“Terimakasih banyak Bob.”
Hanna melepas sabuk pengamannya dan menatap Bobby setelah keduanya tiba di rumah. Bobby hanya mengangguk kecil seraya tersenyum pada Hanna.
“Aku akan menjemputmu besok.”
“Jangan...”
Hanna menggeleng tidak setuju. Jika Bobby mengantar jemput dia setiap hari, maka sebentar lagi seisi kantor akan menggosipkan mereka dan Hanna tidak mau hal itu terjadi. Apalagi dengan kehamilannya yang sebentar lagi pasti ketahuan maka sudah bisa dipastikan dia akan menjadi buah bibir. Hanna tidak ingin Bobby terkena imbas dari image buruknya di mata teman-teman staff nya yang lain.
“...aku akan berangkat sendiri.”
“Tapi kan Han jarak halte ke rumahmu dan jarak halte ke kantor itu jauh.”
“Nggak apa-apa Bob. Jalan kaki bagus untuk ibu hamil.”
Bobby tidak bisa berkelit lagi. Hanna benar, olah raga memang bagus bagi ibu hamil –setidaknya itu yang dia baca dari buku kehamilan yang dibelinya beberapa hari lalu.
“Aku turun ya. Kamu hati-hati di jalan. Terimakasih banyak Bob.”
Hanna melambaikan tangan begitu dia turun. Dan dengan terpaksa Bobby menginjak pedal gas mobilnya dan segera memacu meninggalkan rumah Hanna. Padahal dia sangat berharap sekali saja Hanna memintanya singgah sebentar, karena dia masih ingin mengobrol dengan Hanna. Dan juga karena dia ingin menghirup aroma parfum Hanna yang merupakan perpaduan antara musk, vanila dan juga jasmine yang membuat Bobby sangat menyukainya dan ingin berlama-lama dengannya. Tapi sepertinya Hanna tidak ingin terburu-buru, dan Bobby tentu saja tidak keberatan.
“Bobby..” Hanna mendesah.
“..aku harap kamu bisa menemukan seseorang yang tepat untukmu, seseorang yang...”
“Ahhh...”
Hanna menjerit saat seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam muncul dari samping rumahnya.
“Han, ini aku...”
Liam yang muncul secara tiba-tiba berusaha membekap mulut Hanna agar dia berhenti berteriak dan menimbulkan kekacauan.
“Liam?” Hanna setengah berteriak. Kenapa dia ada di rumahku?
“Apa yang kamu lakukan di sini, hah? Bagaimana caranya kamu bisa masuk ke komplek ini?”
Hanna sudah meninggakan pesan pada satpam penjaga gerbang masuk komplek agar mereka mengusir Liam kalau dia datang. Kok bisa dia ada di sini sekarang?
“Aku akan mengatakannya, tapi bisakah kita masuk dulu? Aku takut seseorang mengenaliku.”
“Apa menurutmu kamu se-terkenal itu?” sungut Hanna sambil membuka kunci rumahnya.
Tentu saja dia tahu kalau Liam terkenal. Dia sering melihat iklan Liam terpampang di mana-mana, termasuk di beberapa billboard jalan dan beberapa papan iklan lainnya. Dia saja yang terlalu fokus pada dunianya sendiri, tidak menyadari jika gambar Liam ada di mana-mana.
“Katakan, kenapa kamu bisa ada di rumahku?”
Bahkan Hanna tidak menyuruhnya untuk duduk. Sepertinya Hanna benar-benar sangat membencinya sekarang –dan melupakan apa yang telah mereka lakukan di hotel dulu.
“Saat aku mau masuk ke komplek ini, seseorang menyapaku, maksudku mengenaliku sebagai Hazer, lalu...” Liam berdehem, melihat reaksi Hanna yang masih datar-datar saja.
“...lalu aku meminta tolong untuk menumpang di mobilnya dan membawaku ke sini setelah aku mengabulkan permintaannya untuk berfoto selfie berdua. Jadi...di sini lah aku sekarang –berdua denganmu.”
“Oh!”
Hanya itu. Jawaban Hanna hanya sekedar ‘oh’, tidak lebih dan dia masih tidak mempersilahkan Liam untuk duduk dan membuat dia juga tidak tahu harus melakukan apa. Secanggung itulah pertemuan mereka sekarang dan semua itu tentu saja Liam yang membuatnya.
“Katakan, apa maumu datang ke sini?”
Intonasi, sikap dan gestur tubuh Hanna yang berdiri menjaga jarak dari Liam menyadarkan Liam jika dia benar-benar sudah melukai hati Hanna lebih dari yang dia kira. Namun penyesalan tetaplah penyesalan dan itu tidak bisa diubah lagi.
“Aku ingin bicara denganmu..”
“Nggak ada yang harus kita bicarakan lagi. Aku rasa ucapanku di pertemuan terakhir kita sudah sangat jelas dan tegas, seharusnya kamu paham kan maksud ku?”
“Han..”
“Aku lelah karena aku seharian bekerja. Kalau kamu masih punya nurani, tolong pergi dari rumah ini dan jangan ganggu aku lagi, please.”
“Tapi kita harus menyelesaikan ini semua. Aku menghubungimu tapi kamu sudah memblokir nomorku dan aku juga nggak bisa kembali ke rumahmu. Hanna, aku menyesal dan sangat bersalah padamu. Aku minta maaf.”
Liam mendekati Hanna dan berusaha membujuknya sebisa Liam. Nyaris tanpa jarak membuat Hanna menahan nafasnya, lalu mengalihkan pandangan matanya agar pikirannya dan dirinya sendiri tidak lagi terjerat oleh pesona Liam yang harus diakuinya, sangat mematikan.
“Seharusnya kamu tahu ketika seseorang memblokir semua akses untukmu, itu artinya dia nggak mengizinkanmu memasuki kehidupannya lagi.” tegas Hanna.
“Aku tahu..” Liam mengangguk.
“..tapi aku hanya ingin bicara denganmu, mengenai bayi kita. Aku memutuskan untuk bertanggung jawab penuh padamu.”
“Bayi kita?” Hanna tertawa, mengejek dengan nada rendah dan dalam sekejap tawanya hilang dari wajahnya.
“Bukannya kamu bilang aku tidur dengan laki-laki lain? Aku rasa kamu belum amnesia sehingga kamu melupakan apa yang sudah kamu katakan, bukan? Dan, pertanggungjawaban yang kamu bilang tadi, apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan membayarku setiap bulan hingga aku melahirkan atau kamu hanya akan membayar biaya persalinanku kelak? Kamu mau menunjukkan seberapa banyak uang yang kamu punya?”
Sekali lagi Liam mendengar intonasi mengejek dari nada bicara Hanna. Ternyata dia sedang berhadapan dengan sosok wanita yang sangat tangguh, yang pendapatnya tidak berubah sekalipun dia memohon atau berlutut. Sayangnya dia melukai wanita tangguh ini terlalu dalam sehingga dia sekarang harus menanggung konsekuensinya –yang terburuk adalah dia mungkin akan kehilangan Hanna.
“Han...”
“Aku rasa kamu tahu jalan ke luarnya dari mana, bukan? Silahkan pergi dan tolong jangan kembali.”
Tidak ada gunanya bicara dengan Hanna jika kadar emosinya masih meluap seperti ini. Yang ada semua pembicaraan mereka akan bermuara di satu titik, pertengkaran hebat. Itu sebabnya Liam memutuskan untuk meninggalkan Hanna dan berjanji akan kembali lagi setelah Hanna sedikit tenang. Semoga saja.
“Oh, aku hampir lupa..”
Liam menoleh, berharap Hanna memaafkannya dan memintanya duduk berdua, bicara empat mata dari hati ke hati.
“Aku nggak akan menyerahkan anak ini padamu. Aku yang akan membesarkannya sendiri jadi kamu nggak perlu capek-capek lagi untuk datang kembali.”
“Tapi Han...”
“Keluar!”
Baru saja Liam ingin protes, namun Hanna sudah membungkamnya duluan. Astaga, Liam benar-benar berurusan dengan wanita yang mempertahankan harga dirinya dengan sangat baik, dan Liam menyukai itu. Baginya, Hanna adalah sosok yang tepat untuk mengandung anaknya. Dia baik, polos, sopan, namun di atas semuanya dia tangguh dan mempertahankan dirinya dengan baik. Liam sangat menyukai Hanna yang seperti ini.
*
“Dia mendatangimu lagi? Untuk apa?”
Lona berdecak tidak percaya. Dia sudah mendatanginya untuk menegaskan jika Hanna tidak membutuhkan laki-laki seperti Liam dan ternyata dia masih punya nyali juga untuk mendatangi Hanna.
“Dia bilang..dia akan bertanggung jawab penuh atas diriku dan bayi ini.”
Hanna menunduk, jemarinya sibuk memainkan rumbai selimut kecil yang menutupi kakinya. Sebenarnya, dia nyaris berteriak karena girang setelah Liam mengatakan jika dia akan bertanggung jawab. Namun Hanna tidak akan membiarkan Liam terlalu gampang memasuki hidupnya dan mendapatkannya –walau sebenarnya Liam sudah mendapatkan hatinya sejak pertemuan pertama mereka. Hanna harus memberinya pelajaran.
“Jadi bagaimana sekarang? Apa keputusanmu?”
“Aku...entahlah..” gumam Hanna.
“Han, sebenarnya setelah aku mendatangi Liam waktu itu..”
“Apa? Kamu mendatanginya?” Hanna menganga tidak percaya.
Lona mengangguk dengan pelan. “Aku waktu itu emosi, tau.” Dia menarik nafasnya lagi.
“Setelah pertemuan itu aku tahu mungkin dia memang nggak bisa secepat itu menerima semua yang kamu alami. Karena dia bekerja di industri hiburan, pasti ada banyak faktor yang membuatnya kesulitan. Namun sekarang dia datang padamu secara khusus hanya untuk mengatakan jika dia akan memenuhi tugasnya. Apa...kamu nggak merasa terenyuh sedikit pun?”
Hanna mengangkat wajahnya, tidak percaya jika dia dan Lona sepemikiran tentang akan memaafkan Liam dan menerimanya.
“Aku tahu ini sulit bagimu, tapi cobalah bicara dengannya sekali lagi tanpa ada pertengkaran. Walau ada ego dalam diri kalian, kalian toh harus menyingkirkannya demi janin dalam kandunganmu. Aku pikir...itu sikap awal yang harus dimiliki dua orang yang akan jadi orang tua, kan?”
Hanna mengulum senyumnya dan mengangguk pelan. Dia memeluk Lona dan mengucapkan syukurnya dalam hati berkali-kali. Lona jenis sahabat yang akan membelanya jika dia benar, tapi juga akan menyalahkannya jika dia salah. Dan Lona juga tidak hanya menyalahkannya, tapi juga menunjukkan jalan dan cara untuk memperbaiki kesalahannya. Hanna benar-benar bersyukur memiliki Lona di sisinya.
Baiklah, Liam. Aku akan memberimu kesempatan kedua, demi bayi kita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments