Suara lenguhan dan ******* terdengar bersahut-sahutan dari dalam kamar motel berukuran 4x4 yang terletak di pinggiran kota. Liam menangkupkan telapak tangannya di atas kepala wanita itu, mencengkeram rambutnya dan perlahan menyatukan tubuh mereka.
Sesekali Liam mencium bibir wanita itu dengan penuh hasrat yang lapar, lalu berpindah turun ke lehernya hingga dadanya. Wanita yang sudah mabuk berat itu –begitulah cara Liam berhubungan badan dengan semua wanita-wanita yang sudah lebih dulu dibuatnya mabuk berat sehingga mereka tidak sadar dengan identitasnya, menggeliatkan tubuhnya sambil sesekali meracau tentang hal yang tidak begitu jelas. Liam selalu memegang kendali atas semua tubuh wanita yang ditidurinya, dan dia bergerak dengan liar di atas tubuh mereka.
Saat Liam akan segera mencapai puncaknya, dia turun mengambil pengaman yang selalu disediakannya di dalam dompet. Tiba-tiba saja dia melihat sosok Hanna berdiri di sudut ruangan, menatapnya penuh kebencian dan berderai air mata sembari memegang perutnya. Liam mematung, tubuhnya membeku dan hasratnya tiba-tiba saja menguap.
“Cepat sayang...” dia mendengar suara lenguhan wanita yang masih tergeletak di atas tempat tidur.
Liam menoleh –merasa jijik dengan wanita yang sudah ditidurinya itu, lalu saat dia kembali memutar arah pandangannya, bayangan Hanna sudah lenyap, tidak lagi ada di sana.
“Sial..sial...sial...”
Liam meninju dinding motel itu berkali-kali. Tidak, Hanna benar-benar membuatnya gila. Di mana-mana dia akan melihat bayangan gadis itu, menangisinya dan air mata itu sekaligus memberitahunya jika dia sangat bejat dan seorang bajingan.
Dengan penuh rasa frustasi, Liam menggulung tubuh wanita yang masih mabuk tak sadarkan diri itu ke dalam selimut namun membiarkan kepalanya menyembul hingga dia masih bisa bernafas. Dia sendiri langsung membersihkan dirinya di kamar mandi sambil sesekali masih berteriak pada dirinya sendiri.
Hanna membuat dirinya menjadi sosok yang berbeda, sosok yang lain yang bahkan dia sendiri tidak paham. Liam tidak pernah, tidak akan pernah menghentikan kegiatan seksualnya di tengah-tengah kepuasannya yang akan mencapai puncak, hanya karena bayangan seorang wanita. Tapi Hanna sepertinya memegang kendali atas perasaannya dan juga akal sehatnya. Bagaimana bisa itu terjadi padaku?
*
Bobby berusaha menerobos kerumunan orang-orang yang memadati club malam dengan memiringkan tubuhnya. Sesekali dia harus berhenti karena berurusan dengan gadis-gadis seksi yang menyapanya dengan sedikit ekstrim –karena mereka kerap menjamah tubuhnya dan bahkan beberapa mencium wajahnya. Semua hal itu adalah pemandangan yang lumrah yang biasa dia lihat dalam club malam.
Biasanya, Bobby akan menolak dengan sopan, namun jika mereka sudah bertindak melewati batas, dia akan menyingkirkan tangan mereka dengan tegas. Setelah berjuang beberapa lama, dia akhirnya berhasil melalui lautan manusia itu dan melangkah dengan tegap menuju sudut ruangan tepat di area belakang club itu.
"Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan datang ke sini." sungut Bobby.
Bobby duduk di samping Liam yang sepertinya sudah setengah mabuk. Sepupu angkatnya itu hanya menyeringai, menunjukkan deretan giginya yang rapi pada Bobby.
"Tumben kamu meminta untuk bertemu denganku.”
"Kita sudah lama nggak ketemu, kenapa kamu pelit sekali?"
Bobby tertawa kecil sambil merangkulkan tangan ke pundak Liam.
“Biar ku tebak, masalah perempuan?”
Liam masih tidak menyahut. Dia kembali menenggak whisky di dalam gelasnya hingga habis, membuat Bobby menggeleng-gelengkan kepalanya. Bobby dan Liam adalah sepupu angkat. Ayah angkat Liam dan Ayah Bobby adalah kakak adik, dan Liam secara tidak langsung adalah Kakak Bobby. Walau tidak punya hubungan darah, hubungan keduanya lebih dari itu. Keduanya kerap bertemu, saling memberitahukan masalah masing-masing walau kadang tidak menemukan jalan keluar dari masalah itu, dan masih banyak lagi.
“Kenapa? Seseorang mendatangimu lagi dan menuntutmu? Kali ini apa? Pelecehan, kehamilan palsu, atau penganiayaan?”
Liam menatap Bobby, lalu menenggak alkoholnya lagi. “Dia hamil.”
Bobby berdecak. Dia memesan minuman yang sama seperti yang diminum Liam. “Aku pikir karena hal apa...”
“Dia hamil, benar-benar hamil dan itu anakku.”
