Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lima puluh delapan menit. Aku terus berjalan menyusuri selasar kelas demi kelas. Pandanganku lurus, hanya tertuju pada satu pintu yang ingin ku masuki. Pintu yang sempat di tunjukkan Ciko padaku dari jauh.
Semakin lama aku berjalan, entah kenapa langkahku semakin berat. Aku mencoba untuk mempercepat langkahku menuju ke sana. Sayup-sayup ku dengar suara yang tadi kembali muncul. Tak terdengar begitu jelas. Suara langkah kakiku lebih besar dari pada suara itu. Namun jika aku mencoba memasang telingaku lebih peka, aku dapat mendengar suara gumaman lembut. Suara perempuan??? Kadang aku merasa suara itu seperti tangis yang terisak atau sesegukkan.
Entahlah, yang pasti itu cukup membuyarkan konsentrasiku. Aku mengarahkan lampu center lurus menuju pintu. Tapi mendadak, dari ujung sudut mataku, aku melihat seperti ada sesuatu, yang mau tidak mau harus membuatku mengarahkan center tersebut ke arah itu.
“Gak ada apa-apa?” Gumamku sambil menyoroti sekeliling bagian dalam kelas dari luar jendela. Padahal, kalau tidak salah.. aku seperti melihat perempuan memakai kebaya hitam dengan rambut sanggul yang terlihat sudah acak-acakkan. Ia menggeletuk seperti menggigil kedinginan. Mungkin saja aku salah lihat karena ruangan terasa sangat gelap.
Aku kembali meneruskan perjalananku. Ketika aku mengalihkan lampu center dari dalam ruang kelas, tiba-tiba tanganku seperti tertampik sesuatu. Membuat center yang ku bawa terjatuh ke atas lantai dan menyoroti arah belakangku.
“Apaan sih itu? Bikin kaget.” Gerutuku sambil kembali mengambil lampu center yang terhempas tersebut.
Seketika ketika aku merunduk, nampak terllihat satu bayangan yang berada di hadapanku. Ada yang menggantung, seperti kaki. Yang membuatnya seram, kaki itu berlumuran darah kental yang menghitam, dan lagi, baunya amis.. seperti darah sapi. Aku bisa melihatnya sedikit, meski kini aku sedang menunduk. Spontan saja hal tersebut membuat bulu-bulu tanganku berdiri. Aku sedikit memperlambat gerakanku. Karena hanya kalian yang bisa membaca perasaanku, jadi aku akan berkata jujur, kalau sekarang aku mulai merasa takut.
Dengan perlahan ku arahkan lampu center yang barusan ku ambil dari atas lantai. Menyorot ke hadapanku dengan cepat, karena jika melakukannya dengan lambat, aku tidak akan bisa melihatnya kembali seperti saat menyoroti bagian dalam kelas tadi.
Mataku terbelalak ketika hampir melihat sebuah penampakkan namun tiba-tiba saja lampu center ku tiba-tiba mati ketika aku menyorotinya. Aku panik sekali, dan aku benar-benar merasa takut hingga tanganku bergetar hebat. Tolong, sebelumnya aku tidak pernah sepenakut ini pada hal apa pun. Tapi kenapa sekolah ini terasa begitu nyata. Ku rasa aku tak pernah memiliki kemampuan indigo dan bisa melihat benda tak kasat mata. Tapi kenapa di sini seolah-olah sengaja menampakkan diri mereka padaku. Secara terang-terangan.
Aku terus mengetuk-ngetuk lampu centerku agar dapat kembali memberikan penerangan padaku. Namun di sisi lain, aku benar-benar merasa di depanku ada yang hendak menjangkau dan menghampiriku.
“Tidak!! Mau ku baca ayat kursi apa? Jangan mendekat!!” Bentakku seraya mengancam dan terus memukuli kepala center yang mati itu.
Lampu center mulai berkelip-kelip seiring dengan sebuah tangan yang ku rasa hampir menjangkauku dari depan kini mengarahkan tangannya yang berlumuran darah ke arah leherku. Ku rasa kuku-kukunya panjang dan lagi baunya benar-benar busuk. Sumpah, aku merasakannya, tapi aku tak bisa melihat apa-apa saking gelapnya.
Begitu lampu center menyala, aku langsung mencondongkan cahaya tersebut ke hadapanku. Dan seketika apa yang ku rasakan tadi menghilang. Mungkinkah dia sudah pergi ketika lampuku menyala?
Aku mendesah napas berat. Keringat mengucur di pelipisku. Aku merasa panas dalam keadaan malam yang sedingin ini. Aku menyeka keringatku. Dan terus berjalan hingga aku berhasil menemukan sebuah pintu besar dari kayu jati.
Benarkah ini gudang? Tapi ini terkesan terlalu artistik untuk sebuah pintu. Terlebih lagi, kenapa sekolah ini punya gudang di lantai tiga dan bergabung di antara ruang-ruang kelas lainnya, ruang musik, dan aku tidak tahu ruangan apa lagi yang ada di sini.
Kalau di sekolahku dulu, gudang akan berada di belakang gedung sekolah. Atau paling tidak memisahkan diri dari ruang kelas atau ruangan utama sekolah. Kenapa ruangan ini terlalu nyentrik dan kalau di rawat, sepertinya tempat ini tidaklah cocok di sebut sebagai gudang.
Ku lihat gagang besi yang terukir ini mulai berkarat, dan menghilangkan ukiran indah yang ada di besi tersebut. Mungkin karena jarang di masuki dan jarang di bersihkan, jadi ia tidak terawat seperti itu. Aku mengarahkan lampu centerku ke keseluruhan pintu. Benar, ini indah. Tidak hanya gagang pintunya yang terukir, daun pintunya pun demikian.
Dari ukirannya, ini seperti ukiran-ukiran jaman kerajaan sriwijaya atau majapahit. Aku tidak terlalu mengerti sejarah, tapi yang pasti ukiran kayu ini indah. Aku meraba ukiran kayu tersebut. Seperti ada raja bersama rakyatnya. Ya, ini terasa seperti sebuah perkumpulan. Kalau di lihat memang tidak akan jelas, karena ini bukan ukiran yang timbul, tapi ukiran yang tenggelam ke dalam. Tapi, jika memejamkan mata dan merabanya, kau akan merasakan apa yang baru saja ku katakan tadi.
Oh! Aku terlalu buang-buang waktu. Langsung saja aku menarik pintu gudang tersebut. Sedikit berat, mungkin karena engsel pintu yang hampir berkarat. Membukanya membuat suara deritan pintu yang menyakiti telinga. Gigiku jadi ngilu.
Krieeeeet..
Aku mendorong pintu tersebut dengan tenaga, dan begitu pintu terbuka seluruhnya, lampu centerku kembali bertingkah. Tapi beruntungnya ia masih menyala meski dalam keadaan berkelip dan juga agak redup.
Seketika angin dingin menyapu ketiakku. Masuk ke dalam bajuku dan menembus kulit ariku. Dingin! Tapi rasa dinginnya beda. Sensasinya beda. Rasanya seperti segera ingin berlalu dan tak mau masuk ke tempat itu.
Angin ini kembali membuat bulu kudukku bergidik. Aku mulai merasakan panas di bagian tengkukku, namun di beberapa bagian punggungku terasa dingin. Aku merasa tidak nyaman. Benar-benar tidak nyaman. Seperti mau demam dan dadaku terasa tercekat-cekat. Membuat perutku menciptakan sebuah rasa seperti sakit perut.
Aku mulai gelisah. Pandanganku ku arahkan seluruhnya. Mana? Yang mana lukisannya? Di sebelah yang mana? Yang ku lihat di dalam gudang ini adalah benda-benda rusak yang ada di sekolah. Lemari yang sudah jebol. Beberapa kursi yang rusak, begitu pula dengan meja. Beberapa bola yang kempes dan juga tumpukkan gulungan yang ku rasa adalah bekas peta besar yang sudah robek dan tak di pajang lagi di belakang kelas karena sudah di ganti dengan yang baru.
Beberapanya ada bingkai foto, ku pikir itu lukisannya, tapi ternyata itu foto bekas presiden yang dulu-dulu. Saat menjabat pada eranya. Kini aku melihat ke lantai, ada bercak kental yang tak sengaja ku injak, tidak mungkin kan kalau ini darah? Aku kembali menyapu seluruh ruangan dengan mataku. Pandanganku tertuju pada sebuah jendela yang di tutupi dan di paku dengan papan yang hampir lapuk.
Aku mulai melangkahkah kakiku memasuki bagian dalam ruangan. perlahan dan berhati-hati. Ku arahkan center pada satu arah, namun kepalaku terus bergerak ke kiri dan ke kanan untuk menilik seisi gudang ini.
Suasana gudang nampak mencekam, terlebih lagi dalam keadaan gelap dan juga di penuhi dengan benda usang yang seharusnya tidak perlu di simpan. Beberapa kali aku mendengar suara erangan, atau ini suara desahan? Terdengar seperti kesakitan.
Dalam kegelisahanku, aku akhirnya bisa sedikit lega ketika menemukan sebuah lukisan yang mereka maksud. Aku pun bermaksud mendekati benda persegi panjang yang terbingkai tersebut. Namun, entah kenapa aku seolah tak berani melakukannya. Terlebih lagi setelah ku lihat dengan seksama, lukisan itu tampak lumayan menyeramkan.
Gambar seorang lelaki berambut putih. Matanya hijau dan wajahnya pucat. Apakah lelaki yang gosipnya meninggal setelah menggambar ini, sedang menggambar seseorang atau menggambar dirinya sendiri? Atau ia sedang menggambar orang yang membunuhnya? Rasanya penasaran juga.
Tatapan matanya tajam, dan entah kenapa, aku merasa seolah lukisan ini benar-benar indah dan nampak realistis. Aku lumayan bisa melukis seperti itu, jadi aku sedikit kagum dengan hasil lukisan orang yang sudah meninggal ini. Pandangan yang ia gambarkan, seolah-olah sedang benar-benar menatapku dengan tajam. Dengan raut mata yang mengerikan. Marah? Apakah dia sedang marah? Sepertinya ia sedang menggambar orang yang marah, benar-benar hebat. Dan entah kenapa, rasanya kami bisa saling menatap satu sama lain, dan ketika bertemu pandang dengannya, aku merasa merinding dan dadaku sempat berdenyut panjang. Rasanya seperti habis di kageti seseorang. Jantungku berdebar hebat dan memanas.
Aku mulai mengeluarkan spidol milikku. Ku buka tutupnya, dan dengan cepat aku menandatangani lukisan tersebut. Lukisan yang hampir mirip seperti sebuah foto lelaki misterius dengan mata yang menyeramkan.
Tapi di sisi lain, Agam tidak menyadari, kedua tangan orang yang berada di lukisan itu mulai keluar dari kanvas dan hendak mengarahkan tangannya pada leher Agam.
......
*Author POV
“Max, kok Agam lama ya?”
“Jangan-jangan, Agam udah..”
“Bisa diem gak sih? Jangan ngomong yang aneh-aneh dong di tempat kayak gini!!” Bentak Maxim yang terlihat sedikit panik.
“Ini udah hampir sepuluh menitan loh.. Tapi dia belum juga nongol.” Sambung Ciko hingga membuat Maxim menatap jam yang ada di tangannya.
“Waktu dari sini ke sana, kira-kira lima menit.. waktu buat nyari lukisannya lima menit, dan waktu ia kembali dari sana ke sini juga lima menit. Jadi kita tunggu lima menit lagi. Mungkin sekarang Agam udah selesai nandatanganin lukisannya.” Sahut Maxim gentar.
Namun Maxim terlihat benar-benar resah. Ia tak bisa duduk dengan tenang, sementara Agam masih tidak tahu keberadaannya. Maxim berjalan mondar-mandir dengan cepat, dan berhenti secara tiba-tiba menghadap teman-temannya.
“Udahlah! Gak usah nunggu lima menit lagi! Sekarang kita susul Agam!” Ucap Maxim hingga membuat beberapa temannya terkejut.
“Susul Agam? Kesana?”
“Yaiyalah! Masa’ susul ke dalem kamar bapaknya!!” Bentak Maxim kesal.
“Tapi Max.. beneran lu?”
“Kenapa? Lu takut? Kalau takut yaudah lu tunggu aja di sini! Banci!!” Gerutu Maxim sambil mengarahkan lampu ponselnya ke depan.
“Kenapa gak tunggu lima menit lagi aja sih Max? Bentar lagi juga kayaknya Agam balik.”
“Diem ya lu!! Gue gak mau terjadi apa-apa sama Agam!”
“Ciyee.. lu cinta ya sama dia? Suka ya lu sama dia?”
BRAK!!!
Maxim langsung menendang meja dengan keras, hingga membuat Ciko dengan sigap menangkapnya. Maxim langsung menunjuk ke arah Zaki dengan penuh amarah, ia benar-benar tidak suka dengan bercandaan seperti tadi.
“Gue bunuh ya lo!!” Pekik Maxim kuat hingga membuat Zaki ciut begitu juga dengan beberapa orang yang berada di sana. Mereka kaget atas ucapan Max barusan.
“Apa-apaan sih Max?! Lu kayak orang kesetanan tau!! Sadar oii sadar!!” ucap Ciko hingga membuat Maxim mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia berusaha mengatur napasnya, dan menatap Zaki kembali, dengan raut yang lebih baik dari pada sebelumnya. Seolah baru saja sadarkan diri.
“Duuh.. gue kenapa ya..” Keluh Maxim sambil menyentuh kepalanya. Ciko langsung melepaskan Maxim ketika melihat teman mereka itu sudah lebih tenang.
“Gue becanda kali Max.. kok lu marah beneran. Mau bunuh gue lagi.” Keluh Zaki sambil menatap Maxim dengan ragu.
“Sorry bro.. gue juga gak tau, tiba-tiba aja gue lepas kendali.”
“Jadi sekarang gimana? Susul Agam atau enggak nih?”
“Susul.” Singkat Maxim.
Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, tampak bayang-bayang lampu dari kejauhan yang di sorot ke arah mereka. Mereka mengernyit serentak ke arah tersebut.
“Itu Agam?”
“Tapi... kenapa jalannya pelan gitu?”
“Iya.. padahal tadi jalannya normal-normal aja pas pergi kesitu.”
“Ja.. jangan-jangan... Agam udah..”
Agam terhenti tepat di depan mereka. Raut wajahnya datar. Ia memegang spidol tanpa tutup. Apa dia menghilangkan tutupnya saat berada di dalam? Atau dia sangat ketakutan, hingga menjatuhkan tutup spidol dan kembali dengan cepat ke sini?
Tapi itu tidak mungkin, ia tak mungkin ketakutan. Bisa di lihat dari cara ia berjalan. Sangat santai dan pelan. Agam hanya diam tanpa berkata apa pun ketika sudah berada di depan teman-temannya. Itu terlihat sedikit aneh bukan?
“Gam..” Sapa Ciko.
“Lu Agam kan?” Tanya Maxim juga. Namun Agam hanya terdiam. Ia seketika terkikik geli sambil menatap teman-temannya yang mulai ketakutan.
“Aku bukan Agam, aku kuntilanak." Ucap Agam dengan suara falset sambil tertawa.
Sontak hal ini membuat teman-temannya berteriak ketakutan sambil saling berpelukan. Maxim memundurkan kakinya beberapa langkah. Membuat tertawaan Agam semakin menjadi-jadi.
"Be.. beneran kuntilanak kaan!!" Pekik Ciko gemetaran. Agam semakin tertawa kencang setelah melihat Ciko yang ketakutan.
“Hush!! Berisik!! Gue Agam!!” desis Agam sambil mengernyit ke arah teman-temannya. Sontak suara Agam langsung membuat teman-temannya kembali terdiam dan menatapnya.
“Beneran? Beneran lu Agam?” Agam menganggukkan kepalanya.
“Ya iyalah. Penakut banget sih! Gue becanda doang!”
“Misi gue udah selesai tuh!!” Ucap Agam sambil mengambil tasnya yang berada di atas meja bersama teman-temannya. Maxim hanya mengernyit.
“Lu udah nandatanganin lukisan itu?”
“Ya.”
“Beneran? Ntar lu bohong lagi!”
“Liat aja sendiri ke sana kalau gak percaya!” Balas Agam lempeng pada Maxim. Maxim hanya terdiam tanpa menimpali. Mana berani dia seorang diri pergi ke sana.
“Oke.. besok.. besok aja kita cek.. ini udah kemaleman.” Dalih Maxim dan mendapatkan persetujuan teman-temannya.
“Terserah.” Sahut Agam sambil berlalu meninggalkan mereka. Dengan sigap mereka semua segera mengambil tas masing-masing dan pergi mengikuti Agam.
Di tengah-tengah keramaian mereka, tiba-tiba ada sebuah center yang menyorot ke arah mereka. Sontak saja Ciko dan teman-temannya kembali berteriak karena terkejut. Padahal yang berada di barisan paling depan adalah Agam dan Maxim.
“Waduh waduh waduh!!! Aden-aden kenapa keluyuran di sekolah malem-malem?” tanya pak Wanto yang merupakan penjaga sekolah.
“Pa.. pak Wanto kan?”
“Iya den..”
“Ini beneran pak Wanto kan? Bukan demit?”
“Ya ini pak Wanto den.. gimana sih aden..”
“Pak Wanto ngagetin deh.”
“Ngagetin apanya? Bapak kesini karena dengar suara ribut-ribut tengah malam. Taunya kalian ya?”
“Ngapain kalian kesini? Kan udah di bilang, jangan ke sekolah lewat dari jam sepuluh malem!! Ngeyel ya kalian.. entar kalo terjadi apa-apa yang susah siapa? Bapak juga kan?” gerutu pak Wanto pada mereka.
“Maaf pak..”
“Yasudah.. pulang semuanya!! Pulang pulang!!”
“Bapak laporin guru Bk sama kepala sekolah baru tahu rasa kalian!!” Ancam pak Wanto hingga membuat Agam cs dengan segera meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan pak Wanto seorang diri di sana.
Pak Wanto ini adalah penjaga sekolah turun temurun dari para kakeknya dulu. Jadi mereka benar-benar tahu apa riwayat sekolah ini. Bisa di bilang pak Wanto ini adalah pawang sekolah. Setiap mengadakan acara malam di sekolah, murid-murid harus berkonsultasi dengannya dulu. Agar acaranya menjadi aman.
Pernah kejadian, ketika pak Wanto pulang kampung ke Jawa, dan bertepatan dengan di adakannya jurit malam yang di ganti menjadi jurit di waktu sore. Saat itu terjadi kerasukan massal hingga membuat acara terpaksa di hentikan. Padahal saat itu, acara yang di langsungkan tidak lebih dari jam lima sore. Namun jika pak Wanto ada, itu tidak pernah terjadi. Maka dari itu, pak Wanto benar-benar di segani, bahkan melebihi segan para siswa dengan kepala sekolah.
Dalam kesendiriannya, tiba-tiba saja pak Wanto menoleh lurus ke arah gudang. Raut wajahnya kian tegang, dan kakinya sedikit gemetaran.
“Kenapa?” Tanya pak Wanto.
“Kenapa kamu tersenyum begitu di sana?”
.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
°RhaiKen™
nanya Kunti bogel mamang...🤭🤭
2024-04-23
0
Zuhril Witanto
tanya ma siapa pak Wanto...kunti?
2024-02-15
1
Zuhril Witanto
pak Wanto mencurigakan
2024-02-15
0