“Pelayan.”
Liam memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat dari sampingnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Kamu lihat perempuan dengan mini dress berwarna merah itu?”
Liam menunjuk, diikuti anggukan kecil dari pelayan.
“Berikan dia satu gelas vodka.”
“Baik Pak.”
Liam memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan pada pelayan tadi. Setelah itu, dia kembali menyandarkan tubuhnya,menunggu sembari mengamati dari kejauhan layaknya seekor harimau yang sedang menunggu mangsanya lengah.
Hanna mendongak saat tiba-tiba seorang pelayan meletakkan satu gelas vodka di mejanya. Dia menolak -karena dia merasa sudah cukup mabuk-, namun palayan itu mengatakan bahwa voda itu sudah dibayar oleh seseorang.
Dia memutar tubuhnya, menoleh pada arah tunjukan tangan pelayan yang menunjuk pada seorang laki-laki menggunakan pakaian serba hitam dilengkapi dengan masker dan kaca mata hitam. Perasaan pandemi sudah lewat, kenapa dia masih memakai masker? Apa dia nggak merasa sesak berada di ruangan seperti ini dengan masker seperti itu? Lalu pakaiannya itu, apa dia seorang malaikat pencabut nyawa? Kenapa dia bertingkah sangat aneh? Sungut Hanna, menghakimi.
Laki-laki itu mengangkat gelasnya, dan dengan senyum yang dibuat-buat, dengan terpaksa Hanna mengangkat gelas vodka yang diberikan laki-laki itu. Lona bilang, tidak bagus menolak gelas yang sudah dibayarkan oleh orang lain pada saat berada di club malam atau bar. Prinsip yang aneh menurut Hanna.
Dari tempat dia duduk, Hanna berusaha mengarahkan pandangannya pada laki-laki itu saat dia minum vodka itu dalam sekali teguk. Saat itu dia menyadari jika postur laki-laki itu cukup menarik. Dia bisa tahu kalau laki-laki itu bertubuh tinggi dari ukuran badannya yang terlihat walau dia sedang duduk. Dan walau terbungkus oleh jaket hitam, dia juga bisa tahu jika laki-laki itu memiliki dada yang bidang dan juga bahu yang lebar.
Setelah itu dia kembali menyandarkan tubuhnya, berusaha menikmati alunan musik yang sama sekali bukan seleranya. Dia kembali melirik jam tangannya, hampir tengah malam. Di mana laki-laki yang disebutkan oleh Lona tadi? Dia jadi datang atau tidak? Atau jangan-jangan Lona mengerjainya agar dia tidak buru-buru pulang? Isss, Lona. Bisa-bisanya dia masih tertipu dengan trik murahan Lona ini.
Hanya begitu? Dia nggak mendatangiku? Alis Liam terangkat melihat reaksi dingin yang dilemparkan perempuan itu. Liam tidak pernah menerima reaksi seperti itu. Saat dia melakukan trik seperti tadi, seharusnya perempuan akan mendatanginya sekedar mengucapkan terima kasih, lalu mereka akan mengobrol dan tidak berapa lama mereka sudah berada dalam hotel.
Tapi gadis itu berbeda. Padahal Noah selalu mengatakan jika Liam dalam balutan pakaian hitam dan kaca mata hitam penuh aura yang mematikan. Apa auranya tidak mempan membius perempuan itu? Tidak. Harga diri Liam terluka cukup parah menerima penolakan seperti itu. Bagaimana pun caranya, dia harus mendapatkan perempuan itu malam ini.
“Pelayan.”
Liam kembali memanggil pelayan yang sama.
“Tolong berikan perempuan itu satu gelas lagi.”
“Baik Pak.”
Kembali Liam mengamati dari kejauhan dan dia cukup terkejut ketika perempuan itu menolak minumannya. Dia melihat bagaimana perempuan itu berbicara dengan pelayan, dan sedetik kemudian pelayan itu meninggalkannya dengan membawa gelas vodka itu kembali pada Liam.
“Pak, dia bilang dia sudah cukup mabuk dan tidak mau minum lagi.”
“Letakkan saja vodkanya di sini.”
Suara Liam bergetar karena baru pertama kali mengalami penolakan yang cukup serius. Dia memaksa dirinya tersenyum, saat perempuan itu berdiri, melambaikan tangan padanya sambil setengah membungkuk, mungkin sebagai permintaan maaf karena sudah menolak pemberiannya.
Itu lebih mengejutkan Liam lagi. Dugaannya benar. Perempuan itu bukan perempuan yang sering keluar masuk club. Apalagi dengan sikapnya yang dingin tapi tetap sopan, acuh tak acuh seolah dia memang mengabaikan Liam dan tidak berniat bicara dengannya. Dan hal itu menumbuhkan hasrat yang lebih besar lagi. Dia harus mendapatkan perempuan itu secepatnya.
Mau tidak mau, Liam yang harus mengalah. Dia berdiri, mengamati sekelilingnya dan mendapati Noah sedang berciuman dengan perempuan bergaun pastel tadi. Cepat juga prosesnya, guman Liam. Setelah mengetatkan topinya, dia memberi kode pada bodyguardnya untuk tidak mengikutinya. Setelah itu dia beranjak menuju meja perempuan yang membuatnya sangat penasaran dengan membawa gelasnya.
“Hai.”
Hanna kembali mendongak, dan begitu terkejut melihat laki-laki yang baru ditolaknya tadi muncul di hadapannya. Apa yang dia lakukan di sini? Apa dia merasa tersinggung dengan sikapku barusan?
“Hai juga.” Hanna membalas dengan sedikit canggung.
“Aku rasa kamu nggak terlalu sering masuk club. Terlihat dari caramu.”
“Well, benar.” Hanna mengangguk membenarkan.
“Maaf aku sudah menolak minuman pemberianmu. Tapi aku sudah agak pusing dan menambah minuman berarti aku sedang membahayakan nyawaku sendiri.” Ujarnya sopan.
“Orang bilang minuman beralkohol bisa merilekskan pikiranmu. Jadi kamu nggak setuju?”
“Setuju sih. Dengan catatan harus dengan dosis tertentu.”
Liam tertawa kecil. Dia mendorong kaca matanya yang setengah menggantung di hidungnya.
“Kamu mau jalan-jalan di luar? Sepertinya suasana club membuatmu sedikit nggak nyaman.”
“Tapi aku sedang menunggu seseorang.”
Seseorang yang tidak pernah muncul. Bahkan hingga tengah malam seperti ini teman yang disebutkan Lona tadi belum juga datang sementara Lona masih asyik menari seperti tidak kehabisan tenaga.
“Oh, baiklah. Aku pikir tadi kamu agak bosan, makanya aku mengajakmu jalan ke luar.”
Liam menelan rasa kecewanya. Reaksi Hanna bukan reaksi yang dia inginkan. Dia ingin Hanna setuju sehingga dia bisa menghabiskan lebih banyak waktu yang lebih pribadi dengan Hanna.
“Baiklah. Aku akan meninggalkanmu. Maaf sudah mengganggu.”
Liam menyerah. Bukan. Ini bukan sifatnya yang biasanya. Apa yang terjadi dengannya?
“Tunggu.”
Hanna berdiri. Langkah Liam berhenti, lalu sebuah senyuman tersungging di wajahnya yang tertutup masker.
“Kayaknya temanku nggak jadi datang. Mungkin, kita bisa jalan-jalan sebentar.”
Hanna memang butuh udara segar karena otaknya sudah rusak karena hingar bingar musik yang tak kunjung berhenti.
“Ayo, ikut aku.”
Hanna melirik Lona sejenak. Dia memanggil salah satu pelayan, menyampaikan pesan agar dia memberi tahu Lona jika dia pulang lebih dulu. Setelah memasukkan handphone nya ke dalam clutch bagnya, dia mengikuti Liam yang membawanya keluar dari pintu belakang.
“Kita akan ke mana?” tiba-tiba saja Hanna merasa jika sikapnya sedikit berlebihan.
Ikut dengan laki-laki yang baru dikenalnya yang membawanya entah ke mana. Bukankah itu aneh? Bukankah seharusnya dia jaga diri?
“Di belakang bangunan ini ada sebuah danau buatan milik pribadi. Kita bisa berjalan-jalan di sana.”
“Milik pribadi tapi kamu mengajakku ke sana? Itu artinya kamu pemiliknya?”
“Tebakan yang bagus.” Liam tertawa.
“Aku Liam, by the way.”
“Hanna.” Dia mengulurkan tangannya, menerima jabatan tangan Liam yang dingin.
“Kelihatannya kamu bukan tipikal perempuan yang suka menghabiskan waktunya di dalam bar atau club malam seperti ini.”
“Ini pertama kalinya, memang.”
Benar tebakanku, gumam Liam. Wajah polos dan lugunya itu tidak bisa ditutupi oleh make up. Tetap saja dia ketahuan dari gestur tubuhnya jika dia memang tidak nyaman tadi di dalam.
“Thanks sudah mengajakku keluar. Kalau nggak kepalaku rasanya sudah mau meledak mendengar suara berisik seperti itu.”
Hanna mendadak berhenti. Dia memegangi kakinya yang mulai memerah karena ulah stillettonya. Seharusnya aku nggak mendengar saran Lona soal sepatu ini. Kakiku benar-benar sakit dan sulit untuk berjalan. Ah, aku rindu sepatu sneakersku.
“Kamu baik-baik saja?” Liam menunduk, ikut memeriksa luka di kaki Hanna.
“Ah, nggak usah, aku nggak apa-apa.” Hanna mencoba menjauhkan tangan Liam karena ini tidak pantas.
Laki-laki itu berlutut, dan kakinya berada di atas pahanya. Apa itu pantas?
“Kakimu mulai lecet. Kamu nggak bisa memakainya lagi.”
Liam berdiri, tapi masih memegangi Hanna yang sedikit oleng. Kakinya sangat sakit jika dijejakkan, namun dia juga tidak punya pilihan lain. Masa dia berjalan bertelanjang kaki di depan laki-laki seperti Liam? Apa kesan yang tergambar di kepala Liam nantinya tentang dia?
“Tunggu di sini. Aku akan mengambilkan sesuatu.”
Hanna membuka mulutnya, mencoba mengucapkan sesuatu namun Liam sudah terlanjur berlari kembali masuk ke club. Dengan menyeret kakinya, Hanna berjalan tertatih menuju pohon yang tumbuh di pinggiran danau. Hanna melihat sekelilingnya, menyadari jika suasana danau terasa sangat tenang. bulan sedang bersinar penuh ditemani ribuan bintang yang berkelap-kelip memenuhi langit.
“Tenang sekali...” Hanna memejamkan matanya.
Sudah lama dia tidak merasakan sebuah ketenangan seperti ini. Dia membutuhkannya, apalagi sejak Jhon menusuknya dari belakang dan mengkhianati cintanya, untuk pertama kalinya dia bisa rileks menikmati hidup. Laki-laki itu tidak berarti dalam hidupnya, tapi kenapa rasanya Hanna sulit melupakan pengkhianatannya?
“Laki-laki brenngsek!”
Hanna menendang batang pohon di dekatnya, dan rasa sakit dari kakinya yang lecet segera menyadarkannya jika dia tidak boleh mengumpat lagi. Hanna duduk, memegangi kakinya yang teramat sakit. Dia tidak menyadari air matanya jatuh menyusuri wajahnya yang dingin oleh angin malam.
“Han, kamu pakai ini dulu.”
Liam tiba-tiba muncul dan membuat Hanna menyembunyikan wajahnya. Dia tidak ingin terlihat menyedihkan lalu Liam akan mengasihaninya. Tidak, dia perempuan kuat –menurutnya.
“Kamu menangis? Kenapa?”
Liam yang sudah selesai membantu Hanna mengganti sepatu dengan sendal yang dibawanya menatap Hanna bingung. Namun sapuan lembut jemarinya di wajah Hanna membuat sekujur tubuh Hanna bergetar. Wajah Hanna memerah dan bulu kuduknya nyaris berdiri.
“Kamu mau menceritakannya padaku?”
Hanna mencoba menimbang. Terbuka pada orang yang barus dikenalnya terasa agak kurang pantas. Tapi kenapa aku malah merasa tertarik untuk bicara dengan dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments