“Terimakasih banyak, Pak.”
Hanna berdiri di depan rumahnya yang dibelinya setahun yang lalu. Tadinya dia dan Jhon sepakat untuk menjadikan ini rumah masa depan mereka setelah menikah. Namun pengkhianatan laki-laki itu membuat Hanna mengurungkan niat berbagi aset padanya. Ini hasil jerih payahnya, dia tidak sudi berbagi dengan laki-laki brengsek sepertinya.
“Jangan lupa minum obatmu jika rasa sakitnya tidak bisa lagi kamu tahan. Ingat apa kata dokter tadi, gipsnya jangan sampai basah.”
Ada ribuan pertanyaan yang muncul di kepala Hanna ketika menyaksikan sikap Bobby yang tidak biasanya seperti ini. Dia hanya karyawan biasa, hanya seorang Kepala Keuangan. Kenapa tiba-tiba Bobby menunjukkan sikap yang berbeda padanya?
Seharian ini, setelah pulang dari rumah sakit, Bobby juga mengajaknya makan siang. Setelah itu mereka berputar-putar di mall, menawarkan Hanna beberapa barang mewah -seolah-olah dia adalah pramuniaga brand itu, namun tentu saja Hanna menolak. Setelah lelah mengitari mall, dia kembali mengajak Hanna makan malam sebelum mengantarnya pulang. Hanna sudah berkali-kali mengatakan tidak usah namun CEOnya itu tampaknya mengabaikan apa yang dia katakan.
“Kamu benar-benar bisa sendirian? Tidak butuh seseorang untuk membantu kegiatanmu?”
Apa urusannya dengan kehidupan pribadiku? “Bisa Pak. Aku..”
Keduanya diam bersamaan saat Lona muncul membawakan beberapa bungkusan. Syukurlah, desis Hanna. Dia memang sudah mengirimkan pesan pada Lona agar sahabatnya itu segera meluncur ke rumahnya. Suasana yang ditimbulkan oleh kedekatan Bobby yang tiba-tiba sangatlah canggung. Hanna biasa mengenal Bobby dengan gaya CEOnya yang khas, dingin, cuek, tapi memang cukup berkahrisma -namun tidak bisa menandingi kharisma Liam. Namun tetap saja Hanna tidak bisa bergaul dengan leluasa dengan Bobby.
“Aku akan merawatnya, terimakasih sudah mengantar Hanna. Namaku Lona.”
Lona menjulurkan tangannya. Cih, cibir Hanna. Lagi-lagi Lona masih menyempatkan diri mencari mangsa empuknya di tengah-tengah hawa canggung seperti ini.
“Aku menitipkan dia padamu., tolong jaga dia.”
Bobby meninggalkan keduanya tanpa menerima jabatan tangan Lona. Gadis itu hampir berteriak sembari melemparkan barang bawaannya, seandainya Hanna tidak menahannya. Makanya, jangan selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan, sungut Hanna lagi.
“Jadi, siapa laki-laki yang nggak sopan itu?” Lona meletakkan semua barang bawaannya di atas meja.
Semua itu adalah pesanan Hanna. Seolah-olah dia adalah kurirnya, Hanna bisa menitipkan barang belanjaannya selama satu bulan padanya.
“Dia atasanku, pemilik perusahaan tempatku bekerja.”
Hanna duduk di kursi kayu, lalu meletakkan tangannya dengan hati-hati. Rasa sakitnya masih terasa dan Hanna hanya bisa menahannya. Setelah dia pikir-pikir, meminum obat penghilang rasa sakit tidak begitu banyak membantunya. Toh dia masih bisa merasakan ngilu hingga ke tulangnya dan obat itu seolah-olah tidak bereaksi padanya.
“Gimana tanganmu? Kenapa laki-laki gila itu mendatangimu di kantor? Apa dia nggak punya etika sama sekali?”
Kalau dia punya etika, tentu saja dia tidak akan selingkuh darinya. Jadi memang bisa disimpulkan jkalau Jhon tidak ounya etika sama sekali.
“Tanganku baik-baik saja. Pak Bobby sudah mengurus mereka bahkan memecat Carissa.”
“Bagus sekali.” Gadis itu memang harus diberi pelajaran karena dia sama bejatnya dengan Jhon.
“Pak Bobby?” Lona mengangkat alisnya.
“Laki-laki yang kamu temui tadi, yang menolakmu.”
“Nggak perlu disebut juga kata ‘menolakmu’ itu.” sungut Lona.
Hanna hanya tertawa kecil. Dia menyandarkan tubuhnya saat Lona mengatakan dia akan mandi. Angan Hanna kembali pada ingatan dimana dia dan Liam menghabiskan malam bersama. Jauh dalam hatinya, Hanna sangat merindukan Liam. Dia sangat ingin melihatnya sekali lagi, menghirup wangi maskulin dari tubuh kekarnya yang akan membangkitkan rangsangan sensual dari dirinya. Dia ingin mendekap Liam, memeluknya hingga rasanya nafasnya mulai tersekat. Tapi di mana dia bisa menemukan Liam?
Foto yang diambilnya diam-diam adalah satu-satunya cara Hanna menghibur diri saat dia merindukan Liam. Sudah seminggu sejak kejadian itu, Hanna masih terus mendambakan Liam. Konyol dan bodoh, namun Hanna benar-benar terbius oleh semua hal tentang Liam.
Liam, apa kamu memikirkanku juga? Apa kamu merindukanku juga? Kenapa kamu tidak berusaha mencariku? Atau, kamu merasa jika apa yang kita lakukan hanya permainan semata?
*
Liam mengendarai SUV-nya membelah jalanan kota yang macet di tengah-tengah guyuran hujan yang turun sangat lebat. Suasana hatinya sedang buruk karena Noah terus menceramahinya karena dia kehilangan fokus akhir-akhir ini. Liam mengerti kenapa Noah memberondongnya dengan banyak pertanyaan dan juga ceramah khas manager kebanyakan. Minggu lalu dia sedang melakukan pemotretan dengan tema Summer untuk memamerkan salah satu koleksi pakaian musim panas. Sutradara sudah memerintahkan agar dia menekuk lengannya sedikit untuk menunjukkan sisi maskulinnya sehingga pakaian yang dia pakai terlihat lebih mahal. Namun Liam tidak terus meletakkan lengannya ke belakang tubuhnya, hingga sutradara meminta break. Sekecil itu, namun langsung membuat mood semua tim yang sedang melakukan pemotretaan rusak seketika.
Belum lagi kemarin lusa, saat dia syuting salah satu produk minuman elektrolit. Sutradara memintanya untuk tidak menyeka keringat yang jatuh di wajahnya agar membuat tampilannya semakin sporty dan alami sesuai tema minumannya, namun Liam terus mengusapnya hingga mereka juga harus take berkali-kali.
Semua ini hanya karena satu hal. Hanna. Hanna membuatnya tidak bisa berkonsentrasi dan tidak fokus untuk melakukan apa pun. Dan tadi, Noah ‘mengusirnya’ dari rumah dan memintanya berjalan-jalan agar otaknya kembali berjalan normal.
Liam menghela nafas. Dia memutar playlist dari handphonenya dan menyambungkannya ke SUV kebanggaannya. Dia memilih lagu-lagu ballad yang santai dan membuatnya sedikit rileks. Suara klakson bersahut-sahutan saat lampu hijau menyala, seolah-olah semua orang di jalanan ini sedang buru-buru dan tidak bisa sabar menunggu.
Sambil sesekali bersenandung mengikuti lirik lagu yang terpasang, dia menatap jalanan di luar sesekali. Sore hari seperti ini ada banyak pejalan kaki memadati trotoar jalan, kebanyakan dari mereka mungkin baru pulang dari kantor masing-masing.
Tiba-tiba matanya menangkap sosok perempuan yang mirip sekali dengan postur tubuh Hanna, berjalan menggunakan payung berwarna kuning lembut. Liam menepikan mobilnya, namun setelah melihat tanda jika dia tidak bisa parkir di sana, Liam menekan gas hingga berada di tempat yang bebas parkir. Dia tidak ingin menambah masalah untuk Noah karena dia parkir sembarangan dan membayangkan mobil SUV-nya akan diderek membuatnya ngilu.
Liam berlari, menembus hujan mencari-cari sosok perempuan yang menggunakan payung berwarna kuning. Namun dari beberapa perempuan yang memegang payung dengan warna yang sama, tidak satupun dari mereka orang yang Liam cari. Putus asa dan karena tubuhnya sudah basah, Liam kembali ke mobilnya. Dia membuka masker yang menutup wajahnya dan berusaha menarik nafasnya dalam. Masker sialan ini membuat nafasnya tersekat, namun benda ini juga menyelamatkannya agar tidak dikenali oleh orang-orang.
“Hanna, di mana kamu sebenarnya? Apa kita tidak bisa bertemu lagi?”
**
Hanna duduk di cafe dekat dengan tepi jalan, berpangku tangan mengamati orang-orang yang lewat di tengah hujan. Hanna sangat menyukai hujan, dan dari semua musim, mungkin dia lebih memilih musim hujan –asalkan tidak membawa bencana tentu saja. Menurutnya tetesan hujan sangat estetik dan sanggup membuat jiwanya tenang hanya dengan mendengar suara tetesannya.
“Kamu menunggu lama?”
Lona tiba dengan kaca mata hitam yang menggantung di wajahnya. Dia melipat payungnya dan menyandarkannya dekat dengan payung Hanna yang berwarna kuning lembut.
“Kamu baru berbelanja?”
Lona melirik beberapa paper bag yang terletak di dekat kaki Hanna. Hanna hanya mengangguk membenarkan. Setelah keluar dari rumah sakit untuk membuka gips di tangannya, dia tidak ingin buru-buru pulang. Jika dia tidak punya kegiatan apa pun di rumah, otaknya hanya akan membuka rekaman ingatan tentang Liam, semuanya tentang laki-laki itu dan Hanna tidak bisa menahannya. Jadi Hanna memutuskan untuk berkeliling mall, mencari barang-barang yang mungkin dibutuhkannya.
“Sepertinya kamu nggak akan pelit lagi pada dirimu sendiri.”
Hanna tidak pelit. Hanya saja dia sempat berpikir jika dia dan Jhon pasti akan menikah, jadi dia menghemat keuangannya dan berusaha menekan pengeluarannya. Tapi laki-laki itu sudah meninggalkannya, jadi uang yang dia tabung untuk rencana pernikahan itu bisa dia gunakan sekarang. Bagus juga sebenarnya, dia jadi punya uang untuk memanjakan dirinya.
“Thanks.” Lona tersenyum pada karyawan cafe yang menyajikan minuman untuknya.
“Aku memesankan cappucino kesukaanmu tadi.” Ujar Hanna.
“Aku kira kamu akan lama datang, nggak tahunya kita nggak beda jauh waktu tiba di sini.” Ujarnya lagi.
“Waktu kamu meminta bertemu denganku di sini aku langsung meluncur. Kamu pasti punya sesuatu yang mau dibahas, iya kan?”
Hanna mengangguk lemah. Dia mengeluarkan handphonenya dan menunjukkan foto Liam pada Lona, siapa tahu sahabatnya itu mengenalinya.
“Ini...??"
“Liam.” Sahut Hanna.
“Tolong bantu aku mencarinya.”
“Aku pikir kamu sudah melupakannya, ternyata aku salah.” Lona mengamati foto dalam layar handphone Hanna itu.
“Ganteng.” Lona tersenyum sambil menggigit jarinya.
Memang. Wajahnya sangat tampan hingga Hanna bisa ingat semua detail dari wajahnya itu. itu sebabnya dia tidak bisa melupakan Liam dan sangat ingin bertemu lagi dengannya.
“Masalahnya, aku nggak kenal dengannya. Lagipula, kenapa kamu hanya tahu namanya saja sih? Kalaupun kita mencari nama Liam di internet, ada ribuan orang yang menggunakannya dan kita nggak mungkin cek satu-satu. Kamu benar-benar nggak tahu nama belakangnya?”
Hanna menggeleng lemah menyadari jika dia memang benar-benar bodoh, bukan polos. Lona mendesah, mengamati kembali wajah Liam. Tapi wajah ini agak familiar. Di mana aku pernah melihatnya ya?
Hanna kembali menatap jalanan yang semakin sore semakin dipadati oleh pejalan kaki. Hujan belum berhenti, kuantitas yang dicurahkan dari langit masa sama besarnya. Sepertinya hujannya akan awet hingga tengah malam atau bahkan besok, dan Hanna menyukainya. Setidaknya hawa dingin alami dari hujan ini bisa membuatnya sedikit tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments