Liam memarkir SUV-nya di depan rumah Hanna. Sebelum turun, dia kembali memperhatikan penampilannya lewat kaca tengah mobil bongsornya itu. Liam memperhatikan sekitarnya, sepertinya tidak ada yang mengikutinya. Namun walau dia yakin tidak ada yang membuntutinya sejak berangkat dari apartemen tadi, dia tetap memakai kembali masker dan kaca mata hitamnya seperti biasa. Setelah itu dia langsung turun.
Halaman rumah Hanna sangat luas dan dipenuhi banyak tanaman. Pemandangan itu membuat nyaman dan tenang, persis seperti kepribadian Hanna. Kupu-kupu dan lebah terlihat saling berebut nektar dari bunga-bunga mawar merah yang sedang mekar. Rumah itu benar-benar sangat nyaman.
Liam mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, namun tanpa disangkanya pintu sudah dibuka oleh Hanna seolah-olah Hanna sudah menunggunya sedari tadi dengan kepala setengah mengintip dari celah pintu yang terbuka.
“Ayo masuk.”
Hanna menarik tangan Liam. Sial. Sentuhan lembut Hanna di tangannya membuat ingatan tentang apa yang mereka lakukan di hotel kembali bangkit. Liam memperhatikan wajah Hanna yang tidak menggunakan riasan apa pun, tidak seperti yang dia pakai di club malam waktu itu. Namun siapa yang menyangka jika wajah polos Hanna malah jauh lebih atraktif? Ya Tuhan, Liam mengerjap. Dia tidak mengerti bagaimana mengatakannya, tapi setiap lekuk tubuh Hanna membuatnya merinding dan panas dingin.
“Kamu yakin nggak ada yang mengikutimu?”
“Tentu saja.” Sahut Liam tanpa mengalihkan pandangannya dari tubuh Hanna.
Walau menggunakan sweater rajut berukuran oversize, Liam masih bisa mengingat dengan jelas setiap bentuk tubuh Hanna yang indah dan membuatnya mabuk. Pakaian yang kebesaran itu tidak bisa membuat daya tarik Hanna berkurang. Gadis ini benar-benar racun, dia meracuni otakku sehingga aku tidak bisa berpikir realistis.
“Silahkan duduk. Apa kamu mau minum?”
“Boleh.”
Liam masih mengikuti arah langkah Hanna saat gadis itu membalik tubuh, mengambil beberapa kaleng minuman dari kulkas. Tiba-tiba saja dia membayangkan jika dia sedang memeluk tubuh Hanna dari belakang. Tubuh Hanna yang tidak terlalu tinggi pasti akan terasa pas dalam pelukannya. Dia akan memeluk gadis itu, lalu memutar tubuhnya untuk menciumnya. Setelah mencecapnya, Liam akan menggendongnya ke tempat tidur, dan dia akan mendengar erangan Hanna yang membuatnya puas dan menggebu-gebu.....
“Aku hanya punya cola dan beberapa botol minuman mineral. Kamu mau minum yang mana?”
Liam tersentak. Astaga, pikiran apa yang terlintas dalam otaknya? Well, itu bukan sepenuhnya salah Liam jika dia sedang memikirkan melakukan hal panas bersama Hanna. Daya tarik Hanna terlalu kuat, tubuhnya seperti memiliki medan magnet yang membuat Liam menginginkan Hanna setiap saat.
“Mineral saja.” Liam berusaha mengusir pikiran itu.
Menilik wajah Hanna, dia bisa merasakan ada rasa gelisah darinya. Hanna tidak duduk dengan tenang, kedua tangannya saling mengelus, terkadang jarinya saling bertaut, itu adalah gestur yang biasa dilakukan orang ketika mereka panik atau gugup. Atau apa dia marah padaku?
“Kamu baik-baik saja?”
Hanna menatap Liam. Dia tidak tahu harus bicara dari mana dulu. Ini semua tidak semudah yang dia pikirkan. Hanna pikir setelah bertemu Liam dia bisa membicarakan semuanya berdua, bahkan sudah merancangkan bayangan masa depan bersamanya. Namun setelah Liam duduk di depannya, dia malah hilang keberanian dan semua rangkaian kata-kata yang sudah disusunnya lenyap begitu saja.
Pilihan terakhir adalah...
Hanna menurunkan tangannya, mengelus perutnya dan pandangan Liam mau tidak mau ikut turun mengikuti tangannya. Wajah Liam memerah dan jantungnya berdegup dengan sangat cepat.
“Jangan bilang kalau kamu sedang...”
“Ya, aku hamil.”
“Lalu kalau kamu hamil, kenapa kamu mengatakannya padaku?”
“Kenapa?” Hanna tidak mengerti. Aku menunjukkannya padamu karena kamu adalah Ayah bayi ini.
“Kamu mau mengatakan padaku kalau aku adalah....ayah bayi itu?”
Baguslah kalau kamu tahu dan sadar. Kalimatmu tadi sangat membuatku tersinggung, batin Hanna.
Tiba-tiba saja tubuh Liam dipenuhi oleh amarah yang siap meledak kapan saja. Tidak mungkin. Tidak mungkin Hanna mengandung anaknya. Ini pasti salah satu triknya karena dia ingin bersama denganku ketika dia tahu jika aku adalah Hazer. Aku sudah beberapa kali menangani hal-hal seperti ini, jadi aku tidak akan tertipu.
Aku pakai pengaman, jadi aku tidak akan membuat kesalahan dengan membiarkan benihku tumbuh dalam perutnya. Tidak akan.
Pengakuan Hanna yang tiba-tiba mau tidak mau membawa Liam kembali ke masa lalunya. Masa-masa dia tumbuh di panti asuhan karena dibuang oleh orang tuanya, lalu semua cerita dari pengurus panti asuhan itu yang mengatakan jika dia nyaris mati ketika ditemukan, lalu kegagalan pernikahan Ayah angkatnya di mana istrinya pergi meninggalkannya bersama pria lain. Sejak saat itu, Liam sudah berjanji tidak akan membentuk sebuah keluarga di masa depan. Dia tidak ingin terikat oleh apa pun.
Dia juga sudah berjanji tidak akan terlibat hubungan yang serius dengan perempuan mana pun. Mereka semua terlihat buruk di mata Liam dan hanya dianggapnya sebagai pemuas nafsunya belaka hingga dia bertemu Hanna. Namun sekarang, kesannya pada Hanna juga menguap karena dia ternyata sama saja dengan perempuan lainnya, hanya menginginkan ketenarannya.
“Nggak mungkin Han, ini pasti salah. Kita pakai pengaman waktu itu jadi jangan mengada-ada.”
Hanna hanya bisa mendesah. Dia juga berharap ini semua kesalahan, namun tiga alat tes plus hasil USG itu sudah memberikan jawaban yang tidak bisa dibantah. Dia benar-benar hamil.
“Aku sudah melakukan USG...” dia meletakkan foto hasil USGnya di depan Liam.
“...jadi aku benar-benar hamil dan nggak salah lagi.”
Pandangan Liam tiba-tiba berubah gelap. Dia berdiri, namun kakinya mulai goyah dan memaksanya kembali duduk. Liam mulai gusar dan terus menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin!
“Han, aku tahu kalau aku nggak akan melakukan kesalahan dalam hal ini. Jadi, aku turut sedih dan bersimpati dengan apa yang kamu alami sekarang. Kamu butuh uang? Berapa? Kalau kamu membutuhkannya, aku bisa memberimu berapa pun jumlah yang kamu minta. Tapi kamu mengakui jika bayi dalam perutmu itu adalah anakku, itu mustahil dan aku nggak percaya sama sekali.”
Kening Hanna mengerut dan wajahnya tampak terkejut. Apa maksudmu? Ini semua bukanlah tentang uang, Hanna tidak membutuhkannya.
“Mustahil? Anak ini memang anakmu, kenapa kamu bilang mustahil?” tanpa disadarinya, darah Hanna mulai mendidih. Kenapa Liam bertingkah seolah-olah bayi ini bukan bayinya?
“Mustahil.” Suara teriakan Liam bergema memenuhi seisi rumahnya.
Mata Hanna mengerjap melihat amarah Liam yang mulai meledak tak terkontrol. Bukan, bukan ini yang dia mau. Dia hanya ingin membahas semuanya dengan Liam tanpa harus berteriak seperti ini. Bukan ini yang ada dalam gambaran otaknya selama beberapa hari ini.
“Hanna, dengar..” nafas Liam tersengal, pundaknya naik turun dan dia berjalan ke sana ke mari karena bingung.
“...itu bukan anakku. Aku yakin, aku yakin seratus persen.” Serunya.
“Apa maksudmu?” Hanna ikut berdiri.
“Tujuanku mengundangmu ke sini adalah karena aku ingin memberitahumu kebenaran ini sehingga kita bisa berdiskusi...”
“Berdiskusi? Apa yang bisa di diskusikan dari hal buruk seperti ini?” potong Liam cepat, dengan suara yang masih menggema.
“Hal buruk? Liam, dengar...” Hanna masih berusaha mengontrol emosinya.
Liam sudah terlanjur marah dan dia harus mengimbanginya. Jika Liam menjadi api, maka dia harus menjadi air sebagai penawar.
“...kita harus bertanggung jawab untuk sesuatu yang sudah kita lakukan. Dan anak ini adalah anakmu juga, dia tercipta dari kesalahan dan hasrat kita. Kamu nggak bisa menolak kenyataan jika kita berdua sudah menciptakan kehidupan lain yang tumbuh di perutku saat ini.”
Liam menatap Hanna dengan penuh emosi yang menggebu-gebu. Kilatan merah di matanya menunjukkan jika dia memang sangat frustasi.
“Kenapa kamu yakin kalau ini anakku? Bagaimana dengan kemungkinan jika kamu tidur dengan laki-laki lain?”
Jantung Hanna nyaris berhenti mendengar apa yang dikatakan Liam. Air matanya mulai menetes dan dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Tidur dengan laki-laki lain? Hanna tidak serendah itu! Seharusnya Liam tahu jika dia bahkan tidak pernah tidur dengan Jhon walau laki-laki itu sudah menjadi pacarnya selama tiga tahun. Seharusnya dia tahu itu.
“Kamu pikir aku akan tertipu dengan air mata dan wajah lugu dan polosmu ini? Tidak. Jangan kira kamu lebih pintar dariku Han. Aku akui, daya tarik dan pesonamu berbeda dengan perempuan yang sudah ku tiduri sebelumnya, namun itu bukan berarti kamu bisa menipuku dengan caramu yang murahan seperti ini. Kamu mencariku setelah kamu sadar siapa aku sebenarnya, iya kan?”
Hanna masih tidak menyahut. Hanya air mata yang terus mengalir di wajahnya lah yang menunjukkan seberapa sakit kata-kata Liam padanya sekarang.
“Kalau memang kamu hamil dan kamu mengatakan jika itu anakku, itu artinya aku berhak atasnya, bukan?” Liam menarik tangan Hanna, lebih tepatnya mencengkeram lengannya.
“Ayo ikut aku. Di sekitar sini pasti banyak klinik ilegal.”
“Apa maksudmu?” Hanna menggeleng.
“Kamu mau aku melakukan aborsi?” dia masih tidak percaya.
“Ya. Gugurkan anak itu dan aku akan memberimu konpensasi, setelah itu kita nggak akan bertemu lagi selamanya.”
Air mata Hanna menganak sungai, dengan susah payah dia berusaha menelan air matanya sambil menatap Liam dengan penuh kekecewaan.
“Atau aku akan menelepon kenalanku untuk mencarikan klinik...”
“Keluar!” seru Hanna sambil mengangkat tangannya sambil menunjuk ke arah pintu.
“Kamu bilang anak ini bukan anakmu, iya kan? Jadi kamu nggak berhak atas dia, seujung kuku pun tidak.”
Tatapan penuh kerinduan dan harapan yang tadi dilihat Liam dalam mata Hanna berubah menjadi kebencian dan kekecewaan yang mendalam.
“Kita harus menyelesaikan ini...”
“Keluarr!!!” Hanna berteriak.
Dadanya naik turun, dan sorot matanya tajam penuh kebencian.
“Keluar atau aku akan memberitahu media tentang keberadaanmu.”
“Ternyata kamu memang berniat menjebakku. Aku kira kamu berbeda Han, tapi ternyata sama saja.”
“Keluar kataku.”
Liam diam, dan saat itu dia melihat jelas wajah Hanna yang penuh dengan rasa frustasi, ketakutan, kekecewaan, kemarahan. Semuanya berbaur menjadi satu dan tiba-tiba saja Liam menyadari jika mungkin apa yang dia lakukan sudah melewati batasannya.
“Hanna, dengarkan aku...”
“Aku nggak mau mendengar apa pun lagi darimu. Mulai sekarang, anggap saja kita nggak pernah bicara soal ini. Anggap kita nggak pernah bertemu sebelumnya dan silahkan pergi. Itu pintu keluarnya.”
Tangan Hanna masih menunjuk ke arah pintu. Liam menelan ludahnya, dan karena dia sangat marah dia meninju dinding rumah Hanna sebelum meninggalkannya. Setelah Liam keluar, Hanna dengan langkah kaki yang gemetar buru-buru mengunci pintu, lalu jatuh di sana. Gadis itu meringkukkan tubuhnya dan menangis sesenggukan.
Kenapa dia menolak kenyataan jika dia adalah Ayah bayi ini? Kenapa dia menuduhku tidur dengan laki-laki lain? Kenapa dia merasa aku membohonginya dan memanfaatkannya? Karena uang? Aku juga punya banyak uang dan aku tidak butuh uangnya. Sial. Kenapa aku bisa berurusan dengan laki-laki itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Nurdiwa Ainun
Liam,, aku marah padamu😠
2023-08-19
1