Chapter 15

Alvin dan Ify mematung di depan pintu saat menyaksikan halaman yang hancur. Terlihat seorang wanita berpakaian serba merah tengah menyandera Gabriel yang saat ini meringis kesakitan.

"GABRIEL!" Ify ingin berlari keluar, tetapi langkahnya tertahan oleh Alvin. Pemuda itu menggeleng.

"Rio melarang kita keluar dari rumah."

"Tapi Gabriel dalam bahaya, Vin!"

Ify mencoba berontak, tetapi Alvin semakin kuat memeganginya.

"Rio pasti bakalan dateng buat bantu lo," ucap Alvin menenangkan.

Benar saja, tak lama Rio dan Cakka muncul. Kedua pemuda itu memandang sengit ke arah sang wanita.

"Serahkan pemuda itu atau eksistensimu akan berakhir hari ini juga."

Sang wanita tertawa terbahak-bahak. Perlahan, rambutnya mulai berkibar dengan kobaran api.

"Coba saja berani mendekat, dia akan mati."

Lewat gerakan mata, Rio mengisyaratkan kepada Cakka untuk mundur. Saat ini, mereka tak mau mengambil resiko karena memang, Dea terlihat tak main-main.

"GABRIEL!"

Teriakan Ify yang kedua membuat Dea menoleh dan menyeringai lebar. Matanya semakin berkobar, dan dengan cepat ia terbang menuju ke arah Ify.

Alvin menarik Ify mundur dan mendekapnya dalam pelukan saat ledakan keras disertai dengan Dea yang terpental kuat ke belakang. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Rio dan Cakka. Rio segera membantu Gabriel yang pingsan dan Cakka segera menghadapi Dea yang tengah berusaha bangun.

Tak berbelas kasihan, Cakka mencekik Dea hingga wanita itu tersengal-sengal. Dengan satu kali sentakan, Dea melepaskan diri dan langsung menghilang dari pandangan membuat Cakka berdecak sebal.

"Jangan dikejar!" Rio berseru saat Cakka ingin mengejar Dea yang melarikan diri.

❄️❄️❄️❄️

Gabriel sudah siuman, tapi pemuda itu terlihat masih linglung dan tetap terdiam dengan pandangan kosong. Ify berkali-kali mencoba memancing reaksi pemuda itu tapi tak ada hasil. Hal itu membuat Ify menyerah dan membiarkan pemuda itu sendirian di dalam kamar yang sudah diberi barier pelindung oleh Rio. Saat ini, Ify dan Gabriel tak diperbolehkan untuk keluar dari rumah Rio, begitu pula Alvin.

Mereka harus menunggu sampai keadaan benar-benar aman dan Dea tak menyerang lagi.

"Siapa lo sebenarnya? Siapa wanita tadi? Kenapa dia nyulik Gabriel? Dan makhluk apa kalian sebenarnya?"

Berbagai rentetan diajukan oleh Ify saat gadis itu mendapati Rio tengah duduk santai di ruang tamu dengan laptop di pangkuannya. Meskipun di rumah, ia harus tetap mengontrol keadaan perusahaan. Meskipun sekarang ia kuat menahan lapar berhari-hari, tetapi miskin bukanlah hal yang ia cari. Jadi, selama ia hidup, maka uang patut ia pertahankan. Meskipun ia bisa terbang dan menghilang, tapi itu menguras tenaga, akan lebih mudah duduk manis di mobil sambil tiduran.

Rio menutup laptop miliknya dan mengisyaratkan Ify untuk duduk di sofa yang berhadapan dengannya.

Tanpa membantah, gadis itu menurut karena rasa penasarannya sangat besar. Semua hal yang ia lihat, yang ia alami, bagai mimpi terpanjang yang sulit ia percayai.

"Sekarang lo mau tahu apa?"

Ify tampak berpikir sejenak, menimbang apa yang akan ia tanyakan.

"Emmm ... kalau boleh tahu, lo itu ... apa?"

Ify menggaruk tengkuknya sendiri karena pertanyaannya yang aneh.

Rio yang melihat bagaimana canggungnya Ify tergelak. Pemuda itu tak lantas menjawab tetapi menjentikkan jarinya hingga di depan sudah tersedia dua gelas jus jeruk dan camilan kacang mede satu toples.

"Wwoooaaahhh, lo bisa gini juga?" Ify memandang takjub. Jika memang bisa kaya gini, bukankah hidup akan semakin mudah?

"Hanya sebagian kecil,'' jawab Rio lalu memusatkan pandangannya ke Ify.

"Gue males ngomong, deh! Kalau lo lihat sendiri aja gimana?"

Ify memandang Rio tak mengerti, tapi saat pemuda itu menjentikkan jarinya, Ify bisa melihat semua peristiwa yang cukup menjawab semua rasa penasarannya. Semua memori menyakitkan dari kehidupan masa lampau Rio, hingga bagaimana dia bisa seperti ini. Tanpa sadar, satu tetes air mata luruh di pipi Ify. Terutama saat adegan bagaimana Rio kehilangan sang adik. Ia sendiri tahu, bagaimana sakitnya kehilangan orang yang begitu berarti untuk hidup.

Satu jentikan jari dari Rio, Ify kembali pada realita. Namun, matanya yang basah memandang Rio iba.

"Nggak usah mandang gue kaya gitu." Rio menegur risih. Ia benci saat seseorang memandangnya kasihan. Ia merasa seperti manusia paling menyedihkan. Padahal ia bukan manusia lagi sekarang.

Ify menghapus air matanya. Sejujurnya ia tak mengasihani Rio, tetapi ia teringat dengan peristiwa dimana ia harus kehilangan kedua orangtuanya. Ia harus banting tulang menghidupi dirinya sendiri, hingga Gabriel datang ikut memikul sedikit bebannya. Teringat Gabriel, Ify langsung bangkit untuk menengok sahabatnya itu.

Hawa hangat langsung terasa saat Ify memasuki kamar Gabriel, padahal di ruang tamu tadi hawanya lumayan dingin. Pemuda itu kembali tidur,  ia lelap dengan damai membuat Ify tetap diam tak membuat suara apa pun karena takut mengusik tidur sahabatnya. Ia membunuh waktunya dengan membuka ponsel yang ia nonaktifkan sejak kemarin. Berbagai panggilan dan pesan membanjiri layar ponselnya.

20 panggilan tak terjawab.

50 pesan diterima.

Ify hanya menggelengkan kepala dan berdecak. Niat sekali orang-orang ini menerornya dengan berbagai panggilan dan pesan.

Beberapa pesan tak penting, hanya menanyakan keberadaannya, tetapi ada satu pesan dari atasannya yang meminta untuk datang hari ini pukul tiga sore dan tak boleh telat.

Sekarang masih pukul dua belas. Ada waktu selama tiga jam, dan mungkin bisa ia gunakan untuk melemaskan otot-ototnya yang sejak kemarin berdiam diri.

Ify berkeliling di sekitar rumah Rio yang luas. Dengan berbagai fasilitas lengkap mulai dari kolam renang sampai tempat gym pribadi, dan taman yang luas. Rumah ini benar-benar rumah impian yang tak akan bisa ia miliki meski mengerahkan seluruh hidupnya untuk mencari uang. Lagipula, daripada rumah yang jarang ia tempati, Ify lebih memilih untuk menyimpan uangnya di bank. Lebih praktis dan berguna suatu saat nanti.

Hidup seorang diri tak membuat Ify memimpikan rumah mewah. Buat apa rumah mewah dan megah jika hanya dihuni oleh dirinya sendiri? Seperti rumah Rio sekarang, hawanya terlihat dingin dan sunyi karena penghuni yang hanya segelintir saja. Itu pun sudah ketambahan dirinya dan Gabriel, andai tidak pasti hanya bertiga di rumah sebesar ini.

Sampai di depan ruang gym, sudah ada Alvin yang sedang berlari di atas treadmill.

"Fy!" Ify melambaikan tangannya saat Alvin menyapa. Ia mulai melakukan pemanasan agar otot tubuhnya tidak cidera saat melakukan olahraga nanti.

Keduanya hening, hanya suara langkah kaki Alvin di atas treadmill yang terdengar, hingga suara Ify memecah keheningan.

"Vin, lo udah berapa lama kenal sama Rio?"

Alvin memelankan ritme hingga bisa berjalan dengan santai. "Sejak orok mungkin, yang jelas udah dari kecil banget."

"Terus sejak kapan lo tahu Rio bukan manusia? Maksud gue ... dia punya kemampuan istimewa sejak kecil?"

Ify menyudahi acara pemanasan dan bersiap untuk lari di treadmill, ia mengambil tempat di sebelah Alvin agar lebih mudah mengobrol juga.

"Enggak. Pas kecil dia cengeng juga kok. Kalau gue gampar, dia suka ngadu ke emaknya."

Ify terkekeh kecil saat membayangkannya.

"Semuanya dimulai beberapa bulan lalu pas kecelakaan sama lo."

Seketika itu juga, Ify menghentikan larinya dan menatap Alvin dengan serius.

"Kalau gitu ... gue yang jadi jalan buat takdirnya?"

❄️❄️❄️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!