Chapter 14

Bau harum roti panggang menyambut indera penciuman Ify membuat gadis itu menggeliat. Matanya masih terpejam, tapi ia bangkit dan berjalan mengikuti arah bau berasal. Entah bagaimana ia bisa berjalan tanpa menabrak apa pun, tapi saat ini ia tengah tersenyum lebar di dapur. Tangannya mengucek mata dan menguap lebar.

"Iel, kok lo jadi pinter manggang roti, sih? Kan biasanya gosong."

Tak ada jawaban. Ify kembali menguap dengan mata yang masih menyipit ngantuk. Karena penasaran, Ify membuka mata meski masih terasa berat.

Punggung tegap dibalut dengan kaos putih transparan menyambut indera penglihatannya. Ify mengernyit, postur tubuh memang sangat mirip dengan Gabriel, tapi seingat Ify pemuda itu benci dengan warna putih. Katanya cepat kotor, dan itu merepotkan apalagi untuk pekerjaan mereka yang seringkali bergumul dengan semak-semak demi penyamaran. Warna putih bukan pilihan yang tepat.

"Sejak kapan lo punya baju putih?" Ify kembali bermonolog karena tak ada jawaban dari si pemilik punggung.

Karena geram, Ify membalik tubuh tegap itu dan harus terbelalak kaget saat yang ia dapati bukan wajah Gabriel.

"Lo ... lo ngapain di sini?" tuding Ify tepat di depan wajah Rio.

Rio berdecak. "Jorok banget sih lo jadi cewek. Cuci muka dulu sana!"

Ify tak bergeming. Ia tetap dalam posisinya dan menatap Rio tajam.

Rio menghela napas panjang. Tangannya dengan cekatan mengangkat roti bakar yang sudah matang dan menaruhnya di piring. Setelahnya ia mengolesi dua roti dengan selai coklat, dan dua roti lagi ia oles dengan selai keju.

"Nih, buat sarapan."

Ify menerima piring berisi roti selai keju dengan heran.

"Tahu dari mana lo kalau gue nggak suka coklat?"

Rio mengedik. Pemuda itu berjalan meninggalkan Ify dengan tiga piring roti bakar di tangannya.

"Menyebalkan," desis Ify dengan tangan yang terkepal kuat. Ingin rasanya ia melayangkan kepalan tangan itu ke arah pemuda yang sok misterius itu.

Mungkin boleh juga. Dengan berjingkat, Ify menyusul Rio yang berjalan ke arah ruang makan. Langkahnya sangat terlatih hingga ia bisa bergerak cepat tanpa suara. Satu langkah di belakang Rio, Ify menunduk, mengayunkan kakinya dengan gerakan memutar bermaksud untuk membuat Rio terjegal. Namun, pemuda itu hanya melompat tipis tanpa harus repot menengok ke belakang.

"Belajar dulu kalau mau buat orang jatuh."

Ify mendengus kesal kemudian bangkit. Mengambil piring rotinya yang sempat ia letakkan dan berjalan mengekori Rio. Ternyata kepekaan pemuda itu memang tak bisa Ify remehkan.

Dari arah kamar tamu, Cakka keluar dan segera menyambut piring yang sedang dipegang oleh Rio.

"Yang Mulia, saya minta maaf karena tidak bisa memasak." Cakka menunduk setelah menaruh piring itu di meja.

Ify memiringkan kepalanya, sedikit bingung dengan drama yang ada di depannya.

"Kalian teh naon? Lagi belajar akting drama?"

Cakka menatap Ify tajam, membuat gadis itu sedikit bergidik dengan angin yang tiba-tiba berembus dingin.

"Sudah, ayo sarapan dulu!" Rio menengahi. Ia tak ingin rumahnya menjadi membeku karena perkelahian dua orang ini. Lagipula, Cakka bukan tandingan Ify. Mereka berbeda.

"Waahhh, udah sarapan aja, nih?"

Dari arah tangga, Alvin muncul dengan muka bantalnya. Sesekali ia menguap lebar. Matanya masih setengah terpejam saat duduk dan melahap roti bagiannya.

Ify masih memandangi rotinya dengan intens. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tapi semuanya tersangkut di kerongkongan.

"Gue nemuin lo di taman kalau lo mau tanya kenapa bisa ada di sini." Rio menjawab, membuat Ify tersedak dengan ludahnya sendiri. Apa rasa penasarannya sangat terlihat?

"Terus ... Gabriel mana?" tanya Ify begitu ingat jika kemarin ia berada di taman bersama Gabriel.

Rio menghentikan acara makannya. Ia menatap Ify dengan alis terangkat sebelah. "Lo tidur di sana sendirian kaya gembel, nggak ada Gabriel."

"Kok aneh?" Ify menjadi tak berselera makan saat merasa ada yang aneh. Kemarin, sangat jelas ia ingat jika Gabriel tidur di pangkuannya. Bahkan sebelum ia ikutan terlelap, ia juga melihat beberapa orang tiba-tiba jatuh ....

"Rio, gue bener-bener di sana sendirian?"

"Iya."

"Nggak ada orang-orang yang tidur di sana selain gue?"

"Iya."

"Masa gue halusinasi?" Ify mengusak rambutnya gusar. Gadis itu segera mengambil ponsel di saku celananya dan mencoba menghubungi Gabriel. Sangat tidak mungkin jika pemuda itu meninggalkannya sendirian di taman. Ini sangat janggal.

"Alvin, gue sama Cakka pergi dulu. Lo jaga rumah dan lo Fy, gue minta lo jangan keluar dari rumah gue."

Rio langsung bisa merasakan kejanggalan saat membaca pikiran Ify. Jika seperti itu kejadiannya, pasti ada yang tidak beres dan yang bisa melalukan hal itu hanyalah orang-orang dari kaum mereka. Namun, apa tujuan mereka menculik Gabriel?

Ify ingin membantah karena ia juga khawatir dengan Gabriel, ponsel pemuda itu tak bisa dihubungi. Teman-temannya juga tidak tahu ia ada di mana. Namun, saat ia akan protes, secepat itu pula Rio dan Cakka menghilang dari pandangan.

"I-itu tadi apa? Mereka apa?" Ify menunjuk-nunjuk kursi yang awalnya ditempati oleh Rio dan Cakka.

Alvin yang sudah menyelesaikan sarapannya menatap Ify. Sedikit mengernyitkan kening karena ia sendiri pun bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Mereka manusia, mungkin? Gue juga nggak tahu." Alvin benar-benar tidak tahu karena Rio sendiri pun tak menjelaskan dirinya makhluk apa. Alien? Penyihir? Makhluk halus? Oke, untuk makhluk halus sangat tidak mungkin karena Rio bisa dilihat oleh banyak orang.

"Gue sedang mimpi kali, ya? Berapa hari gue mimpi?" Ify tampak menghitung jarinya.

"Sejak gue jatuh ke jurang, kayaknya ada saraf otak yang salah tempat."

Merasa tertarik, Alvin pun mendekat. "Memangnya kenapa?"

"Waktu itu gue jatuh ke jurang, tapi pas gue hampir pingsan, gue lihat seseorang, ah bukan orang kali ya mungkin malaikat," Ify menyanggah ucapannya sendiri. "Dia berambut putih, matanya biru dan punya sayap putih. Lo pasti mikir gue gila, kan?"

Alvin menggeleng.

"Pernah juga pas gue lagi tugas, ada seorang cewek berambut api. Apa karena gue kebanyakan baca novel fantasy, ya?"

Alvin mengernyitkan keningnya. Jika orang berambut putih dan bersayap ia tahu siapa orangnya, tapi untuk wanita berambut api, ia tak tahu. Mungkin, itu musuh Rio dari planet yang lain.

"Gini, gue sendiri juga nggak tahu gimana jelasinnya, tapi ada beberapa hal yang emang tidak akan bisa diterima logika. Apa lo percaya ada makhluk lain di dunia ini?"

Ify mengangguk. Ia percaya, tapi sedikit sangsi jika mereka juga menampakkan diri di hadapan manusia.

"Nah, Cakka dan Rio itu salah satunya."

"Maksud lo, makhluk lain?" Tangan Ify membuat tanda kutip saat mengatakan makhluk lain.

"Mungkin."

Perbincangan Ify dan Alvin terhenti. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga sebuah ledakan besar di halaman mengalihkan atensi keduanya.

❄️❄️❄️❄️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!