Selepas dipijat area punggung. Aku pun ingin melihat seberapa lebar pembukaan jalan lahirku hingga aku memaksakan diri untuk berdiri di depan cermin. Aku berdiri sembari menahan rasa sakit dan mulai menyingkap daster yang kukenakan Sementara Nurbaiti meminta izin beralih ke dapur untuk mengambil air yang telah ia rebus.
Sembari berpegangan lemari, aku dapat melihat jalan pembukaan yang sudah semakin terbuka lebar. Sepertinya sudah hampir sempurna. Rasa ingin mengejan sudah semakin terasa. Namun, aku berusaha menahan diri hingga pembukaan itu benar-benar sempurna.
Nurbaiti datang dengan membawa sebuah baskom berisi air yang masih mengepul uapnya. Tiba-tiba di bagian area bawah tubuhku. Keluarlah cairan bening yang kurasa itu adalah air ketuban yang sudah pecah.
Byuuuurr...
Buru-buru Nurbaiti meletakkan baskom itu di atas meja dan segera membantuku berbaring di tempat tidur yang sudah kualasi dengan underpad yang kubeli saat aku pergi ke kecamatan dua bulan lalu.
Keringat sebesar biji jagung sudah mulai terhias di wajahku, cairan merah pun sudah sedikit menetes di underpad. Aku pun sudah dengan posisi mengangkang dan mulai berusaha mengejan, berupaya agar bayi yang ada di dalam sana sedikit demi sedikit terdorong keluar. Nyatanya memang tak semudah seperti apa yang aku bayangkan.
Berkali-kali aku harus berusaha mengejan, menghirup, dan membuang napas agar bayi ini benar-benar bisa keluar. Rasanya seluruh tenagaku yang tersisa sudah kukerahkan. Namun, bayi yang ada di dalam sana masih sulit untuk menemukan jalan keluar sehingga membuatku putus asa hingga hampir menyerah. Memang benar kata orang bila persalinan pertama itu akan lebih sulit dan lebih panjang.
Namun, Nurbaiti tetap memberiku semangat untuk terus mengejan hingga suara ketukan pintu terdengar dari luar sana. Aku dan Nurbaiti spontan kaget. Tetapi rasa sakit dan ingin terus mengejan sudah tak bisa lagi aku tahan. Seseorang yang tadi mengetuk pintu pun langsung menerobos masuk dan melangkah ke arah kamarku dan,
"Kanaya, kamu!" teriak Mariana sembari membulatkan mata kemudian menutup mulut dengan telapak tangannya, karena kaget melihat posisiku yang sudah kesakitan akan melahirkan.
Mariana lalu meletakkan tasnya ke sembarang tempat, ia bergegas ke dapur untuk mencuci tangannya hingga bersih lalu bersiap akan membantuku dalam persalinan. Sebagai seorang bertugas medis, tentu jiwa kemanusiaannya terketuk Melihatku yang sudah tak berdaya dan tak bertenaga. Apalagi ia seorang bidan.
Tentu Mariana tahu bagaimana cara membantu seseorang yang akan melahirkan dengan benar. Nurbaiti lalu bertukar posisi dengannya. Nurbaiti pun mendengarkan apa saja instruksi yang diperintahkan Mariana padanya. Sementara aku terus mengejan berupaya agar bayi di perutku ini cepat keluar.
Dengan tenang Mariana memberi arahan membantuku untuk mengeluarkan bayi yang masih berada di perutku. Aku terus menerus mengejan sembari sesekali menghirup dan menghembuskan napas. Hingga pergerakan itu akhirnya terjadi di dalam sana. Dapat kurasakan di mana bayiku bergerak.
"Terus Kay, terus dorong, dorong terus, kepala bayimu sudah mulai terlihat," ucap Mariana.
"Ya, terus dorong, Bu. Dorong, " timpal Nurbaiti sembari menyeka keringat yang mengalir membasahi wajahku.
"Sakit, Na. Sa-kit bang-et," keluhku sembari menggelengkan kepala.
Sesaat aku berhenti mengejan serta menggeleng kepala. Rasanya aku sudah tak kuat lagi hingga kuteteskan air mata. Namun, mendengar kata-kata semangat dari kedua perempuan yang tanpa henti di hadapanku. Membuatku ikut bersemangat untuk segera menghadirkan bayi ini ke dunia. Entah berapa kali aku mengejan, menghirup, dan mengembuskan napas hingga akhirnya di ejanan terakhir dan cukup panjang serta sangat menguras tenagaku. bayi itu pun muncul juga dari gerbang jalan lahirnya dan Mariana dengan sigap mengambil bayi itu keluar.
Oek... !Oek...! Oek... !
Suaranya tangis yang sangat kencang dan disambut dengan senyuman Mariana dan Nurbaiti membuat suasana berubah menjadi haru.
"Alhamdulillah sudah lahir, laki-laki, ganteng banget, Bu dokter," ucap Nurbaiti.
Tangisan bayi itu memecah keheningan yang beranjak senja. Bayi yang berkulit merah itu pun langsung dibersihkan dengan handuk yang telah disiapkan sebelumnya dan segera diletakkan dalam dadaku, mencari sumber asi untuk ia minum. Sementara aku pun merasa lega seraya bersiap untuk mengeluarkan plasenta yang masih berada di dalam sana.
Setelah diberikan cukup asi, bayi itu pun diangkat. Untuk segera dimandikan oleh Nurbaiti sedangkan Mariana sibuk menjahit jalan lahir yang sedikit robek karena persalinan tadi. Usai plasenta itu keluar juga dari jalan lahir. Bayi yang aku lahirkan itu ditidurkan di sampingku usai ia dimandikan, dipakaikan pakaian lalu dibedong dengan rapi. Bau tubuhnya sangat harum meski tidak menggunakan bedak atau minyak bayi. Sekilas aku melihat wajahnya yang begitu mirip dengan laki-laki yang merupakan ayah biologisnya. Bagai pinang yang dibelah dua.
Mariana pun membersihkan sisa-sisa dan alat-alat persalinan tadi. Sementara aku masih merasakan nyeri di area bawah karena jahitan pasca melahirkan.
"Mariana tunggu," ucapku saat ia ingin beranjak pergi.
"Terima kasih banyak atas semuanya,"
"Sama-sama, Kanaya," jawabnya dengan senyuman.
***
Nurbaiti kembali ke kamar sembari membawakan nasi, sayur bayam, tempe, dan tahu yang ia masak selama tadi di dapur.
"Bu dokter, ayo makan dulu. Pasti tenaganya sudah habis, karena sudah mengeluarkan dedek ganteng," ujarnya sembari meletakkan makanan itu di atas nakas di sampingku tidur.
"Nurbaiti, silakan kamu bawa pulang bayi ini, aku sudah melahirkannya, sekarang tugas kamu untuk merawat dan membesarkannya seperti anak kamu sendiri,"
Mendengar ucapan itu Nurbaiti terdiam tak berani mengiyakan apalagi mengambil bayi yang baru lahir itu dari tempat tidur. Ia lantas berdiri mematung. Bingung apa yang akan dia katakan.
"JANGAN! Jangan lakukan itu, Kanaya," teriak Mariana dari luar yang langsung melangkah panjang menuju kamarku.
"Nurbaiti, bisa tinggalkan kamar ini sebentar. Karena saya akan bicara empat mata dengan Kanaya," ujar Mariana pada Nurbaiti. Perempuan itu pun mengangguk dan langsung keluar dengan wajah yang ketakutan.
"Apa maksud kamu menyuruh Nurbaiti untuk ambil bayi ini?" tanya Mariana sembari berkacak pinggang.
"Ini sudah Perjanjian Mariana, lebih cepat lebih baik,"
"Hey Kanaya! Setelah apa yang kamu sembunyikan dari aku selama ini. Dan kamu telah bertarung nyawa tadi. Demi melahirkan bayi ini. Sekarang kamu mau menyerahkan bayi ini kepada orang lain. Punya hati nggak sih kamu!" ucap Mariana dengan nada marah yang meledak.
"Hati aku sudah mati, Na. Sejak ayah bayi ini merusak kehormatan dan harga diriku hancur di hari terkutuk itu!" jawabku dengan nada yang tak kalah murka.
"Lagi pula masa tugasku di sini hampir berakhir dan aku tak mungkin membawa bayi ini pulang bersamaku. Apa kata orang bila aku pulang tugas dari desa pedalaman tapi pulang bawa " ujarku sembari menangis tersedu-sedu.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments