Nadin berdiri menikmati udara malam yang menenangkan. Gadis itu memandang langit malam dari balkon kamarnya.
Sejak sampai di rumah orang tuanya Nadin belum ke luar dari kamar. Di hanya merindukan suasana dalam kamarnya sendiri. Suasana sepi dan menenangkan yang tidak bisa ia dapat di tempat manapun.
"Dingin sekali, Nad." Nadin dapat merasakan dekapan hangat melingkar di perutnya.
Meski awalnya agak terkejut. Bibir tipisnya langsung memancarkan senyum. Dipegangnya punggung tangan kekar milik Garda yang bertengger manis di perutnya.
"Mas Dana kok tiba-tiba manis gini," tanya Nadin dengan tangan yang tak lepas dari punggung tangan kekar itu.
Garda mensejajarkan kepalanya dengan kepala Nadin. Membuat pipi keduanya bersentuhan. Nadin dapat merasakan rasa hangat yang begitu menenangkan.
"Ternyata nyaman sekali memeluk istri saya," ujar Garda dengan entengnya.
Sementara Nadin sudah lemas dibuatnya. Gadis itu mengenggam punggung tangan Garda keras. Mambuat pria itu mengernyit heran. "Kamu kenapa?" tanya Garda polos.
"Mas Dana sadar gak, sih? Ini aku udah mau pingsan tahu," ujar Nadin dengan rengekan kecil.
Garda mengintip wajah Nadin dari samping. Posisi mereka yang sangat dekat membuat Nadin semakin lemas. "Kamu salah tingkah," kata Garda dengan datar.
"Diem, ih, Mas! Malu aku!" Nadin berusaha menutupi wajah merahnya dengan kedua tangannya. Bisa-bisa Nadin benar-benar pingsan jika Garda bersikap manis seperti ini.
"Kayak sama siapa saja," balas Garda enteng.
Garda menumpukan dagunya di pundak Nadin. Berpikir pasti rasanya akan sangat nyaman. Namun, baru memulai saja istrinya spontan memekik dengan suara tertahan.
"Sakit, Mas!" teriak Nadin.
Garda otomatis mengangkat kembali dagunya. Namun, masih belum melempas dekapan itu. "Sakit?" tanya Garda bingung.
Nadin diam sesaat. Gadia iti terkekeh seakan untuk mencairkan suasana. "Ini pundak aku tulang semua. Kan jadi sakit pas kena dagu suami aku," balas Nadin dengan nada manja andalannya.
Garda mengangguk paham. Pia itu lantas melepaskan dekapannya. Memilih berdiri di samping Nadin dan ikut menikmati pemandangan langit malam.
"Saya tadi makan masakan kamu," ujar Garda memecah hening.
Nadin lantas menoleh ke arah suaminya. "Mas tadi pulang dulu?" tanyanya yang langsung mendapat anggukan Garda.
Garda melihat penampilan Nadin sejenak. Rasanya baju yang dipakai gadis itu masih sama seperti tadi pagi. Matanya lantas menyipit sinis. Hal itu menciptakan kernyitan bingung di dahi Nadin.
"Kenapa Mas Dana?" tanya Nadin bingung.
"Kamu belum mandi dari pagi?!" tuding Garda tepat sasaran.
Nadin seketika memasang cengiran andalannya. "Airnya dingin," ucap Nadin dengan nada lirih.
"Alasan saja," decak Garda. Pria itu terlihat mengerutkan alisnya. "Mana sudah saya peluk-peluk," omel Garda kesal.
"Mas, ih, orang cuma gak mandi juga," balas Nadin. Merasa suaminya terlalu berebihan.
"Ini gak mandi seharian. Bukan cuma gak mandi," balas Garda yang jelas tak mau kalah.
Nadin dibuat memberengut kesal. Apalagi saat Garda mengusap-usap lengan juga bagian depan badannya. "Lebay benget pakai dilap segala," ujar Nadin sinis.
Garda melirik Nadin tak kalah sinis. "Biarin," kata Garda yang langsung membuat Nadin kicep. "Cepat mandi sana!" titah Garda seakan tak ada bantahan.
Gadis ramping itu semakin dibuat memberengut. Dihentakkan kakinya dengan sebal sambil memasang wajah kusut. "Gak mau! Dingin tahu, Mas," rengek Nadin.
"Jangan harap bisa tidur sambil dempet-dempet saya," ujar Garda dengan wajah menantang.
"Ih! Aku juga gak ada niatan dempet-dempet Mas Dana," balas Nadin tak mau kalah.
"Yakin?" Garda menaikkan satu alisnya. Menatap Nadin dengan tatapan datar andalannya.
Nadin semakin kesal dibuatnya. Setelah menjadi istri Garda, Nadin lebih menyukai tidur berdempetan dengan Garda. Apalagi curi-curi kesempatan memeluk lengan kekarnya.
"Yaudah iya mandi!" putus Nadin akhirnya.
Sebelum beranjak ke kamar mandi gadis itu iseng memeluk Garda sekilas. Tentunya hal itu mendapat perotesan keras dari Garda. Melihat kekesalan suaminya pun Nadin malah tertawa bahagia.
Garda ikut memasuki kamar. Menutup pintu balkon lantas menguncinya. Jarum jam baru menunjukkan angka 20.00, tapi udara sudah cukup dingin.
Pria itu mengamati setiap bagian dari kamar istrinya. Kamar berukuran luas ini terlihat begitu sederhana. Hanya ada ranjang dengan nakas kecil berwarna putih di sampingnya.
Di dekat pintu kamar mandi terdapat sebuah almari yang cukup besar. Juga sebuah meja rias yang hampir searah dengan pintu kamar.
Mata tajam Garda terus berkeliaran menangkap semua yang bisa ia lihat di kamar ini. Keningnya mengernyit karena tidak menemukan sesuatu yang istimewa di sini. "Kangen sama suasana di sini," gumam Garda sambil mengamati setiap penjuru kamar istrinya.
Awalnya Garda merasa biasa saja dengan pesan singkat yang dikirim Nadin. Tapi saat menyantap masakan istrinya tadi entah kenapa otaknya malah memikirkan hal lain.
"Umunya seseorang bakal bilang kangen sama orang tuanya setelah gak tinggal bareng lagi, tapi Nadin tidak," gumam Garda di meja makan sore tadi.
"Waktu itu Nadin juga bilang kalau dia seneng ninggalin rumah itu. Terus sekarang dia kangen sama suasananya?"
Garda mengernyitkan keningnya. Mencoba mencerna beberapa hal yang baru dia sadari. "Ada yang aneh," ucap Garda final sebelum merapikan bekas makannya. Tanpa pikir panjang pria itu beranjak menuju rumah orang tua Nadin. Pasti ada sesuatu di sana yang menarik untuk Nadin.
Garda menghela napas pasrah. Memilih duduk di atas ranjang sambil menunggu istrinya selesai mandi. "Loh? Ada foto saya?" Garda gagal fokus melihat sebuah bingkai foto berwarna putih dia atas nakas.
Tangannya terulur untuk mengambil bingkai foto itu. Ditatapnya foto ketia dia masih mengenakan seragam abu-abu. Garda ingat sekali, dulu dia dan Dikta mengambil foto bersama saat akan berangkat sekolah. Entah kenapa yang ada di bingkai ini hanya foto Garda saja.
"Pasti Nadin ambil punya Dikta," gumam Garda karena dulu mereka mencetak 2 foto. Satu untuk Garda dan satu untuk Dikta.
Saat akan mengembalikan bingkai itu. Garda tak sengaja melihat bercak merah di ujung nakas berwarna putih itu. Alisnya seketika menukik tajam. "Ini darah," gumam Garda. Mengamati lebih jelas apa yang baru dia temukan. Sebuah noda berwarna merah yang mencetak sidik jari.
Merasa mulai menemukan kejanggalan. Garda memilih membuka beberapa laci kecil yang melengkapi nakas itu. Sebelum itu dia memastikan suara air masih terdengar dari kamar mandi.
Pria itu menumpukan badannya dengan satu lutut di lantai. Menghadap nakas dengan tangan yang sibuk membuka laci dengan wajah datar.
Di laci kedua dan ketiga Garda sama sekali tidak menemukan apapun. Namun, laci terakhir membuat matanya memicing dengan serius.
"Ini?"
Pria itu memaku sejenak. Di laci paling akhir ada beberapa silet cukur yang berserak. Tangannya mencoba mencari tahu lebih dalam isi laci itu. Ternyata masih ada beberapa silet cukur yang masih terbungkus. Saking banyaknya bahkan ada beberapa yang mulai berkarat.
Melihat benda tajam di laci kamar istrinya hanya memunculkan satu prasangka negatif. Garda langsung bisa memahami situasi ini. Apa gunanya barang ini. Dan apa yang dicari dari barang ini.
"Ini yang baru dia pakai?" tanya Garda mengambang. Tangannya memegang sebuah silet kecil dengan darah yang mulai mengering di ujungnya.
Tatapan Garda mulai hampa. Ada rasa sakit yang seketika menghantam dadanya. Pria itu terus memandangi barang yang dia pegang.
"Apa suasana ini yang kamu kangenin, Nad?" tanya Garda dengan gumaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments