Seperti biasanya, hari ini aku menjalankan tugasku sebagai dokter kandungan, banyak pasien yang datang untuk memeriksakan kehamilan atau hanya sekadar konsultasi untuk mendapatkan keturunan. Aku senang bisa membantu setiap pasien yang datang ke ruang praktikku. Aku pun turut merasakan kegembiraan ketika mereka bergembira karena akan mendapatkan keluarga baru. Meski di dalam lubuk hati yang terdalam. Itu sangat menyakitkan hatiku. Karena aku tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku sendiri.
Saat itu aku lebih memilih menyerah dari pada menjadi wanita yang tangguh untuk merawat dan membesarkan bayinya yang baru dilahirkan lima tahun lalu. Aku lebih memilih mewujudkan mimpi dan cita-citaku menjadi dokter yang sukses ketimbang menjadi ibu yang sukses untuk anaknya. Sebenarnya setiap kali aku melihat bayi. Terlintas di pikiran ini. Betapa jahat dan bersalahnya aku pada bayi yang kulahirkan dulu. Memang penyesalan akan datang belakangan.
Kini jam sudah menunjukkan waktu makan siang. Aku telah bersiap-siap merapikan ruang praktik untuk segera menuju ruang makan khusus pegawai rumah sakit termasuk petugas medis untuk makan siang bersama, tetapi sebelum ke ruangan itu. Tiba-tiba telepon ruangan berdering dan bunyinya membuatku sedikit tersentak.
Kring! Kring! Kring!
"Ya, halo," ucapku.
"Maaf ganggu, Dokter Naya," jawab seorang perawat dalam telepon.
"Ya, ada apa?"
"Begini, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Dokter,"
"Sekarang,"
"Iya Dok, katanya mendesak,"
"Kamu sudah tanya. Siapa dia dan apa tujuannya mau bertemu dengan saya?"
"Sudah Dok, tapi dia tetap nggak mau jawab alasannya. Kalau belum bertemu dengan Dokter langsung,,"
"Orang yang aneh," gumamku.
"Kamu cari alasan saja. Saya sedang sibuk banyak pasien, gitu,"
"Sudah Dok. Katanya tetap mau tunggu sampai Dokter selesai praktik,"
"Keras kepala banget. Siapa sih orangnya?" gumamku lagi.
"Ya sudah kamu kasih tau dia. Di mana ruangan praktik saya. Biar saya yang akan hadapi orang itu," terangku sembari menyudahi panggilan itu.
"Baik Dok,"
Selang beberapa menit, pintu ruang praktik tiba-tiba terbuka tanpa diketuk terlebih dulu. Oleh seseorang dan yang membuatku terkejut. Dia adalah pria berkaca mata hitam, berpakaian jas senada rapi dengan dasi merah marun di lehernya. Tiba-tiba menyelonong masuk ke ruang praktik ini.
"Ayo cepat ikut aku sekarang!" ucapnya sembari pria itu berdiri di hadapanku.
"Nggak aku lagi sibuk. Lebih baik kamu keluar dari sini. Cepat keluar!"
"Ayo cepat berdiri, atau mau aku bopong nih,"
"Aku nggak takut. Silakan kalau bisa, aku akan panggilkan Satpam. Biar kamu diusir dari sini!"
"Oke. Aku hitung sampai tiga atau kamu beneran aku bopong,"
"Satu... Dua... Ti-,"
Aku hanya menatap sinis Andra dan segera mengangkat gagang telepon dari pada mengikuti keinginannya. Kali ini aku benar-benar tak takut dengan ancamannya.
"Apa yang akan kamu lakukan, Kanaya? Cepat ikut aku! Aku nggak punya waktu banyak," ujarnya kesal.
"Aku mau panggil Satpam sekarang!"
"Kanaya udah, ya. Nggak usah kekanakan kayak gitu. Cepat kamu turunkan gagang teleponnya atau kamu, aku bopong sekarang juga!" ancamnya.
Aku tetap bergeming pada ancamannya itu. Hingga membuat pria itu naik pitam lantas dengan gerakan cepat ia nekat membopongku keluar dari ruang praktik. Sepanjang perjalanan menuju pintu keluar gedung. Tentu saja kami berdua menjadi pusat perhatian banyak orang. Malu sudah pasti, tetapi apa dayaku yang hanyalah seorang wanita. Untuk menghadapi pria nekat dan keras kepala macam Syailendra Dwiki Aditama.
Andra kemudian menaikanku ke mobilnya, tak lupa ia juga memasangkan aku sabuk pengaman. Entah ke mana ia akan membawaku pergi? Yang pasti selama pria itu mengemudikan kendaraannya. Aku hanya diam dan pria itu melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Arah yang dituju bukanlah dalam kota melainkan daerah pinggiran ibu kota. Hingga akhirnya aku dibuat tercengang karena tempat yang dituju ternyata sebuah rumah sakit yang cukup besar dan elite di daerah pinggiran kota Jakarta.
***
Selepas turun dari mobil. Tanganku seraya digenggam erat olehnya. Sama sekali ia tak memberikanku ruang gerak apa lagi sekadar melepaskan tanganku dari tangannya barang sejenak. Meski beberapa kali aku memaksa untuk melepaskan genggaman itu, tetapi tetap saja aku kalah. Karena tenaganya tentu saja lebih kuat. Benar-benar aku tak bisa menghindar dari pria bernama Andra.
Sepertinya Andra akan membawaku ke sebuah ruangan yang sudah pernah ia kunjungi sebelumnya. Ini bisa terlihat saat ia melewati banyak ruangan tanpa perlu bertanya kepada petugas rumah sakit.
Kami berdua lantas menuju ke lantai dua dengan menggunakan lift. Entah pria itu ingin membawaku ke kamar rawat siapa? Atau ke ruangan lainnya. Hingga akhirnya aku dan dia berhenti di ruangan praktik seorang dokter berpapan nama Dokter Atmadja Wirahadi Wijaya.
Berbeda ketika Andra masuk ke ruang praktikku tadi. Kali ini, ia begitu sopan dan tidak menyalahi aturan. Andra lantas mengetuk pintu ruangan dan tak berapa lama suara dari dalam ruangan terdengar menyuruh kami untuk masuk.
"Selamat siang Dokter Atmadja, ini Kanaya. Orang inilah wanita yang tadi saya ceritakan pada anda, Dok,"terangnya yang tiba-tiba memperkenalkan diriku pada dokter paruh baya dengan rambut yang penuh uban itu.
Dokter paruh baya itu pun mengangguk lalu mempersilakan kami berdua duduk di kursi yang telah tersedia
Sementara aku sendiri masih bingung dengan semua ini. Mengapa tiba-tiba Andra memperkenalkanku dengan dokter paruh baya ini, apa tujuan ia sebenarnya?
"Oh, dia sangat cantik. Rupanya seorang dokter juga. Praktik di mana Dokter Kanaya?" tanyanya padaku.
"Dua rumah sakit, Dok,"
"Sudah lama jadi dokternya,"
"Sudah tujuh tahun,"
"Oh oke. Suster tolong bawa dokter ini ke ruangan pengambilan darah, karena saya butuh darahnya dengan segera,"
"Baik, Dok,"
"Tapi tunggu! Kenapa saya harus diambil darahnya? Untuk apa?" cecarku heran.
"Untuk transfusi darah. Untuk menolong seorang bocah kecil bernama Asyifa," jelas Dokter Atmadja.
"Razka, siapa dia?" ucapku dalam hati.
Tanpa ragu akhirnya aku beranjak ke ruangan pengambilan darah. Mengikuti perawat yang akan membawaku ke ruang laboratorium. Di sana darahku diambil beberapa CC selama pengambilan itu, aku terus berpikir mengapa Andra melakukan ini semua? Mengapa pria itu tidak membeli saja darah di PMI daerah atau PMI pusat. Mengapa harus darahku? Namun, dibalik itu semua. Aku ikhlas karena bisa menolong seseorang dengan darahku ini.
Setelah melakukan pengambilan darah, aku pun berniat segera kembali ke rumah sakitku. Karena aku, telah meninggalkan ruang praktik tanpa izin dan masih terhitung jam tugas.
"Mau ke mana kamu?" tanya Andra yang telah menunggu di ruang tunggu.
"Ke rumah sakit lagi lah. Tadi itu kan aku diculik sama pria pemaksa,"
"Diculik katamu?" ucapnya seraya bersedekap dan tersenyum sinis.
"Yang namanya membawa orang dengan paksa, itu berarti penculikan," jawabku ketus.
"Yakin kamu nggak mau tau. Siapa orang yang sedang sakit dan membutuhkan transfusi darah dari kamu?"
"Nggak," jawabku lantang.
Jujur kalimat yang diucapkan Andra membuatku goyah. Aku jadi penasaran, siapa orang yang membutuhkan darah dariku, atau ini hanya akal-akalan dia agar bisa bersamaku.
"Dengar ya, Kanaya. Meski pun tadi aku memaksamu, tapi apa yang aku lakukan itu. Karena aku terdesak, jadi mau tidak mau kamu harus aku paksa demi seseorang yang berharga dalam hidupku," terangnya.
Orang yang berharga memangnya, siapa. Atau jangan-jangan itu istrinya ?"
Bersambung...
Nggak ada yang nungguin, ya. Nggak apa-apa juga. Saya cuma mau numpang nyimpen tulisan. Siapa tau, berhadiah kayak ciki? Salam dari Ember Kuning 💛
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments