P a r t 12

Aku terus melangkah dan tak ingin mendengar lagi ocehan pria yang sejak tadi memaksak, bahkan saat ini ia sedang membuntuti langka panjangku.

"Apa kamu nggak penasaran. Kenapa aku memaksa mengajakmu ke rumah sakit ini, Kanaya?" ucapnya.

Aku pun menoleh, terdiam sejenak, lalu menatap menelisik. Apakah yang dikatakannya itu sungguh-sungguh ataukah pura-pura hanya untuk mengerjaiku saja?

"Aku nggak penasaran, aku hanya ingin segera kembali ke rumah sakit tempatku bekerja. Titik!" ujarku sembari melotot.

"Masa sih, kamu nggak penasaran. Padahal aku maksa kamu dari rumah sakit sana sampai ke rumah sakit sini. Itu jauh, lho. Kira-kira lebih dua puluh kilometer,"

"Masa bodo. Pokoknya aku mau balik ke rumah sakitku sekarang, titik!" jawabku kesal.

"Dia orang yang paling berharga dihidupku. Mungkin hidupmu juga, Kanaya," ujarnya seraya melipat tangan.

Apa! Orang paling berharga di hidupnya? Aku saja baru ketemu dia lagi Minggu lalu, memang dasar orang aneh,"

Aku menggeleng kepala pelan,  lalu memberikan tanda silang di dahi dengan tatapan sinis. Dan tetap melangkah meninggalkan rumah sakit ini, tetapi saat aku mengingat lagi ucapan terakhirnya membuatku pikiranku kembali terusik.

Sejenak aku pun berhenti melangkah sembari memikirkan kalimat terakhir yang pria itu ucapkan. Jujur aku mulai penasaran dengan apa yang ia katakan itu? Lalu, muncullah pertanyaan demi pertanyaan. Mengapa ia harus datang ke rumah sakit tempatku kerja? Ia juga memaksaku untuk ikut bersamanya. Lantas siapa itu Razka? Apakah dia orang yang sedang dirawat inap di rumah sakit ini?

Orang yang sedang membutuhkan darahku, sehingga Andra rela menempuh jarak ratusan kilometer hanya untuknya. Dan malangnya aku, demi untuk mewujudkan keinginan itu. Pria itu datang dan memaksa agar aku mau ikut bersamanya. Lantas, mengapa tadi di akhir ucapannya? Ia bilang orang yang sakit itu masih ada kaitannya denganku. Apa telingaku tak salah dengar atau ini hanya akal bulusnya. Agar dia bisa lebih lama menahanku, Entahlah!

Aku segera membalikkan badan dan melipat kedua tanganku di bawah dada, lalu melangkah mendekatinya. Dengan tatapan sinis, aku menatap wajahnya yang membuatku begitu muak dengan sikap keras kepala dan suka memaksa kehendak. Andra membalas dengan senyuman miring penuh kemenangan saat aku mencoba mendekatinya.

"Ternyata ada yang kepo juga, nih," ucapnya santai seraya menyeringai melangkah berdiri berjarak beberapa sentimeter dariku.

"Cepat katakan! Siapa sebenarnya yang sakit di rumah sakit ini. Sampai kamu memaksa aku, untuk ikut sama kamu?!" tanyaku sembari menunjuk-nunjuk ke arah wajahnya.

"Nggak usah sewot gitu, Kanaya. Slow aja, sayang. Nanti kalau sering marah, kamu cepat tua, lho. Ayo kita ke kamar rawat inap. Akan aku tunjukkan siapa orangnya? Biar kamu nggak penasaran," jawabnya seraya menarik tanganku hingga kami berdua menaiki lift kembali.

Tak sampai sepuluh menit, aku dan Andra sudah tiba di kamar VIP. Entah mengapa perasaanku jadi berubah? Detak jantungku seraya berdegup kencang. Sedikit ada rasa gugup. Sepertinya di dalam kamar itu. Ada seseorang yang sudah lama tak aku lihat.

"Kamu kenapa, Kanaya? Ayo cepat masuk," ajak Andra yang sudah membuka pintu kamar dan lebih dulu masuk.

Aku melangkah pelan masuk ke kamar seperti layaknya seorang pengantin yang berjalan menuju pelaminan. Ada perempuan berjilbab yang sedang menunggu di sana. Namun, sepertinya ia kelelahan sehingga wanita itu ketiduran di atas sofa dengan wajah yang tertutup oleh masker. Pandanganku beralih ke sebuah ranjang di mana seorang anak laki-laki terbaring lemah dengan selang infus di tangan dan selang oksigen di bawah hidungnya. Anak itu sepertinya sedang tertidur lelap.

Aku melihat Andra begitu senang menatap anak yang sedang tertidur itu. Sejak pertama kali bertemu, sampai akhirnya berpisah tanpa ada kabar dan kini kembali bertemu lagi usai enam tahun berpisah. Baru kali ini aku melihat wajah pria itu berbinar. Terlihat begitu bahagia dengan senyumnya yang terpancar dan mengembang.

