Besok pagi aku bangun dalam keadaan seluruh tubuh yang lemas dan juga sedikit panas. Aku tak tahu apa yang terjadi, sepertinya aku terlalu kedinginan di dalam sekolah, terlebih lagi aku tidak mengenakan Jaket sama sekali. Hanya mengenakan baju kaos hitam berlengan pendek.
Pagi ini aku bangun sedikit terlambat, pukul empat tiga puluh menit. Adzan subuh sudah berkumandang sejak tadi. Aku ketinggalan shalat sunah fajarku hari ini. Setelah selesai shalat dan mandi, aku langsung ke meja makan. Menemui ayah dan ibuku yang sarapan di sana.
Aku menggerek kursi dan duduk di hadapan mereka. Mengambil sebuah piring yang ku isi dengan nasi secukupnya. Tanpa ku sadari, ayah dan ibu rupanya sedang memperhatikanku sejak tadi.
“Kamu sakit Gam?” Tanya Ibu pelan, membuatku mengangkat wajahku dan menatapnya.
“Enggak.”
“Kok pucet gitu?” Tanya Ayahku juga. Aku hanya menggeleng.
“Kalau sakit, gak usah sekolah aja. Entar ibu kasih kabar ke wali kelas kamu. Sekalian kita langsung pergi ke rumah sakit. Kalau sudah siang, ibu gak sempat. Kamu tau kan ibu dan ayah sibuk kerja.” Aku mendengus napas.
“Tau!”
“Jadi mau ya ke rumah sakitnya?” Aku hanya diam.
“Kamu harus ke rumah sakit Gam.. kalau udah parah, ayah sama ibu gak bakalan mau bawa kamu ke sana! Pergi aja sendiri.” Ucap ayahku datar.
“Duh, bu, yah.. Agam tuh gak apa-apa lagi. Lagian Agam tuh udah enam belas tahun. Malu tau kalo ke rumah sakit masih di temenin orang tua. Kalau Agam sakit, Agam bisa pergi sendiri.”
Kini ayah dan ibuku hanya terdiam sambil saling berpandangan satu sama lain. Ibuku menatap ayah dengan tatapan khawatir, seolah sedang memaksa ayah untuk membujukku kembali.
“Udah lah Din.. Agam udah besar. Dia bener kok. Lagian dia juga anak laki, masa kamu harus temenin dia kemana-mana sih.”
“Iya gak Gam.” Bela ayah padaku.
“Dasar.. dua cowok di rumah ini gak ada yang perhatian sama ibunya. Bisanya Cuma bikin orang khawatir aja.” Aku langsung tersenyum ketika melihat ayah menggenggam tangan ibu di hadapanku. Seketika nasi yang sedang ku kunyah langsung tertelan. Aku menahan tawa melihatnya. Di umur setua itu, mereka masih bisa bersikap manis seperti itu. Menyenangkan sekali melihatnya.
“Ah, Agam mau berangkat aja lah ke sekolah. Kayaknya lagi ada yang pengen dua-duaan nih.” Ledekku sambil menyomot roti tawar yang sudah di bakar dan di lapisi coklat keju di dalamnya. Aku segera beranjak dari tempat dudukku.
“Tulah tau! Kalo sering ledekin orang tua!” Keluh ibu ketika aku menyalami tangannya dan juga ayah.
“Ibu kan pacarku.. cewekku.”
“Siapa bilang? Ini nih pacar ayah tau!’ Balas ayah dan aku hingga membuat raut wajah ibu memerah malu.
“Yaudah deh.. Agam berangkat yah.. bu..”
“Hati-hati nak..”
.
.
.
Sesampainya di sekolah, aku turun dari angkot hitam yang merupakan angkot jurusan dari rute rumahku ke sekolah. Aku segera masuk ke gerbang karena merasa hari sudah mulai siang, dan pintu gerbang telah tertutup setengah.
Saat memasuki gerbang sekolah, aku lihat ada seorang bapak-bapak yang sepertinya kemarin memarahi kami karena pergi ke sekolah di atas jam sepuluh malam. Kalau tidak salah, namanya pak Wanto? Ya, aku dengar Max mengucapkan namanya kemarin.
Aku tersenyum melihatnya, namun ia hanya menatapku dengan wajah datar. Matanya sulit untuk ku gambarkan maksudnya. Aku tak mengerti, sepertinya dia terlihat sedang marah atau dia tidak menyukaiku?
“Pagi pak Wanto..” Sapaku yang berusaha menyairkan suasana. Namun tak ku dengar balasan darinya. Ia segera berbalik memunggungiku sambil memunguti beberapa sampah cangkir air mineral.
Aku mengernyit. Keheranan sekaligus kebingungan. Kenapa dia terlihat dingin padaku? Baru kali ini aku bertemu dan melihatnya. Tapi sepertinya dia tidak suka padaku. Apa dia marah karena kejadian semalam?
Sambil berjalan aku terus menatap pak Wanto. Ia sepertinya sudah tidak memperdulikan aku lagi. Harusnya tadi aku tidak mengucapkan selamat pagi padanya. Kalau ku sapa dengan assalamualaikum pasti dia akan segera menjawabnya. Yaa. Itu salahku sih.
***
“Waaah.. baru dateng dia.. udah di tungguin dari tadi padahal.” Ucap Maxim ketika aku baru saja menginjakkan kakiku ke lantai kelas. Aku hanya terdiam sambil menuju bangku ku dan meletakkan tas milikku di atas kursi.
“Kenapa?”
“Kita mau ngajakin lu ke gudang lagi. Mau cek, lu udah meninggalkan tanda di situ apa belom.” Aku hanya menggarukkan kepalaku mendengarnya.
“Liat aja sendiri, males gua.”
“Apa jangan-jangan lu takut? Trus lu trauma mau kesitu lagi?” Ejek Maxim padaku.
“Terserah.” Desahku. Malas sekali rasanya di buat repot oleh mereka-mereka ini.
"Jangan-jangan lu emang gak ngapa-ngapain lukisannya lagi. Buktinya, lu gak mau kita ajak ke situ lagi.”
“Udah gue tanda tanganin kok! Lukisan cowok itu.” Ucapku sambil bertekan dagu dan membuka buku matematika.
Namun aku tak mendengar kembali sanggahan dari Maxim padaku. Mereka semua terdiam, hingga membuat kelas ini sunyi senyap. Aku pun mengangkat kepalaku dan menatap mereka. Mereka sedang saling tatap satu sama lain dengan raut wajah yang sulit ku artikan.
“Kenapa?” Maxim langsung menatapku.
“Lukisan cowok?” ia mengernyit.
“Perasaan gak ada lukisan cowok deh di gudang.” Aku menghela napas malas.
“Ada kok. Buktinya gue udah tanda tanganin kemarin disitu.”
“Lu becanda kan? Lu emang gak masuk ke dalam gudang kan? Jadinya lu ngarang gambar lukisannya apa. Iya kan?” Aku terdiam sambil membalas tatapan Maxim dengan tajam.
“Menurut lu, muka gue bercanda?” Maxim terdiam.
“Gila lu Gam! Emang gak ada lukisan cowok di situ. Lukisan yang kita maksud itu lukisan hotel pengasingan jaman penjajah dulu. Di atas bukit. Bukan lukisan cowok.”
“Yang ada cuma itu! Lukisan cowok!”
“Lu bohong kali!!”
“Gue bohong dapet duit gitu?”
“Stop stop stop ya!!!” Ucap Ciko berusaha melerai aku dan juga Maxim.
“Dari pada kalian berdua ngebacot disini, yuk kita liat aja sekarang!!”
“Bener juga tuh.”
“Siapa takut!” balasku.
Ketika kami serentak berdiri dari kursi masing-masing. Bel masuk pun berbunyi. Membuat masing-masing dari kami mengurungkan niat yang sudah bulat tadi.
“Sial*n!! Udah bel lagi!!” keluh Ciko.
Aku kembali duduk ke kursiku. Aku bertekan dagu sambil memikirkan lukisan yang mereka maksud. Yang ku lihat sungguh-sungguh lukisan seorang lelaki berambut putih dengan wajah pucat dan mata hijaunya. Readers.. Bukankah kalian juga bersamaku waktu itu? Aku benar-benar menuliskan apa yang aku lihat di sana. Aku tak lihat ada lukisan hotel atau tempat pengasingan di atas bukit yang mereka maksud. Yang ada, ya lukisan yang sudah ku tandatangani itu.
Sepanjang pelajaran, aku terus memikirkan hal ini. Ku rasa aku benar-benar tidak fokus hari ini. Apa mereka sedang mengerjaiku. Biar aku jadi merasa takut dan nanti mereka akan menertawakanku? Tapi benarkan begitu??
(Flashback)
Dalam kegelisahanku, aku akhirnya bisa sedikit lega ketika menemukan sebuah lukisan yang mereka maksud. Aku pun bermaksud mendekati benda persegi panjang yang terbingkai tersebut. Namun, entah kenapa aku seolah tak berani melakukannya. Terlebih lagi setelah ku lihat dengan seksama, lukisan itu tampak lumayan menyeramkan.
Gambar seorang lelaki berambut putih. Matanya hijau dan wajahnya pucat. Apakah lelaki yang gosipnya meninggal setelah menggambar ini, sedang menggambar seseorang atau menggambar dirinya sendiri? Atau ia sedang menggambar orang yang membunuhnya? Rasanya penasaran juga.
Tatapan matanya tajam, dan entah kenapa, aku merasa seolah lukisan ini benar-benar indah dan nampak realistis. Aku lumayan bisa melukis seperti itu, jadi aku sedikit kagum dengan hasil lukisan orang yang sudah meninggal ini. Pandangan yang ia gambarkan, seolah-olah sedang benar-benar menatapku dengan tajam. Dengan raut mata yang mengerikan. Marah? Apakah dia sedang marah? Sepertinya ia sedang menggambar orang yang marah, benar-benar hebat. Dan entah kenapa, rasanya kami bisa saling menatap satu sama lain, dan ketika bertemu pandang dengannya, aku merasa merinding dan dadaku sempat berdenyut panjang. Rasanya seperti habis di kageti seseorang.
Aku mulai mengeluarkan spidol milikku. Aku hendak membuka tutupnya. Ku pandangi lukisan yang hampir mirip seperti sebuah foto lelaki misterius dengan mata yang menyeramkan.
Namun, di tengah kesibukanku. Aku kembali merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhku menjadi panas dingin dengan kurun waktu yang begitu cepat dan berulang-ulang. Tangan kiriku yang sedang memegang center harus membantu tangan kananku dalam menarik tutup spidol.
Aku merasa ada sesuatu yang hendak menjangkau leherku, serentak dengan spidol yang berada di tanganku terjatuh. Aku pun merunduk dan memungut spidol yang kini telah berada di atas lantai.
Tiba-tiba saja aku merasa begitu gugup, tanganku bergetar hebat, dan kedua kakiku mulai merasa lemah. Keringat mengucur deras di ruangan sedingin ini. Tubuhku tak menentu, kadang panas dan sebentar dingin. Aku mulai merasakan mual dari dasar perutku.
Aku terus melafalkan ayat kursi di dalam hatiku. Namun tiba-tiba aku teringat dengan ucapan teman-temanku sore tadi. Kalau aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku harus bersiul sepanjang napas.
Walau terasa aneh, terlebih lagi bersiul di malam hari itu adalah sesuatu hal yang biasa di sebut pamali dan tabu, aku pun akhirnya melakukannya. Aku tak tahu lagu apa yang harus ku siulkan. Dan tanpa sadar, aku pun menyiulkan lagu “syukur”, salah satu lagu wajib nasional yang pernah di ajarkan padaku di sekolah. Di saat seperti ini, hanya lagu itu yang ku ingat.
Dalam hatiku pun tak hentinya berdoa dan berzikir. Semoga aku bisa menyelesaikan ini . aku segera memberikan tanda tanganku di atas lukisan yang terasa licin seperti kaca. Harusnya, permukaan kanvas tak selicin ini kan? Setelah selesai. Aku tak mendapati tutup spidolku. Namun aku rasa terlalu melelahkan harus terus berada di tempat ini dengan keadaan tubuh yang seperti ini. Aku pun memilih kembali pada teman-temanku yang telah menunggu.
(End of Flashback)
Aku menyoret-nyoret buku pelajaranku sambil membayangkan wajah teman-temanku tadi. Sepertinya mereka tidak mungkin sedang mengerjaiku, karena ku lihat tadi, hanya raut kaget dan pucat dari wajah mereka. sama sekali tidak ada senyum smirk atau sejenisnya. Ku lihat jam yang ada di belakang dinding kelas. Jam terasa berdetik begitu lama. Aku benar-benar ingin segera istirahat dan juga segera pergi ke dalam gudang. Untuk membuktikan bahwa apa yang sudah ku katakan pada mereka tadi adalah benar.
Jam istirahat pun berbunyi. Kami bersama-sama anggota yang semalam pun bergegas menuju ke gudang sekolah yang ada di lantai tiga. Max berjalan begitu cepat, nampaknya dia sudah tidak sabar sekali untuk melihat hasil perkerjaanku itu.
Max segera membuku pintu gudang yang sedikit berat karena engsel yang berkarat. Seperti apa yang ku rasakan semalam. Deritan suaranya membuat teman-temanku menutup daun telinga mereka dengan kedua tangannya.
“Ah!! Gila.. suaranya nyakitin telinga!!”
Keluh mereka serentak. Aku hanya terdiam. Karena aku sudah merasakan hal itu semalam. Ku lihat Maxim mendorong pintunya dengan kepayahan. Setelah semua pintu terbuka, mereka serentak menatapku.
“Itu lukisannya. Ada di depan lemari yang udah bolong!” ucap Maxim sambil menunjukkan sebuah lukisan gedung dengan tangga putih yang mengelilinginya. Di atasnya, ada bendera merah putih yang berkibar. Dan di sekelilingnya juga ada tumbuhan hijau yang ikut mengelilingi tempat itu.
Aku hanya mengernyit. Kenapa semalam aku sama sekali tidak melihat lukisan yang tergantung di depan pintu lemari ini? Aku hanya melihat sebuah lemari yang jebol di bagian tengahnya.
“Mana? Mana tanda tangan lu? Mana bekas spidolnya? Di pindahin juga enggak lukisannya, bergeser sedikit pun enggak. Emang beneran semalem lu udah masuk ke dalam sini? Tanda-tanda kehadiran lu aja gak ada di sini.” Tanya Maxim setengah mendesak padaku.
“Gue gak lihat lukisan ini semalem!” Dalihku. Karena aku memang tak melihatnya semalam.
“Halah!! Palingan juga lu bohong. Lu gak masuk ke sini kan semalam? Lu takut, jadi lu bohong ke kita-kita!” Ucap Maxim hingga membuatku sedikit kesal pada perkataannya yang terus-terusan meremehkan dan tak mempercayai aku.
Aku pun langsung mengalihkan pandanganku ke dekat jendela yang di tutupi dengan kayu lapuk. Aku menabrak tubuh Maxim yang menghalangi jalanku di pintu. Aku langsung saja masuk ke dalam sana, membuat mereka semua mengikutiku.
“Gue nandatanganin lukisan yang di sini semalem.. lukisan cowok berambut putih!” ucapku sambil membimbing mereka ke lukisan tersebut.
Namun betapa kagetnya aku, dan begitu juga dengan mereka, ketika melihat tanda tanganku dengan spidol merah malah terukir di atas kaca atau cermin. Aku benar-benar kaget. Aku tak percaya ini. Semalam ini benar-benar lukisan.
Ku dengar Maxim dan yang lainnya menertawakan aku. Apalagi ketika aku bersikeras untuk menilik lebih dekat cermin tersebut. Aku mengusap-usap cermin tersebut. Tidak mungkin kan mereka menjahiliku dengan memindahkan lukisan dengan cermin? Ini benar-benar tanda tanganku sendiri. Dan aku benar-benar tidak menandatangani cermin sama sekali.
“Mana Gam? Hahaha!!”
“Lu ketakutan banget ya pasti!”
“Cermin lagi yang di tandatanganin. Ya ampun!”
“Gak..”
“Gak mungkin..” Gumamku hingga membuat mereka semakin menjadi-jadi untuk menertawaiku.
“Jelas-jelas gua nandatanganin lukisan.. bukan cermin.. cowok berambut putih.. matanya hijau, bajunya putih. Dia ngangkat sebelah tangannya yang di lumurin darah.. bukan cermin kok.”
“Buktinya apa dong?” mereka kembali menertawaiku.
Aku terdiam. Tidak mungkin.. itu tidak mungkin kan? Semalam ini benar-benar lukisan, kenapa sekarang berubah menjadi cermin? Apa jangan-jangan, ini memang cermin dan bukan lukisan. Kalau benar begitu.. berarti.. yang aku tanda tangani semalam itu adalah...
“Pantulan makhluk halus yang sebenarnya.”
“Berarti.. saat bertatapan itu, kami memang sedang...”
Tiba-tiba aku merasakan ruangan ini menjadi gelap.
Gelap..
Aku tak dapat melihat apa-apa..
Kenapa ini?
Apa yang terjadi?
.
.
.
Bersambung...
***
NOTE
Penasaran sama lukisan yang di maksud Maxim dan teman-teman?
Agam salah menandatangani lukisan yang ternyata adalah cermin, padahal sebelumnya Agam melihat kalau lukisan itu adalah lukisan seorang lelaki misterius.
Lukisan angker yang mereka maksud adalah lukisan tempat pengasingan di jaman penjajah..
Entah apa maksudnya, tapi korban yang meninggal itu sebelumnya melukis sebuah tempat ini untuk terakhir kalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
mungkin yang semalem bukan lukisan tapi setan beneran
2024-02-15
0
Zuhril Witanto
iya aku jadi saksi
2024-02-15
0
Zuhril Witanto
pak Wanto mungkin gak suka ada yang masuk gudang...
2024-02-15
0