Mata Bobby mengerjap, seluruh tubuhnya mendadak membeku. Tidak, sepupunya itu tidak pernah melakukan kesalahan fatal seperti itu. Tidak mungkin. Dia selalu mengingatkan Liam soal kehati-hatiannya dalam meniduri perempuan dan Liam selalu menurutinya. Apa yang sekarang terjadi?
“Kamu yakin?”
“Seratus persen.”
“Seyakin itu?”
“Dia...baru pertama kali melakukan hal itu denganku.”
“Bisa saja dia menipumu. Aku nggak tahu ternyata kamu bisa mempercayainya begitu saja.”
“Dia gadis baik-baik...” Liam menatap Bobby sungguh-sungguh.
Berada di club bukan pilihannya, tapi dia dipaksa ke sana dan di sanalah mereka bertemu.
“...dia sudah menunjukkan foto USG nya padaku.”
“Liam, foto USG bisa diedit dan aku rasa kamu lebih tahu itu daripada aku karena kamu bekerja di industri hiburan yang penuh trik.”
“Thanks.” Bobby tersenyum pada pelayan yang menyajikan minumannya.
“Dia benar-benar hamil dan itu anakku karena feelingku pasti tidak akan salah.”
Bobby mencoba memahami arah pembicaraan Liam. Tadinya dia berpikir Liam sedang meracau karena dia sudah terlihat sangat mabuk. Tapi semabuk-mabuknya Liam, dia tidak akan mengatakan hal-hal yang bahkan bisa membuat karirnya hancur. Tapi masalah ini terlalu tidak masuk akal karena dia tahu Liam akan selalu berusaha untuk berhati-hati.
“Saat dia meminta bertemu denganku, aku pikir kami akan membahas hal-hal yang ringan dan membahagiakan. Tapi ternyata bukan, kami malah bertengkar hebat karena hal ini.”
Kening Bobby berkerut. “Bertemu?”
Ini sama sekali bukan gaya Liam. Dia tidak akan pernah turun tangan membereskan ulah-ulah perempuan yang sudah diajaknya tidur. Dia cukup mengutus managernya bersama kuasa hukumnya. Tapi kenapa kali ini berbeda? Kenapa Liam mau susah payah bertemu dengan dia? Apa daya tariknya terhadap Liam sehingga Liam bisa berubah seperti itu?
“Sepertinya gadis ini agak spesial.”
“Memang.” Liam setuju.
Hanna tidak liar, tidak mendominasi. Dia menunggu Liam untuk melakukannya, seolah-olah sedang meminta Liam menuntunnya dan mengajarinya. Astaga, kenapa sisi spesial yang ku pikirkan malah kehebatan Hanna di atas ranjang?
“Jadi....apa rencanamu?”
Liam menatap Bobby sekali lagi. Dia menggeleng, “entahlah.”
Lalu dia menenggak minumannya.
“Dia sudah memblokir nomorku.”
Hal yang membuat Liam memilih mabuk adalah karena dia tidak bisa menghubungi Hanna sejak pertemuan terakhir mereka yang penuh dengan emosi dua hari yang lalu.
“Bagaimana dengan alamatnya? Kamu nggak tahu dia tinggal di mana atau pekerjaannya?”
“Aku tahu rumahnya di mana..” Liam menunduk. Di sana lah mereka bertemu dan bertengkar, tentu saja.
“..tapi saat aku ke sana, satpam komplek menahanku dengan mengatakan jika ada seseorang yang berpesan untuk mengusirku kalau aku datang berkunjung. Dia...membuatku frustasi setengah mati.”
“Wow...ternyata gadis itu boleh juga.” Bobby terlihat tertarik.
Belum ada seorang gadis manapun yang menolak sepupunya itu. Tapi gadis ini sepertinya berbeda, atau dia mungkin tidak tahu tentang...
“Apa dia mengenalmu sebagai Hazer? Dia tahu kamu seorang public figure?”
Liam menganggukkan kepalanya. “Dia mengetahuinya, tapi tetap memutuskan untuk mengusirku.”
Itu artinya gadis itu benar-benar mengandung anak Liam.
“Liam, dengar. Aku tahu kamu terluka di masa lalu dan itu sangat mempengaruhi pandanganmu terhadap perempuan di masa sekarang ini. Tapi, apa kamu nggak pernah berpikir untuk menyembuhkan luka batinmu? Maksudku, jangan-jangan gadis ini bisa menyembuhkanmu. Kenapa kamu nggak coba saja?”
Liam tertawa, seperti mengejek kata-kata Bobby barusan.
"Aku nggak akan sembuh..." dia menatap sepupunya itu dengan hati yang hancur.
"...aku membawa luka yang terlalu dalam. Kebencianku ini mungkin nggak akan bisa hilang."
"Dan kamu mengizinkan kebencian itu membelenggumu dan menyakitimu?"
"Aku sudah biasa!"
Liam baru akan menenggak kembali alkoholnya, saat Bobby menahan tangannya. "Sudah cukup. Kamu bisa mati di sini."
Alkohol tidak akan membunuhnya, tapi Hanna bisa melakukannya. Di tangan Hanna, dia tidak akan berkutik. Gadis itu bahkan sudah mengontrolnya walau mereka sudah tidak bertemu lagi. Jika keadaannya terus berlanjut seperti ini, dia pasti akan mati karena frustasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments