Noah menatap Liam yang sedang duduk di meja dengan tatapan tajam, kedua tangannya terlipat di dada sementara dia menyandarkan tubuhnya di dinding apartemen Liam. Jika saja Lona tidak mendatangi Liam, Noah tidak akan tahu masalah apa yang tengah dialami Liam dan sialnya, artisnya itu tidak memberitahukan dia sama sekali.
“Sialan kamu Liam...” teriak Noah.
“Masalah sebesar itu kenapa menutupinya dariku? Kamu sudah bisa melakukan semuanya sendirian tanpa membutuhkan bantuanku? Kamu benar-benar ingin menghancurkan kariermu rupanya, ya?”
“Nggak sampai separah itu..” Liam menegakkan tubuhnya.
Liam paham kemarahan Noah padanya sangat berdasar. Dia menyembunyikan hal ini dari Noah karena dia berpikir dia mungkin bisa mendekati dan meluluhkan hati Hanna dengan usahanya sendiri. Liam lupa, Noah adalah managernya dan Noah ber hak tahu apa yang dia lakukan di luar sana.
“...aku akan bertanggung jawab.”
Setidaknya itu langkah pertama yang akan dia tempuh setelah menimbang-nimbang semuanya dengan berpikir realistis. Fakta jika anak itu adalah anaknya membuatnya tidak bisa lari dari tanggung jawab. Bobby benar. Dia bisa saja masih terluka karena masa lalunya, dan sekarang jika dia tidak bertanggung jawab, itu artinya anaknya kelak akan mengalami apa yang dia alami –Hanna memang tidak akan membuang bayi itu namun kehadiran orang tua lengkaplah yang dia maksud.
Liam sudah mengalami banyak hal pahit dan banyak penolakan. Dia tidak mau anaknya kelak juga akan mengalami hal itu, ditolak oleh Ayah kandungnya. Tidak. Memikirkan hal itu saja membuat dada Liam nyaris teriris. Dia tidak akan menciptakan Liam kedua lagi di dunia ini.
“Bertanggung jawab katamu? Apa yang akan kamu lakukan, hah?” suara Noah masih sama, masih menggebu-gebu karena amarah.
“Aku...mungkin akan menikahinya.”
“Menikah? Kamu tahu salah satu syarat dari brand-brand besar itu dalam kontrak adalah tidak ada ikatan pernikahan selama terikat dengan kontrak dan itu artinya, kamu nggak boleh menikah selama menjadi model mereka. Apa kamu nggak paham?”
Liam paham, tentu saja, karena dia juga ikut membaca klausul-klausul dari kontraknya itu sebelum menandatanganinya. Tapi Hanna dan bayi dalam kandungannya itu juga sangat penting bagi hidupnya –bahkan mungkin lebih penting dari kontrak itu. Dia tidak bisa mengabaikan Hanna dan bayinya begitu saja.
“Liam, dengar...”
Noah tampak menarik nafasnya untuk bisa lebih tenang dalam berdiskusi dengan Liam.
“Jika kamu memilih bertanggung jawab dan bahkan menikah dengan wanita itu, maka kamu harus merelakan karirmu dan bukan hanya itu, kamu juga harus membayar sejumlah penalti yang jumlahnya nggak sedikit. Kamu paham nggak?”
Liam tidak menyahut. Dia hanya menatap Noah yang berpindah duduk ke depannya dan sedang menatapnya serius.
“Aku tahu kamu nggak bisa lari dari tanggung jawabmu. Tapi kamu juga harus memikirkan karier yang sudah kamu bangun, maksudku bukan hanya kamu tapi kita, yang sudah kita bangun selama bertahun-tahun bersama. Kamu sudah melangkah sejauh ini, mengorbankan banyak hal termasuk pertentanganmu dengan Ayahmu. Jangan hanya karena satu hal, semua yang kita perjuangkan ini hancur sia-sia.”
Namun 'satu hal' itu juga sangat berarti bagi Liam. Dia tentu tidak bisa hidup dengan nyaman jika dia mengabaikannya. Seumur hidup dia akan hidup dalam penyesalan dan membayangkan Hanna akan menikah dengan laki-laki lain membuatnya merinding. Dia tidak rela ada laki-laki lain yang menjamah Hanna, yang tidur dengannya dan yang memeluknya setiap malam. Hanna tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki lain.
“Tapi bagaimana dengan Hanna dan bayi dalam kandungannya itu? Aku nggak bisa diam saja dan membiarkan mereka berdua menderita di luar sana, kan? Itu nggak etis sama sekali.”
“Aku akan memikirkannya nanti...” gumam Noah.
“...sekarang lebih baik kamu istirahat karena besok subuh kita harus berangkat ke luar kota untuk menghadiri pembukaan store baru dari brand yang menggaet kamu sebagai ambassadornya. Sekarang, kamu istirahat saja. Aku juga akan pulang karena kamu sudah membuat gula darahku melonjak naik.” Noah menunduk sambil memegangi lehernya.
“Noah, maafkan aku.”
Liam juga tidak tega melihat Noah meregangkan otot lehernya yang sepertinya kaku karena mendengar kabar mengejutkan darinya. Dari semua masalah yang pernah dia lakukan, mungkin ini yang paling serius dan yang paling membuat Noah kalang kabut.
“It’s okay, semua orang pernah melakukan kesalahan. Kita akan bahas masalahmu ini lagi nanti. Aku pulang dulu dan jangan lupa, besok subuh jam lima pagi aku akan menjemputmu.”
Liam mengangguk, lalu mengantar Noah hingga ke depan pintu. Setelah mereka berpisah, Liam kembali duduk di meja dan merenung. Noah benar. Jika dia melanggar salah satu dari klausul itu, maka bisa dipastikan kontraknya akan batal dan jumlah yang harus mereka bayar sangat banyak. Saat ini dia menjadi brand ambassador dari setidaknya lima brand ternama, dan ada beberapa juga dari brand menengah. Semua isi kontraknya tidak jauh berbeda, salah satunya adalah dia tidak boleh terikat pernikahan.
Namun bagaimana dengan Hanna dan bayinya? Bagaimana dengan tanggung jawabnya? Di saat dia sudah ingin memenuhi kewajibannya, kenapa malah dihadapkan dengan masalah yang tak kalah serius?
*
“Han, ke ruangan ku sebentar.”
Bobby mencegat Hanna di pintu lift ketika Hanna akan pulang. Suasana kantor sudah sepi karena memang ini sudah lewat dari jam pulang. Berhubung Hanna masih harus mengoreksi banyak hal –karena kesalahan inputnya, dia terpaksa lembur dan ini sudah malam kedua dia melakukannya. Hanna melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
“Ada apa Bob?”
“Aku membelikanmu beberapa vitamin dan juga cemilan khusus Ibu hamil untukmu. Aku pikir kamu mungkin nggak sempat membelinya.”
Bobby menyerahkan beberapa paper bag pada Hanna. Hanna diam, dia tidak berani mengulurkan tangannya untuk mengambil barang-barang itu. Kenapa Bobby bersikap seperti ini terus menerus? Beberapa hari ini sejak kehamilannya diketahui oleh Bobby, tiba-tiba saja kantin perusahaan menyajikan makanan tinggi nutrisi dan organik. Semuanya menggunakan bahan-bahan premium dan tidak menggunakan penambah rasa –setidaknya itu yang dikatakan oleh chef perusahaannya.
Belum lagi kulkas yang terletak di ruang istirahat bagian keuangan tempat Hanna bekerja, semuanya berisi buah-buahan dan minuman jus segar. Hanna tidak mendapat laporan pengeluaran lain-lain dari hal itu, jadi dengan gampang dia bisa mengatakan jika itu pekerjaan Bobby.
"Bob, terimakasih banyak tapi aku nggak bisa menerimanya." ucap Hanna.
"Kenapa? Kamu lembur beberapa malam ini dan mungkin masih akan lembur lagi besok-besok. Aku takut kamu lupa makan dan kasihan bayimu, iya kan?"
"Tapi Bob.."
"Sudahlah. Aku nggak menerima penolakan darimu. Ayo, aku antar kamu pulang."
"Aku akan pulang sendiri."
Apa yang diberikan Bobby sudah cukup membuatnya merasa bersalah. Hanna tidak ingin terus menerus menerima apa yang dilakukan Bobby padanya, seolah-olah dia memberi harapan pada laki-laki itu. Hanna tidak ingin Bobby salah paham padanya.
"Ini sudah jam sembilan dan kamu sedang hamil. Bahaya kalau kamu menggunakan taksi online."
"Aku akan naik bus..."
"Jarak kantor ke halte cukup jauh. Kamu nggak mungkin jalan ke sana, malah membuatmu capek."
Bobby memotong Hanna dengan cepat, hingga Hanna tidak bisa berkelit lagi. Dengan terpaksa, Hanna mengikuti langkah Bobby menuju tempat parkir.
Apa benar perasaan Bobby sebesar itu padanya? Kalau dia sedang mempermainkannya, mana mungkin Bobby melakukan banyak hal seperti ini? Tapi Hanna benar-benar tidak bisa bersama dengan Bobby. Dia tidak ingin berhubungan dengan laki-laki lagi setelah kegagalan yang dialaminya dengan Jhon dan sikap Liam yang tidak mau mempertanggungjawabkan kesalahannya. Hanna pikir, sebaiknya dia fokus pada bayinya saja, sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments