Bulan menggantung sangat rendah dan berbentuk bulat penuh. Cahaya keemasannya memantul di atas air laut yang tenang dan menciptakan suasana yang nyaris sempurna, tenang dan damai. Hanna dan Bobby duduk berdua di atas hamparan pasir putih yang lembut. Hanna sudah tidak menangis lagi, namun tatapannya masih kosong, angannya terbang entah ke mana. Kepala Hanna sedikit memar dan juga benjol karena terantuk ke dinding restoran dan Bobby sudah mengobatinya.
“Apa kamu mau membicarakan apa yang baru saja kamu alami? Kamu bertemu seseorang di restoran?” Bobby menatap Hanna.
Hanna hanya mengangguk pelan. “Teman ayah bayiku.”
“Teman? Aku pikir kamu tadi bertemu ayah bayimu.”
Seharusnya aku tidak bertemu mereka berdua. Mereka sama saja, sama-sama hanya mempertontonkan jumlah kekayaan mereka.
Hanna menggeleng. “Temannya kok.”
“Lalu?” Bobby sangat penasaran.
“Dia memintaku untuk menjauhi ayah bayiku dan menawarkanku sejumlah uang.” Entah kenapa mereka bisa sama-sama punya pemikiran seperti itu.
“Wow, aku pikir zaman sekarang nggak ada lagi hal-hal seperti itu.”
Hanna hanya mendesah. Sekarang, setelah bertemu dan berbicara dengan Noah, Hanna kembali yakin pada rencana awalnya. Mungkin memang dia sudah ditakdirkan menjadi single parent. Tidak apa-apa. Hanna yakin dia sanggup melalui semuanya sendiri. Dia sudah mencintai bayi dalam kandungannya setelah dia mendengar denyut jantungnya untuk pertama kali sekalipun dia belum melihat wajahnya. Dia akan merawatnya dan membesarkannya sendiri.
“Bulannya bagus.” Gumam Bobby, mengalihkan perhatian Hanna.
Bobby tahu ibu hamil tidak boleh stress dan banyak pikiran -lagi-lagi dia mendapat info itu dari buku kehamilan yang dia beli. Dan saat ini tugasnya hanya untuk menghibur Hanna, menjauhkannya dari hal-hal yang membuat pikirannya kalut. Terus terang Bobby kasihan pada Hanna karena penolakan yang terus dilakukan oleh ayah bayinya. Menurutnya jika laki-laki bisa melakukan itu –tidur dengan seorang wanita dan membuatnya hamil, seharusnya dia juga bisa bertanggung jawab. Tubuh wanita bukan ajang coba-coba, cicipi dulu lalu sesudah itu dimuntahkan. Tentu saja bukan seperti itu.
Walau Bobby pun mengakui jika dia tidak se-suci pemikirannya, namun setidaknya dia tidak akan menolak bertanggung jawab jika dia memang benar-benar membuat seorang wanita mengandung anaknya.
“Ayo.” Bobby mengulurkan tangannya pada Hanna.
“Kita sudah berada di sini, kenapa nggak kita nikmati saja suasananya?”
Hanna sebenarnya enggan, namun dia sangat menghormati Bobby dan juga berterimakasih padanya. Seandainya tidak ada Bobby, mungkin saat ini pikirannya masih morat marit dan air matanya masih mengalir. Berada di pantai saat suasana malam seperti ini memang sangat nyaman dan membuat otaknya sedikit rileks.
Keduanya berjalan menyusuri garis pantai dengan bertelanjang kaki. Sesekali Bobby melemparkan candaan yang membuat Hanna tertawa –walau hanya sekedar untuk menghargai usaha Bobby. Setelah berjalan-jalan selama hampir dua jam, Bobby mengajak Hanna untuk pulang karena dia tidak ingin Hanna mendadak sakit.
“Han, kita sudah sam...”
Bobby menemukan Hanna tertidur di mobil ketika mereka sudah tiba di rumah Hanna. Dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara, Bobby melepas sabuk pengamannya. Dia mendekatkan dirinya pada Hanna yang terlelap dan memilih menikmati wajah Hanna yang teduh.
Seandainya saja Hanna tahu betapa Bobby sangat ingin mendekapnya dan mencium bibirnya. Bibir Hanna mungil tapi penuh sehingga menimbulkan kesan yang sangat sensual. Sapuan lipstik berwarna nude menambah kesan seksi di bibirnya. Tiba-tiba saja darah Bobby mulai mendidih, sekujur tubuhnya mulai terasa panas membara.
Bobby semakin mencondongkan tubuhnya hingga posisi kepalanya berada tepat di depan wajah Hanna. Tangan Bobby bergerak membelai rambut Hanna dengan lembut –dan hati-hati sehingga dia tidak membangunkan Hanna. Sejak pertama kali melihat Hanna, Bobby sudah menginginkan wanita ini lebih dari apa pun.
Hanna sangat memukau. Hanna bukan tipikal gadis yang tinggi semampai dan menggunakan berdempul-dempul riasan seperti wanita yang sering dia temui di beberapa acara kantor yang dia hadiri. Hanna sangat natural, bahkan tingginya mungkin hanya sekitar enam puluh senti atau di bawahnya. Namun wanita ini sangat atraktif, dia memiliki sisi lain yang membuat auranya selalu keluar dan memikat lawan jenisnya.
Bagaimana pun, di atas semua itu kepribadian Hanna lah yang justru mengunci hati Bobby untuk Hanna. Dia supel, baik, apa adanya dan tidak dibuat-buat, dia berdedikasi dan bertanggung jawab. Soal fisik, mungkin itu hanya sekedar bonus.
Wajah Bobby semakin rendah, hingga dia bisa merasakan hembusan nafas Hanna di wajahnya. Bibirnya nyaris menyentuh bibir Hanna, saat akal sehatnya kembali mendiami otaknya. Bobby menggelengkan kepalanya dan kembali menyandarkan tubuhnya. Tidak. Dia tidak bisa mendekati Hanna dengan cara seperti ini, apalagi dengan keadaannya yang seperti ini pula. Bobby melonggarkan dasinya dan mencengkeram erat kemudi untuk meredam hasrat memiliki Hanna yang semakin tidak bisa dia kendalikan.
“Kita sudah sampai..”
Hanna menggeliat, membuka matanya perlahan. “Kenapa kamu nggak membangunkanku?”
“Tidurmu sangat pulas. Aku...takut membangunkanmu.”
Hanna meregangkan otot lehernya dan membuka sabuk pengamannya. Dia kembali mendesah sebelum akhirnya membuka pintu.
“Terimakasih banyak Bob. Aku...” Hanna tidak tahu harus bagaimana untuk membalas semua kebaikan Bobby. Dia sanggup melakukan apa pun kecuali membalas perasaanya.
“Sudahlah. Kamu banyak istirahat, jangan lupa mandi air hangat nanti sebelum kamu tidur. Aku..juga harus pergi.” Karena semakin lama aku di sini, aku tidak yakin bisa mengontrol keinginan ku ini.
“Baiklah. Sampai bertemu besok di kantor.”
*
“Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Liam terkejut bukan main saat dia membuka pintu apartemennya, dia menemukan seorang perempuan muda yang tengah duduk di sofa. Dia sedang santai menonton siaran televisi dan hanya menggunakan lingerie berwarna merah -sangat menggoda tapi sayangnya Liam tidak tergugah.
“Hazer, kamu sudah pulang?”
Wanita itu mendekatinya, sengaja mempertontonkan belahan dadanya yang rendah. Liam menjauh. Ini pasti ulah Noah, dia sangat yakin.
“Aku di sini untuk menemanimu malam ini.” wanita itu membelai wajahnya, mendorong Liam hingga tubuhnya menempel ke dinding.
Liam menarik nafasnya dalam dan menatap wanita yang menggunakan riasan smoky dengan warna lipstik merah menyala. Semua itu mengingatkannya pada Hanna, namun wanita itu bukan Hanna dan dia tidak akan berhasil menggodanya. Dengan kasar Liam melepaskan tangan wanita yang mulai menggerayangi tubuhnya dengan mengeluarkan suara-suara lenguhan yang tidak penting.
“Dengar. Aku tahu Noah membayarmu, tapi maaf, aku tidak membutuhkanmu atau wanita mana pun...” –aku hanya membutuhkan kehangatan tubuh Hanna yang tidak akan bisa digantikan oleh wanita mana pun.
“..jadi sebaiknya kamu pulang dan cari laki-laki lain seandainya kamu sudah tidak bisa menahannya lagi.”
Liam mendorong wanita itu hingga keduanya berjarak. Dulu sebelum bertemu Hanna, mungkin wanita dengan perawakan seperti ini sangat menggoda dan Liam tidak bisa melepaskannya begitu saja sebelum mengajaknya tidur bersama. Tapi setelah bertemu Hanna, standar Liam menjadi lebih dari sekedar itu. Level Hanna jauh di atas, dia tidak paham bagaimana menggambarkannya, tapi Hanna adalah standar nya kini.
Wanita itu merengut, membereskan barang-barangnya dan memakai long coat untuk menutupi pakaiannya. Dia turun melalui lift, dan setelah tiba di bawah dia bergegas menuju sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari gedung apartemen Liam. Dia mengetuk jendelanya pelan, dan kaca jendela mobil itu perlahan turun.
Noah mencondongkan kepalanya. “Bagiamana?”
“Bagaimana? Menurutmu bagaimana? Laki-laki itu mengusirku, sialan. Belum ada satu laki-laki pun yang menolakku, tau.” Wanita itu merengut.
Liam tidak menginginkan wanita menggoda seperti ini? Sayang sekali.
“Well..” Noah berdehem, menatap penampilan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung rambutnya, sangat menggugah.
“Masuklah. Kita bisa melanjutkan pembicaraan kita di tempat lain kalau kamu tidak keberatan.”
Wanita itu masih merengut, namun dengan segera dia masuk ke dalam mobil Noah dan baru saja dia duduk, Noah dengan begitu lapar menciumi bibirnya. Tangan Noah bergerak menyentuh lengan wanita itu hingga lehernya lalu turun ke dadanya.
“Kita bisa lanjutkan di tempat lain, bukan?” wanita itu mengingatkan Noah dengan nafas yang terengah.
Sial, dia benar. Noah menciumnya sekali lagi sebelum akhirnya menyalakan mesin mobilnya dan berlalu meninggalkan apartemen Liam. Dari apartemennya yang berada di lantai lima belas, Liam bisa menyaksikan semuanya. Noah kali ini keterlaluan, bisa-bisanya dia memasukkan wanita ke dalam rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments