Segera setelah Liam tiba di apartemennya, dia melemparkan jaketnya ke atas sofa. Tubuhnya masih gemetar, dadanya naik turun karena masih diselimuti rasa marah, kecewa, dan penyesalan. Dia tidak menyesal bertemu Hanna, tidak sama sekali. Gadis itu membuatnya merasakan sebuah pengalaman baru yang benar-benar indah dan penuh sensasi. Hanya saja, bayi itu, bayi itulah penyesalannya.
Jauh dalam lubuk hatinya, sebenarnya Liam tahu jika Hanna tidak mungkin berbohong padanya jika kemungkinan ayah bayi dalam kandungannya adalah dia. Hanna bukan perempuan yang suka bergonta ganti pasangan, dan Hanna juga bukan seseorang seperti dia, meniduri banyak perempuan berganti-ganti dalam berbagai kesempatan. Bahkan mantannya tidak dia berikan kesempatan untuk menyentuhnya. Semua itu sudah cukup menegaskan jika dia adalah perempuan baik-baik.
Namun, penolakan-penolakan yang dialami Liam sejak dia lahir di dunia ini membuatnya tidak bisa membentuk hubungan keluarga yang baik. Dia tidak ingin punya keluarga karena dia berpikir kehidupan bebasnya ini akan membuatnya tenang tanpa harus mengkhawatirkan banyak hal. Dia juga bersumpah untuk tidak akan membuat kesalahan dalam hubungan-hubungan liarnya dengan tidak sengaja menghamili perempuan itu. Karena dia sendiri tidak mau berumah tangga, jadi secara otomatis dia tidak mau ada anak karena kelakuannya.
Tapi sekarang keadaannya malah berbalik menyerangnya. Dia menghamili Hanna. Bayi itu jelas adalah bayinya, Liam tahu itu dengan pasti. Tapi tetap saja dia berusaha menyangkalnya dengan berbagai alasan. Namun Liam menyesal sudah menciptakan kesan yang buruk pada Hanna, seolah-olah dia adalah anggota mafia atau gangster yang suka melakukan kekerasan. Caranya membentak Hanna, teriakannya, dan kekuatan tangannya saat menarik tangan Hanna, dia pasti sangat terluka. Hanna pasti menganggapnya kasar.
Liam melangkah menuju kamar mandi, menyalakan shower dan membiarkan air dingin membasahinya hingga seluruh tubuhnya membeku, dan berharap otaknya juga akan dingin sehingga dia bisa berpikir dengan realistis. Tiba-tiba saja dia membayangkan wajah Hanna tadi saat dia meneteskan air mata, dan caranya mengusir Liam. Hatinya pasti sangat sakit. Liam menunduk, dia benar-benar menyesal sekarang setelah memikirkan semuanya baik-baik.
Namun jika dia kembali ke rumah Hanna sekarang, dia pasti tidak akan membukakan pintu untuknya lagi. Belajar dari keteguhan hati Hanna, bukan tidak mungkin dia juga akan mengusirnya.
“Astaga....Bagaimana ini?”
Ini bukanlah rencana yang hendak dia jalankan. Seharusnya malam ini dia berada di dalam selimut, bergulung dalam tubuh Hanna yang hangat. Sekujur tubuhnya akan terasa terbakar karena sentuhan-sentuhan lembut Hanna, dan menikmati rona wajah gadis itu yang memerah menahan malu adalah kenikmatan tersendiri. Tubuh Hanna terasa sangat pas di atas tubuhnya dan Liam senang memandanginya dengan posisi seperti itu. Hanna...
“Sial.”
Liam meninju dinding kamar mandinya. Dia mencengkeram rambutnya sendiri dan duduk, membiarkan tubuhnya masih disiram oleh air dingin yang ternyata tidak membantunya. Rasa dingin malah membangkitkan kenangannya terhadap Hanna dan semua angan liarnya tentang gadis itu.
“Hanna, kenapa kamu membuatku gila seperti ini? Kenapa aku selalu mendambakanmu?”
*
“Are you okay?”
Lona membuka pintu kamar Hanna pelan sembari membawakan segelas susu hangat. Lampu kamar Hanna sudah padam, dan dia menggulung tubuhnya dalam selimut dan nyaris tidak bergerak walau Lona memanggilnya. Lona tahu Hanna butuh waktu untuk sendiri. Itu sebabnya dia hanya meletakkan gelas itu di atas nakas, lalu kembali menutup pintu kamar Hanna.
Air mata Hanna mulai mengering. Dia sudah lelah, karena sejak Liam meninggalkan rumahnya tadi dia terus menangis. Hanna sama sekali tidak menyangka jika Liam akan menuduhnya sudah tidur dengan laki-laki lain. Walau Hanna tidak bisa menyalahkan pemikiran Liam –itu karena mereka juga bertemu di club malam, namun dia berharap Liam percaya padanya sedikit saja. Dia menyerahkan tubuhnya untuk pertama kalinya pada Liam, bukankah itu sudah cukup menjadi bukti jika dia tidak neko-neko?
Apakah dia terlalu rendah di hadapan Liam sehingga dia bisa mengatainya seperti itu? Jika dia tidak mau mengakui bayi ini adalah anaknya, tidak masalah, tapi jangan menuduhnya meniduri laki-laki lain, karena itu sangat menyakiti hati Hanna.
Hanna mengeluarkan foto USG yang disimpannya di bawah bantalnya sedari tadi. Hatinya benar-benar merasa sangat terenyuh sekarang, mengetahui jika bayinya tidak jadi memiliki Ayah. Ternyata mereka harus kembali ke rencana awal karena bertemu atau tidak bertemu dengan Liam malah tidak membuahkan hasil yang lebih baik –malah lebih baik tidak bertemu karena setidaknya Hanna tidak mendengar makiannya.
“Nak, ini Ibumu. Ini...pembicaraan pertama kita, iya kan? Maaf kalau aku nggak bicara denganmu sejak aku tahu kamu ada dalam perutku. Nak, dengar. Aku berharap kamu kuat di dalam sana dan tumbuh dengan baik, nggak perlu ikut memikirkan apa yang sedang ku alami. Yang salah adalah aku, namun kesalahan ini setidaknya membuatku menyadari satu hal. Nggak semua bisa berjalan sesuai rencanamu...”
Hanna tidak akan memungkiri jika anak ini bukan bagian dari rencananya. Sekalipun dia menikah, dia berpikir untuk menunda momongan empat atau lima tahun, sampai dia puas menikmati kehidupannya berdua dengan suaminya nanti.
“...Tapi aku akan bertanggung jawab untuk semua yang sudah ku lakukan. Aku harap kamu nggak akan kecewa walau hanya akan ada kita berdua nantinya untuk bersama-sama menjalani hidup. Aku akan menjagamu, merawatmu, membesarkanmu hingga kamu sanggup menjaga dirimu sendiri. Maafkan Ibumu ini...” karena aku tidak cukup berani untuk membujuk ayahmu, memaksanya untuk bertanggung jawab.
“...tapi aku rasa aku sendiri sudah cukup untukmu. Jadi, ayo bertemu dengan suka cita dan penuh kebahagiaan tujuh bulan lagi. Aku menantimu.”
Hanna tersenyum, membawa foto hitam putih itu ke dalam pelukannya. Dia tidak akan menangis lagi dan tidak akan memohon pada Liam lagi. Laki-laki brengsek itu hanya menginginkan tubuhnya, tidak lebih dari itu.
“Aku pikir kamu sudah tidur.”
Lona berdiri, menyambut Hanna yang keluar dengan rambut yang berantakan dan sedikit basah karena air matanya tadi. Hanna hanya diam sembari meletakkan gelas kosong di atas meja. Sahabatnya itu begitu mengenaskan, setidaknya itu yang dipikirkan Lona. Matanya bengkak, rambutnya acak-acakan, dan dia bahkan tidak melihat senyum di wajah manisnya itu.
“Kamu mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi? Beberapa tetangga mengatakan kalau mereka sempat mendengar bunyi ribut-ribut dari rumahmu. Kalian bertengkar? Soal...janin dalam kandunganmu ini?”
Hanna mengangguk pelan. Dia menyandarkan tubuhnya di bahu Lona, tempat ternyaman yang bisa dia temukan sekarang.
“Dia menolak bayi ini, mengatakan jika bukan dia ayah dari bayi dalam kandunganku ini.” gumam Hanna.
“Kamu hanya tidur dengannya, kenapa dia bisa mengatakan semua itu?” Lona terkejut bukan main.
Laki-laki macam apa yang sebenarnya tidur dengan Hanna? Kenapa dia bisa bertemu laki-laki seperti itu?
“Dia pikir...aku mungkin tidur dengan laki-laki lain.”
“Bulshitt...” teriak Lona.
Dia menegakkan tubuh Hanna dan menatapnya serius. Dia sangat mengenal Hanna. Menyeretnya ke club malam saja butuh waktu hingga dua minggu, bagaimana bisa Hanna tidur dengan laki-laki lain? Hanna tidak akan punya waktu untuk itu semua.
“Apa laki-laki itu sakit jiwa?” sakit jiwa malah lebih baik, setidaknya Hanna tidak akan berharap lebih dari laki-laki yang sakit jiwa.
Hanna menyikapinya dengan tertawa kecil. Dia sudah menduga Lona akan marah besar dan sesuai dengan sikapnya yang dikenal Hanna, bisa jadi besok Lona sudah muncul di depan rumah Liam untuk mencacinya.
“Aku sudah ikhlas, tau.” Hanna menatap Lona lamat-lamat.
“Lagian, sejak awal aku sudah punya planning jika aku nggak bisa menemukannya. Berhubung kenyataannya malah seperti ini, yahh, anggap saja aku nggak pernah bertemu Ayah bayi ini.”
“Han..” ya Tuhan, sahabatnya ini benar-benar sangat baik.
Semua laki-laki itu benar-benar sudah membuang berlian yang sangat berharga. Lihat saja, -Lona bersumpah, mereka tidak akan pernah bertemu sosok sebaik Hanna.
“Kamu yakin dengan rencanamu ini?”
Hanna mengangguk. “Sangat yakin.”
Lona membawa Hanna ke dalam pelukannya, berusaha memberi ketenangan pada Hanna lewat kehangatannya. Tidak apa-apa Han, jika mereka meninggalkanmu masih ada aku. Aku akan berada di sisi mu dan ayo rawat anak itu bersama-sama. Hal ini malah lebih baik, dia akan mempunyai dua orang Ibu sekaligus yang sangat mencintainya. Hidupnya akan sempurna, percaya padaku.
“Apa kamu menyesal?” bisik Lona.
Hanna menggeleng lembut.
“Orang bilang semua hal terjadi sesuai dengan tujuannya masing-masing. Mungkin Tuhan lebih mempercayakan bayi ini tumbuh dalam perutku, jadi, aku nggak menyesal sama sekali.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments