P a r t 10

Sekian lama terdiam dan menangis membuat suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya terdengar suasana mesin mobil yang menderu membawaku dan Andra menempuh perjalanan menuju rumahku. Akhirnya aku memberanikan diri memecah keheningan sekalian ingin bertanya mengapa pria itu ikut masuk ke dalam taksi.

"Mau apa kamu menumpang di taksi ini, apa kamu nggak punya mobil?" ucapku ketus.

"Punya," jawabnya singkat.

"Terus kalau gitu, ngapain ada di sini sekarang, udah sana keluar?" usirku

"Nggak mau tanggung. Mobil ini juga udah jalan jauh. Sebentar lagi sampai di rumah kamu,"

"Kamu ini, benar-benar keterla-," ucapku seraya ingin memukulnya dengan satu tangan, tetapi urung.

"Maaf Pak, Bu. Saya potong obrolannya. Sebenarnya Bapak, Ibu ini mau ke mana, ya?" tanya sopir taksi.

"Ke jalan-,"

"Jalan Cendrawasih nomor dua puluh tiga," jawab pria itu menyambar ucapanku.

"Itu kan alamat rumahku, kok dia bisa tau," ucapku dalam hati.

"Dasar penguntit!"

"Nggak! Aku bukan penguntit!"

"Terus, kenapa kamu bisa tau alamat rumah aku? Padahal sekarang kita aja baru bertemu lagi,"

"Oh kalau mencari tau latar belakang orang. Itu soal gampang. Lagian sekarang aku di sini cuma mau antar kamu pulang. Itu aja,"

"Nggak usah antar pulang, aku juga bisa sendiri. Udah sana turun. Lagian aku bukan anak sekolah yang perlu diantar"

"Nggak bisa, pokoknya aku mau antar kamu pulang, titik! Lagian aku khaw-,"

"Apa?!"

"Ah udah diam, sebentar lagi juga sampai rumahmu 'kan. Udah jangan cerewet lebih baik kamu tidur aja, "

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku memasang wajah cemberut, aku kesal dengan tingkah laku dan ucapan Andra yang ke kanak-kanakkan dan keterlaluan seperti itu. Apa lagi ia sudah terlalu lama duduk di sampingku, tapi meski begitu sejujurnya, aku berterima kasih karena ia menemaniku pulang.

***

"Kanaya, bangun. Kita udah sampai," ujar Andra seraya menyentuh lengan lalu pipiku yang tertidur sesaat sebelum tiba di rumah.

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dariku. Pria itu ingin membopongku. Namun, dengan cepat aku mengerjap ketika mendapati sentuhan dari tangan Andra yang terasa di pinggangku. Aku lantas terbangun, lalu buru-buru membuka dompet yang kupegang dan mengambil beberapa nominal uang. Seperti yang sudah tertera di layar argo meter.

"Nggak usah, udah aku bayar pakai E-payment, sana kamu masuk aja, udah malam," ujar Andra seraya membukakan pintu mobil.

Aku masih memasang wajah cemberut dan terus berpikir. Untuk apa pria ini bersikap sedikit manis padaku? Apa dia ingin mencari perhatian? Atau ingin mencari tahu tentangku? Ah, itu tak penting bagiku. Sungguh aku tak sudi memaafkan atas segala kesalahan yang ia telah perbuat padaku, yang hampir saja menamatkan masa depanku enam tahun lalu.

Aku lantas segera turun dan sebelum mobil itu pergi aku memegang pintunya agar tidak di tutup oleh l Andra.

"Tunggu," ucapku pelan.

"Apa lagi?" jawabnya sembari masih terbukanya pintu mobil.

"Makasih,"

"Untuk apa?"

"Untuk taksi dan sudah nau mene-, eh maksudnya, tumpangannya,"

"Oh soal itu, santai aja lagi," jawab Andra seraya menutup pintu mobil.

Sungguh kelakuannya memang membuatku semakin geram, tetapi kakiku segera melangkah ke pintu gerbang rumah meski agak terpincang-pincang serta kesakitan. Namun, saat ingin membuka pintu gerbang. Seseorang  bersuara bariton berdeham dari arah belakang.

***

"Ehem... Baru pulang," ucapnya.

Aku terkejut, lalu menoleh karena paham dengan suara yang sedang bicara padaku.

"Iya, untuk soal yang tadi. Aku minta maaf karena tiba-tiba pergi tanpa izin sama kamu," jawabku canggung.

"Tadi aku berusaha mengejar kamu, tapi di tengah jalan perutku mulas lagi," jelas Erwin sembari memegang perutnya.

"Tapi nggak apa-apa 'kan perutmu, udah minum obat? Nanti biar aku tuliskan resepnya kalau kamu mau,"

"Belum, tapi sudah baikan setelah dua kali ke belakang,"

"Oh syukurlah, kalau begitu aku masuk ke rumah, ya,"

Erwin lalu mengangguk, tetapi sesaat kemudian ia menyentuh tanganku.

"Tunggu, Kay. Ada yang ingin aku tanyakan,"

Suasana berubah hening, Erwin seperti sedang berpikir ucapkan satu kalimat pertanyaan sementara aku menunggu apa  yang akan ditanyakannya padaku.

"Soal tadi, pas kamu bertemu dengan Pak Andra, apa kalian sudah saling mengenal sebelumya?"

Deg!

Sejenak aku terdiam, aku bingung akan berkata apa. Tidak mungkin, aku berkata yang sejujurnya tentang aku dan Andra pada Erwin yang kini berstatus kekasihku. Aku pun menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal.

"Oh soal aku lari, a-aku tadi, a-da pasien, yang sebenarnya harus aku kunjungi," jawabku dusta sembari menggaruk kepala dan menggigit bibir bawah karena gugup

"Kamu mengunjungi pasien. Apa maksudnya?" tanya Erwin seraya dahinya mengrenyit.

"Iya jadi, sebenarnya hari ini, aku diundang oleh salah satu pasien yang mengadakan syukuran sekaligus akikahan karena bisa melahirkan secara normal berkat bantuanku, padahal bayinya itu sungsang," terangku kembali berdusta.

"Oh begitu, ya. Sana masuk ke dalam, sudah malam, lagian aku juga mau pulang. Soal yang tadi aku juga minta maaf sama kamu. Gara-gara sakit perut, aku jadi nggak bisa antar kamu pulang,"

Aku menghela napas lega, karena bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan Erwin. Walau jawabannya sedikit kurang mendustai pria itu, tetapi meski begitu. Menurutku itu tak masalah. Karena jika aku berkata sebenarnya. Aku takut akan menimbulkan kecurigaan dan berujung pada pertengkaran antara aku dan Erwin. Dan untuk pertemuanku dengan Andra malam ini, setelah enam tahun. Semoga itu menjadi pertemuan terakhir untuk aku dan dia.

***

Setelah pamit pada Erwin, aku lalu masuk ke dalam rumah.

"Baru pulang, Kak,"  ucap Kamila adikku saat melihatku membuka pintu.

"Oh iya, tumben kamu belum tidur,"

"Lagi susah tidur, perut minta diisi,"

"Awas nanti,  kamu gendut,"

"Ya nggak lah, soalnya aku cuma makan buah kok,"

"Ya udah, Kakak mau naik dulu ke kamar, capek mau tidur,"

"Oke, tapi tunggu Kak, bentar. Tadi yang antar Kakak pulang itu, siapa?

"Eem, maksud kamu, apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Iya, tadi aku lihat Kakak diantar pulang pakai mobil lain, bukan mobil Kak Erwin. Tadi aku juga lihat sih, Kak Erwin tungguin Kakak lama di depan rumah, aku telepon, suruh masuk ke rumah, malah nggak mau," terang Kamila.

"Oh itu, tadi pas di pesta Erwin perutnya mulas, terus dia pergi ke toilet lama banget, jadi Kakak kira dia udah pulang duluan. Pas Kakak lagi jalan kaki. Eh tiba-tiba, ada temannya Erwin yang nawarin tumpangan. Ya udah Kakak ikut aja. Eh, malah sekalian diantar sampai depan rumah," ujarku seraya menggigit bibir bawahku.

Sekali lagi aku menghela napas karena bisa menerangkan hal itu dengan mulus tanpa cela pada Kamila meski semua itu kupikirkan secara spontan. Ya Allah, maafkan aku dan terima kasih karena telah membantuku malam ini untuk berbohong pada orang-orang yang aku sayangi. Engkau pasti marah, tapi juga mengerti'kan mengapa aku bisa sampai bohong seperti itu?

Bersambung...

Maaf telat update, terima kasih banyak yang udah baca ini. Bagi siapa aja, ya. salam Ember Kuning.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!