Aku terdiam beribu bahasa, tidak tahu apa yang harus ku katakan pada ibu. Aku berusaha menyembunyikan raut wajahku yang sebenarnya. Takut-takut kalau sampai ketahuan aku lah yang telah memetik bunga mawar dan melati ibu.
Ku lihat ibu masih sibuk meneliti tiap dedaunan miliknya. Ia sampai membungkuk dan berjongkok berulang kali saking tak terimanya, bunga kesayangannya harus di petik tanpa sepengetahuannya.
“Iya.. ini gak salah lagi.. kalau maling, gak mungkin kan cuma metik bunga. Mendingan dia maling ps punya kamu, biar kamu gak keseringan main game lagi. Atau maling ponsel kamu. Biar gak usah main hp lagi.” Ucap ibuku nyeleneh. Ngapain juga harus maling barang-barangku?
“Ini, pasti hantu yang kemarin ibu lihat.. bener. Gak salah lagi!” Aku menggeleng sambil melipat kedua tangan di dadaku.
“Ibu ada-ada aja deh. Gak mungkin kan yang begituan bisa maling bunga. Ibu keseringan nonton sinetron sih, jadi rada ngelantur.” Dalihku. Ibu langsung beranjak sambil bertolak pinggang dan masih saja menatap tanamannya.
“Tapi kalau orang lain yang ambil, gak mungkin kan orang lain sampai masuk pekarangan rumah kita. Sampai masuk pagar rumah orang segala. Ini pasti hantu yang kemarin!”
“Saya jadi gak enak sama ibu. Apa saya muntahin aja bunga yang tadi, terus kasih ke ibu?” Aku langsung menatap Kun yang berdiri melayang di dekat ibu. Menatapnya dengan sinis. Yakali dia mau memberikan Ibuku muntahnya! Setan gila!!
Aku mengalihkan pandanganku pada ibu, menghampiri dan segera menggandeng tangan ibu. Ia sedikit terkesiap karena terlalu fokus pada tanamannya.
“Ibu pasti capek kan seharian kerja, mendingan ibu istirahat dulu, terus mandi.” Ucapku sambil membawa ibu masuk ke dalam rumah. Ibu langsung meremas pundaknya sendiri. Memijatnya pelan sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Iya sih, ibu emang capek. Ngomong-ngomong, kamu masih gak enak badan Gam?”
“Mm, udah enggak kok bu. Tadi Agam udah minum obat penurun panas, terus juga udah istirahat, jadi sekarang udah agak mendingan.”
“Bagus deh. Ibu sampai pulang cepat tadi, takut kamu kenapa-napa.”
“Ibu gak usah terlalu khawatirin Agam bu, Agam kan udah...”
“Udah gede?” Potong ibu pada ucapanku. Aku hanya tersenyum diiringi dengan tawa renyah dari ibu.
.
.
.
.
Di ruang makan, sesekali aku menilik ke arah jam dinding. Hari sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Seharusnya ini sudah waktunya aku makan. Tapi, sekarang aku malah duduk di meja makan sambil menghadap ke hidangan yang sedari tadi di siapkan ibu untuk kami sekeluarga.
Aku lihat sop iga buatan ibu sudah tak mengepulkan asapnya lagi. Beberapa makanan seperti tempe, tahu, dan ikan goreng sudah dingin dan mungkin saja teksturnya menjadi keras dan tidak enak lagi. Aku mulai mengetuk-ngetukkan sendok dan garpu yang berada di tanganku. Menunjukkan kalau aku sedang kesal menunggu.
"Kalian mau nunggu bedug ya?” Tanya Kun yang sedikit memperburuk moodku. Aku hanya diam dan menatapnya dengan sengit, memberikan tanda padanya kalau saat ini aku sedang kesal dan tidak ingin bercanda.
“Nunggu bedug apanya! Bedug subuh?” Gumamku tanpa bersuara, dan sepertinya hantu ini cukup cerdas untuk membaca gerakkan mulutku. Ia yang duduk di samping ibu, tepatnya di hadapanku hanya mengerucutkan bibirnya dan mengalihkan wajahnya dariku.
“Saya kira kalian lagi nunggu bedug untuk buka puasa.” Timpalnya lagi, dengan wajah yang rada polos-polos menyebalkan.
“Lagi pula masih nunggu apa? Kalian begitu sudah sejak jam setengah delapan tadi.”
Aku terdiam sambil mengernyit. Memang iya sih, kami sudah menunggu satu setengah jam. Ibu sejak tadi masih sibuk memainkan ponsel miliknya. Membuatku bertambah kesal saja, terlebih lagi sepertinya sekarang aku punya kompor yang bisa terbang. Itu dia, sedang duduk di depanku.
“Bu.. nungguin apa sih?” Tanyaku dengan nada yang sedikit di tekan. Aku berusaha menyembunyikan kekesalan ku. Ibu mengangkat kepalanya ke arahku, tapi dengan mata yang masih saja fokus ke ponselnya.
“Nungguin ayah pulang. Kita makan sama-sama, seperti biasa.” Sahut ibuku. Aku kembali menilik jam yang ada di dinding dekat ruang makan kami.
“Tumben banget ayah belum pulang.. biasanya udah pulang habis isya?”
“Emang sekarang jam berapa sih?” Gumam ibuku sambil melihat jam yang ada di ponselnya. Ia pun tersentak tak percaya.
“Ya ampun!! Udah jam segini? Ibu gak nyadar banget udah semalem ini?”
“Ibu main ponsel terus sih.” Sambung Kun, ikut campur saja dia.
“Harusnya ayah udah pulang kan dari tadi? Emangnya lembur? Tapi kok gak ngabarin? Biasanya kalo lembur, ayah pasti ngabarin.” Keluh ibuku mulai terlihat panik. Kalau panik, cerewetnya pasti keluar. Ibu mulai mengetuk layar ponselnya, lalu meletakkan ponsel miliknya ke telinga. Menunggu jawaban dari seberang sana. Tapi wajahnya kian berubah ketika menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Kok gak di angkat?” ucapnya. Aku terdiam.
“Agam udah laper.” Ucapku hingga membuat ibu menatapku sendu.
“Ah.. yaudah, kita makan duluan aja. Kalau Agam laper.” Ucap ibu sambil membentangkan piring yang ada di hadapanku.
“Ini nasinya.. makan yang banyak ya nak.. nanti kamu harus minum obat sama vitamin, biar besok pagi.. badan kamu jadi bugar lagi!” ucapnya lagi sambil menyedokkan nasi ke piringku, dan menaruh beberapa lauk ke atasnya. Lauk yang sudah dingin dan tidak enak itu.
Dari raut wajahnya, aku bisa merasakan ibu sedang khawatir dan bingung. Ia terus tersenyum, mungkin berusaha untuk menutupi kegelisahannya dari ku. Lagi pula ayah kemana sih? Kenapa coba selarut ini belum pulang juga ke rumah? Apa ia mau tidur di kantornya?
Sambil bercerita, tanpa sadar aku dan ibu telah menghabiskan makanan kami di piring masing-masing. Lauk di hadapan kami masih tersisa banyak untuk ayah. Biasanya kalau makan sama-sama, semua lauk ini pasti segera habis. Itu karena masakan ibu adalah yang terbaik.
Aku beranjak, mengambil piringku dan bermaksud untuk meletakkannya di wastafel kami. Tiba-tiba saja aku mendengar suara pintu terbuka. Ayah memberi salam dan masuk. Aku sedikit menoleh ke arahnya yang datang ke ruang makan.
“Ayah baru pulang? Kok malem banget sih?” Tanya ibuku. Ayahku hanya diam. Wajahnya terlihat lusuh dan kelelahan.
“Ayah laper? Mau makan dulu? Ibu temenin..” Ucap ibuku sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Ayah udah makan tadi di luar. Ada meeting. Jadi ayah langsung tidur aja sekarang.” Sahut ayahku datar sambil meninggalkan ibu yang masih berdiri mematung di tempatnya. Aku lumayan terkejut mendengar jawaban ayah yang seperti itu. Padahal sejak tadi kami sudah meluangkan banyak waktu untuk menunggunya pulang dan makan bersama.
Aku meletakkan piringku di atas galon dispenser dan hendak memerotes pada ayah. Baru selangkah aku maju, ibu sudah menghalangi sambil tersenyum menatapku. Ia menyodorkan piring bekas makannya padaku.
“Taruh punya ibu sekalian.” Pintanya. Tentu saja aku tidak bisa menolak, tapi aku tahu. Maksud ibu agar aku pergi ke wastafel dapur, dan tidak usah beradu argumen pada ayahku.
Aku meletakkan piringku di atas wastafel. Setengah menghempasnya. Ku lihat ibu membereskan meja makan kami. Kun yang sedari tadi mengikutiku pun duduk di atas keran air.
“Ayahmu itu...” Aku menoleh ke arah Kun.
“Bau wanita.” Ucapnya lagi hingga membuatku tersentak. Dadaku rasanya terbakar seketika. Langsung saja aku menatap Kun dengan sinis dan sengit.
“Apa maksud lu?!” Bentakku setengah berbisik. Dan mendesaknya dengan tatapan mataku.
“Lu mau bilang ayah gue selingkuh?” Kun terdiam heran.
“Asal lu!! Emang lu itu hantu atau anj*ng? Bisa nyium bau?!” Balasku kesal sambil meninggalkan Kun di dapur. Aku segera berjalan menuju kamarku. Dan tak ku lihat lagi bagaimana reaksi Kun atas ucapanku itu.
.
.
.......
.
.
Besok paginya, di perjalanan ke sekolah. Kun yang mengikutiku terus memerotes, kalau sekarang perutnya sangat lapar. Aku terdiam tak membalas. Bagaimana bisa aku menjawabnya di jalanan seperti ini, sementara pejalan kaki yang ada di sini banyak sekali.
“Gam.. mau makan..” Rengeknya sambil melayang ke sisi kiri dan kananku.
“Sabar, tahan sampai siang nanti!” Balasku padanya setengah berbisik.
“Emang saya di suruh puasa ya? Kalau gitu, niat puasanya apa?” tanyanya hingga membuatku kesal dan mendecakkan lidah.
“Ck! Gue gak tahu cari makanan lu di mana!”
“Di rumah!” Jawabnya.
“Mana bisa! Lu mau ibu protes lagi, dan ngeluh kalau bunga-bunganya pada ilang? Lu kan udah di curigain ibu kemarin!! Masih mau ambil bunga ibu juga?” tantangku padanya.
“Mau.. dari pada lapar.” Sahutnya polos namun lagi-lagi membuatku kesal mendengarnya.
“Aih.. bisa meledak deh kepala gue lama-lama deket elu!” Keluhku sambil mencengkram kepalaku.
“Lagian pas lu di gudang sekolah juga lu gak makan sama sekali kan? Dan elu bisa tahan gak makan selama enam belas tahun!”
“Itu terpaksa! Kalau sekarang saya bisa makan, kenapa enggak?”
“TAHAN!” Singkatku lagi.
***
Saat berjalan di pertigaan, tak jauh dari halte angkot, aku melihat sebuah toko bunga. Sepertinya di sana ada banyak jual bunga. Apa aku beli bunga di sana saja ya untuk Kun, tapi.. apa di toko itu jual bunga hidup? Atau cuma bunga tiruan aja? Mana tahu sih kalau gak di tanya langsung. Aku segera berbelok ke kiri.
“Eh, Agam.. sekolah kamu kan belok sini.” Protes Kun sambil menunjuk ke belokkan sebelah kanan.
“Cerewet!” gumamku sambil tetap berlalu darinya. Ia pun segera mengikutiku yang telah masuk ke toko bunga.
“Wah.. wangi-wangi..” Gumamnya kagum sambil sibuk melirik bunga-bunga tersebut seraya memasukinya. Aku pun menghampiri penjaga toko yang sedang duduk rapi sambil memainkan ponselnya.
“Maaf mbak, ada jual bunga mawar atau melati hidup gak?” perempuan itu segera mengalihkan matanya dari ponsel. Ketika sekontak dengannya, ia segera berdiri tegap dan membenarkan rambutnya.
“Eh.. ganteng banget.” Gumamnya pelan, namun masih saja terdengar di telingaku.
“Ada.. ada kok dek. Mau kasih bunga buat siapa? Apa di buketin atau gimana?”
“Buat kuntilanak.” Sahutku sambil tersenyum, hingga membuat perempuan itu mengernyit heran. Ia pun segera menggeplak lenganku sambil tersenyum geli.
“Aih, udah ganteng.. humoris lagi.. bisa aja sih bikin cewek klepek-klepek.” Ucapnya girang.
“Centil banget sih.. lagian kan emang buat Kun.” Keluhku dalam hati.
“Bentar ya dek, kakak cari dulu.. panggil kakak aja, jangan mbak.. kalau bisa panggil sayang juga boleh.” Ucapnya sambil membuka sebuah kulkas besar yang berisi bunga-bunga segar. Ku lihat ia mulai mengeluarkan bunga melati dan merangkainya.
“Eh, kak.. gak usah bagus-bagus kok ngerangkainya, seadanya aja.”
“Oh, oke.. mawarnya mau berapa tangkai?”
“Satu aja.” Sambung Kun secepat kilat.
“Satu aja.” Sahutku menuruti perkataan Kun.
“Okee, ini udah.” Perempuan itu memberikannya padaku.
“Mawar merahnya satu tangkai tiga puluh lima ribu, kalau melatinya seratus ribu. Totalnya seratus tiga puluh lima ribu.”
“What?!! Berapa sayang?!!” Pekik Kun hingga membuatku tanpa sengaja mengeluarkan kalimat yang sama dengannya.
“Berapa sayang?” Tanyaku spontan hingga membuat penjaga toko tersebut berteriak kegirangan.
“Seratus ribu ajaaaa deh, sayaaang!!!” Pekiknya sambil berteriak-teriak tidak jelas.
“Oh, oke.. ini.” Aku meringis sambil memberikan uang seratus ribu padanya. Dan segera pergi menjauh dari hadapannya. Aku sampai setengah berlari untuk keluar dari toko tersebut. Dia jadi lebih mengerikan dari pada Kun.
“Si*lan!! Jadi latah gue gara-gara elu!!” Keluhku.
“Tadi kan katanya, nama dia sayang.”
“Apasih!! Dia itu lagi minta digombalin!”
“Hah? Siapa yang digembelin?” aku mendecakkan lidah.
“Lagian kenapa bunganya semahal itu?”
“Emang segitu kok harganya, gue juga pernah beli bunga untuk ibu di hari ibu.”
“Jangan lu bandingin sama duit pas lu masih hidup dulu! Beda zaman tau!”
“Inget!! Ini udah enam belas tahun kemudian!!!” Timpalku lagi.
“Ooh, saya lupa.”
Aku mulai melirik ke sekelilingku. Di tempat ini sepertinya lumayan sepi untuk memberi makan Kun. Lagi pula semua orang gak bisa lihat dia, kalau seandainya dia bisa pegang benda-benda manusia, logikanya pasti yang kelihatan di mata manusia adalah benda itu terbang atau melayang, padahal kan dia yang pegang.
“Nih, makan yang cepet.. nanti ada orang.” Ucapku sambil duduk di pagar beton setinggi lututku. Kun segera melahap bunga melati itu satu-satu, hingga tanpa sadar, ia sudah menghabiskan semuanya dan hanya menyisakan dedaunannya saja.
“Cepet juga makannya.” Gumamku.
“Agam.. kamu ngapain?” terdengar suara seorang perempuan di belakangku. Aku pun bergegas menoleh, sementara Kun yang menghadapnya, tentu sudah bisa langsung menatapnya.
“Eh.. Lian..” gumamku sedikit gugup. Sejak kapan dia ada di sana? Jangan-jangan, dia tadi melihat aku dan juga Kun di sini. Ia menoleh ke arah tanganku dan tersenyum sambil membungkukkan tubuhnya sejajar dengan wajahku yang sedang duduk.
“Bunga? Buat siapa? Kamu punya pacar?” Tanya perempuan manis dengan rambut yang ia kuncir satu.
“Aah.. emm..” Aku kebingungan sambil menatap bunga yang ada di tanganku. Aku pun menyodorkan bunga tersebut ke hadapannya.
“Buat elu.” Jawabku hingga membuat rona merah terpancar di wajah putihnya.
“TIDAAAAK!!!” Pekik Kun. Sepertinya dia tidak terima itu.
“Buat aku? Kenapa?”
“Ya.. rasa terimakasih karena kemarin udah nemenin gue di UKS.” Sahutku yang sebenarnya hanya berdalih, kebetulan alasannya pas dan bagus. Lian pun tersenyum sambil menerima bunga dariku.
“Makasih..” singkatnya sambil mengulum senyum.
“Kamu udah gak apa-apa? Katanya kamu kemarin sakit, terus gak ada kabar lagi.” Aku mengusap tengkukku sambil berdiri di hadapannya.
“Yah.. udah baikan kok.”
“Yuk, ke sekolah barengan. Udah hampir masuk nih..” Ajakku sambil berdiri di sampingnya.
“Ayuk..”
.
.
.
.
Sesampainya di sekolah. Aku melihat semua mata tertuju pada kami, padahal kami lagi gak ikut Indonesian odol. Aku juga lihat tatapan cemburu dari perempuan yang baru saja kami lewati, apa lagi sejak tadi sepertinya mereka terus melihat ke arah Lian. Terlebih lagi Lian membawa bunga yang aku berikan. Kira-kira apa sih yang di pikirkan orang-orang ini?
*Author POV
“Yah, udah ada monyetnya ya?” Gumam beberapa siswi, terutama kakak kelas Agam, ketika melihat Agam datang bersama Lian.
“Kok ceweknya biasa banget gitu? Cantikkan juga gue.”
“Emang pacaran? Gak mungkin deh.”
“Tapi itu si Lian bawa bunga, terus dateng bareng sama si Agam ganteng, pasti deh Agam yang kasih.”
“Denger-denger sih kemarin si Lian yang jagain Agam di UKS, jangan-jangan si Lian nyuri-nyuri kesempatan lagi, biar Agam tertarik.”
Dan gosip ini pun sampai di telinga Gino. Mantan pacar Lian. Gino terlihat kesal, apa lagi kalau Lian dekat dengan Agam. Ia yang sejak tadi mendengar gosip dari anak-anak yang lain pun mulai berang.
“Saingan lu si Agam bro.. kelindes jauh luu.. bagaikan pinang di belah kapak.. jadinya ancur-ancuran. Hahah!!” ledek salah satu teman kelas Gino.
“Si Agam mah ganteng, pinter, mana di calonin jadi ketua osis sama guru-guru, nah elu apa? Cuma preman doangan!”
“Bisa diem gak kalian semua!!!” pekik Gino kesal sambil menghempas buku tebal yang ada di atas mejanya.
*Author POV end
.
.
.
Di kelasku, nampak Kun merungut sedari tadi. Terkadang wajahnya juga nampak sedih. Mungkin saja dia kesal karena aku memberikan makanannya pada Lian. Tapi apa boleh buat kan? Kalau tidak ku berikan, tentu Lian akan curiga, kenapa aku membeli bunga, padahal pacar tidak punya, bukan hari spesial juga. Ya jadi mau tidak mau aku memberikannya, itu hanya untuk menutupi perbuatanku saja.
“Kun, lu marah?”
“Bukan!! Saya cemburu!!” Sahut Kun hingga membuatku terbelalak dan meringis.
“Nah kan bener! Lu ini setan maho!!” balasku lagi seraya berbisik agar teman-teman di kelasku tidak ada yang tahu dan curiga, kalau aku sedang bicara pada Kun. Buat apa coba dia cemburu? Pasti dia cemburu karena aku memberikan bunga itu pada Lian, dia pikir aku ini suka pada Lian. Tidak salah lagi, pasti dia emang Maho deh!
“Cemburu saya itu, karena kamu masih bisa merasakan sekolah.. sementara saya udah meninggal.” Aku terdiam mendengarnya. Seketika kerongkonganku tercekat, apalagi wajahnya kian memelas dan tampak begitu menyedihkan.
“Padahal sepertinya kita ini seumuran. Tapi saya harus pergi duluan dari dunia.”
“Kalau saya masih hidup, saya pasti mau sekolah.. mau sekolah seperti teman-teman seumuran saya.”
“Saya cemburu, karena kamu.. masih bisa merasakan apa yang sudah tidak bisa saya rasakan lagi.” Ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Entah kenapa aku menjadi kasihan padanya. Dia benar-benar terlihat sedih sekaligus iri padaku. Padahal sejak di rumah, ia yang terus melihat kemewahan dan barang-barang yang aku miliki, sama sekali tak membuatnya berkata seperti itu.
Aku hanya terdiam. Tapi kerongkonganku terasa tercekat, dan dadaku terasa penuh mendengarnya. Apa mengajaknya ke sekolah, sama dengan menyakiti perasaannya?
.
.
.
.
.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
🤣🤣🤣🤣
2024-02-18
0
Zuhril Witanto
🤣🤣🤣
2024-02-18
0
Khalifatinadhwa Adhwa
nunggu bedukk 😭😭 ada ada aja setannya 😭
2024-02-15
0