Setelah menyetujui tantangan Maxim, aku berjalan cepat keluar dari dalam ruangan tersebut. Entahlah, aku merasa sangat tidak suka berada di dalam sana. Desakan yang mereka lakukan terus memaksaku untuk menuruti sesuatu yang tidak aku inginkan. Baik di sekolah lama atau pun sekolah yang baru, aku selalu saja mendapatkan musuh meskipun aku tidak pernah melakukan apa-apa dan tidak pernah mencari gara-gara pada mereka.
Aku yang telah berada di luar ruangan di buat kaget ketika seseorang menarik tanganku dari belakang. Ia berusaha memutar paksa tubuhku agar dapat menghadapnya. Aku tak melawan, dan menuruti bahasa tubuh yang ia inginkan. Ku lihat seorang perempuan dengan rambut yang lurus bervolume dan hitam menatapku dalam ketika kami bertemu pandang.
Bibir bawahnya bergetar, terlihat seperti orang yang sedang ketakutan akan sesuatu. Mata bulat besarnya yang indah membuatku merasa iba ketika melihatnya begitu. Aku menundukkan kepalaku, membalas tatapannya.
“Kenapa?”
“Gam.. batalin dong tantangan itu..” Ucapnya tiba-tiba. Membuatku meringis dan seketika mengalihkan pandanganku darinya.
“Siapa ya?”
“Aku Bella, kelas XI ips 3.” Aku terdiam. Dia kakak kelasku? Aah, terlalu cantik dan imut untuk jadi senior.
“Kamu harus batalin ya... yah..” Desaknya sambil terus memandangiku.
“Udah sore..” Ucapku sambil berbalik dan berniat untuk meninggalkannya. Namun lagi-lagi ia segera berlari memutar dan berdiri di hadapanku lagi.
“Please dong, Gam. Ini tuh serius!! Kamu gak boleh ikut tantangan itu.” Aku melipat kedua tangan ke dadaku dan sedikit membungkukkan tubuh untuk menyejajarkan wajah kami. Ku lihat wajahnya nampak memerah. Dia malu?
“Kenapa?”
“Karena di sekolah ini punya pantangan, dan pantangan itu belum ada satu orang pun yang berani melanggarnya.” Ucapnya hingga membuatku sedikit tertarik dengan cerita yang ingin ia sampaikan.
“Tadi Maxim udah jelasin kan, kalau di sekolah ini ada tempat yang angker.. ya! Itu gudang di lantai tiga.”
“Terus di sana juga ada sebuah lukisan keramat yang gak kalah angkernya. Kata OB di sini, setiap ngebersihin gudang, mereka gak pernah berani nyentuh lukisan itu. Apalagi sampai mencoba melakukan sesuatu sama lukisannya.. itu kan ngeri banget..” Aku mengangkat sebelah alisku sambil tetap menatap Bella.
“Dan beberapa tahun yang lalu, gosipnya ada seorang OB yang meninggal di dalam gudang. Bunuh diri katanya, sebelum itu dia sempet penasaran sama lukisan yang ada di dalam sana. Terus sama pantangan yang bilang kalau gak boleh masuk ke dalam gudang malam-malam, apa lagi sekitar jam dua belas malam tepat..”
“Tapi karena OB itu gak percaya gosip, dia mau ngebuktiin dengan masuk ke dalam gudang malam-malam, jam dua belas. Katanya, dia mati di depan lukisan itu, sambil berdiri dengan lidah yang menjulur keluar. Tulang lehernya patah, katanya juga.. dia menyekik lehernya sendiri sampai mati.. dan itu terjadi tiga hari setelah dia utak-atik lukisan itu. Jadi jangan ya Gam, kamu gak boleh pergi ke situ..”
“Gosipnya?” Ucapku hingga membuat Bella mengernyit.
“Iya.. tapi rumor itu bener kok katanya. Cuma di tutupin aja, karena gak mau bikin pelajar dan orang tua pelajar di sini panik.” Aku tersenyum mendengarnya, hingga membuat Bella terlihat sedikit kesal dengan sikapku.
“Kok senyum sih?! Aku kan serius!”
“Lu percaya cuma dengan denger cerita orang aja?” Bella terdiam.
“Bel, cerita yang kayak gitu gue rasa di semua sekolah ada kok.”
“Sekolah ini dulunya bekas mahkam loh, bekas rumah sakit loh.. katanya lagi, ada yang bunuh diri loh. Itu Cuma rumor, udah dari Sd gue denger yang kayak gitu.” Ucapku lagi hingga membuat wajah Bella memerah. Ia langsung saja memukul perutku hingga membuatku terkejut. Ya pukulan dari tangan mungilnya tentu tidak akan menyakitiku. Itu hanya mengagetkanku saja.
“Nyebelin banget sih!!” Bentaknya di hadapanku. Kata-kata itu sudah biasa ku dengarkan dari perempuan yang mendekatiku. Aku tidak bisa melihat wajah perempuan yang kesal, cantik mereka akan semakin bertambah kalau ngambek atau kesal. Aku langsung tertawa sambil membalikkan tubuhku darinya.
“Gam..” Panggilnya pelan. Aku menghentikan langkahku.
“Hn?” Sahutku tanpa menoleh ke arahnya.
“Kalau nanti kamu ngerasa aneh di dalam sana, kamu harus bersiul sepanjang napas.” Ucapnya lirih.
“Hantu itu senang dengan siulan merdu, katanya, dulu dia selalu bersiul semasa hidup kalau lagi ngelukis di sana. Jadi mungkin.. kamu gabakal kenapa-napa.” Sambung Bella lagi. Aku pun menoleh menatapnya.
“Kamu perhatian..” ucapku hingga membuatnya tersenyum dan menunduk malu. Aku pun berlalu dari hadapannya.
***
Bella adalah salah satu dari orang yang perduli dan mengingatkanku untuk membatalkan tantangan itu. Sepanjang perjalanan pulang, beberapa kali aku di cegat oleh teman-teman dari sekolahku. Mereka tentu mengatakan hal yang sama dengan apa yang sudah di sampaikan Bella padaku tadi.
Sebenarnya, kenapa mereka sampai mempercayai dongeng seperti itu? Mereka hanya mendengar katanya saja dari orang lain. Dan mungkin mereka juga tidak tahu benar atau tidaknya cerita itu. Mungkin saja di dalam gudang, kepala sekolah menyimpan harta karun dari istrinya. Yaa, gosip itu di buat biar tidak ada yang berani masuk ke dalam sana. Jadi harta karunnya aman.
Aku lebih mempercayai cerita yang seperti itu ketimbang dongeng bernuansa horor tadi. Tapi, ceritanya bagus juga, mungkin yang buat gosip itu harusnya jadi novelis saja. Bakatnya sudah nampak. Ia juga bisa mempengaruhi orang-orang untuk mempercayai cerita konyolnya itu.
.
.
.
.
Tepat jam sepuluh malam, di koridor sudah ramai berkumpul teman-temanku. Ada Maxim, anggota osis dan juga perwakilan beberapa siswa laki-laki. Mereka berkali-kali melihat jam yang ada di tangan mereka, sambil menatap ke arah pintu, berharap seseorang yang mereka tunggu segera datang.
“Udah jam sepuluh nih, tadi dia bilang stay-nya jam sepuluh, tapi dia sendiri belum dateng..”
“Iya nih.. kita semua udah kumpul di sini.. dia doang yang belum dateng.” Maxim hanya tersenyum sinis mendengarnya.
“Kira-kira jadi dateng gak sih dia? Jangan-jangan kita cuma di kerjain sama dia.. dia nyuruh kita dateng, sementara dia enak-enakan di rumah.”
“Makin malem gue makin merinding nih.. mana udaranya dingin banget lagi.”
“Eh! Jangan ngomong kayak gitu dong. Gue kan jadi takut ini.”
“Max.. gimana dong.. dia dateng gak nih?”
“Iya.. telponin kek.”
“Gue gak punya nomornya.. kita tunggu aja dulu dua puluh menit. Kalau dia masih gak dateng juga, baru kita pulang.”
*Dua puluh menit kemudian.
“Max.. gimana? Udah dua puluh menit ini.” Maxim pun menatap ke jam yang terlilit di pergelangan tangannya.
“Udah.. kita pulang.. dia kayaknya gak berani dateng.”
“Mungkin dia takut setelah denger cerita temen-temen yang lain.” Ucap Maxim sambil mengenakan tas sandangnya kembali.
“Takut? Gak salah?” Mereka semua langsung berbalik menatapku ketika aku sudah berada di belakang mereka.
“Agam.. sampe juga lo..”
“Gue kira lu bakal lari dan gak dateng malem ini.” Aku mendengus mendengarnya.
“Janji lu kan jam sepuluh, tapi lu buat kita semua nunggu hampir dua puluh tiga menit ini.”
“Sorry.. gue gak punya spidol. Semua toko yang ngarah ke sekolah dari rumah gue udah pada tutup. Jadi gue balik ke rumah bentar, cuma dapet satu spidol nih, warna merah.”
"Spidol?? Buat apa?" Tanya Maxim kaku. Aku pun mendengus.
"Yah, lu kan minta gue ninggalin jejak di sana. Kalau gue cuma mindahin lukisannya, bisa aja kan kalian resek dan ngebalikin tu lukisan ke posisi semula. Jadi, mendingan gue tulis sesuatu aja di lukisannya, tanda tangan mungkin." Terangku.
"Lagian ini spidol permanen, gak akan bisa kalian hapus. Terus tandatangan gue juga susah di tiru, jadi.. gue berencana buat nandatanganin lukisan itu." Tambahku.
“Yaudah deh, gak masalah. Yang penting lu udah dateng aja.”
“Btw, di mana gudangnya?”
“Oh.. iya.. di sana.. koridor paling ujung dari semua ruang.” Tunjuk Ciko padaku.
Yang aku lihat, di ujung sana begitu gelap. Sama sekali tidak kelihatan ujung pangkalnya. Aku menyipitkan kedua mataku, setidaknya untuk berusaha melihat ujung pintu itu.
“Sekarang masih jam sepuluh lewat, kita tunggu sampai jam sebelas lima puluh lima menit, dan lu harus mulai jalan ke sana di jam itu.” Ucap Maxim padaku yang mulai duduk di atas meja.
Hampir satu jam kami menunggu, entah itu perasaanku saja tapi aku rasa ruangan ini nampak sedikit berasap. Apakah kabut malam?
Di tambah lagi semua teman-temanku yang ada di sini hanya saling terdiam satu sama lain. Mereka hanya saling melirik, beberapa kali aku sempat memergokinya. Mereka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi di tahan.
“Woi.. kalian, ngerasain sesuatu gak?”
“Kayak.. lagi ada yang ngeliatin kita gitu.” Ucap Ciko hingga membuat bulu tanganku tiba-tiba saja berdiri dengan tegaknya.
“Hei, Cik.. jangan bikin parno dong.. lu gak ngerti situasi ya?”
“Ya, sorry sih bro.. tapi, gue ngerasa gak nyaman aja.”
“Halah, penakut lu Cik, gak usah jadi osis aja lu!!”
“Sial*n lu!!”
“Udah diem aja. Kita tunggu sampai jam sebelas lima puluh lima menit. Bentar lagi kok.” Ucap Maxim sambil kembali mengecek jam yang ada ditangannya.
Tiba-tiba saja aku mendengarkan suara langkah kaki. Aku langsung mengernyit sambil menatap ekspresi teman-temanku. Mereka kelihatannya terus menilik dengan penuh tekanan, wajah mereka semua tegang. Jadi ku simpulkan, kalau mereka semua juga sedang mendengarkan apa yang aku dengar barusan.
Tak lama terdengar suara yang sayup-sayup, aku tak bisa menjelaskan suara macam apa itu. Tapi terdengar begitu halus. Saat ini terjadi, aku dapat mendengarkannya dengan jelas, namun saat aku menuliskan cerita ini, aku kebingungan menuliskan seperti apa suara yang ku dengar itu.
“Bro.. lu denger kayak suara-suara gitu gak?”
“Hush!! Diem aja deh!!”
“Apa sebaiknya kita pulang aja bro, gak usah lanjutin aja nih tantangan. Entar pemilihan Agam pakai suara terbanyak aja deh.”
“Berisik lu!!” Bentak Maxim.
“Satu menit lagi jam sebelas lima puluh lima nih.” Sambung Maxim hingga membuatku ikut menatap ke arah jam tangan milikku.
“Oke.. pas! Jam sebelas lima puluh lima menit!!” Ucap Maxim, dan seketika semua lampu di sekolah padam.
“Aaaaaaakkhh!!!” Teriak teman-temanku. Entah siapa itu, aku tak bisa melihat raut ketakutan mereka, tempat ini benar-benar gelap, sampai-sampai aku tak bisa melihat telapak tanganku sendiri. Aku merasa ada yang sedang memeluk lenganku dengan tubuh yang gemetaran.
“Sumpah sumpah sumpah!! Pas banget lagi mati lampunya!!”
“Gue takut bro, sial*n!! Mau kencing rasanya!”
Ku lihat seseorang menyalakan lilin. Membuat cahaya yang memancar tersebut berbinar di wajahnya. Itu Maxim. Ia langsung menyalakan lilin dengan korek gas yang ia bawa. cukup untuk memberikan sedikit penerangan untuk kami. Karena angin begitu kencang meski semua jendela tertutup, lilin yang di nyalakan Maxim pun padam. Maxim kembali berusaha menghidupkan lilin tersebut, namun angin seolah sengaja terus meniupnya sampai padam. Mereka pun mengeluarkan ponsel milik mereka masing-masing untuk membantu penerangan.
Suasana kini bertambah mencekam, terlebih lagi dengan keadaan ruangan yang lebih gelap dari pada sebelum lampu padam. Entah kenapa, benda-benda yang seperti tirai kini lebih terlihat seperti seseorang yang sedang berdiri dan mengenakan baju putih. Ruang kelas yang mendapat sedikit penerangan dari kami seolah memberikan kesan ada seseorang yang sedang duduk di salah satu kursinya. Sekelabat nampak seperti itu, namun jika di lihat dengan sungguh-sungguh, memang tidak ada apa-apa di sana.
Entah kenapa, aku merasakan hal lain. Panas dingin di bagian tengkukku mulai menyeruak. Bulu-bulu tanganku tak hentinya berdiri sejak tadi. Pori-pori kulitku menyemul dan membulat besar.
Ku pandangi satu persatu wajah teman-temanku. Ya, mereka juga kelihatannya sedang ketakutan. Terlebih lagi Ciko, aku baru tahu kalau ia sepenakut itu pada hal-hal yang seperti ini.
“Bro.. pulang yuk. Badan gue rasanya gak enak. Kayak mau demam menggigil gitu.” Ucap Ciko sambil memeluk tangannya.
“Tanggung. Udah mau jam dua belas bentar lagi.” Ucapku datar.
Ku lihat Ciko mulai menggigil kedinginan. Bibir bawahnya menggeletak. Ia terus menerus melihat ke sekeliling. Sejujurnya aku juga merasakan apa yang sedang Ciko rasakan. Tubuhku panas dingin seolah menggigil. Tapi aku berusaha menahannya. Sensasi macam apa ini? Mungkin saja karena cuacanya sedang dingin. Padahal di luar gedung sekolah tadi lumayan panas.
Tiba-tiba saja aku melihat bayangan sekelabat melesat di sisi kami. Saking terasanya, aku bisa mendengar suara angin yang ia ciptakan. Terdengar seperti bunyi “wush” ketika ia lewat. Benar-benar terasa. Ku lihat semua temanku menoleh ke arah yang sama seperti yang sedang aku lihat. Mereka juga melihat kah?
Tak lama dari itu, terdengar suara dentuman keras dari dalam kelas. Seperti suara nampan atau suara panci yang jatuh. Dentumannya begitu keras “DUM!” dan seketika itu juga ku lihat teman-temanku berteriak karena terkejut.
Aku juga melihat Maxim yang awalnya duduk di atas meja langsung beranjak. Ia segera berdiri dan menatapku. Apa ia sedang meminta pendapatku? Ia terlihat tak tenang dan gelisah. Ia berkeringat di tempat sedingin ini.
“Gam.. gue cabut tantangan gue.” Ucap Maxim dengan suara yang bergetar padaku.
“Akhirnya.. ayo kita pulang.. tantangan ini gak usah di terusin aja.”
“Bener, firasat gue buruk rasanya.”
“Dari awal kayaknya kita emang udah di suruh pulang deh. Pertama Agam yang ketinggalan spidolnya. Terus, lampu mati, sekarang suara benda jatuh pas benda putih lewat. Ayo kita pulang.”
“Ayo..” Ucap mereka menyetujuinya.
“Penakut banget sih.” Ucapku hingga membuat mereka menatapku.
“Yang ke gudang kan gue. Kalian tunggu aja di sini sampe gue kelar nandatanganinnya.” Ku lihat Maxim mendekatiku setelah aku selesai dengan ucapanku. Ia langsung menarik kerah bajuku dengan kuat, dan menatapku dengan tajam.
“Gue tau Gam, lu pasti ngeyel karena gak suka gue ngatain lu banci kan sore tadi? Tapi sekarang situasinya beda! Lu ngertilah! Gue tau lu juga ngerasain kan?” Aku langsung menepis kasar tangan Maxim di leherku.
“Gue tau situasi! Yang gak ngerti situasi karena takut itu elu! Laki-laki itu, gak pengecut, dan gak pernah ngelanggar janji!”
“Dan elu, elu yang udah bikin tantangan, dan sekarang elu yang narik tantangan itu?” Aku menggelengkan kepalaku.
“Yang di pegang dari lelaki itu adalah ucapannya, kalau lu narik ucapan lu sendiri, jangan pernah ngaku kalau lu itu laki-laki!” Ucapku hingga membuat mata Maxim terbelalak.
“Tantangan ini, biar gue yang selesain. Malam ini juga..” Ucapku sambil berjalan menuju gudang. Namun di satu sisi, aku merasa ada sesuatu yang terus menatapku tanpa permisi. Dari arah yang jauh namun terasa dekat. Mengikuti ke mana aku pergi. Apa di atas, sedang ada yang merayap mengikutiku? atau, berjalan di belakangku tanpa spasi sedikit pun?
.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
°RhaiKen™
aaaaa...ikut tegang 😱😱😰🥶🥶🥶
2024-04-23
0
Amelia
❤️❤️👍
2024-02-26
1
Amelia
nice ❤️❤️.... minta dukungan juga untuk karyaku 🙏
2024-02-17
0