Hanna bergerak mengikuti irama tubuh Liam yang menciumnya sejak keduanya tiba di hotel yang sudah dipesan oleh Liam. Dengan sekali angkat, tubuh Hanna sudah berada di atas ranjang dan dia bisa melihat setiap pergerakan Liam ketika laki-laki itu berusaha membuka pakaiannya dengan terburu-buru.
Nafas Hanna nyaris berhenti ketika melihat tubuh atletis Liam yang tampak berisi dan penuh. Benar dugaannya tadi. Dadanya sangat bidang, pundaknya sangat lebar dan lengannya sempurna. Tanpa dia sadari, Hanna menelan ludahnya sendiri setelah melihat pemandangan indah di depannya.
Dengan lembut Liam naik ke tempat tidur, menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Hanna yang ramping. Bibirnya kembali mencium Hanna dengan lembut namun sedikit intens, kemudian bibirnya turun hingga ke leher Hanna. Tepat saat itu Hanna mendengar erangannya sendiri, membuat dia merasa malu dan tidak punya nyali untuk menatap Liam.
Dengan cekatan Liam melepaskan pakaiannya, dan wajahnya langsung memerah saat Liam terdiam sesaat untuk menikmati pemandangan dari tubuhnya. Hanna mengigit bibirnya saat Liam mulai menguasainya, namun tiba-tiba Liam berhenti.
“Kamu benar-benar masih...”
Hanna mengangguk pelan. Dia meraih sprei dan menggenggamnya dengan sangat erat, saat Liam kembali memenuhinya. Bodoh memang. Setelah bertahan dengan prinsipnya selama dua puluh enam tahun, akhirnya Hanna melepaskan semuanya pada seseorang yang baru saja dia kenal. Namun kegagalannya, pengkhianatan yang dilakukan padanya membuat sisi liar Hanna keluar. Malam ini dia menyerahkan tubuhnya pada Liam, laki-laki yang baru dikenalnya namun sudah sangat dia percaya.
*
Mata Hanna mengerjap, dia duduk dan menemukan dirinya masih dibalut oleh selimut putih. Dia memegangi kepalanya yang sedikit pusing hingga membuatnya ingin muntah. Dia menatap sekelilingnya, dan kesadarannya langsung kembali. Dia ingat tadi malam dia sudah melakukan sesuatu yang liar bersama Liam.
Di sampingnya, Liam masih tertidur. Tubuhnya masih terbungkus oleh selimut, namun tidak dengan kakinya yang panjang. Hanna menahan nafas, mencoba menatap kembali wajah Liam lekat-lekat. Tadi malam semuanya terlalu cepat, dan pengaruh alkohol masih tersisa padanya hingga dia tidak bisa menikmati wajah Liam. Saat ini, saat Liam masih tertidur nyenyak, Hanna menyempatkan untuk menatap Liam.
Dia tersenyum, membelai rambut Liam yang hitam pekat. Lalu tangannya bergerak membelai alis Liam, dan berhenti saat laki-laki itu mulai menggerakkan kepalanya. Beruntung, dia tidak terbangun sedikitpun. Hanna mencari clutchnya dan menemukannya tergeletak di atas meja. Dengan hati-hati Hanna meraihnya, mengeluarkan handphonenya dan memotret Liam diam-diam.
Hanna menarik nafas. Sebuah sensasi panas tiba-tiba kembali mengalir di tubuhnya saat dia mengingat apa yang sudah dia lakukan tadi malam. Astaga, aku benar-benar harus keluar dari sini, atau aku tidak akan bisa berpikir dengan normal.
Dia melihat jam di handphonenya, pukul sembilan pagi. Beruntung ini adalah hari minggu jadi dia tidak perlu repot-repot untuk buru-buru ke kantor. Dengan hati-hati, Hanna bergerak turun dari ranjang dan memungut pakaiannya yang berserak di lantai. Memalukan, Hanna mengutuk dirinya sendiri. Namun pengalaman itu juga sedikit menyenangkan baginya karena ini kali pertama dia mengalaminya bersama laki-laki yang nyaris sempurna seperti Liam.
Setelah selesai membersihkan diri dan memakai pakaiannya kembali, Hanna berbalik menatap Liam yang masih tidak bergerak, tidur dengan sangat lelap. Hanna berjinjit mendekat, dan sekali lagi menatap wajah Liam sebelum dia memutuskan keluar dari ruangan itu dengan segera.
Dia sudah memesan taksi online, dan ketika dia turun, taksi itu sudah menunggunya di pelataran parkir hotel. Sebelum naik ke taksi, Hanna menatap hotel itu sekali lagi. selamat tinggal, Liam.
**
Liam membuka matanya perlahan-lahan. Tangannya meraba-raba handphone yang diletakkannya di atas nakas dan terkejut ketika angka di jam menunjukkan pukul satu siang. Astaga, kenapa aku bisa tidur sampai lewat tengah hari seperti ini?
Kepalanya sedikit berputar-putar sisa alkohol semalam. Tangannya bergerak, menyapu sekelilingnya untuk menemukan Hanna, perempuan yang membuat tidurnya nyenyak hingga pukul satu siang. Namun tiba-tiba dia mengangkat kepalanya saat tangannya tidak menemukan apa pun.
Liam menyapukan mata ke sekelilingnya, memang tidak ada Hanna lagi di sana. Semua barang-barangnya pun tidak ada. Apa mungkin dia di kamar mandi?
“Han..”
Liam berdiri, mebalutkan bathrobe untuk menutup tubuhnya lalu mencari Hanna ke kamar mandi. Namun saat dia membuka pintu, ruangan itu bersih tanpa siapa-siapa. Hanya saja sisa air yang masih menggenang menandakan Hanna menggunakannya terlebih dahulu sebelum pergi.
Dia benar-benar pergi!
Liam tidak percaya. Biasanya dia yang meninggalkan perempuan yang dia tiduri lebih duluan setelah meletakkan cek atau beberapa lembar uang di atas meja. Namun Hanna berbeda. Gadis itu membuat harga dirinya sedikit terluka dengan caranya yang tidak pernah Liam temui sebelumnya.
Lalu bagaimana dia menemukan gadis itu? Tadi malam dia tidak sempat menanyakan apa pun soal identitasnya, tempat tinggalnya, atau tempat kerjanya karena memang biasanya Liam tidak pernah melakukannya. Dan sekarang Liam menyesal. Seandainya dia menanyakan hal-hal itu pada Hanna, mungkin masih ada kesempatan di lain waktu mereka bisa bertemu.
Gadis itu tidak bisa lolos dari hati Liam begitu saja. Dia cukup atraktif, manis, polos dan lugu. Dan yang pasti, dia tidak mengenali Liam jadi hubungan yang mereka lakukan tadi malam pasti berdasarkan rasa suka dari hati masing-masing, bukan paksaan. Ke mana dia harus mencari Hanna?
***
Hanna berhenti, berusaha memutar otak mencari alasan saat melihat Lona berdiri di depan rumahnya, mondar mandir seperti orang yang kebingungan. Lona terlihat mengotak atik handphonenya seperti sedang menelepon seseorang. Lalu dia memutar tubuh, saat nomor yang dia hubungi ternyata sudah berdiri tak jauh darinya.
Hanna pura-pura tersenyum sembari mengangkat handphonenya, menunjukkan jika dia sudah pulang. Lona berkacak pinggang dan bersiap memberinya ceramah.
“Kamu dari mana sih? Dari tadi aku berdiri di sini mengetuk pintumu tapi kamu nggak ada.”
Lona menyemburnya seperti biasa dengan teriakan khasnya. Mata Lona tiba-tiba menyipit, menyadari Hanna masih menggunakan gaun miliknya yang dia pinjamkan padanya tadi malam. Sebuah senyum nakal langsung menyeringai di wajah Lona.
“Dari mana kamu tadi malam, hah?”
Hanna mendorong Lona hingga dia bisa membuka pintu rumahnya. Bak seekor anak anjing, Lona langsung mengikutinya hingga ke kamar dan menunggui Hanna yang sedang menukar pakaiannya.
“Kamu melakukan sesuatu? Benarkah?” mata Lona berbinar karena tidak percaya.
Hanna yang polos, yang punya prinsip dalam hidupnya tidak pulang semalaman dan masih menggunakan pakaian yang sama. Itu artinya...
“Aku rasa aku memang gila.”
Hanna merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia menatap langit-langit kamar dan bayangan tubuh Liam langsung menari-nari di angannya. Cara laki-laki itu menguasainya, sangat lembut dan terkesan tidak buru-buru.
“You did it?”
Hanna menarik nafasnya, lalu mengangguk pelan. Bagaimana pun juga dia tetap harus memberitahu Lona tentang apa yang dia lakukan tadi malam. Lona yang mengajaknya, jadi Hanna hanya ingin Lona tahu jika ajakannya membuahkan sebuah pengalaman baru dalam hidupnya.
“Astaga Han. Setelah dua puluh enam tahun akhirnya kamu melakukannya? Siapa laki-laki yang beruntung itu?”
“Dia...entahlah.” gumam Hanna.
“Apa maksudmu entahlah?” Lona terkejut.
“Aku hanya tahu namanya Liam. Aku nggak tahu selebihnya tentang dia.”
“Apa maksudmu?” Lona menepuk lengannya dengan kencang hingga Hanna meringis kesakitan.
“Kamu melakukannya dengan laki-laki yang nggak kamu kenal? Aku pikir kamu cukup pintar tapi kenapa dalam hal ini kamu agak bodoh?” teriak Lona.
Reaksi Lona membuat Hanna bergidik. Apa dia sudah melakukan kesalahan yang fatal sehingga dia berteriak? Tapi bukankah dia mengajakku ke club untuk mencari pengalaman seperti ini?
“Seenggaknya kamu bertanya di mana dia tinggal, profesinya apa, dan nomor teleponnya berapa. Jadi ketika kamu mengalami hal yang nggak kamu inginkan, kamu bisa mencarinya.” Lona kembali memukul lengan Hanna.
“Hal yang nggak diinginkan?” mata Hanna membulat.
Ya Tuhan, kenapa nggak terpikir olehnya resiko-resiko itu? Tapi, seharusnya dia aman-aman saja karena tadi malam jelas-jelas dia melihat Liam memakai pengaman. Seharusnya itu berguna, kan?
“Ka...kami pakai pengaman kok.” Hanna tidak bisa menutupi rasa takutnya walau dia mencoba meyakinkan diri jika semuanya akan baik-baik saja.
“Mudah-mudahan.”
Lona tampak tidak percaya dengan kepolosan Hanna. Kenapa kamu tidak meminta nomor teleponnya? Jika suatu hari nanti terjadi sesuatu padamu, maka orang yang harus dipersalahkan adalah aku juga. Dasar manusia kolot, sungut Lona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
✿ O T A K U ✿ᴳᴵᴿᴸ࿐
Sampai begadang buat baca ini, terbayang-bayang sampe pagi.😍
2023-08-10
1
.🌱Pomhy.☕
Bingung harus ngapain tanpa cerita ini setiap malam 😔
2023-08-10
0