Chapter 9

Rio, Cakka dan Alvin memutuskan untuk pulang setelah Ify siuman. Gadis itu sudah sadar, tetapi tak mau mengatakan apapun dan hanya memandang Rio dengan aneh. Ia terlihat sangat berpikir keras dan berkali-kali memukul kepalanya sendiri.

"Yo, sumpah gue masih nggak ngerti. Lo mungut darimana tuh bocah?" tanya Alvin begitu mereka sudah berkumpul di ruang keluarga rumah Rio. Alvin sudah memberondong Rio dengan seribu pertanyaan dan Cakka yang tetap setia dengan kebungkamannya.

"Vin, lo percaya kalau gue bukan manusia?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Rio membuat Alvin dan Cakka tersentak kaget.

"Yang Mulia–"

Rio mengangkat tangannya sebagai isyarat bagi Cakka agar tak meneruskan ucapannya. Pemuda itu pun dengan patuh kembali diam tetapi memandang Alvin dengan tajam.

"Yo, lo sehat?" tanya Alvin heran. Ia juga bergidik ngeri menerima tatapan tajam dari Cakka.

"Lo percaya nggak kalau gue bukan manusia?" Rio mengulangi pertanyaanya.

Alvin menggeleng. "Lo nyata. Badan lo bisa disentuh, kaki lo juga napak dan lo belum mati. Jadi, lo manusia."

Rio tersenyum miring. "Awalnya gue juga berpikir begitu."

"Ya terus mau mikir gimana lagi? Jangan bilang kalau lo alien? Tapi kan lo lahir dari rahim emak lo."

"Lo nggak akan percaya kalau gue kasih tahu, Vin."

"Terus, gue bakal percaya apa kalau lo nggak ngasih tahu gue apa-apa?"

Rio memejamkan matanya, dua detik kemudian ia membuka mata.

"Yo!"

Alvin terlonjak kaget saat Rio menoleh padanya dan bola mata pemuda itu berwarna biru kristal.

"Sekarang lo percaya gue bukan manusia?"

Alvin menggeleng. Ia masih menyangkal apa yang dilihatnya.

"Ah, lo pasti pake softlens kan? Gue juga bisa pake yang kaya gitu."

Rio mengangkat tangannya, mengarahkan kepada teko air yang terletak di meja yang berada tepat di depan mereka. Perlahan tapi pasti, air itu mulai naik sesuai dengan apa yang Rio mau. Air itu berputar di atas tangan Rio, dengan satu jentikan jari, bola air itu berubah menjadi bola es.

Alvin melongo, berkali-kali pemuda itu mengucek matanya untuk memastikan jika apa yang ia lihat adalah nyata. Berkali-kali juga ia menampar pipinya sendiri untuk memastikan jika ia tidak sedang bermimpi.

"Vin, gue mohon sama lo. Simpan ini untuk diri lo sendiri, atau lo akan mati!"

Alvin meneguk ludahnya kasar saat Rio menatapnya dengan penuh intimidasi. Apalagi matanya yang berwarna biru kristal itu menyorotnya tajam.

"Tunggu ... gu-gue belum paham apa yang terjadi." Alvin mengangkat tangan. Keringat dingin mulai menetes di dahinya. Bagaimana pun ini terlalu mengejutkan untuknya. Jika memang Rio bukan manusia, lantas dia makhluk seperti apa?

Malas menjelaskan, Rio memegang kepala Alvin, mentransfer ingatannya kepada pemuda itu.

Satu menit berlalu, proses itu selesai. Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Rio merasa sangat lelah. Semua ingatannya kembali bagai hantaman besar yang membuatnya sangat lelah. Rasa marah, bingung, kecewa dan dendam yang bersatu di dalam hatinya membuat fisik dan jiwanya terasa lelah.

Ingatannya kembali, begitu pun dengan kekuatannya. Kini, ia harus melakukan apa yang dulu gagal ia lakukan. Ia harus mengembalikan semuanya pada tempatnya. Tak seharusnya ketamakan membuat dunia menjadi tidak seimbang. Seharusnya ada batas yang tak boleh dilewati.

Rio menggeretakkan giginya. Kematian sang adik di depan matanya dulu kembali terbayang. Amarah bergejolak membuat suhu udara mendingin secara perlahan. Rambut Rio yang semula hitam mulai memutih dan memanjang.

Alvin yang masih shock menggigil kedinginan. Cakka dengan cepat bertidak, membuat barier agar kekuatan Rio tidak melampaui batas, meski ia tak yakin, jika ia mampu menahan semua kekuatan Rio yang meluap karena amarahnya.

"Dia ... kenapa?" Bibir Alvin mulai membiru. Suhu udara semakin mendingin seolah berada di kutub selatan. Cakka yang kasihan melihat kondisi Alvin membuat barier untuk pemuda itu agar setidaknya tidak semakin kedinginan.

"Yang Mulia, sadarlah! Tolong kendalikan amarahmu!" Cakka berseru mencoba menyadarkan Rio yang masih terpejam dengan tangan yang terkepal kuat.

Kekuatan Rio meluap semakin hebat. Beberapa barang mulai membeku, kaca rumah mulai retak dan pecah bahkan Alvin sudah kehilangan kesadarannya meski berada di dalam barier yang dibuat Cakka. Pemuda itu masih bertahan sekuat yang ia bisa meski sudah muntah darah beberapa kali.

"Yang Mulia!" bisik Cakka lemah. Energinya semakin melemah karena menahan kekuatan Rio bukanlah hal yang mudah.

Jika ia gagal kali ini, pasti bangsa api akan dengan mudah menemukan tempat mereka. Dengan keadaan Rio yang belum stabil, bukan tidak mungkin jika Rajanya itu akan kehilangan kendali dan berakhir sama seperti tiga ratus tahun yang lalu.

Cakka terbatuk hebat. Darah menyembur keluar dari mulut dan badannya semakin melemah. Rio tersentak tiba-tiba dan kaget melihat keadaan rumahnya yang sangat kacau.

Cakka tergeletak pingsan dengan darah yang masih ada di sudut bibirnya. Alvin juga pingsan dengan badan yang mendingin dan bibir yang membiru. Rio mengacak rambutnya frustasi. Ia kehilangan kendali karena amarahnya sendiri.

Rio mulai menormalkan suhu di rumahnya. Barang-barang yang awalnya membeku mulai mencair. Suhu udara akhirnya menghangat perlahan meski tak langsung bisa menghangatkan Alvin.

Rio mendekat ke arah Alvin. Mengarahkan telapak tangannya ke pemuda itu, sinar biru mulai keluar dari tangannya dan masuk ke dalam tubuh Alvin. Suhu tubuh Alvin mulai menghangat, bibirnya tak lagi membiru tetapi ia masih dalam keadaan pingsan.

Beralih dari Alvin ke Cakka, Rio menatap pengawalnya itu dengan senyum penuh arti. Kesetiaan pengawalnya itu memang tak perlu di ragukan lagi. Rio pun melakukan hal yang sama kepada Cakka, tetapi menambahnya dengan tenaga dalam yang membuat pemuda itu bisa langsung tersadar.

"Uhukk! Yang Mulia ...."

"Istirahat aja! Sorry gue buat kekacauan malam ini dan membuat lo terluka" ucap Rio dengan tulus.

Cakka menggeleng pelan. "Itu sudah menjadi kewajiban saya, Yang Mulia!"

"Thanks!"

Rio melakukan teleportasi untuk membawa Alvin ke kamar dan membungkus tubuh pemuda itu dengan selimut tebal agar tak kedinginan lagi. Sementara Cakka mendudukkan dirinya di lantai dan bersila. Ia harus memulihkan tenaga dalam miliknya meski ia sudah mendapat transferan dari Rio. Cakka mempunyai feeling, jika pertemuan dengan bangsa api akan terjadi sebentar lagi.

****

Gadis muda yang sedang menyesap sampanye itu tersenyum miring saat melihat cahaya putih di kejauhan sana. Kuku panjangnya yang terawat rapi mengetuk gelas menjadi backsound yang terdengar di malam yang hampir pagi ini.

Rambut sebahu yang diikat kuncir kuda itu berkibar oleh angin yang berhembus. Dingin terasa menusuk tulang, tetapi gadis itu tampaknya tak merasakan kedinginan sama sekali.

Gadis itu meletakkan gelasnya di meja dan berjalan ke tempat dimana ia bisa melihat cahaya itu lebih jelas.

Satu jentikan jari, api muncul di tangan gadis itu. Seringaian pun tampak di bibirnya yang dipoles lipstick berwarna merah menyala.

"Aku menemukanmu!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!