P a r t 14

Pukul tiga sore Andra mengajakku pulang. Ada rasa gembira yang tak bisa aku lukiskan. Karena hari ini akhirnya, aku bisa bertemu dengan Nurbaiti dan Razka, setelah sekian lama tak bertemu. Apa lagi aku melihat Razka tumbuh dengan baik di tangan Nurbaiti. Putra yang aku lahirkan lima tahun lalu dan sengaja aku titipkan pada wanita itu. Rasanya senang sekali melihat anak itu tak bisa aku ungkapan dengan kata-kata. Meski di dalam hati ini sebenarnya, ada rasa kesedihan mendalam dengan penyakit yang diidapnya.

Akan tetapi, sekali lagi aku takjub dengan apa yang diungkapkan Nurbaiti tentang Andra saat mengobrol di kantin tadi. Pria yang saat ini tengah sibuk mengemudi menjalankan mesin kendaraan roda empat itu. Sedang membelah jalan demi jalan ibu kota untuk mengantarkanku pulang ke tempat semula. Ke rumah sakit Citra Keluarga Medika. Tempat di mana aku tadi sedang menjalankan praktik.

Tak kusangka pria yang semula kuanggap sebagai orang paling bejat dan tak  bertanggung jawab atas apa yang terjadi menimpaku enam tahun lalu. Kini malah menjelma menjadi malaikat tak bersayap bagi Razka dan Nurbaiti. Andra akhirnya membuktikan ucapannya bahwa ia memang layak dijadikan ayah yang baik dan bertanggung jawab untuk Razka.

"Kok bengong lagi mikirin aku, ya? Atau malah terpesona dengan tampangku yang semakin tampan," tanyanya sembari terus mengemudi.

"GR, udah fokus aja nyetir. Jangan lirik-lirik dosa, kita bukan mahram!" jawabku ketus.

Andra awalnya tersenyum, tetapi lama kelamaan ia tertawa terbahak-bahak. Sementara aku membuang wajah dan fokus menatap jalan raya yang sudah semakin senja dengan memasang wajah cemberut. Enggan rasanya menatap wajah pria narsis macam dirinya.

Kini kendaraan yang kami tumpangi sedang melaju cepat memasuki jalan tol dalam kota. Ini berarti tak lama lagi, aku akan tiba di rumah sakitku, di mana aku tadi meninggalkan banyak pekerjaan. Lantaran dipaksa untuk mengikuti keinginan Andra.

"Lha kok malah berhenti, mau ngapain lagi?" tanyaku padanya yang tiba-tiba mematikan mesin kendaraan tepat di depan rumah makan Minang.

"Aku mau makan, ayo turun. Temani aku makan," ajaknya.

"Nggak mau, aku mau ke rumah sakit terus pulang!" jawabku tegas sembari ingin membuka sabuk pengaman yang sedari tadi melekat di badanku.

"Oh ya udah, terserah. Andra lantas segera keluar lalu membanting pintu mobil, lalu menguncinya dari luar. Padahal jelas-jelas, dia melihatku juga ingin segera keluar, tetapi rupanya  sabuk pengaman yang kupakai ini susah sekali untuk dibuka.

Tak hilang akal, aku lalu mengetuk-ketuk kaca mobil sembari terus ngedumel di dalamnya. Berharap pria itu mau membuka pintu mobil, tetapi ia malah meledekku dengan menjulurkan lidahnya sembari berpura-pura tuli. Hal itu tentu saja membuatku kesal. Andra buru-buru masuk ke rumah makan Padang itu. Mungkin ia ingin makan di dalam sana dan selama itu juga, aku akan menunggunya di dalam mobil dengan perasaan jengkel. "Ah, ini bakal lama," gumamku.

Saat di dalam mobil sendirian, aku bergumam "siap-siap saja aku akan mendapatkan sanksi dari rumah sakit nanti." Namun, tak lama kemudian, Andra keluar dari rumah makan itu. Ternyata aku salah kira. Malah kurang dari lima belas menit Andra berada di sana. Ia keluar sembari membawa plastik putih berisikan sebungkus makanan dan dua air mineral.

Andra menghampiri mobil untuk segera membuka pintunya. Tentu saja ini membuatku senang meski hanya dalam hati. Karena akhirnya tak lama lagi aku bisa terbebas dari pria menyebalkan macam Andra, yang sedari tadi menyandera, memaksa, dan menggangguku untuk mengikuti segala keinginannya.

Tetapi bodohnya aku, ketika ia lengah ada kesempatan untukku kabur. Saat pria itu sedang memeriksa ban bagian belakang. Mengapa sabuk pengamannya jadi kembali aku pasang. Padahal sekian menit tadi aku sudah bersusah payah melepaskannya dari cengkraman tubuhku. Aku membuang napas kasar sebagai bentuk tanda kesal meruntuki kesalahan diri sendiri atas kebodohan ini.

Sementara Andra yang diam-diam mengamati gerak-gerikku, tertawa sekencang-kencangnya, saking kencangnya tertawa, ia sampai terbatuk-batuk. Aku yang jengah melihat kelakuannya itu, memasang wajah garang lantaran kesal, tetapi karena tak tega. Aku lalu mengambil air mineral yang ada di dalam plastik putih yang baru saja dibawa Andra.

"Makanya, jangan suka ngetawain kesusahan orang. Kualat 'kan akhirnya,"

Usai meminum air mineral itu, Andra lalu menghidupkan kembali mesin mobilnya dan kami bisa melanjutkan  perjalanan ke tempat tujuan.

"Kanaya, tolong ambil bungkusan yang ada di plastik, terus kamu buka," titahnya seraya tetap fokus mengemudi.

Aku mengambil bungkusan yang dimaksud. Sesuai perintah, aku lalu membuka bungkusan itu. Seketika aroma wangi rempah khas bumbu masakan Minang menyeruak langsung menusuk hidungku. Di dalamnya terdapat nasi, sayur daun singkong, sambal cabai hijau, perkedel, dan tak ketinggalan rendang. Sangat menggiurkan lidah untuk segera disantap. Hingga membuat perutku yang tadi sudah terisi makan siang menjadi kembali lapar.

"Tolong suapi aku makan," titahnya kembali.

Aku yang mendengar ucapan itu langsung mengangkat satu seraya membulatkan mata ke arahnya.

"Kenapa, kamu nggak mau menuruti perintahku? Mau aku berbuat nekat lagi sama kamu?" ancamnya seraya melirik sembari menyeringai.

Ancaman itu sama sekali tak membuatku takut.

"Oke, silakan aja. Aku nggak takut!" jawabku seolah menantangnya.

"Oh sudah mulai berani, ya menantangku, sekarang. Jika nanti terjadi sesuatu padamu lagi. Jangan salahkan aku, karena kamu sudah siap untuk aku berbuat macam-macam lagi sama kamu," ucapnya serius.

Jujur, mendengar penjelasan itu, membuatku langsung bergidik ngeri. Apa lagi Andra tipe orang yang keras kepala. Jika ia diberikan tantangan, pasti jiwanya akan tertantang dan ia akan berbuat nekat untuk memenangkannya.

Meski ngedumel, akhirnya aku menuruti juga keinginan Andra itu. Ia tetap fokus mengemudi sementara aku menyuapinya makan.

"Kalau mau ikutan makan juga boleh, lagian aku belinya dalam porsi banyak, kok," ujarnya.

Mendengar ucapannya spontan aku pun menyedokan makanan itu ke dalam mulutku. Sementara Andra yang sadar akan hal itu, tentu saja tersenyum senang.

"Kenapa senyum-senyum, memangnya ada yang lucu?" tanyaku sinis.

"Nggak apa-apa, cuma senang aja. Akhirnya bisa makan berdua kayak lagu dangdut. Makan sepiring berdua. Yang banyak dong nyendokin makanannya,"

Aku yang belum sadar apa yang dimaksudnya. Hanya mengernyitkan dahi seraya terus menyuapinya makanan dan makan untuk diriku sendiri

"Dasar manja, gimana kalau Razka sampai tau? Kalau ternyata, Bapaknya itu manja banget. Udah tua aja minta disuapi makan," ucapku menyindir.

"Ya nggak apa-apa, Bapaknya Razka 'kan manjanya sama Ibunya Razka bukan sama orang lain," ujarnya.

Entah mengapa tenggorokanku tiba-tiba terasa gatal? Dan itu tentu membuatku batuk-batuk sehingga Andra berhenti sejenak dan mengulangi adeganku tadi. membukakan air mineral dan memberikan padaku.

"Makasih,"

Suasana di dalam mobil berubah hening, aku dan Andra sama-sama merasakan canggung, salah tingkah pun terjadi. Degup jantung mulai terasa kencang di hatiku, mungkin juga di hati Andra. Secara berbarengan aku dan dia saling beradu tatap.

"Kalau nggak sekarang, kapan lagi aku bisa manja dan makan berdua sama kamu? Sebentar lagi kamu akan bersama dengan pasanganmu dan aku dengan pasanganku," ujarnya seraya menyalakan mesin mobilnya kembali melaju cepat menembus kemacetan ibu kota untuk mengantarku kembali ke rumah sakit di mana aku dinas tadi siang.

Bersambung...

Selamat membaca semoga bermanfaat. Salam dari Ember Kuning 💛

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!