“Aku membawakanmu beberapa majalah dan DVD, mungkin ini bisa membantu otakmu rileks.”
Lona meletakkan dua buah bungkusan di atas meja, dan menatap Hanna yang masih berselimut di sofa. Lona mengangkat tubuh Hanna, lalu dia duduk dan meletakkan kembali kepala Hanna di pangkuannya.
“Kamu baik-baik saja?”
Lona membelai lembut rambut Hanna.
“Bobby bilang dia mau menjadi Ayah bayi ini jika aku nggak bisa menemukan Liam.” Hanna membuka matanya, menatap Lona serius.
“Lalu kamu setuju?”
Hanna menggeleng. Tentu saja tidak. Dalam tubuh bayi ini hanya ada darahnya dan darah Liam yang mengalir, seharusnya Bobby tidak perlu ikut campur. Bukannya Hanna tidak tahu terimakasih atau tak tahu diuntung, tapi Hanna hanya berpikir Bobby cukup menyedihkan jika harus ikut menanggung kesalahannya. Dia berhak menemukan perempuan yang jauh lebih baik dari Hanna.
“Jadi Han, bagaimana rencanamu jika kita benar-benar tidak bisa menemukan Liam?” -tentu saja maksudku ini hanya rencana saja karena aku tetap berharap kamu bisa menemukannya.
“Menjadi single parent.” Sahut Hanna singkat.
“Setidaknya aku bisa memegang kendali penuh atas hak asuhnya dan bisa bertanggung jawab untuk semua hal tentangnya. Walau single parent nggak bisa dibilang hal yang biasa, namun banyak kok single parent di luar sana yang berhasil membesarkan anaknya seorang diri.”
“Aku bangga padamu, Han.”
Kata-kata itu tulus dari dalam hati Lona. Jika dia ada di posisi Hanna, dia mungkin tidak bisa melakukannya dengan penuh ketegaran seperti itu. Hanna benar-benar hebat dan seharusnya dia berkaca dari dia.
“Oh iya, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Hanna bangkit dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dia menunjukkan foto hasil USG yang dia lakukan tadi siang saat dia di rumah sakit. Bobby memaksa Hanna untuk melakukan USG memeriksa keadaan bayinya karena Hanna sempat pingsan. Bobby bilang dia hanya ingin memastikan keadaannya. Tapi ada bagusnya juga. Hanna jadi bisa mencetak foto USG ini untuk dibawa pulang.
“Dokter bilang usianya delapan minggu dan dia sekarang masih seukuran biji kacang, masih sangat mungil.” Hanna tersenyum.
“Dan saat aku...mendengar detak jantungnya untuk pertama kali, ada perasaan aneh yang menjalar di dadaku, perpaduan antara kebahagiaan dan juga kesedihan. Aku..nggak bisa menggambarkannya sama sekali.”
“Bayi ini tumbuh bersamamu, tentu saja kamu akan terharu, Han.”
Hanna tertawa kecil. Dalam hati Lona mulai merasa tenang dengan perubahan wajah Hanna. Setidaknya wajah itu tidak lagi muram dan mulai kembali tersenyum. Sedari tadi wajah Hanna sangat tidak enak untuk dilihat -selain juga karena wajahnya pucat, namun sekarang saat dia tersenyum, Lona bisa sedikit tenang.
“Aku akan jadi Ibu angkatnya.”
Keduanya tertawa lebar. Hanna memeluk Lona, lalu menyurukkan kepalanya ke leher sahabatnya itu. Hanna sangat beruntung memiliki Lona yang selalu mendukungnya dalam segala hal. Lona memakluminya, memahaminya dan tidak memaksanya. Walau dia selalu ceplas ceplos, namun saat berada dalam keadaan serius seperti ini Lona selalu bisa menahan diri.
“Kamu baca saja majalahnya dulu. Aku akan buatkan sesuatu untukmu.”
Hanna mengangguk. Dia mengeluarkan majalah-majalah yang dibelikan Lona untuknya walau sebenarnya dia bukan tipikal orang yang suka membaca majalah. Namun saat suasana hatinya seperti ini, mungkin tidak ada salahnya mencoba menghibur diri lewat bacaannya yang berbeda.
“Aku memilih majalah keluaran terbaru. Siapa tahu kamu ingin melihat-lihat brand terbaru yang kamu inginkan dan...”
“Ahh...”
Suara teriakan Hanna membuat Lona terperanjat dan nyaris menjatuhkan telur di tangannya. Dia meletakkan benda itu dan berlari menuju Hanna yang sudah berdiri sambil menunjuk ke majalah yang baru dia beli.
“Kamu baik-baik saja?”
Hanna mematung. Tubuhnya tiba-tiba saja tidak bisa bergerak karena shock dan kaget seolah-olah kakinya sudah dipaku ke lantai yang beralaskan karpet beludru yang diinjaknya. Tangannya masih menunjuk ke arah majalah dan sekali lagi membuat Lona khawatir.
“Ada apa? Apa yang kamu tunjuk?”
“Dia...Dia..”
Lona mengernyit. Dia mengikuti arah tangan Hanna dan sama sekali belum mengerti. Dia siapa? Apa yang dia maksud?
“Di..dia Liam.”
“Liam?” Lona kembali mengernyit.
Sementara Hanna sibuk mencari handphonenya, Lona meraih majalah dengan cover laki-laki bertubuh atletis dengan postur tubuh menawan, sedang memamerkan koleksi pakaian musim panas.
“Lihat. Mereka dua orang yang sama.”
Lona membandingkan sosok dalam cover majalah dengan foto Liam yang ada di handphone Hanna. Dia mengangkat alisnya. Memang mirip, tapi sedikit berbeda. Atau apa mungkin saat tidur dengan Hanna Liam tidak menggunakan riasan apa pun sehingga keduanya terlihat agak berbeda?
“Apa kamu yakin? Maksudku, di sini dikatakan kalau modelnya bernama Hazer, bukan Liam.”
Hanna memelototkan matanya ke data model cover majalah yang biasa dicantumkan di bawahnya atau di halaman tertentu. Hazer? Kenapa namanya jadi Hazer? Apa mungkin aku salah orang? Tapi perasaanku bilang kalau dia adalah Liam, aku yakin sekali.
“Ada nomor yang bisa kita hubungi.” Lona memencet beberapa nomor itu dan mencoba melakukan panggilan.
“Jangan Na..”
Hanna pikir ini bukan rencana yang baik. Namanya di sini adalah Hazer, bagaimana kalau mereka menghubungi orang yang salah?
Sementara itu ribuan kilometer dari tempatnya, Noah yang sedang asyik bermain game di handphone nya menggerutu manakala dia mendengar bunyi dering dari handphone dengan nomor yang mereka cantumkan di semua media. Astaga, siapa lagi yang akan ku hadapi sekarang? Kenapa kalian tidak bisa memberikanku waktu untuk santai sejenak? Pekik Noah. Dia meletakkan handphonenya, menarik nafas sembari menatap Liam yang berada tidak terlalu jauh darinya, sedang melakukan pemotretan solonya.
Wajah Liam ketika marah jauh lebih mengerikan dibandingkan harus menghadapi orang-orang yang iseng menelepon mereka. Noah akhirnya menyerah, game nya toh bisa dilanjut nanti. Dengan sedikit menggerutu dia mengangkat telepon yang nyaris terputus itu.
“Halo...”
Keduanya bisa mendengar suara laki-laki dari seberang. Lona sudah melakukan panggilan, tidak ada salahnya jika mereka bicara sebentar, kan? Sambil menekan speaker handphonenya, dia memandu Hanna untuk duduk di sofa karena tidak ingin Hanna terlalu lama berdiri.
“Halo. Apa aku bisa bicara dengan Liam? Ah, maksudku Hazer.”
Tidak ada satu orang pun dalam industri ini yang tahu nama asli Hazer kecuali para petinggi pemilik brand mewah itu. Itu artinya dia adalah..
“Kamu..Hanna?”
Keduanya saling beradu pandang. Hanna? Darimana dia tahu namaku? Apa dia benar-benar Liam?
“Kamu pasti Hanna, bukan? Thank God Hanna akhirnya kamu muncul juga...” –dan akhirnya aku bisa santai kembali tanpa perlu mengurusi benda yang berdering tiap menit ini.
“...Liam masih ada pemotretan, mungkin akan selesai sekitar satu jam lagi. aku akan memintanya menghubungimu kembali.”
Lona langsung memberikan handphonenya pada Hanna dan menyuruhnya bicara.
“Oh, maaf sebelumnya. Aku menggunakan handphone temanku dan ini adalah nomornya. Jika kamu tidak keberatan aku akan mengirimkan nomor pribadiku dan tolong minta Liam untuk segera menghubungiku. Ada hal penting yang harus ku bicarakan dengannya.”
“Baiklah. Aku akan memintanya menelepon nomormu.”
Setelah sambungan terputus, Hanna segera mengetik angka demi angka nomor handphone nya dan segera mengirimnya. Dia menatap Lona dan memeluknya dengan haru.
“Lona, terimakasih banyak sudah menuntunku pada Liam. Terimakasih banyak karena kamu selalu ada untukku. Thank you, Na.”
Lona mengelus punggung Hanna. Syukurlah dia masih bisa melakukan hal baik untuk Hanna. Sejak dia mengetahui Hanna hamil, setiap detik dalam hidupnya berubah menjadi mimpi buruk. Dia menyalahkan dirinya untuk apa yang terjadi pada Hanna, namun sekarang sepertinya semuanya akan membaik. Mereka sudah menemukan Liam, dan pada akhirnya bayi dalam kandungan Hanna akan menemukan Ayahnya.
*
“Gadis itu sudah menghubungiku, thank God, aku nggak perlu lagi bolak balik mengangkat telepon-telepon yang nggak penting.”
Noah melemparkan satu botol minuman dan dengan cekatan Liam menangkapnya, seolah-olah dia adalah catcher dalam permainan softball. Liam menatapnya tak percaya. Benarkah? Benarkan Hanna menghubunginya? Jadi akhirnya penantiannya akan berakhir dan dia bisa kembali ke pelukan Hanna? Tidak, maksud Liam dia tidak melulu memikirkan pelukan hangat wanita itu. tapi dia memang menginginkan Hanna lagi, sekali lagi, atau kalau memungkinkan selamanya.
“Mana nomornya?”
“Aku sudah menyimpan kontaknya di handphonemu dengan nama Nyonya Andreas.” Kelakar Noah.
Well, itu tidak terlalu buruk. Hanna Andreas adalah nama yang bagus, sangat bagus jika dia membawakan nama belakang Liam. Namun itu bisa dibahas belakangan. Sekarang yang harus dia lakukan adalah menghubungi Hanna secepatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments