Nasihat dari Kakak Ipar

Hari ini Garda masih dalam masa cuti mengajar. Jadi dia bisa seharian di rumah. Namun, rasanya agak canggung berada di rumah istrinya. Pasalnya, Garda sendiri belum terlalu akrab dengan keluarga Nadin.

Pagi ini setelah sarapan, Garda duduk di sebuah bangku di halaman rumah Nadin. Sementara Nadin masih berada di dapur bersama ibu dan kakak iparnya. Entah apa yang sedang dilakukan tiga kaum hawa itu.

"Kopi, Gar," tawar Dikta yang datang dari arah belakang.

Garda otomatis mendongak. Menatap wajah Dikta sekilas. "Saya gak ngopi, Mas," jawab Garda.

Dikta terkekeh ringan mendengar jawaban Garda. "Santai aja, anggap aja gue Dikta temen main lo dulu," ujar Dikta santai. Dihisapnya kopi hitam buatan istrinya pelan. Matanya terus menatap dalam ke arah Garda.

"Gue awalnya ragu denger lo mau nikah sama adik gue," ujar Dikta memecah keheningan.

Garda menatap Dikta dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa?"

"Dulu aja lo gak pernah ladenin Nadin. Sampai nangis-nangis orangnya. Eh, tahu-tahu malah lo nikahin," jelas Dikta kembali mengulas masa lalu.

"Itu, kan, dulu. Masih kecil," balas Garda.

"Kalau sekarang gimana emang?" tanya Dikta memancing.

Garda menatap hamparan tanaman hias yang sedap dipandang. Lagi-lagi dia sama sekali tidak menemukan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut Nadin.

"Boleh gue cerita sedikit?" Pertanyaan Dikta membuat adik iparnya menoleh dengan tatapan penasaran.

Dikta kembali meminum kopinya. Lantas mengambil napas untuk mulai bercerita. "Lo tahu, Gar, Nadin suka sama elo waktu kecil. Dan gue yakin setelah 10 tahun pun dia masih suka banget sama elo. Makanya, Nadin sama sekali gak berontak sama perjodohan ini. Karena bisa deket sama elo itu impian dia," ucap Dikta panjang lebar.

Ditatapnya wajah Garda yang juga menatapnya. Sorot matanya tajam dengan wajah tegas. Sementara Garda menatap Dikta dengan wajah datarnya.

"Gue tahu gimana posisi lo. Gue juga pernah ada di posisi elo, Gar. Menikah sama orang yang sama sekali gak gue suka," ucap Dikta lagi. Mengingat dia dan Rere juga dijodohkan.

"Tapi sekarang gue punya anak dua," lanjut Dikta dengan tawa ringan.

"Lo juga dijodohin?" tanya Garda memastikan. Kali ini bicaranya dibuat agak santai.

Dikta mengangguk sekilas. "Persis sama elo. Dijodohin dan gak ada kesempatan buat pendekatan apalagi nolak."

"Waktu itu gue ngerasa kesiksa banget sama pernikahan gue," kata Dikta sambil mengawang untuk kembali ke masa lalu.

"Setiap hari yang gue rasain cuma sebel, gue gak suka sama istri gue. Setiap di rumah bawaannya gak betah. Pokoknya gue cuma pengen marah. Apapun yang dia lakuin selalu salah dimata gue," lanjut Dikta lagi.

"Lo tau karena apa?" tanya Dikta membuat Garda menggeleng.

"Karena gue gak tahu artinya rasa syukur," ujar Dikta pelan namun terasa begitu menusuk.

"Gue selalu ngelihat sisi buruk Rere. Karena dari awal gue gak suka sama perjodohan ini. Semua hal baik yang Rere lakuin sama sekali gak gue anggap. Hati gue kayak udah ketutup gitu aja. Karena dari awal gue gak mau belajar nerima Rere. Gue gak bersyukur punya dia waktu itu," ujar Dikta mulai menceritakan kisah asmaranya dengan sang istri.

Garda cukup diam menyimak setiap ucapan kakak iparnya. Membuat Dikta kembali bercerita.

"Puncaknya, waktu gue lihat Rere nangis diem-diem di dapur," lanjut Dikta. Dokter muda itu menengadahkan kepalanya. Mengingat momen itu membuat dia merasa begitu bersalah pada istrinya.

"Waktu itu gue baru aja nolak masakan dia," lanjut Dikta. "Masakan kesukaan gue yang dia buat sendiri. Padahal gue tau dia gak bisa masak."

"Waktu itu gue ngerasa bersalah banget. Gak tahu kenapa gue bisa rasain sedihnya Rere. Itu kali pertama gue lihat Rere nangis. Dan dia nangis karena suaminya. Awalnya gue ragu buat deketin dia. Buat ajak bicara dia. Tapi, buat pergi ninggalin Rere lagi gue gak tega."

"Terus lo samperin dia?" tanya Garda yang mulai penasaran.

"Gue samperin dia. Tapi, hebatnya dia langsung pura-pura gak kenapa-napa. Padahal matanya kelihatan sembab banget," jelas Dikta lagi.

"Dan lo bisa langsung sadar setelah kejadian itu?" tanya Garda membuat Dikta mengangguk.

"Apa yang ngebuat lo sadar?"

"Saat itu juga gue langsung sadar," jawab Dikta lugas. "Rere yang mungkin udah capek sama gue ngeluarin semua isi hatinya. Ngalir aja obrolan kita saat ini. Dan lucunya gue sampai ikut nangis."

Dikta tertawa mengingat momen di awal pernikahan mereka. Dimana dia dan Rere saling berpelukan untuk pertama kalinya. Mendengarkan keluh kesah Rere yang ternyata sangat menyakitkan dari sudut pandang wanita itu.

"Dan kalian langsung baik-baik aja?" tanya Garda. Jangan harap pria itu akan bertanya dengan wajah penasaran. Wajah datar masih saja setia dia pakai.

"Iya, awalnya gue masih ngerasa canggung. Tapi, sekitar 2 minggu setelahnya Rere hamil anak gue. Jadilah bucin sampai anak dua," kekeh Dikta.

Garda mengangga mendengar perkataan Dikta. "Lo gituan padahal hubungan lo sama dia gak baik?" tanya Garda bingung.

Dikta mengangguk sebagai jawaban. "Wajib," jawabnya sambil tertawa.

"Gila. Dia mau!?" tanya Garda masih dengan keterkejutannya.

Dikta mengangguk-angguk yakin. "Bayangin, seberapa besar sabarnya seorang wanita kalau udah sayang sama kita," kata Dikta bangga.

"Yakin banget kalau dia suka sama elo," ejek Garda.

"Yakin lah! Siapa yang bisa nolak pesona gue," ujar Dikta penuh percaya diri.

Dikta langsung menepuk bahu Garda begitu menyadari sesi curhatnya sudah selesai. "Lo tahu, kan, maksud dari cerita gue?" tanya Dikta memastikan. Jangan sampai Garda tidak bisa mengambil hikmah dari cerita panjangnya tadi.

"Iya," jawab Garda.

"Gue gak mau Nadin dapet prilaku buruk dari suaminya. Karena gue tau lo pasti juga ngerasain yang gue rasain, Gar," ucap Dikta penuh penegasan.

Garda cukup mengangguk-angguk paham. Pikirannya sekan-akan dibuat terbuka lebar. Bukankah akan terasa sangat menyakitkan jika Nadin mendapat perlakuan buruk dari dia.

"Nadin itu ceria banget orangnya. Dia bisa jadi apa adanya kalau udah nyaman sama seseorang. Gue harap lo selalu bisa nerima gimanapun Nadin nantinya," ucap Dikta sambil menepuk pundak Garda.

"Iya," balas Garda seadanya.

"Kalau sampai lo sakitin Nadin gue bakal ikit campur sama rumah tangga kalian," kata Dikta dengan tatapan tajamnya.

"Iya," balas Garda lagi.

"Gak cuma iya-iya aja lo!" tegur Dikta Gemas. Lama-lama sebal juga dengan kelakuan adik iparnya itu.

"Yes," jawabnya berniat mengejek Dikta.

"Bisa-bisanya bercanda tapi mukanya lempeng," gerutu Dikta.

"Bisalah," balas Garda dengan wajah sombong.

Dikta geleng-geleng kepala. Heran dengan sifat Garda yang tidak ada bedanya. Selalu saja datar dan tidak suka basa-basi.

"Gar," panggil Dikta serius. Garda menaikkan satu alisnya sebagai respon.

"Soal cerita gue tadi jangan bilang sama siapa-siapa, ya? Ini rahasia internal soalnya. Gue cerita soal rumah tangga gue sama elo biar bisa buat pelajaran supaya lo gak sakitin adik gue," ucap Dikta panjang lebar.

"Paling cuma gue gosipin sama Nadin," balas Garda santai.

"Jangan, lah! Malu gue!" larang Dikta. Wajahnya jadi mengerut sebal.

"Iya-iya," balas Garda mengalah.

Dikta menepuk pundak Garda lagi. Pria itu terlihat mengambil cangkir kopinya yang semula ada di atas meja. "Masuk dulu gue. Dicarin bocah-bocah nanti," pamit Dikta menggunakan anaknya sebagai alasan.

"Iya."

"Jaga Nadin, ya, Gar. Buat Nadin bahagia lebih dari yang Abah lakuin." Kalimat terakhir dari Dikta membuat Garda merenung untuk kesekian kalinya.

Terpopuler

Comments

anonymous

anonymous

Karakternya sangat menarik, jangan berhenti menulis thor!

2023-08-02

1

Luke fon Fabre

Luke fon Fabre

Buat yang belum baca, jangan nyesel ketinggalan! 👍🏻

2023-08-02

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 59 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!