"Siapa dia?" tanyaku pelan.

"Namanya Razka. Lebih tepatnya Razka Fadillah,"

"Lalu apa hubunganmu dengan anak ini?"

"Coba kamu perhatian baik-baik wajahnya. Apakah wajah kecilnya ini, ada kemiripan denganku?"

Aku memalingkan wajah, semakin kesal aku dibuatnya. Terlihat kesombongan dan keterlaluannya pria ini. Bagaimana tidak? Saat aku serius bertanya tentang siapa anak yang sedang sakit ini padanya? Ia malah berbalik memberikan pertanyaan untukku, tetapi setelah aku amati dan perhatikan dengan saksama memang benar ada kemiripan yang kentara antara Andra dengan anak ini. Aku melongo seraya tersentak dan membulatkan mata dengan sempurna sembari menutup mulutku dengan telapak tangan. Apakah dia itu?

Buru-buru aku beralih ke wanita yang sedang terlelap tidur d atasi sofa di sebrang sana. Aku membalikkan badannya dan perlahan membuka masker yang menutupi wajahnya. Dengan saksama, aku menatap wajah wajah wanita ini.  Siapa wanita yang ini sebenarnya. Sama seperti anak yang ada di atas ranjang di sana. Sepertinya aku pernah mengenal wajah ini?" gumamku dalam hati

"Nur, Nurbaiti!" ucapku sembari memberanikan diri untuk mengusap lengannya. Dan benar saja apa dugaanku. Wanita itu bereaksi, matanya yang terpejam perlahan terbuka lalu ia menguap dan membenarkan posisi duduknya, tetapi ia pun tersentak begitu sadar dirinya tertidur di sofa dan kini  sudah ada aku dan Andra berada di dalam kamar.

"Bu Dokter! Ini benar Ibu Dokter Kanaya' kan?" serunya seraya memastikan.

Aku mengangguk dan langsung duduk di sampingnya, segera aku memeluk wanita bernama Nurbaiti itu. Mata yang semula berkaca-kaca. Akhirnya tak kuat di bendung dan perlahan menetes bagai bongkahan batu es yang mencari. Penuh rasa haru, sedih, bahagia, bercampur jadi satu. Sembari berpelukan aku menanyakan keadaan dan keluarganya begitu juga sebaliknya. Karena sudah lima tahun lamanya kita tidak saling bertemu dan bertegur sapa. Akhirnya, kini aku dapat bertemu dengan perempuan baik hati yang sudi merawat dan memberikan kasih sayang untuk anakku.

Andra mendekat lalu berdeham, melihat kelakuanku dan Nurbaiti yang sedang berbahagia karena dapat bertemu lagi. Hingga aku dan Nurbaiti malah mengabaikan Andra yang juga ada di sana.

"Berpelukan segala kayak teletubbies, dasar cewek," gerutunya, tetapi masih bisa di dengar olehku dan Nurbaiti.

Spontan kami pun menjawab, " Biarin!" lalu kami pun berpelukan lagi sebelum akhirnya terlepas. Karena anak itu terbangun lalu memanggil Nurbaiti.

"Ibu!"

Nurbaiti lalu melangkah mendekati ranjang, dengan cekatan perempuan itu mengurus segala permintaan anaknya. Sangat sabar dan keibuan. Melihat pemandangan itu hati kecilku terasa nyeri, sakit sekali rasanya.

Mataku kembali basah. Namun, segera aku mengusapnya kasar dengan jemari.

"Kanaya, tolong temani Nurbaiti makan siang. Tadi sebelum aku keluar mencarimu. Aku sudah memesan makanan untuk makan siang hari ini" titah Andra seraya menyentuh bahuku.

"Lha, Bapak nggak makan? Bapak Andra dan Ibu Dokter aja yang makan duluan. Biar saya di sini aja. Nanti kalau ada waktu, saya bisa beli sendiri," jawab Nurbaiti.

"Nggak kamu aja Nurbaiti. Makan sana bareng Kanaya di kantin. Kalau saya bisa belakangan. Saya mau di sini dulu berduaan sama jagoan keren ini," jelas Andra seraya tersenyum memandangi wajah Razka.

Sementara aku hanya terdiam. Rasa perih ini bukan hanya di hati, tetapi juga turun menjalar ke perutku. Aku sudah merasakan perih sejak tadi. Sejak masih di dalam mobil saat menuju ke rumah sakit ini. Lantaran saat sarapan aku hanya minum segelas susu UHT.

Bersambung...

Maaf, saya telat update. Terima kasih banyak sama yang udah baca dan memberi tanda like. Semoga tulisan ini bermanfaat, salam hangat dari Ember Kuning 💛

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!