Pagi ini Nadin dan Garda sudah kembali berada di rumah mereka sendiri. Setelah dari rumah orang tua Garda mereka berdua langsung berpamitan untuk kembali ke kediamnnya. Setelah itu barulah mereka belanja dan melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Sekarang Nadin sedang menyiapkan sarapan untuk suaminya. Sesuai permintaan Garda kemarin. Nadin memasak soto dan juga bakwan jagung. Setelah semua sarapannya siap Nadin menyiapkan bekal yang akan Garda bawa.
"Kebiasaan kalau habis keramas pasti rambutnya digituin," ujar Garda yang baru selesai bersiap. Pria itu ke luar dari kamar dengan kemeja panjang berwarna biru muda dan celana bahan hitam.
Nadin tersenyum memamerkan deretan gigi rapihnya. "Abisnya males mau ngeringin." Gadis itu langsung melepas handuk yang digunakan untuk membungkus rambut basahnya.
"Gitu katanya bisa ngerawat kucing," kata Garda lagi.
Nadin mendekati Garda dengan wajah yang dihiasi senyuman. Setelah sampai di dekat suaminya yang sudah duduk tenang di meja makan. Nadin memberi kecupan singkat di pipi Garda. "Ganteng sekali suamiku," puji Nadin.
"Itu rambutnya dikeringkan dulu," kata Garda.
Nadin langsung memegang rambut setengah basahnya yang masih berantakan. "Kalau rambut aku kayak gini masih cantik gak?" tanya Nadin basa-basi. Tangan gadis itu mulai mengambilkan nasi untuk suaminya. Tak lupa menuangkan kuah soto ke dalamnya.
"Gak. Cepat keringin," jawab Garda ketus.
"Padahal mau gimanapun keadaan, Mas. Mas Dana tetap ganteng di mata aku," ujar Nadin dengan wajah kecewa. Gadis itu lantas pergi setelah kembali mengecup pipi suaminya.
Garda menggelengkan kepalanya heran dengan kelakuan Nadin. Pria itu ingin memulai sarapan. Namun, baru ingat jika daya ponselnya sudah habis. Akhirnya Garda memilih kembali ke kamar untuk mencari charger.
Sampai di dalam kamar Garda dapat melihat Nadin yang sibuk mengeringkan rambutnya. Pria itu melirik Nadin sejenak. "Charger saya ada di mana, Nad?" tanya Garda. Pasalnya kemarin Nadin yang membawa benda itu.
"Di tas aku yang coklat," jawab Nadin singkat.
Garda langsung meraih tas dengan warna coklat muda milik Nadin yang tergeletas di atas meja rias. "Kemarin Umma nanyain kamu enggak?" tanya Garda pada Nadin yang juga duduk di depan meja rias. Semetara tangannya mulai membuka tas istrinya untuk mencari barang yang dibutuhkan.
"Enggak, Mas. Kenapa emang?" tanya Nadin.
"Kemarin 'kan kita gak mampir," jawab Garda seadanya kemarin mereka berdua memang tidak berkunjung ke rumah orang tua Nadin. Pasalnya akan terlalu larut jika berkunjung ke sana dulu.
Saat akan mengambil charger yang dia cari, pandangan Garda malah salah fokus pada sebuah plastik kecil yang diletakkan di kantong kecil di dalam tas. "Ini apa, Nad?" tanya Garda sambil menunjukkan plastik itu.
Mendengar pertanyaan Garda membuat Nadin menoleh. Gadis itu merebut bungkusan plastik itu dengan cepat. Wajahnya terlihat sedikit terkejut.
"Apa itu?" tanya Garda.
Nadin seketika merubah raut wajahnya menjadi lebih tenang. "Urusan perempuan ini," jawab Nadin dengan cengiran.
Garda mengangguk saja mendengar itu. Dia lanjut mengambil charger yang dia cari. "Cepat keringinnya! Lama sekali," ucapnya. Setelah itu Garda langsung berlalu pergi.
"Iya sabar suami!" jawab Nadin.
Wanita itu langsung memasukkan plastik yang tadi ditemukan Garda ke dalam laci setelah memastikan pria itu benar-benar pergi. Ada raut lega yang langsung menghiasi wajahnya. "Untung aja," ujarnya.
Setelah selesai dengan kegiatannya Nadin bergegas ke dapur. Rutinitas paginya untuk menemani Garda sarapan tidak boleh dilewatkan. Wanita itu langsung duduk di samping Garda setelah sampai di dapur.
Awalnya mereka berdua hanya berbincang ringan untuk menghangatkan suasana. Namun, tiba-tiba Nadin terdiam kala mengingat ada yang ingin dia bicarakan dengan Garda. Wanita itu menatap Garda sebelum memulai pembicaraan yang serius.
"Mas," panggil Nadin membuat Garda menatap ke arahnya.
"Apa?" tanya Garda.
Nadin terdiam sejenak. Ditatapnya wajah Garda terlebih dahulu sebelum memulai pembicaraan. "Aku tanya boleh?" Garda mengangguk setuju. Tangannya masih asyik menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Emang Mama pengennya punya menantu wanita karir, ya?" tanya Nadin pelan. Sebenarnya ada banyak keraguan saat melontarkan pertanyaan itu. Namun, dia juga ingin tahu alasan Anita sedikit berubah padanya setelah pembicaraan mereka kemarin.
"Mama kayak kecewa gitu waktu tahu aku cuma bantuin Kak Rere bukan kerja di kantor beneran," jelas Nadin mengutarakan apa yang dia pikirkan.
"Mas," panggil Nadin karena Garda tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Ucapan Mama kemarin tidak usah kamu pikirkan," kata Garda tanpa mau menjawab pertanyaan Nadin.
Nadin menatap Garda dengan kesal. Merasa tidak terima dengan jawaban itu. "Jawab dulu, Mas," pinta Nadin. "Bener, ya, Mama emang maunya punya menantu wanita karir?" tanya Nadin lagi.
Garda meletakkan sendoknya ke atas piring. Ditatapnya Nadin yang terus menatap dirinya. Menuntut jawaban yang memuaskan dari pertanyaannya.
Garda memikkirkan jawaban yang tepat untuk istrinya. Bagaimana dia harus menjawab tanpa membuat Nadin merasa berkecil hati. "Sebenarnya mau wanita karir atau tidak itu bukan masalah Nadin. Saya malah bersyukur sekali punya istri yang selalu ada untuk saya," ujar Garda.
Nadin tersenyum masam mendengar jawaban Garda. Pria itu tidak tegas dengan ucapannya. Jawaban Garda malah terkesan terus mengelak. Jadi Nadin yakin apa yang dia pertanyakan memang benar.
"Aku bisa ngerasain perubahan sikap Mama sama aku," ujar Nadin pelan. "Setelah Mama tahu aku bukan wanita karir dan gak kuliah Mama gak sehangat biasanya."
"Tidak usah terlalu kamu pikirkan," kata Garda menenangkan. "Mungkin Mama sedikit terkejut. Lama-lama juga akan kembali seperti biasa."
Nadin diam dengan isi kepala yang mulai ramai. Jujur saja Nadin merasa terganggu dengan ucapan Anita. Rasanya juga tidak nyaman mendapat perlakuan berbeda dari ibu mertuanya itu.
"Nadin," panggil Garda. Pria itu bisa melihat banyak ketakutan yang berusaha Nadin sembunyikan.
"Tidak akan ada yang berubah setelah ini. Kamu cukup jadi Nadin yang selalu percaya diri," ujar Garda dengan tatapan dalamnya.
"Tapi aku gak yakin, Mas," ujar Nadin hampa. "Akan ada yang berubah," lanjutnya.
"Harusnya sejak awal aku sadar kalau kita ini beda jauh," ujar Nadin. Mata beningnya menatap mata tajam Garda. "Aku terlalu kecil buat bersanding sama Mas."
"Kamu ini bicara apa?" tanya Garda heran. Pria itu meminum segelas air putih yang sudah Nadin siapkan. Tangannya merapikan piring yang selesai dia gunakan. Bergegas membawa piring itu untuk di cuci.
Namun, suara Nadin menghentikan kegiatannya. "Kalau Mama aja merasa terganggu karena aku bukan wanita berpendidikan. Apa Mas Dana juga ngerasain hal yang sama?"
"Saya sama sekali gak pernah mempermasalahkan hal ini," ujar Garda tegas.
"Mas Dana dosen, loh. Pendidikan Mas pasti tinggi. Sedangkan aku cuma lulusan SMA. Kita jauh banget, ya?"
Garda menatap Nadin dengan mata tajamnya. "Saya tidak suka kamu bicara seperti ini!" tegas Garda.
"Tapi kita beneran beda jauh, Mas. Harusnya sejak awal aku sadar, kan?" tanya Nadin menggebu.
Garda menghela napas kasar. Pria itu lantas berdiri dengan piring kotor di tangannya. Memilih menjauh untuk menghindar dari pembicaraan yang Nadin ciptakan.
Sementara Nadin dibuat terdiam dengan isi kepalanya sendiri. Rasanya sangat ramai dan berantakan. Wanita itu terus mengamati Garda dengan wajah sendunya.
Dari segi fisik saja Garda sudah terlihat sangat sempurna. Ditambah dengan karir dan pendidikannya suaminya itu semakin dibuat sempurna.
"Saya berangkat," pamit Garda setelah selesai mencuci satu piring juga gelas yang tadi dia gunakan.
Nadin mengangguk dengan senyum manisnya. Wanita itu berdiri untuk meraih bekal yang sudah dia siapkan. "Aku anterin ke depan," ucap Nadin.
Garda berjalan dengan tenang. Sementara Nadin mengikutinya di belakang. Sebelum benar-benar berpamitan Garda lebih dulu mengusap puncak kepala Nadin.
"Saya tahu banyak yang menganggu pikiran kamu," ucap Garda. "Mau sebanyak apapun saya bilang jangan terlalu dipikirkan kamu akan terus memikirkan banyak hal, kan?"
Nadin mengangguk dengan senyuman tipis. "Karena bukan aku yang mau," jawabnya.
"Saya gak butuh seorang istri wanita karir atau apapun itu. Kehadiran kamu di hidup saya selalu membuat saya bersyukur," ucap Garda tegas. "Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Nadin mengangguk mendengar ucapan Garda. Meski ketakutannya Nadin masih jelas terasa. Namun, apa yang Garda sampaikan sedikit memberi Nadin ruang untuk bernapas.
"Aku sayang banget sama Mas Dana," ujar Nadin mengiringi kepergian Garda. Pria itu hanya membalas dengan senyum menawannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments