Malam kembali datang untuk mengikis rasa lelah. Waktu di mana manusia bisa memanjakan diri. Bersantai dengan keluarga atau orang tersayang. Mengistirahatkan diri sejenak setelah seharian beraktivitas.
"Aku sudah mandi dan cantik!" sambut Nadin begitu melihat Garda memasuki kamar. Pria itu baru pulang dari masjid bersama Dikta dan Pak Abraham.
Nadin cemberut karena tidak mendapat respon dari Garda. Gadis itu langsung saja berjalan mendekati Garda yang terlihat melepas baju kokonya.
"Mas kenapa, sih, suka gak nanggepin aku?" tanya Nadin dengan ekspresi sebal.
Garda menunduk menatap Nadin yang jauh lebih pendek dari dia. Tangannya tergerak menepuk punggung Nadin sekali. "Iya," katanya.
"Iya apa!?" sentak Nadin dengan mata memicing.
"Tadi katanya disuruh nanggepin," jawab Garda santai. Pria itu sekarang bertelanjang dada dengan celana pendek di atas lutut. Rasanya Garda memang lebih nyaman menggunakan celana pendek. Namun, dia hanya berani menggunakannya di dalam kamar saja. Agak risih jika orang lain melihat auratnya. Tangannya sibuk mencari kaos di dalam lemari pakaian.
Nadin mengangga kecil melihat pemandangan itu. Mata beningnya seketika terbuka lebar. Dada telanjang Garda cukup untuk membius Nadin.
"Biasa aja," sela Garda setelah memergoki wajah melongo Nadin.
"Mas Dana pasti suka pamer-pamer badan, ya, sama cewek-cewek," tuduh Nadin. Mengingat Garda ini suka sekali olahraga di tempat gym. Pasti dia sangat percaya diri dengan badan atlesti itu.
"Enggak juga," balas Garda.
"Masa?" tanya Nadin menuntut. Gadis itu membuntuti langkah besar Garda yang berjalan mendekati ranjang.
"Setelah saya baligh cuma kamu yang pernah lihat paha saya," jawab Garda dengan santai. Membuat Nadin otomatis menunduk untuk melihat objek yang dimaksud.
"Beneran?" tanya Nadin yang diangguki Garda.
"Gak usah takut badan suami kamu ini dilihat orang lain," kata Grda lagi.
Nadin mengulum senyum dengan wajah yang mulai memerah. Dipukulnya bahu Garda cukup keras. Tentu saja membuat pria itu meringis sakit.
"Mas Dana ternyata bisa bikin baper juga," ujar Nadin dengan wajah malu-malu.
Garda cukup melirik sinis pada istrinya. "Biasa aja," balasnya santai.
"Huh! Kumat lagi," rutuk Nadin.
Garda memulai rutinitas malamnya. Mengambil laptop lalu bersandar di kepala ranjang. Menggunakan bantal sebagai alas laptop, lalu mulai membuka beberapa dokumen.
Nadin tentu saja mengikuti kegiatan Garda dengan semangat. Gadis itu sengaja mendempetkan badannya dengan Garda. Membuat Garda menghela napas jengah.
"Dilarang perotes! Aku udah mandi dan baju aku bersih mengkilap," sela Nadin sebelum Garda membuka mulutnya.
Gadis itu ikut melihat layar laptop Garda. Setelahnya beralih memandangi wajah serius pria tampan itu. "Mas Garda suka jadi dosen?" tanya Nadin untuk memecah keheningan.
"Biasa saja," jawab Garda singkat.
Nadin mengernyit bingung. "Kok biasa aja, sih?"
"Ya memang rasanya biasa saja."
"Huh! Nyebelin," dengkus Nadin dengan wajah murung. Dia ingin membangun komunikasi yang baik dengan Garda. Tapi, lihat saja tingkat kepasifan pria ini.
"Kamu seharusnya masih kuliah, kan?" tanya Garda setelah Nadin terdiam.
Gadis itu melirik Garda yang masih fokus pada laptopnya. "Kenapa tanya gitu?"
"Umur kamu belum genap 20, masih seusia mahasiswa. Tapi, saya gak lihat ada buku atau perlengkapan kuliah kamu," jelas Garda. Setelah mengamati beberapa waktu Garda memilih bertanya saja dari pada salah menduga.
"Apa Mas Dana keberatan punya istri yang gak sarjana?"
"Saya gak ada ngomong gitu. Cuma penasaran tentang kuliah kamu. Tidak mungkin adik dari seorang dokter tidak kuliah," balas Garda gamblang.
"Aku putus kuliah," cicit Nadin.
Garda sontak memiringkan kepalanya menghadap Nadin. Melihat raut wajah murung Nadin membuat dia tidak tega. Meskipun penasaran, dia memilih diam. Menunggu waktu dimana Nadin mau bercerita sendiri dengan dia.
"Oh," respon Garda yang sedikit melukai Nadin. Apa setidak peduli itu suaminya ini pada dia, batin Nadin.
Keheningan mulai melanda keduanya lagi. Nadin juga bingung mau membuka pembicaraan seperti apa. Sejak tadi Garda terkesan sangat pasif dan cuek dengan pertanyaan Nadin.
Nadin mulai bosan karena hanya duduk tanpa melakukan sesuatu. Sementara Garda mulai larut dalam dunianya. Ditatapnya wajah tampan Garda dari samping. Terlihat sangat memukau dan memanjakan mata Nadin.
"Mas Dana," panggil Nadin pelan. Garda menjawab dengan satu alis yang diangkat.
"Kita bakal tinggal di rumah ini terus, kan?" tanya Nadin memastikan. Sekaligus memecah hening untuk kesekian kalinya.
Tangan Garda yang awalnya sibuk menggulir layar laptop jadi terhenti. "Enggak," jawabnya cukup membuat Nadin diam.
"Kenapa gak tinggak disini aja?" tanya Nadin menuntut.
"Kenapa kamu mau tinggal disini saja?" Garda balik bertanya.
Nadin diam dengan jemari yang saling bertaut. Ditatapnya wajah Garda yang juga menoleh menatap Nadin. "Biar bisa sama Umma sama Abah," jawab Nadin dengan pandangan yang tak fokus.
"Kita gak akan tinggal sama orang tua kamu," ujar Garda lagi.
"Kenapa?"
"Karena kita sudah menikah. Kita sudah berumah tangga. Jadi sebaiknya kita bisa mandiri dengan tinggal terpisah dari orang tua," jelas Garda.
"Kita juga bisa mandiri meskipun tinggal disini," ucap Nadin sesuai isi kepalanya.
"Kamu bisa menjamin?"
"Mas Dana juga bisa jamin kalau tinggal sendiri bisa bikin kita mandiri?" tanya Nadin dengan mengulang pertanyaan Garda. Sedikit mengulik tentang Garda. Bagaimana pria itu menyikapi pertanyaannya.
"Bisa," jawabnya lugas. "Kalau kita hidup sendiri kita bisa membangun rumah tangga yang sesungguhnya di rumah kita. Kita bisa masak dan ngurus rumah tanpa bergantung sama orang lain. Jelas itu bisa buat kita mandiri dari pada tinggal bersama orang tua."
Nadin mengangguk dengan wajah polos. Perkataan Garda memang benar semua. Kalau tinggal disini dia pasti juga akan bergantung penuh pada orang tuanya dan mustahil untuk dia bisa mandiri.
"Sudah paham?" tanya Garda memastikan.
Nadin mengangguk pasrah. "Udah," jawabnya pasrah.
"Lagi pula sebuah kapal hanya berjalan dengan satu nahkoda," ucap Garda setelahnya.
"Kapal itu rumah?" tanya Nadin polos.
Garda mengangguk membenarkan. "Nanti, akan ada dua kepala keluarga di rumah ini kalau kita tinggal di sini, kan?"
"Iya, sih," jawab Nadin lemas.
"Hari senin kita pindah," kata Garda tiba-tiba.
"Kok cepet banget?" Pasalnya ini adalah hari sabtu. Berarti dia hanya punya sisa satu hari lagi.
"Hari selasa saya sudah mulai masuk. Jadi, kemungkinan waktu pindahan hanya besok dan senin. Apa kamu mau pindah besok aja?" tanya Garda.
Tentunya Nadin langsung menggeleng tegas. "Senin aja," jawabnya.
"Emang rumah Mas Dana di mana?" tanya Nadin penasaran. Nadin harap kediaman barunya tidak jauh dari rumah orang tua Nadin.
"Bukan rumah saya," balas Garda.
Nadin mengerutkan alisnya bingung. "Terus? Apa mas ngontrak?" tanya Nadin tak yakin. Pasalnya pria dengan usia matang seperti Dana biasanya sudah menyiapkan aset sebelum menikah.
"Enggak juga."
"Jangan bilang kita tinggal di apartemen?" tanya Nadin semakin penasaran. Kalau tinggal di apartemen otomatis akan jauh dari kedua orang tuanya, karena disekitar sini tidak ada apartemen.
Garda menggeleng lagi membiat Nadin semakin penasaran. "Mas mau ngajak aku tidur di jalan kalau gitu?" tanya Nadin yang mulai kesal.
"Mana mungkin orang seperti saya mengajak istrinya hidup di jalan," ujar Garda yang dibumbui sedikit kesombongan.
"Ya terus kita tinggal di mana?!" tanya Nadin menuntut.
"Rumah kita, bukan rumah saya," jawab Garda dengan wajah yang tetap datar. Nadin yang mendendengar jawaban Garda jadi salah tingkah. Senyumnya terlukis dengan wajah merona. Nadin jadi gagal sedih karena akan berpisah dengan orang taunya.
Ternyata meskipun bersikap dingin dengan wajah yang datar. Garda suka melontarkan kalimat-kalimat yang membuat Nadin merona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments