sih? tanya Razka.
"Naik pitam itu..., coba Razka minta kasih tau Mama. Kan tadi Mama yang ngomong, lagian Mama Kana itu dokter. Jadi Mama Kana pintar," jelas Andra.
Emang iya, Bu. Mama Kanaya itu dokter," tanyanya pada Nurbaiti. Nurbaiti lantas mengangguk.
"Horeee...,"
Melihat anggukan dari Nurbaiti, mata Razka berbinar, senyumnya pun tak kalah sumringah. Ia senang lantaran wanita yang baru beberapa hari ia kenal itu adalah seorang dokter.
"Razka, kamu kenapa, Nak?" tanya Nurbaiti dilanjutkan dengan tolehan kepalaku,"
"Aku senang deh, Bu. Tenyata Mama Kanaya itu dokter. Jadi, Razka kalau sakit, berobatnya sama Mama Kanaya aja. Nggak perlu ke rumah sakit lagi. Razka sebal kalau disuntik," jelasnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments