NovelToon NovelToon

Jarak Menuju Hati

Part 1

Sejak bangun tidur hingga di tempat kerja rasa kram dan nyeri di perutku belum juga mereda. Sering kali kontraksi pun kerap muncul tiba-tiba dan itu menggangguku beraktivitas. Kali ini kontraksi malah lebih sering. Sehingga aku pun merasakan ketakutan, Jangan-jangan ini tanda-tandanya aku akan segera melahirkan. Aku bergegas meminta izin pulang setengah hari dari pekerjaanku sebagai dokter umum di Puskesmas desa.

Aku memilih pulang lebih awal karena aku akan menyiapkan semuanya sampai bayi yang kukandung ini siap kulahirkan di rumah. Sudah tak terhitung rasa sakit yang mendera terasa di perutku ini. Namun, sekuat tenaga. Aku kerahkan untuk  bertahan. Agar,  jangan sampai bayi yang masih di dalam sana akan lahir di tengah jalan. Kutenangkan diri, sesering mungkin kuhirup dan kukeluarkan napas agar bisa meminimalisir rasa sakit ini.

Sementara itu aku juga harus berkonsentrasi di perjalanan, agar dapat mengendarai motor yang sedang kutunggangi sampai di rumah dinas dengan aman dan selamat. Mengapa aku harus pulang dan menyiapkan semuanya di rumah, mengapa tidak sekalian saja di Puskesmas. Tempat yang memang seharusnya kulahirkan bayi ini di sana. Makhluk yang selama sembilan bulan bersemayam di perutku. 

Tidak! Tentu tidak mungkin kulahirkan dia di sana, bayi ini kusembunyikan sejak tahu aku ternyata hamil, tidak ada orang yang tahu selain aku. Jika saat ini, aku sedang hamil. Bukan tanpa alasan aku menyembunyikan kehamilan ini. Tentu tidak dengan cara ekstrim. Tidak mungkin aku membahayakan diri sendiri dan bayi yang masih ada di perut ini, aku siksa. Meski aku tidak mengharapkan kehadirannya, mana mungkin aku tega menghambat pertumbuhan dan pergerakan tubuhnya dengan menutupi menggunakan korset atau semacamnya. Bisa mati dia di sana dan perbuatan itu bagiku itu amat SADIS.

Bayi ini memang anakku, darah daging yang telah bersemayam dalam rahimku sejak sembilan bulan lalu dan dalam beberapa jam lagi bayi ini akan kulahirkan ke dunia. Sebagai ibunya, aku kini sedang menikmati tahap demi tahap rasa sakit untuk menghadirkannya ke dunia. Rasa yang kian jam, kian menit bahkan kian detik makin meningkat sakitnya.

Sudah kutahan sejak tadi aku membuka mata.  Memang perjuangan untuk menghadirkan manusia baru ke dunia sangatlah tidak mudah. Harus melalui proses yang panjang, melelahkan, sakit dan bahkan hingga merenggang nyawa, semua itu melebur menjadi satu kesatuan rasa yang disebut melahirkan.

***

Aku telah menyiapkan segala perlengkapan dan kebutuhan yang akan digunakan selama proses persalinan ini berlangsung hingga bayi itu nantinya dapat lahir dengan selamat. Tak lupa aku menelepon perempuan bernama Nurbaiti. Perempuan yang memang sudah kuajak kerja sama dari jauh-jauh hari agar mau membantuku saat melahirkan nanti. Sekarang, perempuan itu sedang berjalan menuju rumahku. Sembari menunggunya.

Sensasi rasa panas pembukaan jalan lahir agar terbuka sempurna sedang aku rasakan. Dengan tenaga yang masih tersisa. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk segera mandi. Meski saat menuju ke sana aku selalu mendesis menahan rasa sakit yang sering kali menghujam perutku. Padahal untuk mencapai ke kamar mandi hanya dibutuhkan waktu lima menit.

Selain untuk menyegarkan tubuhku. Mandi sengaja aku lakukan, agar kontraksi pada perutku yang kian menit kian detik terasa sakit bisa kuredam. Sehingga saat Nurbaiti datang, ia dapat dengan cepat membantuku dalam proses persalinan ini. Meski harus berulang kali aku  meringis menahan kesakitan karena rasa mulas yang terus menghantam perut buncitku ini.

Setelah berpakaian daster tanpa menggunakan pakaian dalam, terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!" teriakku parau.

Mungkin, di luar sana Nurbaiti tak mendengarnya, tetapi karena pintu yang sengaja tak kukunci. Ia masuk dengan  melangkah pelan menuju kamar, perempuan itu lalu melihatku yang mondar-mandir sembari mengelus perut, menghirup, dan menghembuskan napas, sesekali aku pun meringis kesakitan.

"Maaf Bu dokter saya telat, masalahnya saya jalan kaki, suami saya sedang kerja," ucapnya dengan napas kembang kempis.

Aku mengangguk pelan, karena memang aku tahu jarak rumahnya dengan rumah ini lumayan jauh. Butuh waktu hingga setengah jam lebih untuk sampai ke rumah ini. Tanpa kuperintah Nurbaiti langsung beranjak ke dapur lalu menyalakan kompor, entah apa yang ia akan masak. Karena bunyi tombol kompor yang dinyalakan dapat  terdengar suaranya hingga dalam kamar.

Selang beberapa menit, Nurbaiti kembali ke kamar sementara aku hanya mengerang kesakitan sembari menunggu pembukaan benar-benar terbuka sempurna. Wajahku sudah merah padam, bermandikan keringat dan bercampur dengan air mata. Karena rasa sakit yang terus menerus menghujam.

Untuk itu aku merubah posisiku dengan berjongkok sembari meletakkan kepalaku di tepian ranjang. Agar, rasa sakit ini sedikit reda. Mungkin karena  iba. Nurbaiti sonntak berinisiatif membangunkan aku berdiri di belakang lalu memijat punggungku seperti apa yang pernah aku ajarkan padanya. Rasa nyeri ini benar-benar aku nikmati. Nurbaiti seraya meringis seperti ia dapat merasakan apa yang sedang kurasakan saat ini. Ia pasti tahu bagaimana rasa sakitnya meski usia Nurbaiti lebih muda dua tahun dariku, tetapi telah dua kali ia merasakan rasa sakitnya melahirkan.

Seperti pada umumnya masyarakat desa yang menikah muda. Nurbaiti pernah bercerita padaku. Jika ia dan suaminya pun melakukan pernikahan di usia muda. Pada saat itu, Nurbaiti berusia enam belas tahun dan suaminya berusia sembilan belas tahun. Dalam kurun waktu dua bulan usai pernikahannya. Nurbaiti dinyatakan hamil.

Namun, sayang saat tujuh bulan usai kehamilannya ia mengalami pendarahan dan bayinya harus terlahir dalam keadaan prematur. Begitu juga pada saat Nurbaiti hamil untuk yang kedua kalinya di usia delapan belas tahun. Perempuan itu pun harus kehilangan bayinya bahkan sebelum bayi itu di lahirkan ke dunia.

Iba mendengar ceritanya, aku berencana untuk memberikan bayi ini pada Nurbaiti dan suaminya. Awalnya, aku kira ia dan suaminya menolak dengan rencana yang aku utarakan itu karena usai mereka yang masih berusia muda dan masih banyak kesempatan untuk memperoleh lagi seorang anak. Namun ternyata, perkiraanku itu salah. Keduanya malah menyambut dengan senang rencanaku itu.

***

Kembali ke rasa nyeri, panas, dan sakit pada tubuhku. Terutama perutku yang menjadi titik tumpu rasa sakit itu. Berjalan-jalan mengelilingi kamar agar pembukaan maksimal jalan lahir segera sempurna. Sudah tak terhitung air baik keringat dan air mata yang membasahi area wajahku.

Nurbaiti masih dengan setia menemaniku ia memijat-mijat kembali area punggungku sembari sesekali ia ke dapur untuk melihat sesuatu yang ia masak. Sedangkan mulutku tak henti-hentinya menghirup serta membuang napas seraya meringis karena rasa sakit yang menghujam perutku dengan area bawah yang terasa semakin panas dan melebar sepertinya waktu bayi ini akan mencapai panggul dan siap menuju gerbang kelahiran.

Bersambung...

P a r t 2

Selepas dipijat area punggung. Aku pun ingin melihat seberapa lebar pembukaan jalan lahirku hingga aku memaksakan  diri untuk berdiri di depan cermin. Aku berdiri sembari menahan rasa sakit dan mulai menyingkap daster yang kukenakan Sementara Nurbaiti meminta izin beralih ke dapur untuk mengambil air yang telah ia rebus.

Sembari berpegangan lemari, aku dapat melihat jalan pembukaan yang sudah  semakin terbuka lebar. Sepertinya sudah hampir sempurna. Rasa ingin mengejan sudah semakin terasa. Namun, aku berusaha menahan diri hingga pembukaan itu benar-benar sempurna.

Nurbaiti datang dengan membawa sebuah baskom berisi air yang masih mengepul uapnya. Tiba-tiba di bagian area bawah tubuhku. Keluarlah cairan bening yang kurasa itu adalah air ketuban yang sudah pecah.

Byuuuurr...

Buru-buru Nurbaiti meletakkan baskom itu di atas meja dan segera membantuku berbaring di tempat tidur yang sudah kualasi dengan underpad yang kubeli saat aku pergi ke kecamatan dua bulan lalu.

Keringat sebesar biji jagung sudah mulai terhias di wajahku, cairan merah pun sudah sedikit menetes di underpad. Aku pun sudah dengan posisi mengangkang dan mulai berusaha mengejan, berupaya agar bayi yang ada di dalam sana sedikit demi sedikit terdorong keluar. Nyatanya memang tak semudah seperti apa yang aku bayangkan.

Berkali-kali aku harus berusaha mengejan, menghirup, dan membuang napas agar bayi ini benar-benar bisa keluar. Rasanya seluruh tenagaku yang tersisa sudah kukerahkan. Namun, bayi yang ada di dalam sana masih sulit untuk menemukan jalan keluar sehingga membuatku putus asa hingga hampir menyerah. Memang benar kata orang bila persalinan pertama itu akan lebih sulit dan lebih panjang.

Namun, Nurbaiti tetap memberiku semangat untuk terus mengejan hingga suara ketukan pintu terdengar dari luar sana. Aku dan Nurbaiti spontan kaget. Tetapi rasa sakit dan ingin terus mengejan sudah tak bisa lagi aku tahan. Seseorang yang tadi mengetuk pintu pun langsung menerobos masuk dan melangkah ke arah kamarku dan,

"Kanaya, kamu!" teriak Mariana sembari membulatkan mata kemudian menutup mulut dengan telapak tangannya, karena kaget melihat posisiku yang sudah kesakitan akan melahirkan.

Mariana lalu meletakkan tasnya ke sembarang tempat, ia bergegas ke dapur untuk mencuci tangannya hingga bersih lalu bersiap akan membantuku dalam persalinan. Sebagai seorang bertugas medis, tentu jiwa kemanusiaannya terketuk Melihatku yang sudah tak berdaya dan tak bertenaga. Apalagi ia seorang bidan.

Tentu Mariana tahu bagaimana cara membantu seseorang yang akan melahirkan dengan benar. Nurbaiti lalu bertukar posisi dengannya. Nurbaiti pun mendengarkan apa saja instruksi yang diperintahkan Mariana padanya. Sementara aku terus mengejan berupaya agar bayi di perutku ini cepat keluar.

Dengan tenang Mariana memberi arahan membantuku untuk mengeluarkan bayi yang masih berada di perutku. Aku terus menerus mengejan sembari sesekali menghirup  dan menghembuskan napas. Hingga pergerakan itu akhirnya terjadi di dalam sana. Dapat kurasakan di mana bayiku bergerak.

"Terus Kay, terus dorong, dorong terus, kepala bayimu sudah mulai terlihat," ucap Mariana.

"Ya, terus dorong, Bu. Dorong, " timpal Nurbaiti sembari menyeka keringat yang mengalir membasahi wajahku.

"Sakit, Na. Sa-kit bang-et," keluhku sembari menggelengkan kepala.

Sesaat aku berhenti mengejan serta menggeleng kepala. Rasanya aku sudah tak kuat lagi hingga kuteteskan air mata. Namun, mendengar kata-kata semangat dari kedua perempuan yang tanpa henti di hadapanku. Membuatku ikut bersemangat untuk segera menghadirkan bayi ini ke dunia. Entah berapa kali aku mengejan, menghirup, dan mengembuskan napas hingga akhirnya di ejanan terakhir dan cukup panjang serta sangat menguras tenagaku. bayi itu pun muncul juga dari gerbang jalan lahirnya dan Mariana dengan sigap mengambil bayi itu keluar.

Oek... !Oek...! Oek... !

Suaranya tangis yang sangat kencang dan disambut dengan senyuman Mariana dan Nurbaiti membuat suasana berubah menjadi haru.

"Alhamdulillah sudah lahir, laki-laki, ganteng banget, Bu dokter," ucap Nurbaiti.

Tangisan bayi itu memecah keheningan  yang beranjak senja. Bayi yang berkulit merah itu pun langsung dibersihkan dengan handuk yang telah disiapkan sebelumnya dan segera diletakkan dalam dadaku, mencari sumber asi untuk ia minum. Sementara aku pun merasa lega seraya bersiap untuk mengeluarkan plasenta yang masih berada di dalam sana.

Setelah diberikan cukup asi, bayi itu pun diangkat. Untuk segera dimandikan oleh Nurbaiti sedangkan Mariana sibuk menjahit jalan lahir yang sedikit robek karena persalinan tadi. Usai plasenta itu keluar juga dari jalan lahir. Bayi yang aku lahirkan itu ditidurkan di sampingku usai ia dimandikan, dipakaikan pakaian lalu dibedong dengan rapi. Bau tubuhnya sangat harum meski tidak menggunakan bedak atau minyak bayi. Sekilas aku melihat wajahnya yang begitu mirip dengan laki-laki yang merupakan ayah biologisnya. Bagai pinang yang dibelah dua.

Mariana pun membersihkan sisa-sisa dan alat-alat persalinan tadi. Sementara aku masih merasakan nyeri di area bawah karena jahitan pasca melahirkan.

"Mariana tunggu," ucapku saat ia ingin beranjak pergi.

"Terima kasih banyak atas semuanya,"

"Sama-sama, Kanaya," jawabnya dengan senyuman.

***

Nurbaiti kembali ke kamar sembari membawakan nasi, sayur bayam, tempe, dan tahu yang ia masak selama tadi di dapur.

"Bu dokter, ayo makan dulu. Pasti tenaganya sudah habis, karena sudah mengeluarkan dedek ganteng," ujarnya sembari meletakkan makanan itu di atas nakas di sampingku tidur.

"Nurbaiti, silakan kamu bawa pulang bayi ini, aku sudah melahirkannya, sekarang tugas kamu untuk merawat dan membesarkannya seperti anak kamu sendiri,"

Mendengar ucapan itu Nurbaiti terdiam tak berani mengiyakan apalagi mengambil bayi yang baru lahir itu dari tempat tidur. Ia lantas berdiri mematung. Bingung apa yang akan dia katakan.

"JANGAN! Jangan lakukan itu, Kanaya," teriak Mariana dari luar yang langsung melangkah panjang menuju kamarku.

"Nurbaiti, bisa tinggalkan kamar ini sebentar. Karena saya akan bicara empat mata dengan Kanaya," ujar Mariana pada Nurbaiti. Perempuan itu pun mengangguk dan langsung keluar dengan wajah yang ketakutan.

"Apa maksud kamu menyuruh Nurbaiti untuk ambil bayi ini?" tanya Mariana sembari berkacak pinggang.

"Ini sudah Perjanjian Mariana, lebih cepat lebih baik,"

"Hey Kanaya! Setelah apa yang kamu sembunyikan dari aku selama ini. Dan kamu telah bertarung nyawa tadi. Demi melahirkan bayi ini. Sekarang kamu mau menyerahkan bayi ini kepada orang lain. Punya hati nggak sih kamu!" ucap Mariana dengan nada marah yang meledak.

"Hati aku sudah mati, Na. Sejak ayah bayi ini merusak kehormatan dan harga diriku hancur di hari terkutuk itu!" jawabku dengan nada yang tak kalah murka.

"Lagi pula masa tugasku di sini hampir berakhir dan aku tak mungkin membawa bayi ini pulang bersamaku. Apa kata orang bila aku pulang tugas dari desa pedalaman tapi pulang bawa " ujarku sembari menangis tersedu-sedu.

Bersambung...

P a r t 3

Aku menangis sejadi-jadinya di samping Mariana yang sedang memangku bayiku. Saat itu aku mencoba mengingat kejadian sepuluh bulan lalu. Rasa sakit dan nyeri seakan menghujam dadaku. Mana kala aku berhasil mengingat kejadian itu.

Mungkin karena berempati Mariana lalu menggenggam tanganku. Ia turut meneteskan air mata dan ikut menangis bersamaku. Entah apa yang saat ini ia rasakan? Mungkin, karena mendengar tangisku yang terdengar tersayat pilu. Mariana lalu berinisiatif memeluk dan berusaha menguatkan aku sekali lagi.

"Tenang Kay, semua ini bisa di atasi. Kamu nggak sendiri. Ada aku bersamamu," ucapnya.

Bukannya berhenti, aku malah semakin tersedu-sedu, meluapkan rasa marah, kesal, dan benci yang selama ini kupendam sendirian bagaikan bom atom yang sudah waktunya meledak. Saat ini aku pun merasa masih ada di titik terendah dalam hidupku.

Selang beberapa menit, tangisku mulai mereda dan membuat beban yang selama ini, ada di kepala dan kupendam sendirian. Akhirnya dapat sedikit terlampiaskan, meski tangisku ini membuat bayi yang tidur di sampingku ikut menangis. Mungkin, ia terganggu dengan suara isak tangis ibunya atau memang ia haus ingin meminta asi lagi.

Dengan sigap Mariana, meraihnya lalu, menimang, dan menepuk bagian kaki yang dibedong rapi menggunakan kain persegi. Ia lantas memberikan bayi itu lagi padaku, agar aku dapat segera menyusuinya. Sembari menyusui, aku mulai menceritakan kejadian kelam malam itu padanya.

***

Cerita ini bermula, saat sahabatku yang bernama Windy datang berlibur di desa di mana aku sedang bertugas sebagai dokter magang. Windy berencana akan datang berdua bersama temannya. Mereka datang pada hari Jumat malam.

Sahabatku mengabarkan bahwa ia sudah memesan penginapan yang berada di kecamatan sehingga mereka tidak akan menginap di rumah dinas, di mana aku tinggal bersama Mariana. Rencananya Windy dan temannya itu akan tinggal di penginapan selama dua malam dan akan kembali ke Jakarta pada lusa siang harinya.

Jelas kedatangan Windy membuatku senang bukan kepalang sehingga ada alasan untuk aku menikmati hari libur di malam itu, meski hanya pergi ke  kecamatan, tetapi entah mengapa aku merasa senang. Mungkin  karena aku akan bertemu dengan Windy yang sudah enam tahun tak kutemui. Lagi pula inilah saatnya aku memperkenalkan desa yang sudah dua tahun aku tinggali kepadanya.

Memang desanya itu cukup terpencil, meski tak jauh dari ibu kota, tetapi di desa ini ada sebuah pantai yang indah yang sering dijadikan tempat liburan para warga sekitar atau pun luar desa di akhir pekan, sehingga di sana terdapat penginapan bagi pengunjung yang berasal dari luar desa atau kota lain yang ingin liburan ke pantai atau hanya berkeliling desa. Meski hanya penginapan biasa dan bukan hotel  bintang lima. Namun, itu sudah membantu sebagai sarana wisatawan luar kota atau luar daerah menikmati keindahan desa.

***

Benar saja Jumat malam itu. Windy datang bersama dengan seorang laki-laki yang tidak aku kenali sebelumnya. Ia bahkan lebih muda dari aku dan Windy. Tapi ya sudah, itu tak jadi masalah untukku.Toh,  kita memang sudah janjian bertemu di sebuah rumah makan di dekat penginapan.

"Windy!!!" teriakku saat melihat seorang gadis yang wajahnya masih bisa aku kenali sedang mencari-cari rumah makan, tempat kami janjian bertemu.

Aku melangkah panjang menghampiri lalu menyapanya. Kami pun saling melepas tawa, gembira, cipika-cipiki lalu berpelukan erat melepas kangen. Maklum saja sudah lima tahun aku dan Windy tak bertemu.Tak lupa Windy pun mengenalkan laki-laki yang berdiri di sampingnya padaku. 

"Andra," ucapnya singkat sambil menyodorkan tangannya.

"Kanaya," jawabku seraya meraih tangannya.

Selepas aku memperkenalkan diri. Aku mengajak Windy dan Andra untuk masuk ke dalam rumah makan. Aku lalu berinisiatif untuk memesan makanan untuk kami santap selama kami mengobrol di sana. Kami bertiga memesan menu yang sama yaitu nasi goreng dan es kopyor kelapa muda sebagai minumannya.

"Hey bentar ya, kalian ngobrol aja dulu, terus makan, kalau makanannya udah datang," ujar Windy.

"Kamu memang mau ke mana, Win?" tanyaku.

"Kebelet mau ke belakang," jawabnya sambil memegang perutnya.

Aku dan Andra kompak mengangguk. Windy pun bergegas ke belakang menuju toilet. Tidak ada obrolan antara aku dan Andra. Kalau pun ada itu hanya bicara basa-basi sembari menunggu datangnya Windy dan makanan yang kami pesan. Sepuluh menit berlalu, Windy kembali datang lebih dulu. Setelah itu barulah pelayan datang dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.

Sembari makan aku dan Windy terlibat obrolan seru tentang nostalgia semasa kami sekolah dulu, lalu beralih keseharian kami berdua selepas aku dan Windy tamat SMA lalu kuliah. Dan sekarang  aku dan Windy sudah bekerja di bidang kami masing-masing. Sementara itu Andra lebih banyak diam dan hanya fokus pada ponselnya. Ia lantas mulai menyantap nasi goreng dengan lahap. Pria itu memilih tak ikut campur dalam obrolan antara aku dan Windy.

Usai makanan dan minumanku habis tak bersisa. Kini giliran aku yang meminta izin pada Windy untuk  toilet. Entah mengapa setelah makan dan minum aku mulai merasa tak nyaman pada badanku, rasa kantuk mulai menyergap sehingga aku harus pergi ke toilet untuk mencuci muka agar wajahku bisa kembali terasa fresh.

"Kok udah sepuluh menit ke toilet, Kanaya belum juga balik ya, Ndra?" tanya Windy pada Andra.

Andra lantas menjawab dengan gelengan kepalanya. Pemuda itu memilih cuek dan diam. Entah apa yang sedang ia pendam. Windy akhirnya berinisiatif ke belakang mencariku yang sedang berada di toilet.

Setibanya di depan pintu toilet, Windy langsung mengetuk pintu seraya memanggil-manggil namaku. Karena sudah beberapa kali mengetuk dan memanggil namaku, tetapi  tak ada jawaban dari dalam. Membuat Windy berinisiatif untuk memanggil Andra melalui ponsel. Pemuda itu lantas melangkah panjang segera menemui Windy yang masih berada di depan toilet di mana di dalamnya aku berada.

"Maaf Mas, bisa tolong saya sebentar," ucap Windy yang melihat seorang cleaning service sedang membersihkan lantai.

"Ya, ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

"Bisa saya minta tolong teman saya ada di dalam toilet, tapi dari tadi nggak keluar dan nggak ada jawaban waktu saya ketuk pintunya,"

"Braaak!"

Cleaning service itu langsung mendobrak pintu toilet dengan kuat hingga dua kali. Di saat yang bersamaan Andra pun datang. Ia ingin membantu mendobrak, tetapi akhirnya pintu toilet bisa terbuka lebar dan saat di lihat ke dalam. Ternyata aku sudah tak sadarkan diri terduduk di atas kloset. Cleaning service itu lalu memeriksa denyut nadiku serta ke dua lubang hidungku.Aku tak bisa bergerak seperti layaknya orang yang sedang pingsan.

Cleaning service itu ingin membopongku keluar. Namun, Andra langsung menawarkan diri untuk membopongku keluar dari toilet itu.

"Biar saya saja yang membopongnya,"

Seketika cleaning service dan Andra bertukar posisi dan dengan cepat Andra bisa mengangkat lalu membopong tubuhku keluar dari toilet.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!