Dear My Fussy Husband
Dua wanita paruh baya dengan pakaian syari tampak asyik mengobrol di warung mi ayam. Keduanya terlihat sumringah setelah bertemu teman lamanya.
"Bu Halimah ini gak pernah ada kabar setelah pindah. Bingung aku mau hubungin gimana, orang nomornya udah nggak aktif," ujar Bu Anita. Wanita berjilbab merah yang terlihat lebih aktif berbicara.
"Iya, Bu, gak tahu itu nomornya tiba-tiba nggak bisa aja. Saya kalau mau menghubungi Bu Nita juga bingung. Takut menganggu," jawab Bu Halimah sopan.
"Alah! Ganggu apa, Bu Halimah ini. Saya malah seneng kalau dapat telephon dari Bu Halimah," sahut Bu Anita sambil terkekeh garing.
Bu Halimah membalas dengan senyum kecil. "Sekarang, kan, alhamdulillah saya sudah kembali ke sini lagi, Bu Nita. Jadi setiap hari bisa bertemu. Bisa ngobrol seperti dulu."
"Iya alhamdulillah. Berpisah 10 tahun bikin saya kangen sekali dengan masakan Bu Halimah."
"Kapan-kapan main saja ke rumah, Bu. Saya masakin yang enak-enak."
"Dengan senang hati kalau ini, Bu," balas Bu Anita dengan senyum di wajahnya. "Ngomong-ngomong anaknya Bu Halimah ikut pindah ke sini lagi?" tanya Bu Anita penasaran.
"Anak saya yang nomor dua saja, Bu, yang ikut. Kalau anak laki-laki saya alhamdulillah sudah menikah."
"Loh!? Sudah menikah saja. Kok saya nggak dikabarin, toh, Bu?"
"Maaf, Bu Nita. Waktu itu tamunya hanya terbatas. Jadi kita mengundang yang dekat-dekat saja. Lagi pula nanti merepotkan Ibu kalau harus datang jauh-jauh." Mengingat tempat tinggalnya yang dulu sudah beda pulau dengan rumah yang akan kembali dihuni ini.
"Tapi masa gak dikabarin, kecewa saya, Bu," keluh Bu Nita dengan wajah lemas.
Bu Halimah menyentuh lengan Bu Nita. "Maaf, ya, Bu, saya benar-benar takut merepotkan.
"Berarti sudah punya cucu, Bu?" tanya Bu Nita mulai merubah topik.
"Sudah dua, Bu," jawab Bu Halimah dengan raut senang. "Ibu sendiri bagaimana? Sudah punya cucu berapa?"
Bu Anita mendelik kecil mendengar pertanyaan dari rekannya. Dia paling malas jika ditanya perihal cucu. Wajahnya seketika berubah tidak seramah biasanya. "Anak laki-laki saya masih fokus berkarir. Alhamdulillah sudah lulus S2 dan sekarang jadi dosen muda. Ini juga proses ngambil S3, Bu. Tidak usah buru-buru menikah. Yang penting karir dan pendidikam bagus," ujar Bu Anita membanggakan anaknya.
Sebenarnya ucapan beliau seratus persen bohong. Pasalnya dia saja setiap hari sudah terus meminta cucu pada anak laki-lakinya itu. Padahal jelas-jelas dia belum menikah.
"Apa belum kepingin gendong cucu, Bu? Saya dengar ibu-ibu di sini sudah punya cucu semua," ucap Bu Halimah membuat suasana hati Bu Anita makin panas.
"Lagi pula umur anak Ibu dengan anak pertama saya, kan, hampir sama. Seharusnya sudah menikah, loh, anak ibu itu," imbuh Bu Halimah disela keterdiaman Bu Anita.
"Hidup orang, kan, beda-beda, Bu. Anak saya alhamdulillah memilih memantaskan diri dulu. Biar nanti kalau sudah menikah tidak ada kesulitan ekonomi. Buktinya sekarang sudah jadi dosen, punya usaha rumah makan dan penginapan juga. Cabanya banyak, Bu," timpal Bu Halimah mengeluarkan segala keunggulan anaknya. Beliau paling tidak terima jika anaknya diremehkan dalam urusan pernikahan.
"Anak saya walaupun menikah muda juga karirnya bagus. Sudah bisa buka praktek sendiri," ucap Bu Halimah. Singkat namun cukup meresahkan lawannya.
Bu Anita tersenyum anggun mendengar penuturan Bu Halimah. Otaknya berpikir keras mencari keunggulan lain dari anak laki-lakinya. "Anak saya juga agamanya bagus. Sering jadi imam di masjid."
Bu Halimah cukup terkejut dengan fakta itu. Pasalnya anak Bu Anita sejak kecil terkenal nakal dan susah diatur. "MasyaAllah! Garda sekarang suka jadi imam, Bu?" tanyanya antusias.
Bu Anita tersenyum dengan bangga sekarang. "Iya, kalau ikut jama'ah dia sering disuruh jadi imam. Memang anak kebanggan saya," imbuhnya.
"Anak kedua saya juga jadi guru ngaji di masjid dekat rumah saya dulu. Padahal kesibukannya banyak. Tapi, tetap rajin ngajar ngaji dia, Bu."
"Oh, iya, Nadin pasti sudah besar, ya, Bu?"
"Sudah, Bu Halimah. Dulu dia kerja di kantor kakak iparnya. Karena kepingin ikut saya dan suami jadi mengundurkan diri. Semoga saja dapat pekerjaan yang lebih baik di sini."
Bu Anita mengingat-ingat seorang gadis bernama Nadin yang dulu jadi tetangganya. Sejak dulu kecantikan Nadin kecil sudah diakui satu perumahan. Juga sifat ceria juga kepintarannya sudah tidak diragukan lagi.
Senyum cerianya kembali merekah. Wanita berjilbab merah itu menggeser duduknya mendekati Bu Halimah. "Apa Nadin sudah ada pasangan, Bu?" bisiknya.
Bu Halimah tampak terkejut dengan aksi Bu Anita yang sedikit aneh. "Belum, Bu. Nadin itu paling susah dekat dengan laki-laki. Tidak mau pacaran karena dilarang ayahnya," balas Bu Halimah.
Bu Anita mengangguk-angguk paham. "Pendapat Bu Halimah tentang anak saya bagaimana?" tanya Bu Anita tiba-tiba.
"Loh? Kok tiba-tiba bertanya seperti itu, Bu?"
"Penasaran aja, Bu," jawabnya enteng.
"Ya, bagus kalau memang Garda mementingkan karirnya dulu dari pada menikah. Sedikit sulit menemukan laki-laki seperti Garda sekarang. Dimana sangat mengusahakan karir dari pada menikah agar tidak ada kesulitan di kemudian hari. Apalagi agamanya bagus. Sebenarnya gak susah, loh, Bu, buat Garda cari pendamping. Tanggung jawabnya sudah terlihat," jujur Bu Halimah.
Bu Anita semakin mendekatkan tubuhnya pada Bu Halimah. Membuat Bu Halimah makin merasa aneh. "Sudah pas jadi menantu, kan, Bu?"
"Sudah, lah, Bu Nita. Kalau dilihat-lihat kurang apa lagi? Pasti sekarang juga ganteng sekali. Orang dari kecil sudah ganteng."
Bu Anita mengangguk mantap dengan jawaban Bu Halimah kali ini. "Garda dan Nadin sepertinya cocok, ya, Bu?" tanya Bu Anita tiba-tiba.
"Loh? Kok tiba-tiba tanya seperti ini?"
"Gimana kalau kita jodohin aja, Bu, anak kita? Pas sekali momennya," ucapnya semangat.
"Memangnya Nak Garda belum punya pasangan?"
"Belum, Bu. Makanya saya kepikiran buat jodohin anak kita saja."
Bu Halimah tiba-tiba tersenyum lebar. "Oalah, Bu, kenapa gak bilang dari tadi. Saya kira kalau Garda sudah ada calon."
"Belum, Bu. Gimana? Bu Halimah setuju, kan, buat jodohinn anak kita?"
"Siapa yang bisa menolak mantu idaman seperti Garda," jawab Bu Halimah dengan senyum merekah.
Dua wanita paruh baya itu tampak seperti menemukan mata air dalam gurun pasir. Terlihat lega dan juga bahagia.
Sementara Pak Amin selaku penjual Mi Ayam menatap dua mangkuk mi ayamnya yang masih utuh. "Ibu-ibu kalau sudah mengosip memang lupa segalanya," keluhnya. Untung saja dua porsi mi ayam itu sudah dibayar lunas.
Kedua ibu rumah tangga itu berjalan bersama ke arah rumah mereka. Jarak rumah keduanya terbilang sangat dekat. Hanya terhalang satu rumah dan juga pekarangan yang tidak terlalu luas.
...
Bu Anita tersenyum bahagia begitu mendapat persetujuan dari suaminya. Setelah diskusi yang tidak terlalu panjang sang suami langsung menyetujui keinginam Bu Anita. Pasalnya Pak Abraham dan Pak Dimas adalah teman dekat juga. Jadi, tidak akan menyia-nyiakan momen berbesan dengan teman dekatnya.
"Papa telepon Pak Abraham dulu, ya, Ma," pamitnya pada sang istri. Pria paruh baya itu gerak cepat menghubungi calon besan.
Sementara Bu Anita bergegas menemui Garda di ruang kerja anaknya. Tak lupa wanita itu membawa kue coklat kesukaan anak laki-lakinya.
"Kak! Mama masuk, ya," ucap Bu Anita dari luar.
"Iya!"
Setelah mendapat balasan wanita itu segera masuk ke dalam ruang kerja anaknya. Senyum cerianya yang dipamerkan justru membuat Garda merinding.
Garda melirik sepiring kue coklat ditangan ibunya penuh curiga. "Anak temen arisan Mama lagi?" kanya Garda langsung. Matanya tak berpaling dari kayar laptop.
Bu Anita masih saja tersenyum ceria. Meletakkan makanan kesukaan anaknya itu dengan tenang. "Kamu inget tetangga kita yang pindah 10 tahun lalu nggak, Kak?"
Garda mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Lantas menatap ibunya penuh tanya. "Gak," jawabnya singkat. "Garda lagi periksa tugas anak-anak, Ma. Kalau Mama mau jodoh-jodohin Garda lagi kapan-kapan aja."
"Kamu itu, ya, gak ada semangat-semangatnya kalau mama ajak bahas jodoh."
Garda memilih tidak menjawab. Tangannya terulur untuk mengambil sepotong kue dari piring lalu memakannya dengan tenang.
"Kamu inget Nadin, kan?" tanya Bu Anita pada akhirnya.
Garda menyipitkan matanya tampak berpikir. "Enggak," jawabnya santai.
"Itu, loh, Nadin adiknya Dikta temen main kamu waktu kecil," jelas Bu Anita mencoba membuka kembali ingatan Garda.
"Oh, yang itu," balas Garda seadanya.
"Cantik, loh, Nadin sekarang," imbuh Bu Anita. Dia tadi sempat bertemu Nadin sebentar di depan rumah. Wajah cantiknya terlihat memukau. Juga perangainya yang sangat ceria dan ramah.
"Mama tadi ngobrol sedikit sama ibunya Nadin," ujar Bu Anita setelahnya. "Cuma cerita-cerita soal anak-anak aja, kan, Kak. Eh, tiba-tiba mama kepikiran sesuatu."
"Mama mau jodohin aku sama dia?" tanya Garda langsung tepat sasaran.
Melihat senyum cerah ibunya membuat Garda mengeleng. "Mama apa gak capek jodohin Garda terus?"
"Capek sebenernya, Kak. Tapi kalau gak gini kamu gak nikah-nikah, sih," kesal wanita itu.
Garda menatap wajah cantik ibunya yang mulai menua. Entah sudah berapa banyak wanita yang dijadikan kandidat oleh ibunya selama ini.
Bu Anita menyodorkan sebuah foto dari saku dasternya. Foto pemberian Bu Halimah yang katanya didapat dari dompet anaknya.
Foto formal dengan bacground merah itu sedikit menarik perhatian Garda. Diambilnya foto itu lalu matanya mulai menelisik lebih dalam.
"Rumahnya belum pindah. Masih kehalang satu rumah sama rumah kita. Bisalah, besok intip-intip dikit," ucap Bu Anita sedikit menggoda anaknya.
"Kali ini mama berharap banget kamu setuju sama perjodohan ini, Kak."
...
"Mana mungkin bisa nolak Umma. Garda, kan, gebetannya Nadin dari bayi."
"Ih! Diem aja, deh, Mas!"
Kedua orang tua Nadin saling tatap setelah mendengar penuturan anak laki-lakinya lewat sambungan telepon. Senyum kemenangan terlihat jelas dari keduanya.
"Tinggal nentuin tanggal aja, Bah," ujar Bu Halimah semangat.
"Kok udah nentuin tanggal aja, sih, Umma. Nadin, kan, belum jawab iya," keluh Nadin sebal.
"Bener, kan, apa kata Dikta. Nadin udah mau jawab 'iya' ternyata," kekeh Dikta lagi.
Nadin menatap layar ponsel ibunya dengan nyalang. Memberikan tatapan tajam pada kakak laki-lakinya yang malah tertawa. Sementara kedua orang tuanya juga ikut tertawa riang.
"Umur kamu sudah cukup untuk menikah Nadin. Abah harap memang pilihan itu yang kamu pilih," ujar Pak Abraham kemudian.
"Iya, Nak. Menurut Umma dijaman sekarang memang mudah terjadi fitnah. Jadi tidak ada salahnya kalau kamu segera menikah." Nadin tampak diam setelah mendengar penuturan kedua orang tuanya.
Sebenarnya sejak tadi taman bunga sudah bermekaran di hati Nadin. Siapa sangka, dia akan dijodohkan dengan pria idamannya sejak kecil. Pria tampan yang sudah tidak ditemuinya lebih dari 10 tahun.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
💗vanilla💗🎶
mampir ni thor /Smile/
2023-11-26
0
Mukmini Salasiyanti
salken, thor...
tampaknya baGus nih...
cuss read.... 😊
2023-10-21
1
Codigo cereza
Ceritanya kreatif bener, thor! Keren abis. Jangan lupa terus berinovasi dalam menulis ya.
2023-08-01
1