P a r t 16

Gara-gara drama penculikan siang tadi yang dilakukan oleh Andra. Memaksaku agar aku ikut tanpa memberitahu tujuannya ke mana pria itu akan membawaku pergi? Sehingga menciptakan kehebohan yang seperti ini dan harus segera diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut. Lantaran masalah ini hanyalah murni salah paham.

Bukan penculikan seperti apa yang dibayangkan dan di gemborkan oleh banyak orang? Namun, setelah aku sendiri mengetahui apa yang sebenarnya? Bahwa Andra memaksaku ikut dengannya. Lantaran ia ingin aku bisa bertemu dengan Nurbaiti dan Razka di rumah sakit itu. Di sinilah baru aku tahu, maksud kedatangannya memaksaku, tetapi justru itu membuatku senang dan bahagia bukan kepalang.

Meski awalnya, aku marah dan kesal sekali dengan tingkah lakunya, tetapi aku benar-benar dibuat surprise, takjub, sekaligus terharu karena akhirnya aku bisa bertemu dengan Razka dan Nurbaiti. Dua orang yang selama ini ingin aku temui dan sedang aku cari. Bukan aku tak berusaha mencari keduanya selama lima tahun belakangan ini.

Bahkan sudah dua atau tiga kali aku kembali ke desa terpencil itu, tetapi dua atau tiga kali pula hasilnya tetap nihil. Setelah aku bertanya pada tetangga di sekitaran rumah Nurbaiti setahun yang lalu. Rupanya Nurbaiti dan seluruh keluarga kecilnya sudah meninggalkan desanya ke daerah lain.

Lalu aku menemui Mariana, sahabatku yang merupakan bidan dan rekan kerjaku selama di desa terpencil. Dengan maksud untuk mengetahui lebih jelas. Di mana keberadaan Nurbaiti dan keluarganya tinggal sekarang? Namun malangnya, wanita itu pun telah pindah bertugas ke daerah lain. Sehingga posisinya sebagai bidan Puskesmas kelurahan sudah digantikan pula dengan bidan baru yang kini telah bertugas di sana.

Rasanya sangat menyesal, pada saat aku mengunjungi desa itu lagi. Ternyata keputusan meninggalkan desa dan lebih memprioritaskan tugas serta kuliahku di daerah asa saat itu membuatku akhirnya melupakan orang yang sama pentingnya seperti keluarga dalam hidupku. Anak itu dan Nurbaiti. Wanita yang selama ini membantu merawat dan memberikan kasih sayang untuk anakku menggantikan posissiku sebagai ibu.

Tiba-tiba ia pergi meninggalkan desa bersama keluarga. Sehingga akhirnya aku kehilangan kontak dengan Nurbaiti menjadikan aku putus berkomunikasi  dengannya tentang keadaan dan tumbuh kembang Razka di masa balita. Mungkin ini juga ada kaitannya dengan kesibukan yang aku jalani. Sehingga aku melalaikan kewajibanku yang lain selain keluargaku di rumah. Akibatnya, aku harus gigit jari, karena tak bisa lagi berkomunikasi mengetahui tumbuh kembang dan kesehariannya.

***

Setelah membersihkan diri, aku memilih merebahkan tubuh di atas kasur ketimbang ikut makan malam dengan anggota keluarga di lantai bawah. Lagi pula perut ini rasanya sudah kenyang gara-gara ikut nimbrung makan sore berdua dengan Andra di mobil menuju pulang tadi.

Jika mengingat kejadian itu, aku sendiri juga heran denganku sendiri. Mengapa bisa tiba-tiba aku menjadi orang yang latah saat di mobil. Tanpa sadar aku ikut menyantap sebungkus nasi Padang berdua dengan Andra. Padahal dua jam yang lalu, aku baru saja makan siang bareng Nurbaiti di kantin rumah sakit. Aku kembali sadar dari lamunan saat suara handphone berdering cukup keras di telinga. Aku melihat nama Erwin tercetak di layar. Segera aku mengangkat panggilannya.

"Halo ya, ada apa, Win?" sapaku mengawali obrolan di udara ini.

"Kamu sibuk apa sih? Seharian ini aku telepon nggak pernah dijawab, apa lagi pesan. Padahal aku berkali-kali kirim dan semuanya centang dua?" cecar pria itu yang terlihat sedang menahan amarahnya terdengar dari intonasi suaranya.

"Iya, untuk hal ini, aku sungguh minta maaf. Tadi ada operasi mendadak yang memakan waktu lama untuk penanganannya. Jadi handphonenya, aku tinggal di loker," jawabku berdusta.

"Operasi mendadak! Jam berapa?" tegas Erwin.

"Pas mau makan siang, tiba-tiba ada pasien yang mendadak kolaps. Jadi aku harus turun tangan untuk melakukan operasi cito,"

"Operasi cito, apa itu penting banget?"

"Operasi cito itu, adalah operasi untuk pasien yang harus ditindak lanjuti dengan  cepat. Karena kalau nggak, nyawanya bisa terancam," jelasku kesal.

"Operasinya berapa jam?"

"Hampir empat jam. Kamu kenapa sih, Win. Tanya-tanya kayak gitu? Jadi kayak nggak percaya sama aku,"

"Ya maaf, habis tumben aja. Kamu nggak jawab terus telepon dari aku, apa lagi pesannya. Padahal aku udah kirim sampai ratusan ke handphone-mu, tapi boro-boro dijawab. Dilihat juga aja nggak," jelasnya kesal.

"Ya udah, kita berdua saling minta maaf, ya. Yang penting sekarang 'kan udah dengar alasannya dan itu risikonya punya calon istri dokter. Ya udah aku pamit, mau tidur. Capek banget aku hari ini,"

"Tapi, Kay. Aku masih kangen sama kamu, masa nggak bisa kita ngobrol lebih lama lagi,"

"Erwin aku itu capek hari ini. Aku butuh istirahat. Mestinya kamu ngertiin aku, dong,"

"Ya oke-oke aku ngerti, tapi besok aku jemput kamu pulang kerja ya, terus kita makan malam bareng, gimana?"

"Oke, tapi jangan sampai malam-malam, soalnya aku sudah ada jadwal pagi, ada pasien yang mau kontrol kandungan,"

"Sip" jawab Erwin singkat.

***

Selepas mengakhiri panggilan dari Erwin, segera aku matikan handphone, lalu bersiap untuk tidur, tetapi belum sampai lima menit berbaring. Handphone itu sudah berdering lagi. Awalnya aku cuek  dan malas untuk mengangkatnya, tetapi handphone itu berdering terus sehingga mau tidak mau aku harus mengangkatnya.

Dengan hanya meraba di kegelapan kamar, aku mengambil handphone lalu membuka layar. rupanya deretan nomor asing tercetak di handphone itu. Lantas aku ingin matikan agar handphone tak bisa berdering lagi, tetapi setelah aku amati gambar profilnya. Ternyata yang meneleponku adalah Andra.

"Maaf, apa benar ini nomor telepon Ibu dokter Kanaya Nadhira?" ucapnya dengan nada yang dibuat-buat.

"Ya betul, ada keperluan apa ya, anda mengganggu saya malam-malam. Saya mau tidur?" ucapku tegas.

"Begini Bu, ini saya mau antar paket buat Ibu. Mohon diterima,"

"Tapi saya nggak merasa belanja online Minggu ini, jadi lebih baik. Saya akhiri saja panggilan ini ya,"

"Eh, jangan! Jangan Kanaya! Ini ada paket beneran buat kamu," jawab Andra dengan suara, aslinya.

"Tapi aku nggak mau. Udah buat orang lain aja. Sekarang pokoknya aku mau tidur!"

"Kanaya ini aku Andra, ada yang rindu sama kamu,"

"Iya udah tau dari tadi ada yang rindu, tapi beneran aku mau tidur, dan satu lagi. Aku nggak rindu sama kamu !"

"Bukan aku yang rindu, tapi seseorang,"

"Hah! Seseorang, siapa. Jangan ngaco deh, Ndra?"

"Kita video panggilan aja, jadi kamu bisa tau, siapa orang itu?"

Entah mengapa saat itu, aku mematuhi ajakan Andra. Sebelum panggilan itu beralih ke video, aku pun menyalakan lampu yang ada di atas nakas untuk penerangan. Rupanya orang yang dimaksud Andra itu adalah Razka. Sepertinya pria itu sedang menemaninya bermalam di rumah sakit.

Dari awal obrolan yang kami lakukan. Sama sekali aku tak melihat keberadaan Nurbaiti di sana. Apa mungkin, dia yang menyuruhnya pulang sehingga malam ini hanya dia dan Razka yang ada di sana?

Bersambung...

Alhamdulillah selesai juga bab 16. Semangat untuk hari ini!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!