Ketukan yang semakin keras membuat Indira menatap pintu. Ia bangkit dari lantai dengan air mata yang masih meleleh dari pelupuk matanya. Terserah Dafi ingin berkata apa ketika melihat ia menangis seperti ini. Ia tidak bisa terlalu lama memendam sesuatu yang membuat ia sakit termasuk cairan bening yang terus membanjir di pelupuk matanya.
Indira membuka pintu kamar mandi yang sempat ia kunci dari dalam. Sebelah alis Dafi terangkat melihat mata sembabnya. Melihat suaminya menatap dirinya dalam diam membuat ia sedikit gugup. Tanpa ingin berkata apapun Indira melangkah keluar, baru beberapa langkah melewati Dafi, pria itu menggenggam pergelangan tangannya.
Menarik lembut pergelangan tangan Indira, membawa wanita itu ke dalam pelukannya membuat Indira diam seribu bahasa dengan apa yang suaminya lakukan. Ini pelukan pertama mereka berdua tanpa ada paksaan. Indira yang ingin melepaskan diri dari dekapan Dafi mengurungkan niatnya, hatinya menghangat dan begitu nyaman dalam pelukan suaminya.
Bahkan aroma tubuh Dafi seperti obat penawar bagi Indira. Pusing di kepalanya seketika hilang bagai debu di terpa angin senja.
"Maafkan ucapan saya tadi..." bisik Dafi di telinga Indira, menciptakan gemuruh dalam dada wanita itu.
Indira diam tak menjawab. Pandangannya tertunduk seolah lantai keramik lebih menarik daripada menatap wajah suaminya. Wanita muda itu refleks mengalunkan tangannya di leher Dafi, ketika pria itu tiba-tiba menggendongnya lalu merebahkannya di kasur.
"Beristirahat lah..." ucap Dafi tanpa menjauhkan lengannya yang kini menjadi bantalan untuk menyangga kepala Indira.
Wanita muda itu terpaku mendengar setiap kata-kata yang keluar dari bibir Dafi. Lembut tanpa ada bentakkan ataupun nada sarkas seperti biasanya. Bahkan pria itu kembali memeluk Indira, membawa tubuh kurus itu dalam dekapannya. Memberikan usapan lembut di punggung Indira.
Pelukan yang Dafi berikan bagai obat penawar bagi Indira. Dengan ragu-ragu serta perasaan gugup yang semakin menjadi-jadi, wanita muda itu membalas pelukan suaminya. Semakin menyusupkan dirinya dalam dekapan Dafi tanpa ragu. Perlahan Indira terbuai dengan usapan yang suaminya berikan membuat rasa kantuk yang datang tidak bisa di tahan wanita tersebut.
Sekitar 20 menitan Dafi melepaskan pelukannya pada Indira ketika melihat wanita itu tertidur nyenyak. Sepertinya cara seperti ini berhasil membuat istrinya tertidur dengan nyenyak, cara yang selalu ia gunakan saat Airin marah padanya. Pelukan mampu meredam amarah seorang wanita.
Setelah membenarkan posisi tidur Indira lalu menyelimutinya, Dafi beranjak keluar dari kamar apalagi tak lama suara bel rumah berbunyi. Membuat Dafi segera membuka pintu.
"Mas..." Airin berhambur dalam pelukan suaminya.
Sementara Dafi mematung dengan kedatangan Airin. Bukankah seharusnya besok Airin pulang?
"Bukannya kamu pulangnya besok, Sayang?" tanya Dafi tanpa melepaskan pelukan Airin.
Mendengar pertanyaan itu membuat Airin menguraikan pelukannya. Menatap lekat wajah suaminya dengan senyuman yang mengembang.
"Aku bohong. Aku ingin memberikan kejutan dengan ke pulangan ku secara diam-diam tanpa kamu tahu." Airin tersenyum penuh binar di wajahnya.
Dafi menelan ludahnya kasar. Andai ia tidak pulang lebih dulu dari Airin, sudah pasti istrinya akan curiga bila tidak menemukan dirinya dan Indira di rumah ini.
"Mas, indira mana? Barang-barang ku masih di luar."
"Biar aku yang membawanya masuk."
"Tunggu, mana Indira? Ini tugas dia," ucap Airin menahan lengan suaminya kala hendak melangkah keluar mengambil barang-barang milik Airin.
"Dia masih sakit. Biarkan dia istirahat lebih dulu." Lagi-lagi Dafi harus membohongi Airin.
Lipatan halus muncul di dahi Airin. Dari ia pergi sampai kembali pembantunya itu masih sakit. Aneh sekali. Sakit apa Indira sampai belum sembuh juga.
•
•
Suara decapan dan lenguhan dua orang di ruang tamu membuat Indira yang baru menuruni anak tangga tampak terkejut melihat pemandangan yang membuat ia membuang pandangan ke arah lain. Airin dan Dafi tampak hanyut dalam ciuman dan bertindak lebih dari sekadar ciuman di atas sofa tanpa menyadari kehadiran sosok Indira.
Melihat pemandangan di hadapannya membuat dada Indira terasa pedih. Wanita itu melangkah mundur dan hendak kembali ke kamar atas namun sialnya ia menyenggol lampu hias yang terpanjang di atas meja dekat tangga.
Brak!
Suara barang jatuh ke lantai membuat keduanya menghentikan cumbuannya. Mata Dafi membola melihat Indira menatap ke arah mereka berdua dan mematung di dekat tangga. Sementara Airin membenarkan pakaian atasnya yang sudah terlepas. Bercak-bercak merah di leher Airin tak luput dari pandangan Indira yang tak sengaja melihatnya.
Hasrat Dafi yang awalnya memuncak perlahan padam dengan kehadiran istri keduanya. Napas pria itu memburu tak beraturan sama halnya dengan Airin.
"Seharusnya permisi dulu saat lewat sini, Indira. Sangat tidak sopan!" gerutu Airin kesal. Aktivitas intim keduanya harus terhenti karna pembantunya.
"Ma-maaf Nyonya saya tidak tahu kalau..." Indira menjeda ucapannya dan tak ingin melanjutkannya, seolah Airin paham dari sambungan kalimat yang tak ia selesaikan itu.
Airin mendengus. Dafi bangkit dari sofa dan sedikit membenarkan pakaiannya.
"Sudah, kita lanjut di kamar. Seharusnya kita tidak melakukannya di sini, Sayang," ucap Dafi buka suara serta membujuk Airin ke kamar mereka berdua.
Indira meremas ujung bajunya. Pandangannya menunduk tak sanggup membalas tatapan penuh kekesalan Airin.
Airin melengos begitu saja menuju kamarnya dan Dafi segera menyusul. Namun sebelum benar-benar pergi dari tempat itu Dafi menghampiri Indira.
"Bagaimana kondisimu? Apa sudah baik?" tanya Dafi.
Indira mengangguk." Sudah membaik, Tuan."
"Baguslah kalau begitu. Jangan terlalu kelelahan..." Setelah mengatakan itu Dafi beranjak dari hadapan Indira, menyusul Airin.
Indira menatap kepergian suaminya. Pertanyaan tersirat perhatian sedikit memantik hati Indira.
"Euh, Mas..." Airin tampak terkejut kala Dafi memeluknya dari belakang lalu membalikkan tubuhnya membuat mereka berdua saling berhadapan.
Belum sempat Airin ingin bersuara Dafi meraup bibir merah merona itu. Namun, ciuman itu tak berlangsung lama ketika Airin mendorong dada kokoh suaminya, membuat tautan bibir keduanya terlepas.
"Kenapa?" Raut wajah Dafi tampak kecewa. Ia ingin menyalurkan hasratnya yang beberapa hari ini belum tersalurkan.
"Aku sedang datang bulan. Baru saja keluar," ucap Airin."Maaf ya, Mas. Tunggu lima hari saja nanti aku akan melayanimu sampai puas," sambung Airin seraya mengecup sekilas bibir Dafi.
Pria itu menghela napas lalu mengangguk meski sedikit kecewa.
•
•
Dafi memilih keluar dari kamar. Sepertinya minum air dingin sedikit meredam hasrat yang kembali memuncak. Saat memasuki area dapur pria itu mendapati Indira di sana. Wanita itu kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Ia tengah sibuk mencuci cangkir serta piring kotor di wastafel.
Pandangan Dafi menelisik Indira dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semakin lekat ia menatap istri keduanya membuat ingatan satu malam yang pernah mereka berdua lewati muncul dalam kepalanya.
Dafi ingat betul bagaimana nikmatnya tubuh wanita muda di hadapannya sekarang. Kedua kaki Dafi melangkah mendekati Indira.
______
Hai semuanya! Terima kasih sudah mampir
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan like dan komen. See you di part selanjutnya:)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Tatik Tabayy
awassss. indiraaa
2023-10-10
0
Tatik Tabayy
eh eh
2023-10-10
0
Ludi Asih
🤭🤭🤭😄
2023-10-10
0