“Kamu baik-baik saja?”
Lona memegangi dan menggulung rambut Hanna saat Hanna kembali memuntahkan isi perutnya ke dalam toilet. Hanna menggeleng. Setelah membersihkan dirinya dia duduk di atas toilet dengan lemah. Ini kali kedua sepanjang pagi hari ini dia muntah-muntah hanya karena memakan roti isi yang biasanya dia makan setiap pagi. Morning sickness, salah satu gejala yang kemarin dia baca di internet akhirnya dia alami juga.
“Aku nggak tahu kalau hamil bakalan sesakit ini.” batin Hanna.
Mungkin ini juga salah satu alasan kenapa Mamanya hanya mau melahirkannya, tidak mau menambah adik untuknya lagi. Padahal Hanna ingat sewaktu dia kecil, dia merengek habis-habisan pada Mamanya untuk memberinya adik. Ternyata hamil memang sangat berat dan sangat menyakitkan.
“Bagaimana kalau kita ke dokter? Mungkin dokter bisa memberimu saran untuk menangani mualmu ini.” usul Lona.
Lona juga tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak pernah hamil jadi dia memang buta sama sekali soal apa yang dialami Hanna kali ini. Biasanya dia punya solusi untuk semua masalah Hanna, namun kali ini, dia menyerah.
“Nanti saja. Aku mau istirahat sebentar.”
“Baiklah. Aku nggak bisa menemanimu sekarang karena aku harus ke kantor. Nanti pulang dari kantor aku akan mengantarkanmu ke dokter, bagaimana?”
Hanna mengangguk setuju. Lona menggenggam tangan Hanna, menuntunnya kembali ke kamar dan membantu Hanna merebahkan diri. Setelah itu dia menyelimuti Hanna dan meletakkan segelas air minum di atas nakas, siapa tahu Hanna haus nanti.
Setelah Lona pergi, Hanna menatap langit-langit kamarnya. Bagaimana ini? Jika aku tidak bisa menemukan Liam, apakah aku harus...aborsi? Tapi, anak ini jelas tidak salah. Aku yang melakukan kesalahan dengan tidur bersama laki-laki yang tidak ku kenal. Seharusnya dia tidak menanggung kesalahanku dengan mengorbankan nyawanya sendiri.
Astaga, kepalaku rasanya mau pecah.
Hanna setengah duduk, menajamkan pendengarannya saat dia mendengar suara ketukan pintu. Siapa yang datang? Lona tidak mungkin mengetuk pintunya dan dia baru saja pergi. Kenapa ada orang yang bertamu pagi-pagi seperti ini?
“Pak Bobby..”
Mata Hanna membulat. Untuk apa dia di sini? Kenapa akhir-akhir ini dia sangat perhatian padaku?
“Kenapa kamu cuti? Kamu sakit?”
Loh, apa urusanmu dengan kesehatanku? “Hanya nggak enak badan Pak. Besok mungkin sudah bisa masuk kantor.”
“Aku membawakanmu sarapan. Kamu sudah makan?”
Please, jangan tunjukkan makanan apa pun padaku. Kamu tidak tahu betapa bencinya aku terhadap semua jenis makanan sekarang. Bahkan makanan yang dulu setiap hari ku makan karena kelezatnya, sekarang jadi terasa hambar dan hanya membangkitkan rasa mualku.
“Kamu nggak mau mengizinkanku masuk ke rumahmu?”
Apa lagi ini ya Tuhan. Aku hanya ingin istirahat, kenapa kamu malah minta masuk ke dalam? “Aku pikir tadi Bapak hanya mampir. Silahkan masuk kalau gitu.”
Hanna bergerak dengan malas dan lemah karena sedari tadi tidak ada makanan yang bertahan di dalam perutnya. Dia sangat lapar, mulutnya ingin mencicipi semua makanan tapi perutnya tidak bisa diajak bekerja sama. Jangankan sampai memakannya, mencium baunya saja Hanna rasanya mau muntah.
“Kamu yakin baik-baik saja? Wajahmu pucat soalnya.”
“Yakin Pak. Hanya perlu istirahat saja.” ujar Hanna.
Hanna memperhatikan gestur tubuh Bobby yang sedang mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumahnya. Apa dia sedang menghina rumahku? Mungkin ini tidak ada apa-apanya dibanding rumahnya, tapi aku rasa tidak perlu mendetail seperti itu saat melihat rumahku.
“Rumahmu cukup nyaman. Tidak terlalu luas tapi sangat nyaman.”
Memang. Karena itulah Hanna membelinya dulu. Rumah ini cocok dengan konsep rumah masa depan, nyaman dan tenang, jauh dari keramaian.
“Hanna..”
“Ya Pak.”
“Bobby saja.”
Bobby saja? Kening Hanna melengkung.
“Aku tahu kamu mungkin merasa bertanya-tanya kenapa aku mendekatimu. Aku nggak akan menyimpan semuanya lagi sekarang dan aku akan jujur padamu.”
Apa ini? Kenapa raut wajahnya terlihat sangat serius?
“Aku menyukaimu..”
Hanna mematung. Ini kabar mengejutkan yang kedua yang didengarnya selama dua hari ini setelah kabar kehamilannya. Namun yang ini tidak serta merta membuatnya stress berat.
“..sudah sejak dua tahun lalu setelah aku melihatmu pertama kali di gala dinner perusahaan kita. Saat itu aku tahu kamu punya pacar, jadi aku memutuskan untuk memendam perasaanku padamu. Hingga...beberapa minggu lalu, aku mengetahui jika kamu dan pacarmu sudah putus. Itu sebabnya sekarang aku berani mengutarakan perasaanku, kamu mengerti kan?”
Mengerti apanya? Kenapa dia mendadak mengatakan itu semua? Ada banyak hal yang sedang dipikirkan Hanna, kenapa dia malah menambah bebannya? Dia memang cukup cantik –menurut dia sendiri, tapi Bobby adalah seorang CEO yang tampan dan punya banyak relasi serta kenalan. Kenapa dia tidak jatuh cinta pada salah satu dari mereka saja? Kenapa pula harus Hanna?
“Pak Bobby, aku minta maaf..”
“Bobby saja.”
Hanna menghela nafasnya. Dia menatap wajah Bobby dengan serius namun mendadak mualnya kembali muncul setelah mencium aroma parfum Bobby yang terkena kipas angin dan terbawa padanya. Walau sudah berusaha, Hanna tetap saja tidak sanggup. Dengan setengah membungkukkan tubuhnya, Hanna berlari menuju kamar mandi.
“Han..kamu baik-baik saja?”
Bobby mengekor dari belakangnya. Dia terus memperhatikan Hanna namun dia masih belum tahu apa yang dialami Hanna dan karena tidak ingin di cap sok dekat, Bobby hanya bisa menahan dirinya dengan berdiri di pintu kamar mandi.
Hanna masih memegangi perutnya saat dia membilas wajah dan berkumur. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin dengan nafas tersenggal. Tiba-tiba wajahnya berubah pucat, kepalanya seperti berputar-putar dan pandangan matanya gelap.
Hingga...
Saat membuka mata, Hanna bisa mencium aroma desinfektan khas rumah sakit. Dia tidak banyak bergerak, namun sedikit rasa nyeri di tangan kirinya menyadarkannya jika dia sedang dipasangi selang infus. Astaga, apa yang terjadi denganku? Kenapa aku ada di sini?
“Kamu sudah bangun?”
Bobby masuk ke ruangan di mana dia dirawat. Hanna berusaha duduk namun tidak berani menatap Bobby. Dia pasti sudah tahu apa yang terjadi denganku. Memalukan. Kenapa harus dia yang ada di sini dan bukan Liam?
“Bapak..”
“Bobby saja, Han!”
“Bobby..”
Hanna mengangkat wajahnya. Walau ini memang memalukan, dia tidak bisa menyembunyikannya terus. Setidaknya jika dia memberitahu Bobby dengan mulutnya sendiri, dia masih punya harga diri di matanya –jika masih ada.
“..aku tahu kamu sudah mengetahui apa yang aku alami sekarang.”
“Apa yang kamu alami memangnya?”
“Aku sedang hamil, dan....aku nggak tahu bagaimana mengatakannya tapi aku nggak tahu di mana Ayah bayi ini.”
“Lalu?”
“Ini sekaligus menjawab apa yang kamu katakan di rumah tadi.”
“Memangnya ada yang salah dengan kehamilan? Teman-temanku banyak yang hamil duluan sebelum menikah, biasa saja.”
Seandainya Bobby tahu bagaimana beratnya pergulatan hati Hanna melalui ini semua, mungkin dia tidak akan bicara sesederhana itu. Kehamilan ini tidak ada dalam rencananya jadi ini cukup membuatnya setengah gila. Jika dia tidak bisa menemukan Liam, maka rencana terburuknya adalah dia akan menjadi single parent. Dia tidak mungkin melakukan aborsi, anak ini jelas tidak bisa dilenyapkannya begitu saja karena itu berarti dia sangat egois. Dia tidak ingin melakukannya.
“Kalau kamu nggak tahu di mana Ayah bayi ini, kenapa nggak aku saja? Aku siap menjadi Ayahnya.”
“Apa?”
“Aku sudah bilang kalau aku menyukaimu jadi aku nggak keberatan menerima apa pun, semuanya tentang kamu. Jadi, kalau kamu berkenan, aku akan menjadi Ayahnya.”
*
“Apa benar-benar nggak ada seseorang bernama Hanna yang menghubungimu?”
Liam duduk di samping Noah yang sedari tadi hanya memainkan game di handphonenya sementara dia sudah berlari di treadmill selama hampir satu jam. Pundak Liam naik turun, ritme nafasnya cepat dan dia sudah lelah. Melihat Noah yang sibuk dengan handphonenya, rasanya sia-sia saja mereka mengeluarkan banyak uang untuk menyewa tempat gym ini agar bisa mereka gunakan dengan leluasa.
“Kan aku sudah bilang, aku akan langsung memberitahumu jika gadis itu menghubungiku. Namun sejak kita mencantumkan nomor itu, nggak ada satu pun perempuan yang bernama Hanna di antara ratusan orang yang menelepon.”
Liam mendesah. Sesulit itukah mencari Hanna? Atau, apa mungkin ini saatnya dia menyerah untuk mencarinya dan kembali fokus mencari mangsa yang baru? Namun Hanna sudah membuat standar yang baru untuknya. Gadis itu membuatnya hilang arah dan tidak berniat mencecap perempuan mana pun lagi, kecuali dia. Liam hanya menginginkan Hanna, tidak yang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments