Way Back To You
“Sudah ku bilang laki-laki itu hanya memanfaatkanmu, tapi kamu nggak mau mendengarkanku sedikit pun.”
Hanna memaksa dirinya untuk tersenyum pada Lona, sahabat dekatnya.
“Aku menyesal.”
Hanna harus berteriak agar suaranya bisa terdengar di tengah hingar bingar suara musik yang memekakkan telinga. Entah kenapa orang-orang dewasa suka berada dalam ruangan ini, berdesak-desakan, berhimpitan, namun masih tetap bisa tertawa terbahak-bahak walau suara musik itu bisa memecahkan gendang telinga.
Namun karena ulah Jhon, pacarnya yang dua minggu lalu ketahuan selingkuh olehnya, dia terdampar dalam bangunan ini. Ya. Jhon nyaris membuat dunianya jungkir balik saat dia memergoki Jhon sedang check in di salah satu hotel bintang lima dengan salah satu teman kerja Hanna. Ternyata mereka sudah memadu kasih selama hampir tiga tahun, itu artinya sejak awal Hanna dan Jhon berpacaran, dia juga berpacaran dengan perempuan itu.
Setelah mengalami pasang surut perubahan emosional yang sangat luar biasa, akhirnya dia menyerah pada ajakan Lona untuk membawanya menjernihkan pikirannya ke salah satu club malam mewah di tengah kota. Untuk kali pertama selama dua puluh enam tahun hidupnya, Hanna, si gadis kutu buku -itu adalah julukan yang diberikan oleh Lona padanya karena dia tidak suka bersosialisasi- menginjakkan kakinya di tempat yang paling dia hindari.
Setidaknya berada di sini dia bisa melenyapkan sisa bayangan Jhon, semoga saja.
“Ayo ikut menari.”
Lona berteriak di telinganya. Menari? Tidak, terimakasih. Berada di sini sudah cukup membuat telinganya berdengung, dia tidak ingin menambah masalah lain. Dia ke sini hanya untuk bersenang-senang dan melompat-lompat di antara lelaki seperti yang orang-orang itu lakukan bukanlah tujuannya.
Hanna menggeleng, lalu melihat wajah Lona berdecak kecewa. Sejak dulu keduanya memang memiliki sisi yang berbeda seperti dua buah mata uang. Hanna lebih pendiam, lebih suka menghabiskan waktunya dalam kamar untuk sekedar membaca buku atau mendengar musik klasik favoritnya. Berbeda dengan Lona yang selalu menjadi pusat perhatian karena kecantikan dan keluwesannya. Namun walau berbeda, persahabatan keduanya tetap terjalin hingga sekarang, dan Hanna sangat bersyukur karena Lona adalah sosok yang menguatkannya.
Hanna mendesah. Dia melirik jam tangannya, dan mulai gusar. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, seharusnya dia sudah mencuci wajah dan berada di tempat tidur sekarang, memeluk guling dan tidur dengan nyenyak. Lona mendelik, meraih pergelangan tangan Hanna.
“Jangan pernah berpikir kamu akan pulang lebih dulu. Han, ayolah. Bebaskan dirimu sekali ini saja. Lihat apa yang dilakukan Jhon padamu. Itu karena kamu terlalu polos dan terlalu disiplin pada dirimu sendiri. Hidup hanya sekali Han, nikmati saja masa mudamu. Kalau kamu nggak mau ikut menari di bawah, biar aku saja dan kamu, tetap di sini.”
Lona memperbaiki mini dress berwarna hitam dengan potongan offshoulders yang membalut tubuhnya. Dia memainkan matanya pada Hanna, dan gadis itu terpaksa membalasnya dengan senyuman.
“Oh, satu lagi. Aku sudah mengundang Kevin ke sini karena aku bilang aku ingin mengenalkan seseorang padanya. Aku sudah memberitahu nomor meja kita, jadi pastikan kamu ada di sini hingga dia datang.”
Kevin siapa lagi? Astaga, Lona benar-benar tidak mengizinkannya berdiam diri setelah Jhon menghianatinya. Hanna tahu, apa yang di lakukan Lona hanya agar dia bisa melupakan Jhon secepatnya dan bisa melanjutkan kehidupannya. Tapi bukankah sedikit terburu-buru mengenalkan dia dengan laki-laki lain sekarang? Dia belum siap, dan perasaannya masih morat marit.
Hanna membuka handphonenya, mengecek siapa tahu orang tuanya kembali mengirim pesan padanya. Sejak dia memberitahu mereka jika hubungannya selesai, orang tuanya menghujani handphone nya dengan panggilan dan pesan, hampir setiap jam. Tujuannya memang hanya untuk memastikan dirinya baik-baik saja. Mereka khawatir karena Hanna terlalu mengagung-angungkan Jhon pada mereka dulu, menyatakan jika Jhon adalah laki-laki terbaik, yang paling tepat untuknya. Namun sekarang semua tinggal cerita yang memalukan. Sial, sedari tadi Jhon selalu mengambil alih otaknya.
“Kamu baru putus dari pacarmu?” tiba-tiba seorang laki-laki mendatanginya.
Hanna mengangkat alisnya, keberatan untuk menjawab pertanyaan yang sudah membahas tentang privasinya itu.
“Namaku Leon. Aku nggak sengaja mendengarnya pembicaraan kalian tadi. Boleh aku duduk di sini?”
“Kalau aku bilang tidak, apa kamu akan tetap duduk?” Hanna mulai merasa tidak nyaman.
Mungkin Lona benar. Kemampuan sosialnya perlu diasah dan dikembangkan lagi karena dia benar-bemar tidak suka berinteraksi dengan orang baru. Laki-laki itu hanya tersenyum, mengangkat segelas whisky di tangannya pada Hanna.
“Aku pikir kamu gadis yang cukup menarik.”
Bukannya pergi, Leon malah duduk di sampingnya. Tidak tahu malu, sungut Hanna. Namun dia masih berusaha menahan emosinya, karena kedatangannya ke sini untuk melepas penat.
“Kalau kamu mau, kita bisa bicara di tempat lain dengan suasana yang lebih hening, dan nyaman.”
Harga diri Hanna benar-benar diinjak. Dia tahu ke mana arah pembicaraan laki-laki ini, dan dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu satu lagi laki-laki brengsek di sini.
“Kamu pikir aku perempuan apa?” Hanna berdiri.
“Enyah dari hadapanku sekarang juga.”
“Jangan munafik.” Leon menjelajahi tubuh Hanna dengan kedua bola matanya.
“Gadis sepertimu hanya membuat permainan semakin menarik dan sedikit menantang.”
Well, laki-laki itu tidak sepenuhnya salah. Tampilan Hanna saat ini memang tidak menggambarkan gadis kutu buku, julukan yang disandingnya. Lona memilihkan gaun merah menyala padanya dengan belahan di belakang yang nyaris mengekspos semua punggung mulusnya. Belum lagi make up berat dengan warna lipstik yang senada dengan gaunnya. Jangan lupakan stiletto sepuluh sentimeter yang membungkus kakinya, membuat Hanna berjalan kaku seperti robot. Dalam sekejap, Hanna menjadi orang yang berbeda.
Hanna tidak menyahut. Dia berusaha tidak menggubris Leon walau laki-laki itu mulai meracau hal-hal yang bahkan tidak terdengar oleh Hanna. Perlahan, rasa bosan mulai menghampirinya. Sia-sia saja sepertinya dia mengikuti saran Lona untuk bersenang-senang di sini. Bukannya rileks, dia malah harus menghadapi laki-laki stengah mabuk yang menatapnya rendah.
“Jauhi dia. Kamu bukan tipenya.”
Lona, yang sedari tadi melihat percakapan keduanya menyadari jika Hanna terganggu. Dia terpaksa meninggalkan pasangan dansanya dan mendatangi meja mereka demi menyelamatkan mood Hanna. Jika tidak,mungkin Hanna akan mencecarnya dengan banyak tuntutan dan keluhan atas kejadian malam ini padanya hingga beberapa hari ke depan. Lona tidak ingin mendengar ceramah Hanna.
Seperti biasa, aura Lona yang mematikan membuat Leon menggeser tubuh hingga memaksanya berdiri meninggalkan meja. Hanna berdecak kagum. Dengan segera dia mengangkat jempolnya pada Lona dan dibalas senyuman oleh sahabatnya itu. Kemudian Lona menlesat kembali menuju lantai dansa dan menari seperti orang gila.
*
Seorang laki-laki bertubuh tinggi menjulang dengan tubuh atletis memasuki club malam bersama beberapa orang yang tampak seperti bodyguardnya. Dia menggunakan masker dan kaca mata hitam, nyaris membuat wajahnya tidak bisa dikenali. Pakaian yang dia kenakan pun semua berwarna hitam, mulai dari kaos hitam, jaket hitam, celana kargo hitam, dan jangan lupa topi hitam yang menutup kepalanya.
Dia menurunkan raybean hitamnya hingga setengah menggantung di hidungnya yang tinggi dan mancung.
“Lumayan padat.” Serunya.
Ya, malam minggu seperti ini biasanya club malam lebih padat dari biasanya. Akan ada banyak pemuda pemudi yang datang untuk melepas penat setelah seminggu full bekerja. Dengan susah payah, dia akhirnya bisa duduk di meja yang sudah disediakan untuknya.
Sebagai anak pemilik club ini, Liam Andreas tidak memiliki kesulitan apa pun untuk mencari tempat duduk walau ada ribuan orang yang memadati gedung ini. Itu karena dia sudah punya tempat duduk pribadi yang terletak di paling ujung ruangan namun dia masih bisa mengamati seisi ruangan itu dari sana. Dengan liar, dia mengedarkan matanya, mencoba mencari sosok perempuan yang bisa diajaknya menghabiskan satu malam bersamanya.
Liam sangat suka mempermainkan perempuan dan untuk mendapatkannya, dia tidak mengalami kesulitan. Perempuan normal tentu tidak akan menolaknya. Dengan postur setinggi seratus delapan puluh lima senti, dan paras wajah yang nyaris sempurna, siapa pun tidak bisa menolak Liam. Namun terkadang dia harus berhati-hati. Profesinya yang merupakan seorang model merangkap dosen di salah satu universitas membuatnya harus pintar menyembunyikan indentitasnya.
Liam sama sekali tidak mempercayai perempuan, bahkan nyaris membencinya. Semuanya berawal dari luka batinnya ketika dia masih kanak-kanak. Ibunya, perempuan yang tidak bertanggung jawab akan kehidupannya meninggalkannya di halaman panti asuhan. Dia ditemukan oleh pengurus panti dalam keadaan nyaris mati karena kelaparan, kedinginan, dehidrasi hebat dan juga tubuh yang dikerubuti oleh semut yang membuat kulitnya memerah hingga seminggu lebih. Dia bahkan harus menginap di rumah sakit demi memulihkan tubuhnya yang masih bayi merah pada saat itu.
Ibu yang tidak bertanggung jawab itu membuat hidupnya menderita. Berada di panti memaksa dia harus bersaing dengan anak-anak lain agar mereka bisa diadopsi oleh orang-orang kaya yang datang untuk mengangkat mereka menjadi anak. Persaingan itu membuat Liam disiksa oleh teman-teman panti asuhan yang lain sebab kebanyakan keluarga akan tertarik pada Liam, dikarenakan wajahnya yang memang sudah tampan sejak dia kecil.
Namun setelah melewati masa-masa sulit yang menyakitkan, Liam akhirnya menemukan keluarga yang mengasuhnya. Seorang duda -yang ditinggal oleh istrinya karena kabur bersama laki-laki lain-, seorang pengusaha properti yang baru kehilangan anaknya karena penyakit mematikan mengangkat Liam sebagai bagian dari keluarganya. Ayah angkatnya itulah yang perlahan mendidik Liam, mengajarinya bagaimana mengendalikan emosi yang meluap-luap, serta menyediakan kasih sayang yang sebelumnya tidak pernah didapat olehnya.
Tapi walau hidupnya mulai nyaman, luka yang dirasakannya ketika anak-anak memaksanya “memusuhi” semua perempuan. Baginya, perempuan hanya objek pemuas hasratnya, tidak lebih berharga dari itu.
Liam sangat mencintai Ayah angkatnya. Dan tercatat hanya ada satu moment di mana keduanya ribut, yaitu ketika Ayahnya memintanya menjadi seorang dosen. Namun setelah berpikir panjang, Liam akhirnya setuju, walau dengan diam-diam tetap mengikuti sekolah modeling karena dia merasa di sanalah passionnya. Akhirnya, Liam bisa menjadi seorang model dan juga seorang dosen.
Ketika dia mengajar, dia akan mengubah gaya pakaiannya, mencoba mengikuti gaya pakaian kuno dan enksentrik dosen kebanyakan. Dan ketika dia menjalani pemotretan atau berjalan di catwalk, make up dan dandanan yang berat membuat jiwa dosennya menghilang. Hingga saat ini, tidak ada orang kampus yang mengenalinya sebagai Hazer, nama panggung yang dia gunakan dalam dunia modeling.
Namun ada satu yang dia sesali menjadi seorang model. Apalagi kalau bukan kebebasannya yang terenggut. Semakin lama, dia semakin menyadari kalau terkadang dia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Kepopulerannya sebagai seorang Hazer membuatnya mau tak mau harus menutupi tubuh dan wajahnya ketika dia bepergian. Dan urusannya dengan perempuan juga menjadi lebih rumit.
Dia pernah beberapa kali bertemu perempuan yang sudah ditidurinya, ketika mereka tahu jika dia adalah Hazer, mereka melakukan berbagai cara agar bisa kembali padanya. Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan palsu seperti pelecehan dan bahkan kehamilan yang bahkan sama sekali tidak pernah terjadi. Soal tidur bersama, itu tidak termasuk pelecehan karena mereka sudah sepakat, dan soal kehamilan, tentu saja tidak akan pernah terjadi karena dia selalu pakai pengaman.
“Sudah menemukan mangsamu?"
Noah Belwijar, sahabat dekat sekaligus managernya duduk di samping Liam. Liam tidak menggubris, dia masih sibuk menemukan target yang sempurna, yang tidak mengenalinya tentu saja.
“Gimana dengan cewek gaun pastel itu? Dia cukup cantik.”
Liam mengangguk ke arah perwmpuan yang ditunjuk Noah.
“Lumayan.” -tapi tidak untuknya.
Dia tidak tertarik pada perempuan mana pun malam ini, kecuali satu orang gadis yang mengenakan gaun merah yang sedang sibuk mengacuhkan laki-laki yang mendekatinya. Kenapa kamu mendekati perempuan dengan cara seperti itu? Murahan! Gumam Liam.
Daya tarik perempuan itu semakin meningkat baginya saat seorang perempuan mendatangi meja perempuan itu untuk mengusir laki-laki tadi. Well, cukup menarik. Sepertinya perempuan itu tidak senang diganggu, tapi kenapa dia masuk ke club?
“Liam, aku ingin bicara dengannya karena aku benar-benar menginginkannya. Dia gadis yang sangat sesuai dengan tipeku.”
“Silahkan.” Seru Liam.
“Kamu benar-benar belum menemukan sosok yang kamu inginkan? Ada begitu banyak perempuan di sini, semuanya sangat memukau dan cantik. Masa kamu nggak menginginkan salah satu dari mereka?” Noah berdecak.
“Heh, bahkan dengan mata tertutup kamu bisa menunjuk mereka dan kamu nggak akan rugi. Kenapa harus pasang target tinggi sih?"
“Urus saja urusanmu dan gadis pastel mu itu.” Saran Liam.
Siapa bilang dia belum menemukan targetnya? Kedua bola matanya sudah terpaku pada gadis berpakaian merah menyala dengan tubuh seksi itu. Tapi Liam bisa menyadari jika dia tidak nyaman dengan pakaiannya, juga suasananya. Sepertinya dia target yang sangat menarik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments