Sesuai dengan sarang dari sang ibu. Pagi ini Garda sengaja meluangkan waktu untuk lari pagi di taman dekat perumahan. Langkah kakinya sengaja dibuat santai saat melewati sebuah rumah yang terhalang satu bangunan dari rumahnya.
Tidak mau mengelak, sebenarnya Garda juga penasaran dengan sosok Nadin sekarang. Dilihat dari foto memang cukup cantik dan menarik. Tapi, siapa tahu itu hanya editan atau rekayasa semata. Garda butuh melihat secara langsung.
"Nak Garda, ya!?" panggil seorang wanita paruh baya dari arah rumah tersebut.
Garda menoleh dengan tatapan datarnya. Diamati wajah tua itu sekilas. "Iya, Bu Halimah," jawab Garda.
Pria itu berjalan mendekati Bu Halimah yang sedang merawat tanaman hias miliknya. "Apa kabar, Bu?" tanyanya mencoba ramah. Sayang sekali wajah kakunya tidak bisa berbohong.
Bu Halimah tersenyum senang. Apalagi mendapati calon menantunya terlihat lebih tampan dari yang dia bayangkan. "Alhamdulillah baik, Nak. Ibu dengar sekarang kamu jadi dosen?"
Ganta tersenyum agak canggung. Dirinya kurang terbiasa dengan acara basa-basi seperti ini. "Iya, Bu, benar."
"Ngomong-ngomong, Nak Garda. Apa Bu Anita sudah bicara soal perjodohan kamu dengan Nadin?" tanya Bu Halimah penasaran.
"Sudah, Bu."
Senyum bahagia otomatis tercetak di wajah tua Bu Halimah. Rasanya sudah tidak sabar mau menikahkan putrinya dengan adat apa. "Nak Garda setuju, kan?" tanyanya antusias.
Pria itu menatap wajah wanita di depannya dengan bingung. Bingung mau memberi jawaban seperti apa. Jujur, Garda sendiri belum memikirkan jawabannya.
"Biasanya kalau diam begini berarti setuju," sela Bu Halimah setelahnya. "Yaudah, nanti ibu bilangin sama Bu Anita, ya, Nak? Sekalian menentukan tanggal. Gak usah ribet-ribet nanti malah terlalu lama."
Garda dibuat melongo dengan perkataan wanita itu. Bibirnya baru saja mau terbuka namun digagalkan dengan ucapan Bu Halimah. "Nggak usah malu-malu gitu, Nak Garda. Ibu tahu kamu juga gak sabar buat menikah dengan Nadin. Satu atau dua bulan bisalah nanti dibicarakan," katanya dengan wajah santai. Sementara Garda sudah panik bukan main.
"Begini, Bu," sela Garda sebelumnya.
"Sudah kamu tenang saja. Nanti biar ibu yang bicara sama Bu Anita. Beliau itu suka gak peka ternyata sama anaknya. Yaudah, ya, Nak Garda. Ibu masuk dulu, mau bicara sama Abahnya Nadin."
Setelah berpamitan Bu Halimah langsung masuk ke dalam rumah dengan berlari kecil. Garda hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah ibu itu.
Sepersekian detik dia mulai melamun. Memikirkan perkataan wanita paruh baya tadi. Jika benar pernikahannya akan diadakan satu atau dua bulan lagi bagaimana? Garda saja belum menentukan pilihan. Namun, bisa-bisanya kedua ibu itu sudah terlihat bersemangat menjadi besan.
"Permisi, Pak, mau cari siapa, ya?"
Suara seorang perempuan membuat Garda menoleh. Di belakangnya terlihat seorang perepuan dengan jilban instan yang membalut kepalanya.
Garda jadi bingung mau menjawab apa. Dia merasa agak malu dan canggung. Dari wajah cantiknya saja dia sudah mengenali bahwa dia Nadin.
"Kamu tidak ingat saya?" tanya Garda pada akhirnya.
Mata Nadin menyipit mendengar jawaban itu. Ditatapnya wajah tampan pria dengan kaos hitam itu lamat-lamat. "Mas Dana?" tebaknya agak ragu.
Garda mengangguk satu kali. Kakinya lantas melangkah karena sadar dirinya berdiri di depan pintu gerbang. "Silahkan masuk, saya permisi," pamit Garda setelahnya.
Pria itu lantas meninggakan Nadin dengan berlari santai. Seolah-olah memang sejak tadi tengah melakukan lari pagi.
Sementara Nadin menatap punggung tegap itu dengan wajah memanas. Kedua pipinya mengembung menahan senyum. "Jadi makin ganteng gitu," ucapnya.
Nadin lantas masuk ke dalam pagar dengan satu pelastik berisi bubur ayam. Entah kenapa hatinya terasa begitu bahagia.
...
"Bu Halimah tadi ke sini waktu kamu masih di masjid." Bu Anita tiba-tiba duduk di samping anaknya yang sedang menikmati acara di layar televisi.
"Katanya kamu udah bilang setuju sama perjodohan ini, Kak?" tanya Bu Anita.
Garda yang awalnya memang sudah menebak akhir dari kisah lajangnya hanya diam. Baginya sudah sangat mustahil untuk mengutarakan pendapat. Apalagi membantah.
"Bener Garda?" tanya Bu Anita menuntut.
"Iya," jawab Garda pada akhirnya.
"Kamu serius!?" Bu Anita tampak sangat antusias dengan jawaban yang diberikan Garda.
Garda hanya mengangguk. Mungkin memang ini saatnya Garda melepas masa lajang. Kalau boleh jujur sebenarnya dia juga lelah setiap hari diberi pertanyaan kapan menikah. Mengingat 2 tahun lagi isianya juga akan menginjak 30 tahun. Garda rasa menikah dengan mantan tetangganya bukan alasan yang buruk.
"Alhamdulillah, Kak! Mama seneng banget denger langsung dari kamu. Akhirnya anak kebanggan mamaa menikah juga," ujar Bu Anita penuh binar kebahagiaan.
"Kalau pernikahannya diadakan secepat mungkin kamu mau, kan?"
"Maksud mama?"
"Ya, diadakan secepatnya, Kak. Kalau bisa satu dua bulan lagi," jawab Bu Anita masih dengan nada semangat.
"Mama gak salah? Aku sama Nadin belum terlalu kenal, Ma. Minimal kasih kita kesempatan buat saling megenal," ucap Garda mengeluarkan isi kepalanya.
Bu Anita meraih tangan kanan Garda. Mengusap lembut bermaksud memberi ketenangan agar Garda mau menerima keputusannya. "Garda, niat baik itu harus disegerakan. Bukannya lebih baik saling mengenal saat sudah halal, Nak. Kamu pasti juga paham bagaimana baiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan."
Lagi-lagi Garda dibuat bungkam. Tidak ada celah untuk memberontak lagi. Dia adalah anak laki-laki yang dididik untuk patuh pada kedua orang tuanya.
"Yaudah," jawabnya pasrah.
"Nah, gitu baru anak kebangaan mama," ucap Bu Anita sambil mengelus puncak kepala anaknya.
"Nanti biar mama bilang sama papa. Terus kita langsung ke rumah Bu Halimah buat lamar Nadin. Sat-set aja, ya, Nak. Mama tau kami juga udah gak sabar."
"Terserah."
"Kalau bisa sebulan lagi aja, ya. Mama udah gak sabar punya cucu."
...
Garda turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua. Badan tegapnya terlihat menawan dengan sarung hitam dan kaos yang juga berwarna senada. Matanya menyipit karena masih berusaha menghalau rasa kantuk.
"Loh!? Kok masih jelek gitu!?" serbu Bu Anita.
"Kenapa?" Garda duduk di samping ayahnya yang sedang santai sambil minum kopi.
"Kan, Mama udah bilang sama Kakak. Jam 7 nanti temenin mama beli cincin buat lamaran," gerutu Bu Anita.
"Oh," jawab Garda. Pria itu lantas berdiri. "Yaudah ayo!" ajaknya.
"Kamu gak mau ganti baju dulu?" tanya Bu Anita sinis. "Muka kamu juga mengkerut gitu, Kak! Cuci muka sana!"
"Keburu males, Ma," jawab Garda seadanya.
"Pinjem, Pa," kata Garda sambil mengambil baju koko ayahnya yang diletakkan di sandaran sofa.
"Ayo!" ajaknya lagi. Mulai melangkah sambil mengenakan baju koko lengan pendek milik ayahnya.
"Mau nikah juga masih aja sama. Gak ada semangat-semangatnya," gerutu Bu Anita lagi.
Garda benar-benar berangkat dengan setelan baju koko juga sarung andalannya. Pria itu sempat membasuh wajahnya di kran yang ada di taman. Meskipun hanya berpakaian sederhana namun pesona Garda tidak bisa dielakkan.
Tidak berselang lama ibu dan anak itu sudah sampai di toko perhiasan. Mereka langsung disambut dengan jajaran perhiasan emas yang dipamerkan di dalam etalase kaca. Garda cukup mengikuti kemana langkah ibunya.
"Selamat datang ibu! Ada yang bisa saya bantu," sapa seorang wanita dengan senyum ramah yang dipamerkan.
"Ini, Mbak, anak saya mau cari cincin buat lamaran," kata Bu Anita.
Garda melirik Ibunya yang juga menatap dia. "Bilang sama mbaknya, kamu pengen yang gimana?"
"Terserah, Mama," kata Garda final.
"Loh!? Kamu itu yang mau lamaran!"
"Terserah Mama. Aku tinggal bayar," kata Garda lagi.
Bu Anita mendesis sebal. Padahal dia ingin Garda yang memilih. Rasanya akan sepesial jika sang calon pengantin yang memilih langsung.
Disela-sela matanya yang diam-diam meneliti setiap perhiasan yang dipamerkan. Garda tertarik pada sebuah cincin cantik yang dihiasi permata di atasnya. Tampilannya cukup sederhana namun terkesan elegan.
"Coba ini, Mbak," kata Garda sambil menunjuk cincin incarannya.
"Ini, Pak, silahkan."
Garda mengamati cincin itu dengan teliti. "Bagus, gak?" tanyanya. Meminta pendapat pada ibunya.
Bu Anita lantas tersenyum senang. "Bagus sekali," katanya lega.
Garda mengangguk. "Ini aja, Mbak," ucapnya sambil menyodorkan sebuah cincin itu kembali.
Garda kembali menatap wajah ibunya. Senyum merekah itu sangat jarang ia lihat. Senyum bahagia yang bisa turut membuat Garda bahagia.
Garda hanya berharap ini adalah pilihan yang tepat. Sebuah pilihan yang bisa membuat semua orang bahagia.
...
Nadin menatap layar ponselnya penuh kebimbangan. Di sana terdapat sebuah nomor telepon dengan nama 'Mas Dana'. Sudah sejak setengah jam yang lalu Nadin berniat menghubungi pria itu. Namun, rasanya sungkan dan malu.
"Gimana, ya? Mau telepon malu, gak telepon juga belum lega."
Nadin sudah diberitahu bahwa satu minggu lagi Garda dan keluarganya akan melamar Nadin secara resmi. Tapi rasanya belum lega jika dia belum mendengar langsung dari Garda. Mendengar penuturan laki-laki itu secara jelas. Bagaimana perasaannya, apakah dia terpaksa atau memang menyetujui karena juga menginginkan Nadin.
Suara dering dari ponselnya membuat Nadin terperanjat kaget. Apalagi sebuah nama yang tertera jelas di layar. "Mas Dana?" tanya Nadin pada dirinya sendiri. "Serius Mas Dana!?"
"Aduh, gimana ini!?"
Nadin mengerutu sebal. Kenapa tiba-tiba Garda menghubungi nomornya. Pasalnya mentalnya yang sejak tadi dibangun belum berdiri kokoh. Setelah mengatur napas dan mengumpulkan keberanian Nadin menggeser tombol hijau di dering kedua.
"Assalamualaimum," sapa Garda dengan suara datarnya.
"Waalaikumussalam," jawab Nadin dengan suara yang terdengar gugup.
"Ibu saya bilang kamu minta nomor saya. Dia pikir kamu mau berbicara dengan saya. Tapi, kamu belum menghubungi saya dari tadi. Jadi saya diminta telepon kamu lebih dulu," jelas Garda dengan detail.
"Jadi mau bicara apa?" tanya Garda lagi karena tidak juga mendapat respon dari Nadin.
Nadin masih saja diam. Rasanya malu berbicara dengan Gardana. Apalagi bisa dibiang Gardana adalah calon suaminya.
"Nadin," panggil Garda lagi.
"Iya," jawab Nadin akhirnya. "Aku gak mau ngomong apa-apa kok. Tadi cuma pengen punya nomor Mas Dana aja," jawab Nadin dengan suara pelan.
Lama tak ada jawaban dari Garda. Nadin sampai mengira panggilan dimatikan secara sepihak. Ternyata nama lelaki itu masih tertera jelas di layar ponselnya.
"Dari dulu cuma kamu yang panggil saya Dana," ucap Garda tiba-tiba.
Nadin mengulum senyum malu. Dia kira Garda sudah melupakan masa-masa saat dulu mereka masih menjadi tetangga. "Panggilan khusus dari aku," kelakar Nadin.
"Kamu masih sama seperti Nadin yang dulu?" tanya Garda. Pria itu ingat sekali. Nadin adalah gadis kecil yang selalu mengusik dan mengikuti kemanapun Garda pergi. Dan semua orang tau Nadin kecil teegila-gila dengan Garda saat itu.
"Masih," jawab Nadin.
Di kamarnya Garda hanya menatap hampa ke luar jendela. Tidak ada debaran atau rasa gugup sedikitpun yang dia rasakan. Entah, memang belum ada atau tidak akan ada.
"Nadin," panggil Garda. "Saya menyetujui perjodohan ini karena bakti saya kepada orang tua saya. Tapi bukan berarti saya terpaksa menerima perjodohan ini. Jika nanti saat sudah resmi menjadi suami kamu dan saya belum bisa mencintai kamu. Saya harap kamu bisa mengerti. Ini, kan, yang masih membuat kamu tidak yakin?"
Nadin refleks mengangguk. Dia terdiam dengan jantung berdebar. Garda memang laki-laki dingin yang sulit sekali di gapai.
"Besok saya akan datang ke rumah," kata Garda.
"Mau ngapain?"
"Melamarmu."
...
Malam ini Nadin sudah tampak cantik dengan gamis pilihan ibunya. Wajah cantiknya tampil berbeda malam ini. Terlihat semakin memuaku dengan riasan wajah yang serasi dengan gamis yang dia kenakan.
Lamaran sederhana ini hanya dihadiri keluarga dekat dan beberapa tetangga sekitar perumahan. Semua tamu bisa merasakan kebahagiaan dari kedua keluarga yang tak lama lagi akan menyatu.
Garda yang duduk disamping ayahnya menunduk. Enggan menatap wajah Nadin yang terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Sementara Nadin sendiri sibuk curi-curi pandang menikmati ketampanan Garda.
Acara dimulai saat Pak Abraham mulai mengucapkan salam dan beberapa kalimat pembuka. Setelahnya beliau mengutarakan maksud dari tujuannya serta keluarga datang berkunjung ke kediaman Nadin.
Setelah itu giliran Pak Dimas yang berbicara. Baliau dengan senang hati menerima kedatangan Pak Abraham beserta keluarga. Pak Dimas meminta persetujuan dari Nadin sebagai formalitas. Setelah Nadin menyetujui, baru beliau dengan gamblang menerima lamaran dari pihak pria.
Semua yang hadir dalam acara lamaran mengucap syukur dengan raut bahagia. Dua keluarga yang dulu menjadi tetangga dekat akhirnya kembali dipersatukan menjadi keluarga.
Setelah bermusyawarah untuk beberapa saat. Tanggal dan hari pernikahan sudah berhasil di tentukan. Gardana dan Nadin akan resmi menikah 2 bulan setelah hari lamaran ini.
Acara lamaran sederhana ini dilanjut dengan sesi makan-makan. Para tamu dan beberapa anggota keluarga dipersilahkan menikamti jamuan yang sudah dihidangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Hajime Nagumo
Keren banget deh thor bikin karakter yang kuat dan kompleks 🤩
2023-08-01
1
Yoko Littner
Aduh, cliffhanger-nya bikin saya gak tahan nunggu, ayo lanjutkan thor!
2023-08-01
1
Cata_UchihaUzumaki
Aku bener-bener kagum, teruslah menulis thor!
2023-08-01
1