NovelToon NovelToon

Dear My Fussy Husband

Pamer Berujung Berkah

Dua wanita paruh baya dengan pakaian syari tampak asyik mengobrol di warung mi ayam. Keduanya terlihat sumringah setelah bertemu teman lamanya.

"Bu Halimah ini gak pernah ada kabar setelah pindah. Bingung aku mau hubungin gimana, orang nomornya udah nggak aktif," ujar Bu Anita. Wanita berjilbab merah yang terlihat lebih aktif berbicara.

"Iya, Bu, gak tahu itu nomornya tiba-tiba nggak bisa aja. Saya kalau mau menghubungi Bu Nita juga bingung. Takut menganggu," jawab Bu Halimah sopan.

"Alah! Ganggu apa, Bu Halimah ini. Saya malah seneng kalau dapat telephon dari Bu Halimah," sahut Bu Anita sambil terkekeh garing.

Bu Halimah membalas dengan senyum kecil. "Sekarang, kan, alhamdulillah saya sudah kembali ke sini lagi, Bu Nita. Jadi setiap hari bisa bertemu. Bisa ngobrol seperti dulu."

"Iya alhamdulillah. Berpisah 10 tahun bikin saya kangen sekali dengan masakan Bu Halimah."

"Kapan-kapan main saja ke rumah, Bu. Saya masakin yang enak-enak."

"Dengan senang hati kalau ini, Bu," balas Bu Anita dengan senyum di wajahnya. "Ngomong-ngomong anaknya Bu Halimah ikut pindah ke sini lagi?" tanya Bu Anita penasaran.

"Anak saya yang nomor dua saja, Bu, yang ikut. Kalau anak laki-laki saya alhamdulillah sudah menikah."

"Loh!? Sudah menikah saja. Kok saya nggak dikabarin, toh, Bu?"

"Maaf, Bu Nita. Waktu itu tamunya hanya terbatas. Jadi kita mengundang yang dekat-dekat saja. Lagi pula nanti merepotkan Ibu kalau harus datang jauh-jauh." Mengingat tempat tinggalnya yang dulu sudah beda pulau dengan rumah yang akan kembali dihuni ini.

"Tapi masa gak dikabarin, kecewa saya, Bu," keluh Bu Nita dengan wajah lemas.

Bu Halimah menyentuh lengan Bu Nita. "Maaf, ya, Bu, saya benar-benar takut merepotkan.

"Berarti sudah punya cucu, Bu?" tanya Bu Nita mulai merubah topik.

"Sudah dua, Bu," jawab Bu Halimah dengan raut senang. "Ibu sendiri bagaimana? Sudah punya cucu berapa?"

Bu Anita mendelik kecil mendengar pertanyaan dari rekannya. Dia paling malas jika ditanya perihal cucu. Wajahnya seketika berubah tidak seramah biasanya. "Anak laki-laki saya masih fokus berkarir. Alhamdulillah sudah lulus S2 dan sekarang jadi dosen muda. Ini juga proses ngambil S3, Bu. Tidak usah buru-buru menikah. Yang penting karir dan pendidikam bagus," ujar Bu Anita membanggakan anaknya.

Sebenarnya ucapan beliau seratus persen bohong. Pasalnya dia saja setiap hari sudah terus meminta cucu pada anak laki-lakinya itu. Padahal jelas-jelas dia belum menikah.

"Apa belum kepingin gendong cucu, Bu? Saya dengar ibu-ibu di sini sudah punya cucu semua," ucap Bu Halimah membuat suasana hati Bu Anita makin panas.

"Lagi pula umur anak Ibu dengan anak pertama saya, kan, hampir sama. Seharusnya sudah menikah, loh, anak ibu itu," imbuh Bu Halimah disela keterdiaman Bu Anita.

"Hidup orang, kan, beda-beda, Bu. Anak saya alhamdulillah memilih memantaskan diri dulu. Biar nanti kalau sudah menikah tidak ada kesulitan ekonomi. Buktinya sekarang sudah jadi dosen, punya usaha rumah makan dan penginapan juga. Cabanya banyak, Bu," timpal Bu Halimah mengeluarkan segala keunggulan anaknya. Beliau paling tidak terima jika anaknya diremehkan dalam urusan pernikahan.

"Anak saya walaupun menikah muda juga karirnya bagus. Sudah bisa buka praktek sendiri," ucap Bu Halimah. Singkat namun cukup meresahkan lawannya.

Bu Anita tersenyum anggun mendengar penuturan Bu Halimah. Otaknya berpikir keras mencari keunggulan lain dari anak laki-lakinya. "Anak saya juga agamanya bagus. Sering jadi imam di masjid."

Bu Halimah cukup terkejut dengan fakta itu. Pasalnya anak Bu Anita sejak kecil terkenal nakal dan susah diatur. "MasyaAllah! Garda sekarang suka jadi imam, Bu?" tanyanya antusias.

Bu Anita tersenyum dengan bangga sekarang. "Iya, kalau ikut jama'ah dia sering disuruh jadi imam. Memang anak kebanggan saya," imbuhnya.

"Anak kedua saya juga jadi guru ngaji di masjid dekat rumah saya dulu. Padahal kesibukannya banyak. Tapi, tetap rajin ngajar ngaji dia, Bu."

"Oh, iya, Nadin pasti sudah besar, ya, Bu?"

"Sudah, Bu Halimah. Dulu dia kerja di kantor kakak iparnya. Karena kepingin ikut saya dan suami jadi mengundurkan diri. Semoga saja dapat pekerjaan yang lebih baik di sini."

Bu Anita mengingat-ingat seorang gadis bernama Nadin yang dulu jadi tetangganya. Sejak dulu kecantikan Nadin kecil sudah diakui satu perumahan. Juga sifat ceria juga kepintarannya sudah tidak diragukan lagi.

Senyum cerianya kembali merekah. Wanita berjilbab merah itu menggeser duduknya mendekati Bu Halimah. "Apa Nadin sudah ada pasangan, Bu?" bisiknya.

Bu Halimah tampak terkejut dengan aksi Bu Anita yang sedikit aneh. "Belum, Bu. Nadin itu paling susah dekat dengan laki-laki. Tidak mau pacaran karena dilarang ayahnya," balas Bu Halimah.

Bu Anita mengangguk-angguk paham. "Pendapat Bu Halimah tentang anak saya bagaimana?" tanya Bu Anita tiba-tiba.

"Loh? Kok tiba-tiba bertanya seperti itu, Bu?"

"Penasaran aja, Bu," jawabnya enteng.

"Ya, bagus kalau memang Garda mementingkan karirnya dulu dari pada menikah. Sedikit sulit menemukan laki-laki seperti Garda sekarang. Dimana sangat mengusahakan karir dari pada menikah agar tidak ada kesulitan di kemudian hari. Apalagi agamanya bagus. Sebenarnya gak susah, loh, Bu, buat Garda cari pendamping. Tanggung jawabnya sudah terlihat," jujur Bu Halimah.

Bu Anita semakin mendekatkan tubuhnya pada Bu Halimah. Membuat Bu Halimah makin merasa aneh. "Sudah pas jadi menantu, kan, Bu?"

"Sudah, lah, Bu Nita. Kalau dilihat-lihat kurang apa lagi? Pasti sekarang juga ganteng sekali. Orang dari kecil sudah ganteng."

Bu Anita mengangguk mantap dengan jawaban Bu Halimah kali ini. "Garda dan Nadin sepertinya cocok, ya, Bu?" tanya Bu Anita tiba-tiba.

"Loh? Kok tiba-tiba tanya seperti ini?"

"Gimana kalau kita jodohin aja, Bu, anak kita? Pas sekali momennya," ucapnya semangat.

"Memangnya Nak Garda belum punya pasangan?"

"Belum, Bu. Makanya saya kepikiran buat jodohin anak kita saja."

Bu Halimah tiba-tiba tersenyum lebar. "Oalah, Bu, kenapa gak bilang dari tadi. Saya kira kalau Garda sudah ada calon."

"Belum, Bu. Gimana? Bu Halimah setuju, kan, buat jodohinn anak kita?"

"Siapa yang bisa menolak mantu idaman seperti Garda," jawab Bu Halimah dengan senyum merekah.

Dua wanita paruh baya itu tampak seperti menemukan mata air dalam gurun pasir. Terlihat lega dan juga bahagia.

Sementara Pak Amin selaku penjual Mi Ayam menatap dua mangkuk mi ayamnya yang masih utuh. "Ibu-ibu kalau sudah mengosip memang lupa segalanya," keluhnya. Untung saja dua porsi mi ayam itu sudah dibayar lunas.

Kedua ibu rumah tangga itu berjalan bersama ke arah rumah mereka. Jarak rumah keduanya terbilang sangat dekat. Hanya terhalang satu rumah dan juga pekarangan yang tidak terlalu luas.

...

Bu Anita tersenyum bahagia begitu mendapat persetujuan dari suaminya. Setelah diskusi yang tidak terlalu panjang sang suami langsung menyetujui keinginam Bu Anita. Pasalnya Pak Abraham dan Pak Dimas adalah teman dekat juga. Jadi, tidak akan menyia-nyiakan momen berbesan dengan teman dekatnya.

"Papa telepon Pak Abraham dulu, ya, Ma," pamitnya pada sang istri. Pria paruh baya itu gerak cepat menghubungi calon besan.

Sementara Bu Anita bergegas menemui Garda di ruang kerja anaknya. Tak lupa wanita itu membawa kue coklat kesukaan anak laki-lakinya.

"Kak! Mama masuk, ya," ucap Bu Anita dari luar.

"Iya!" 

Setelah mendapat balasan wanita itu segera masuk ke dalam ruang kerja anaknya. Senyum cerianya yang dipamerkan justru membuat Garda merinding.

Garda melirik sepiring kue coklat ditangan ibunya penuh curiga. "Anak temen arisan Mama lagi?" kanya Garda langsung. Matanya tak berpaling dari kayar laptop.

Bu Anita masih saja tersenyum ceria. Meletakkan makanan kesukaan anaknya itu dengan tenang. "Kamu inget tetangga kita yang pindah 10 tahun lalu nggak, Kak?"

Garda mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Lantas menatap ibunya penuh tanya. "Gak," jawabnya singkat. "Garda lagi periksa tugas anak-anak, Ma. Kalau Mama mau jodoh-jodohin Garda lagi kapan-kapan aja."

"Kamu itu, ya, gak ada semangat-semangatnya kalau mama ajak bahas jodoh."

Garda memilih tidak menjawab. Tangannya terulur untuk mengambil sepotong kue dari piring lalu memakannya dengan tenang.

"Kamu inget Nadin, kan?" tanya Bu Anita pada akhirnya.

Garda menyipitkan matanya tampak berpikir. "Enggak," jawabnya santai.

"Itu, loh, Nadin adiknya Dikta temen main kamu waktu kecil," jelas Bu Anita mencoba membuka kembali ingatan Garda.

"Oh, yang itu," balas Garda seadanya.

"Cantik, loh, Nadin sekarang," imbuh Bu Anita. Dia tadi sempat bertemu Nadin sebentar di depan rumah. Wajah cantiknya terlihat memukau. Juga perangainya yang sangat ceria dan ramah.

"Mama tadi ngobrol sedikit sama ibunya Nadin," ujar Bu Anita setelahnya. "Cuma cerita-cerita soal anak-anak aja, kan, Kak. Eh, tiba-tiba mama kepikiran sesuatu."

"Mama mau jodohin aku sama dia?" tanya Garda langsung tepat sasaran. 

Melihat senyum cerah ibunya membuat Garda mengeleng. "Mama apa gak capek jodohin Garda terus?"

"Capek sebenernya, Kak. Tapi kalau gak gini kamu gak nikah-nikah, sih," kesal wanita itu.

Garda menatap wajah cantik ibunya yang mulai menua. Entah sudah berapa banyak wanita yang dijadikan kandidat oleh ibunya selama ini.

Bu Anita menyodorkan sebuah foto dari saku dasternya. Foto pemberian Bu Halimah yang katanya didapat dari dompet anaknya.

Foto formal dengan bacground merah itu sedikit menarik perhatian Garda. Diambilnya foto itu lalu matanya mulai menelisik lebih dalam.

"Rumahnya belum pindah. Masih kehalang satu rumah sama rumah kita. Bisalah, besok intip-intip dikit," ucap Bu Anita sedikit menggoda anaknya.

"Kali ini mama berharap banget kamu setuju sama perjodohan ini, Kak."

...

"Mana mungkin bisa nolak Umma. Garda, kan, gebetannya Nadin dari bayi."

"Ih! Diem aja, deh, Mas!" 

Kedua orang tua Nadin saling tatap setelah mendengar penuturan anak laki-lakinya lewat sambungan telepon. Senyum kemenangan terlihat jelas dari keduanya.

"Tinggal nentuin tanggal aja, Bah," ujar Bu Halimah semangat.

"Kok udah nentuin tanggal aja, sih, Umma. Nadin, kan, belum jawab iya," keluh Nadin sebal.

"Bener, kan, apa kata Dikta. Nadin udah mau jawab 'iya' ternyata," kekeh Dikta lagi.

Nadin menatap layar ponsel ibunya dengan nyalang. Memberikan tatapan tajam pada kakak laki-lakinya yang malah tertawa. Sementara kedua orang tuanya juga ikut tertawa riang.

"Umur kamu sudah cukup untuk menikah Nadin. Abah harap memang pilihan itu yang kamu pilih," ujar Pak Abraham kemudian.

"Iya, Nak. Menurut Umma dijaman sekarang memang mudah terjadi fitnah. Jadi tidak ada salahnya kalau kamu segera menikah." Nadin tampak diam setelah mendengar penuturan kedua orang tuanya. 

Sebenarnya sejak tadi taman bunga sudah bermekaran di hati Nadin. Siapa sangka, dia akan dijodohkan dengan pria idamannya sejak kecil. Pria tampan yang sudah tidak ditemuinya lebih dari 10 tahun.

...

Sat-set Ala Ibu-ibu

Sesuai dengan sarang dari sang ibu. Pagi ini Garda sengaja meluangkan waktu untuk lari pagi di taman dekat perumahan. Langkah kakinya sengaja dibuat santai saat melewati sebuah rumah yang terhalang satu bangunan dari rumahnya.

Tidak mau mengelak, sebenarnya Garda juga penasaran dengan sosok Nadin sekarang. Dilihat dari foto memang cukup cantik dan menarik. Tapi, siapa tahu itu hanya editan atau rekayasa semata. Garda butuh melihat secara langsung.

"Nak Garda, ya!?" panggil seorang wanita paruh baya dari arah rumah tersebut.

Garda menoleh dengan tatapan datarnya. Diamati wajah tua itu sekilas. "Iya, Bu Halimah," jawab Garda.

Pria itu berjalan mendekati Bu Halimah yang sedang merawat tanaman hias miliknya. "Apa kabar, Bu?" tanyanya mencoba ramah. Sayang sekali wajah kakunya tidak bisa berbohong.

Bu Halimah tersenyum senang. Apalagi mendapati calon menantunya terlihat lebih tampan dari yang dia bayangkan. "Alhamdulillah baik, Nak. Ibu dengar sekarang kamu jadi dosen?"

Ganta tersenyum agak canggung. Dirinya kurang terbiasa dengan acara basa-basi seperti ini. "Iya, Bu, benar."

"Ngomong-ngomong, Nak Garda. Apa Bu Anita sudah bicara soal perjodohan kamu dengan Nadin?" tanya Bu Halimah penasaran.

"Sudah, Bu."

Senyum bahagia otomatis tercetak di wajah tua Bu Halimah. Rasanya sudah tidak sabar mau menikahkan putrinya dengan adat apa. "Nak Garda setuju, kan?" tanyanya antusias.

Pria itu menatap wajah wanita di depannya dengan bingung. Bingung mau memberi jawaban seperti apa. Jujur, Garda sendiri belum memikirkan jawabannya.

"Biasanya kalau diam begini berarti setuju," sela Bu Halimah setelahnya. "Yaudah, nanti ibu bilangin sama Bu Anita, ya, Nak? Sekalian menentukan tanggal. Gak usah ribet-ribet nanti malah terlalu lama."

Garda dibuat melongo dengan perkataan wanita itu. Bibirnya baru saja mau terbuka namun digagalkan dengan ucapan Bu Halimah. "Nggak usah malu-malu gitu, Nak Garda. Ibu tahu kamu juga gak sabar buat menikah dengan Nadin. Satu atau dua bulan bisalah nanti dibicarakan," katanya dengan wajah santai. Sementara Garda sudah panik bukan main.

"Begini, Bu," sela Garda sebelumnya.

"Sudah kamu tenang saja. Nanti biar ibu yang bicara sama Bu Anita. Beliau itu suka gak peka ternyata sama anaknya. Yaudah, ya, Nak Garda. Ibu masuk dulu, mau bicara sama Abahnya Nadin."

Setelah berpamitan Bu Halimah langsung masuk ke dalam rumah dengan berlari kecil. Garda hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ibu itu. 

Sepersekian detik dia mulai melamun. Memikirkan perkataan wanita paruh baya tadi. Jika benar pernikahannya akan diadakan satu atau dua bulan lagi bagaimana? Garda saja belum menentukan pilihan. Namun, bisa-bisanya kedua ibu itu sudah terlihat bersemangat menjadi besan.

"Permisi, Pak, mau cari siapa, ya?"

Suara seorang perempuan membuat Garda menoleh. Di belakangnya terlihat seorang perepuan dengan jilban instan yang membalut kepalanya. 

Garda jadi bingung mau menjawab apa. Dia merasa agak malu dan canggung. Dari wajah cantiknya saja dia sudah mengenali bahwa dia Nadin. 

"Kamu tidak ingat saya?" tanya Garda pada akhirnya.

Mata Nadin menyipit mendengar jawaban itu. Ditatapnya wajah tampan pria dengan kaos hitam itu lamat-lamat. "Mas Dana?" tebaknya agak ragu.

Garda mengangguk satu kali. Kakinya lantas melangkah karena sadar dirinya berdiri di depan pintu gerbang. "Silahkan masuk, saya permisi," pamit Garda setelahnya.

Pria itu lantas meninggakan Nadin dengan berlari santai. Seolah-olah memang sejak tadi tengah melakukan lari pagi.

Sementara Nadin menatap punggung tegap itu dengan wajah memanas. Kedua pipinya mengembung menahan senyum. "Jadi makin ganteng gitu," ucapnya.

Nadin lantas masuk ke dalam pagar dengan satu pelastik berisi bubur ayam. Entah kenapa hatinya terasa begitu bahagia.

...

"Bu Halimah tadi ke sini waktu kamu masih di masjid." Bu Anita tiba-tiba duduk di samping anaknya yang sedang menikmati acara di layar televisi.

"Katanya  kamu udah bilang setuju sama perjodohan ini, Kak?" tanya Bu Anita.

Garda yang awalnya memang sudah menebak akhir dari kisah lajangnya hanya diam. Baginya sudah sangat mustahil untuk mengutarakan pendapat. Apalagi membantah.

"Bener Garda?" tanya Bu Anita menuntut.

"Iya," jawab Garda pada akhirnya.

"Kamu serius!?" Bu Anita tampak sangat antusias dengan jawaban yang diberikan Garda.

Garda hanya mengangguk. Mungkin memang ini saatnya Garda melepas masa lajang. Kalau boleh jujur sebenarnya dia juga lelah setiap hari diberi pertanyaan kapan menikah. Mengingat 2 tahun lagi isianya juga akan menginjak 30 tahun. Garda rasa menikah dengan mantan tetangganya bukan alasan yang buruk.

"Alhamdulillah, Kak! Mama seneng banget denger langsung dari kamu. Akhirnya anak kebanggan mamaa menikah juga," ujar Bu Anita penuh binar kebahagiaan. 

"Kalau pernikahannya diadakan secepat mungkin kamu mau, kan?"

"Maksud mama?" 

"Ya, diadakan secepatnya, Kak. Kalau bisa satu dua bulan lagi," jawab Bu Anita masih dengan nada semangat.

"Mama gak salah? Aku sama Nadin belum terlalu kenal, Ma. Minimal kasih kita kesempatan buat saling megenal," ucap Garda mengeluarkan isi kepalanya.

Bu Anita meraih tangan kanan Garda. Mengusap lembut bermaksud memberi ketenangan agar Garda mau menerima keputusannya. "Garda, niat baik itu harus disegerakan. Bukannya lebih baik saling mengenal saat sudah halal, Nak. Kamu pasti juga paham bagaimana baiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan."

Lagi-lagi Garda dibuat bungkam. Tidak ada celah untuk memberontak lagi. Dia adalah anak laki-laki yang dididik untuk patuh pada kedua orang tuanya.

"Yaudah," jawabnya pasrah.

"Nah, gitu baru anak kebangaan mama," ucap Bu Anita sambil mengelus puncak kepala anaknya.

"Nanti biar mama bilang sama papa. Terus kita langsung ke rumah Bu Halimah buat lamar Nadin. Sat-set aja, ya, Nak. Mama tau kami juga udah gak sabar."

"Terserah."

"Kalau bisa sebulan lagi aja, ya. Mama udah gak sabar punya cucu."

...

Garda turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua. Badan tegapnya terlihat menawan dengan sarung hitam dan kaos yang juga berwarna senada. Matanya menyipit karena masih berusaha menghalau rasa kantuk.

"Loh!? Kok masih jelek gitu!?" serbu Bu Anita.

"Kenapa?" Garda duduk di samping ayahnya yang sedang santai sambil minum kopi.

"Kan, Mama udah bilang sama Kakak. Jam 7 nanti temenin mama beli cincin buat lamaran," gerutu Bu Anita.

"Oh," jawab Garda. Pria itu lantas berdiri. "Yaudah ayo!" ajaknya.

"Kamu gak mau ganti baju dulu?" tanya Bu Anita sinis. "Muka kamu juga mengkerut gitu, Kak! Cuci muka sana!"

"Keburu males, Ma," jawab Garda seadanya. 

"Pinjem, Pa," kata Garda sambil mengambil baju koko ayahnya yang diletakkan di sandaran sofa.

"Ayo!" ajaknya lagi. Mulai melangkah sambil mengenakan baju koko lengan pendek milik ayahnya.

"Mau nikah juga masih aja sama. Gak ada semangat-semangatnya," gerutu Bu Anita lagi.

Garda benar-benar berangkat dengan setelan baju koko juga sarung andalannya. Pria itu sempat membasuh wajahnya di kran yang ada di taman. Meskipun hanya berpakaian sederhana namun pesona Garda tidak bisa dielakkan.

Tidak berselang lama ibu dan anak itu sudah sampai di toko perhiasan. Mereka langsung disambut dengan jajaran perhiasan emas yang dipamerkan di dalam etalase kaca. Garda cukup mengikuti kemana langkah ibunya.

"Selamat datang ibu! Ada yang bisa saya bantu," sapa seorang wanita dengan senyum ramah yang dipamerkan.

"Ini, Mbak, anak saya mau cari cincin buat lamaran," kata Bu Anita.

Garda melirik Ibunya yang juga menatap dia. "Bilang sama mbaknya, kamu pengen yang gimana?"

"Terserah, Mama," kata Garda final.

"Loh!? Kamu itu yang mau lamaran!"

"Terserah Mama. Aku tinggal bayar," kata Garda lagi.

Bu Anita mendesis sebal. Padahal dia ingin Garda yang memilih. Rasanya akan sepesial jika sang calon pengantin yang memilih langsung.

Disela-sela matanya yang diam-diam meneliti setiap perhiasan yang dipamerkan. Garda tertarik pada sebuah cincin cantik yang dihiasi permata di atasnya. Tampilannya cukup sederhana namun terkesan elegan.

"Coba ini, Mbak," kata Garda sambil menunjuk cincin incarannya.

"Ini, Pak, silahkan." 

Garda mengamati cincin itu dengan teliti. "Bagus, gak?" tanyanya. Meminta pendapat pada ibunya.

Bu Anita lantas tersenyum senang. "Bagus sekali," katanya lega.

Garda mengangguk. "Ini aja, Mbak," ucapnya sambil menyodorkan sebuah cincin itu kembali.

Garda kembali menatap wajah ibunya. Senyum merekah itu sangat jarang ia lihat. Senyum bahagia yang bisa turut membuat Garda bahagia.

Garda hanya berharap ini adalah pilihan yang tepat. Sebuah pilihan yang bisa membuat semua orang bahagia.

...

Nadin menatap layar ponselnya penuh kebimbangan. Di sana terdapat sebuah nomor telepon dengan nama 'Mas Dana'. Sudah sejak setengah jam yang lalu Nadin berniat menghubungi pria itu. Namun, rasanya sungkan dan malu.

"Gimana, ya? Mau telepon malu, gak telepon juga belum lega."

Nadin sudah diberitahu bahwa satu minggu lagi Garda dan keluarganya akan melamar Nadin secara resmi. Tapi rasanya belum lega jika dia belum mendengar langsung dari Garda. Mendengar penuturan laki-laki itu secara jelas. Bagaimana perasaannya, apakah dia terpaksa atau memang menyetujui karena juga menginginkan Nadin. 

Suara dering dari ponselnya membuat Nadin terperanjat kaget. Apalagi sebuah nama yang tertera jelas di layar. "Mas Dana?" tanya Nadin pada dirinya sendiri. "Serius Mas Dana!?"

"Aduh, gimana ini!?" 

Nadin mengerutu sebal. Kenapa tiba-tiba Garda menghubungi nomornya. Pasalnya mentalnya yang sejak tadi dibangun belum berdiri kokoh. Setelah mengatur napas dan mengumpulkan keberanian Nadin menggeser tombol hijau di dering kedua.

"Assalamualaimum," sapa Garda dengan suara datarnya.

"Waalaikumussalam," jawab Nadin dengan suara yang terdengar gugup.

"Ibu saya bilang kamu minta nomor saya. Dia pikir kamu mau berbicara dengan saya. Tapi, kamu belum menghubungi saya dari tadi. Jadi saya diminta telepon kamu lebih dulu," jelas Garda dengan detail.

"Jadi mau bicara apa?" tanya Garda lagi karena tidak juga mendapat respon dari Nadin.

Nadin masih saja diam. Rasanya malu berbicara dengan Gardana. Apalagi bisa dibiang Gardana adalah calon suaminya.

"Nadin," panggil Garda lagi.

"Iya," jawab Nadin akhirnya. "Aku gak mau ngomong apa-apa kok. Tadi cuma pengen punya nomor Mas Dana aja," jawab Nadin dengan suara pelan.

Lama tak ada jawaban dari Garda. Nadin sampai mengira panggilan dimatikan secara sepihak. Ternyata nama lelaki itu masih tertera jelas di layar ponselnya.

"Dari dulu cuma kamu yang panggil saya Dana," ucap Garda tiba-tiba.

Nadin mengulum senyum malu. Dia kira Garda sudah melupakan masa-masa saat dulu mereka masih menjadi tetangga. "Panggilan khusus dari aku," kelakar Nadin.

"Kamu masih sama seperti Nadin yang dulu?" tanya Garda. Pria itu ingat sekali. Nadin adalah gadis kecil yang selalu mengusik dan mengikuti kemanapun Garda pergi. Dan semua orang tau Nadin kecil teegila-gila dengan Garda saat itu.

"Masih," jawab Nadin.

Di kamarnya Garda hanya menatap hampa ke luar jendela. Tidak ada debaran atau rasa gugup sedikitpun yang dia rasakan. Entah, memang belum ada atau tidak akan ada.

"Nadin," panggil Garda. "Saya menyetujui perjodohan ini karena bakti saya kepada orang tua saya. Tapi bukan berarti saya terpaksa menerima perjodohan ini. Jika nanti saat sudah resmi menjadi suami kamu dan saya belum bisa mencintai kamu. Saya harap kamu bisa mengerti. Ini, kan, yang masih membuat kamu tidak yakin?"

Nadin refleks mengangguk. Dia terdiam dengan jantung berdebar. Garda memang laki-laki dingin yang sulit sekali di gapai. 

"Besok saya akan datang ke rumah," kata Garda.

"Mau ngapain?"

"Melamarmu."

...

Malam ini Nadin sudah tampak cantik dengan gamis pilihan ibunya. Wajah cantiknya tampil berbeda malam ini. Terlihat semakin memuaku dengan riasan wajah yang serasi dengan gamis yang dia kenakan.

Lamaran sederhana ini hanya dihadiri keluarga dekat dan beberapa tetangga sekitar perumahan. Semua tamu bisa merasakan kebahagiaan dari kedua keluarga yang tak lama lagi akan menyatu.

Garda yang duduk disamping ayahnya menunduk. Enggan menatap wajah Nadin yang terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Sementara Nadin sendiri sibuk curi-curi pandang menikmati ketampanan Garda.

Acara dimulai saat Pak Abraham mulai mengucapkan salam dan beberapa kalimat pembuka. Setelahnya beliau mengutarakan maksud dari tujuannya serta keluarga datang berkunjung ke kediaman Nadin. 

Setelah itu giliran Pak Dimas yang berbicara. Baliau dengan senang hati menerima kedatangan Pak Abraham beserta keluarga. Pak Dimas meminta persetujuan dari Nadin sebagai formalitas. Setelah Nadin menyetujui, baru beliau dengan gamblang menerima lamaran dari pihak pria.

Semua yang hadir dalam acara lamaran mengucap syukur dengan raut bahagia. Dua keluarga yang dulu menjadi tetangga dekat akhirnya kembali dipersatukan menjadi keluarga.

Setelah bermusyawarah untuk beberapa saat. Tanggal dan hari pernikahan sudah berhasil di tentukan. Gardana dan Nadin akan resmi menikah 2 bulan setelah hari lamaran ini.

Acara lamaran sederhana ini dilanjut dengan sesi makan-makan. Para tamu dan beberapa anggota keluarga dipersilahkan menikamti jamuan yang sudah dihidangkan.

After Weding

Garda adalah laki-laki paling tampan di perumahan tempat Nadin tinggal. Dulu Nadin yang masih mengenakan seragam merah putih merasa sangat senang jika laki-laki tampan dengan seragam abu-abu lewat di depan rumahnya. Apalagi saat laki-laki itu datang bertamu untuk bermain dengan kakaknya.

Nadin kecil selalu mengikuti langkah Garda. Dia yang saat itu masih berusia 10 tahun tentu masih mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Baginya, asal bisa bersama si tampan Garda saja sudah bahagia.

Sementara Garda hanya bisa pasrah saat Nadin terus mengikutinya. Meskipun ada rasa tak nyaman. Tapi, bagi Garda, Nadin hanyalah anak kecil yang masih suka mencari perhatian.

Kisah mereka berdua berakhir saat Nadin dan Dikta harus pindah mengikuti kedua orang tuanya. Awalnya, Nadin kira mereka hanya meninggalkan tempat ini sementara waktu. Tapi ternyata, sampai 10 tahun lamanya.

Tapi, Nadin masih sangat mengingat Garda. Laki-laki yang sampai saat ini masih dia sukai. Dan tanpa Nadin sangaka. Laki-laki tampan yang selalu dia usik telah resmi menjadi suaminya.

"Mau gak?" tanya Garda untuk kesekian kalinya. Pria itu menawarkan segelas teh hangat pada Nadin.

Dia dan Nadin sudah resmi menjadi suami-istri sejak berlangsungnya akad tadi pagi. Setelah melangsungkan resepsi yang tidak terlalu meriah, sesuai permintaan Garda. Mereka berdua duduk di ruang tamu bersama beberapa anggota keluarga lain.

"Aku laper," adu Nadin sambil menerima gelas pemberian Garda.

"Makan, lah," balas Garda. Nadin mendesis dengan jawaban itu. Suaminya ternyata sangat tidak peka

Pria itu duduk bersila di samping Nadin. Di depannya ada beberapa keluarga dekat dari Nadin yang masih berbincang. Sementara kedua orang tuanya sudah kembali ke rumah. Beberapa pasang mata langsung menatap mereka berdua.

"Eh, kalian berdua ngapain masih disini?" tanya seorang wanita yang merupakan tante Nadin.

"Iya, istirahat ke dalem aja. Pasri capek seharian nerima tamu terus," ujar seorang wanita lagi menambahi.

"Gak papa tante, baru jam segini," jawab Nadin dengan senyum ramahnya.

"Pengantin baru, mah, biasanya nggak sabar langsung pengen ke kamar, ya, Bu?" ucap wanita yang juga merupakan kerabat dari Nadin.

"Iya! Gak sabaran biasanya," imbuh yang lain.

"Kalau anak saya berarti pengantin luar biasa." Tiba-tiba Bu Halimah datang setelah mekaksanakan sholat isya. Wanita itu kemudian duduk di antara Nadin dan beberapa kerabat wanita lain.

"Kalian berdua makan dulu aja. Dari tadi Umma belum lihat kalian makan," suruh Bu Halimah. Nadin menoleh pada Garda. Dilihatnya pria itu hanya mengangguk sekilas.

Setelah berpamitan dengan sedikit basa-basi pada anggota keluarga lain. Mereka berdua langsung berjalan beriringan ke arah dapur. Suasana di dapur cukup sepi. Pasalnya acara mereka menggunakan catering. Jadi, ruangan ini tidak terlalu berantakan dan dijamah manusia.

"Mas Dana mau makan juga enggak?" tanya Nadin. Gadis itu mulai membuka tudung saji dan menemukan beberapa lauk di sana.

"Enggak," jawab Garda.

"Emang gak laper apa?" Nadin mulai mengambil beberapa macam lauk lalu meletakkannya di atas piring yang sudah berisi nasi.

"Aku bikinin kopi mau?" tawar Nadin. Gadis itu meletakkan sepiring Nasi di atas meja. Tepat di samping posisi Garda.

"Saya gak minum kopi," jawab Garda.

Nadin hampir saja melupakan fakta itu. Padahal Nadin kecil selalu tau apa yang disukai dan tidak disukai Garda. Tanpa mengatakan apa-apa Gadis itu berlalu meninggalkan Garda. Membuat pria itu menatap ke arah Nadin.

Dari posisi duduknya, Garda dapat melihat Nadin yang sibuk membuat minuman dengan air panas. Setelah itu dia melengos tidak peduli. Memilih membuka ponselnya untuk membalas beberapa ucapan selamat dari teman-teman dan rekan kerjanya.

"Aku buatin coklat panas kesukaan Mas Dana." Nadin meletakkan secangkir coklat panas dengan asap yang masih mengepul di udara.

"Terimakasih," balas Garda sambil terus menatap ponsel.

"Mas Dana beneran gak mau makan?" tanya Nadin lagi. Tangannya mulai asyik menyendok makanan.

Garda hanya diam. Menjawab pertanyaan yang sama bukan hal yang menyenangkan.

"Aku suapin mau?" tawar Nadin. Mata beningnya menatap wajah tampan namun terkesan dingin milik suaminya.

"Saya ke kamar duluan," pamit Garda tanpa menjawab pertanyaan Nadin. Pria itu meninggalkan dapur tanpa membawa segelas coklat panas buatan Nadin.

Nadin diam terperangah dengan tindakan Garda barusan. Ternyata Garda yang sekarang menjadi suaminya masih sama sejak terakhir kali mereka bertemu. Dingin dan terkesan suka mengabaikan Nadin.

"Kalau kata Kak Rere, kunci punya suami kulkas itu cukup jadi istri yang agresif dan gak tahu malu," kata Nadin sambil mengunyah makanannya.

Dia sempat mendapat beberapa nasihat dari kakak iparnya. Mengingat Dikta dan Garda hampir mempunyai sifat yang sama. Jadi Nadin minta beberapa wejangan dan resep dari kakak iparnya yang lebih berpengalaman.

...

Nadin membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masuk terlebih dahulu. Mengamati suasana di dalam kamar. Di sana ada Garda yang sedang duduk di pinggi kasur dengan kemeja yang sudah diganti menggunakan kaus hitam. Celana bahannya juga sudah diganti dengan celana pendek selutut.

"Ngapain kamu Nadin?" tanya Garda tanpa menoleh.

Nadin yang masih berdiri di depan pintu dengan kepala yang menyembul ke dalam itu terperanjat kaget. Gadis itu buru-buru masuk kedalam kamar lalu mengunci pintu.

"Kok Mas Dana bisa tahu kalau aku ngintip?" tanya Nadin. Gadis itu berjalan mendekat ke arah Garda.

"Ada cermin," jawab Garda santai. Benar saja, jelas-jelas Garda duduk menghadap meja rias milik Nadin yang menunjukkan pantulan dari pintu kamar.

"Ih, aku gak sadar," balas Nadin sambil terkekeh. "Mas Dana udah mau tidur?" tanyanya basa-basi.

Garda tidak menghiraukan pertanyaan istrinya. Apalagi keberadaan Nadin yang sekarang duduk berjarak dua jengkal dari badannya. Pria itu dapat merasakan gadis kecil yang sudah menjadi istrinya itu terus menatap wajahnya.

"Mas Dana," panggil Nadin dengan suara yang dibuat sangat lembut.

Garda bergidik ngeri mendengarnya. Dilihatnya wajah Nadin yang entah mengapa terlihat begitu menyeramkan sekarang. "Apa!?" tanya Garda sewot.

"Galak banget, sih," gerutu Nadin. Gadis itu menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Garda.

"Mandi dulu sana!" sela Garda cepat. Pria itu ikut menggeser badannya menghindar dari Nadin.

"Gak mau," tolak Nadin langsung.

"Jorok, Nad! Kamu tadi sore, kan, juga gak mandi." Garda menatap tajam mata bening gadis itu. Membuat Nadin jadi merasa seperti sedang dinasehati ayahnya.

"Tapi dingin, Mas. Jadi males akunya," elak Nadin. Membuat tampang menggemaskan agar Garda luluh.

Garda beranjak dari duduknya. Berdiri sejenak menatap gadis itu. "Jangan deket-deket saya kalau belum mandi," ucap Garda penuh penekanan.

"Ih! Kok gitu!?" teriak Nadin tidak terima.

"Terserah," jawab Garda.

Pria itu lantas mengambil laptop yang ada di meja rias Nadin. Kembali duduk di atas ranjang dengan badan yang bersandar di sandaran kasur. Dilihatnya Nadin yang masih berada di tempat yang sama.

"Nad," panggil Gama dengan suara datar. Namun, berhasil membuat Nadin bergegas ke kamar mandi. Gadis itu langsung berlarian kecil mendekati pintu di ujung ruang kamarnya.

Pria itu menggelengkan kepalanya heran. Ternyata kelakuan gadis itu masih sama seperti Nadin yang ia temui dulu.

Garda kembali fokus pada layar laptopnya. Dia harus mengecek beberapa tugas dari mahasiswanya. Juga beberapa laporan keuangan dari rumah makan miliknya.

Tak berselang lama suara pintu kamar mandi terdengar terbuka. Kepala Garda otomatis mendongak, menatap ke arah pintu yang mulai terbuka itu. Seketika itu matanya membelakak lebar menatap tubuh Nadin.

Dengan santainya Nadin keluar dengan setelan piyama pendek yang cukup tipis. Bahkan celananya hanya menutupi setengah dari paha gadis itu. Dengan sisa kewarasan yang dia miliki. Garda memilih mengalihkan pandangan untuk kembali fokus ke layar laptop.

"Mas baju aku bagus enggak?" tanya Nadin basa-basi. Gadis itu memilih menaiki ranjang lalu duduk bersandar di sebelah Garda.

"Enggak," jawab Garda telak.

"Ih! Padahal ini hadiah dari Mbak Rere, loh," gerutu Nadin sebal. Padahal menurutnya baju ini sangat bagus.

Garda tambah melirik Nadin semakin sinis. "Belum dicuci?" tanyanya sewot.

Nadin menggeleng sambil tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. "Kata Mbak Rere langsung dipakai aja."

"Jorok banget! Jangan deket-deket saya kamu!" Garda mendorong pelan bahu Nadin yang hampir berdempetan dengan bahunya.

"Jorok lagi!?" tanya Nadin tak terima.

"Iya!"

Nadin menyilangkan tangannya di depan dada. Wajahnya mengkerut karena sebal. "Tadi gak mandi jorok. Udah mandi masih jorok," gerutu Nadin.

"Ganti baju yang bersih. Kamu gak tahu baju baru kamu itu habis kena apa aja waktu di pabrik," ujar Garda menggebu.

"Males tahu, Mas," rengek Nadin.

"Yaudah jangan deket-deket saya," kata Garda final. Pria itu mengambil sebuah bantal yang digunakan sebagai tumpuan laptop. Meletakkannya di antara dia dan Nadin. Membuat mata Nadin memicing.

"Jarak aman," katanya santai.

"Mas Garda curang! Dari tadi gak boleh deket-deket terus," rengek Nadin yang tidak digubris oleh Garda.

Sampai tidur pun bantal itu terus berada di antara keduanya. Kalau tangan Nadin iseng mengambil bantal itu, Garda akan langsung mengomel.

"Nasib-nasib," decak Nadin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!